Epilogue

Agony

Sehun menatap pada bekas luka yang masih baru, ingatan tentang kemarin malam masih membekas dalam pikirannya. Ia telah mampu menunjukkan perasaannya pada wanita yang ia cintai, namun ketika ia membuka matanya di pagi hari, sisi samping ranjangnya telah kosong. Wanita itu telah meninggalkannya tanpa membangunkan dirinya lebih dulu, dan hal itu jauh lebih menyakitkan dari yang bisa ia pikirkan sebelumnya. Ia tetap mengatakan pada dirinya bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Keputusan terbaik daripada ia harus melihat saat wanita itu pergi meninggalkannya.

Ia mematikan shower, mengambil sebuah handuk kering dan membalutkannya pada pinggangnya sembari melangkah keluar dari kamar mandi. Pemandangan setelan jas yang telah disetrika rapi dan tergeletak di atas ranjang dimana ranjang tersebut menjadi saksi bisu dirinya bercinta dengan sang gadis beberapa jam yang lalu seketika membuat hatinya runtuh. Sekarang adalah saat baginya untuk menghadapi kenyataan. Saat ia mengenakan setelan jas tersebutm saat itulah baginya untuk menerima fakta bahwa sang wanita akan menikah dengan pria lain pada hari ini juga. Sungguh sesuatu hal yang tidak termaafkan ketika hari tengah menunjukkan cuaca yang cerah bahkan burung-burung tengah berkicau dengan gembira, seolah seluruh alam semesta memang tengah merayakan hari ini.

Suara ketukan halus pada pintu, disusul dengan dorongan dari luar pada detik berikutnya. Menampakkan sang ayah yang tengah berdiri di depan pintu, wajah dari seseorang yang telah hidup bertahun-tahun dan telah mengecap asam manis kehidupan sedang tersenyum pada dirinya. Sehun tidak pernah memberitahu sang ayah tentang perasaannya terhadap sang gadis, namun sang ayah sungguh orang teramat mengerti bagaimana perasaannya terhadap gadis itu. "Aku akan pergi untuk mengiring nyonya muda dan orang tuanya ke gereja sekarang. Jangan datang terlalu terlambat, ya?"

Sehun mengangguk, dan setelah menampakkan segaris senyuman yang membuat ayahnya percaya, akhirnya sang ayah pun segera pergi. Ia tidak pergi membenci sang ayah, pria tua itu adalah orang yang paling ia hormati dalam hidupnya. Namun terkadang ia berharap kalau ayahnya bukanlah seorang supir di keluarga gadis itu, dan ia mengharapkan bahwa ayahnya adalah orang yang memiliki jabatan lebih tinggi. Hal itulah yang semakin membuatnya membenci dirinya sendiri, sang ayah tidak pantas menerima pikiran buruk itu darinya.

Setelah selesai memakai jas yang gadis itu pilihkan secara pribadi untuknya di hari yang sama ketika mereka pergi untuk mencoba gaun pengantin, ia menaikkan rambutnya ke atas hanya agar membuat dirinya terkesan baik-baik saja ketimbang membuatnya nampak menyedihkan; paling tidak ia perlu terlihat baik-baik saja di mata sang gadis, sehingga gadis itu tidak perlu takut karena telah meninggalkan dirinya.

Saat ketika ia melangkah keluar dari ruangannya, ia tiba-tiba dikejutkan dengan seseorang.

Orang tersebut adalah ibu sang gadis, istri dari pria yang menjadi majikan sang ayah, tengah duduk pada salah satu kursi yang ada di ruang meja makan mereka, rupanya tengah menunggu dirinya. Wanita tua itu membawa dompet besar yang terlihat mahal, dimana berlian-berlian berkelipan pada dompet besar tersebut. Pemandangan wanita tua itu membuat dirinya segan, dan sebuah pikiran kalau wanita itu mungkin saja mengetahui apa yang sudah ia perbuat pada anak gadisnya kemarin malam seketika membuat dirinya gemetar. Ia dengan senang hati akan menerima semua hukuman atas apa yang sudah ia perbuat, namun jangan pada sang nyonya muda....

"Nyonya," Suaranya mengalun dengan perlahan, sembari ia menundukkan kepalanya pelan. "Bolehkah saya tahu tujuan anda kemari? Tidakkah anda seharusnya berada di geraja sekarang juga untuk acara pernikahan?"

"Tidak apa-apa, Sehun. Aku sudah mengatakan pada ayahmu untuk menjemputku lagi setelah mengantar suamiku dan anakku ke gereja lebih dulu. Pernikahannya akan diadakan beberapa jam lagi, aku masih punya banyak waktu," Nada penuh kewenangan yang ada dalam suara sang nyonya cukup untuk membuat dirinya untuk sadar bahwa ini bukanlah tempat baginya untuk bertanya lebih jauh. "Kemari, dan duduklah, nak." Wanita itu menunjukkan gerakan pada kursi yang ada di sebelahnya, dan Sehun menuruti permintaan wanita itu tanpa berani mengajukan pertanyaan lagi.

Ada kebisuan sesaat, diikuti suara batuk perlahan dari wanita tua itu. Sehun dengan sigap berdiri untuk mengambilkan segelas air yang mana diterima senang hati oleh wanita tua itu. Wanita tua itu telah di diagnosa penyakit leukimia, dan agaknya hal itu selalu membuat khawatir mengingat tubuh wanita tua itu yang perlahan mulai melemah. Oleh sebab itu, pernikahan yang seharusnya diadakan beberapa bulan lagi, akhirnya menjadi dimajukan karena permintaan wanita tua itu, yang takut bahwa dirinya mungkin tidak akan bisa melihat anak gadisnya menikah. Wanita tua itu menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya mengarahkan perhatiannya pada Sehun, sebersit senyuman hangat muncul pada wajah wanita tua itu.

"Kau tahu, Sehun, aku selalu menganggapmu sebagai anakku sendiri," Wanita tua itu memulai. "Ketika ibumu meninggal, kejadian tersebut adalah hal terberat yang pernah ayahmu alami, jadi terkadang aku merawatmu dan membiarkanmu bermain dengan anak gadisku. Aku selalu senang kau selalu ada di sisinya seperti seorang kakak untuknya."

Seorang kakak. Kalimat tersebut membuat Sehun mengeratkan buku-buku jarinya, menancapkan kuku-kukunya pada telapak tangannya selagi ia mencoba untuk tetap diam. Dimata semua orang ia akan selalu terlihat seperti seorang kakak untuk gadis itu.

"Dan itulah sebabnya aku memberikanmu ini." Sang nyonya melanjutkan, sembari meletakkan sesuatu di atas meja dan mendorong benda tersebut ke arah sang pria.

Tanpa kata, Sehun mengambil benda tersebut, dan ia terkejut ketika ia menyadari bahwa benda tersebut adalah tiket pesawat dan sebuah surat yang masih tertutup. Kedua tangannya mulai gemetar sehingga dengan cepat ia meletakkan kembali meletakkan kedua benda tersebut di atas meja, wajahnya berubah bingung sembari ia mengangkat wajahnya ke atas untuk bertemu kedua mata sang nyonya. "Untuk apa ini, nyonya?"

Wanita tua itu menangkupkan kedua tangan, dan condong ke arah sang pria. "Aku tahu perasaan apa yang dirasakan anak gadisku padamu. Dan aku tahu perasaan sama yang tengah kau rasakan padanya."

Wajah Sehun memucat seraya kedua matanya yang melebar, dan ia bisa merasakan bagian dalam dirinya tengah bergetar dengan hebat. Bagaimana ia tahu? Ia gemetar di tempat duduknya, rahangnya mengerat. "Nyoya, tolong. Aku bisa menjelaskan. Kami-"

Yang membuatnya terkejut, sang nyonya malah memberikan gelengan kepala serta tersenyum iba. "Itu bukan salahmu, nak. Dan itu juga bukan salah anakku. Semuanya... adalah salahku. Aku seharusnya bisa meraskan ini lebih awal, membiarkan kalian bersama semenjak kalian berdua masih sama-sama kecil, tentu saja membuat perasaan kalian berdua berubah... dan sekarang ini semua juga salahku karena telah menghancurkan perasaan anak gadisku."

"Nyonya, aku-"

"Jadi, tolonglah, Sehun. Buatlah hal ini menjadi lebih mudah untuk anak gadisku," Wanita tua itu melanjutan, memotong ucapan sang pria, dan ia tahu bahwa dirinya tidak memiliki pilihan lain. Si wanita tua meraih kedua tangan pria itu dan memegangnya, meremas kedua tangannya seperti seorang ibu yang melakukan hal tersebut pada anaknya. "Buatlah hal ini menjadi mudah untuk anak gadisku dengan membiarkan dirimu pergi, demi keluarga kami. Hanya ini satu-satunya cara."

Dengan kehadiran dirinya yang masih berada di dekat gadis itu, akan membuat gadis itu hancur lagi. Ia hanyalah penghalang dalam kehidupan gadis itu, seperti ucapan ibu sang gadis. Sang nyonya melepas genggaman dari tangan pria itu, dan sang pria perlahan mengambil tiket pesawat dan surat itu. Kedua matanya seolah terbakar, upayanya untuk tidak menangis adalah sebuah beban yang berat. "Apa.. apa ia tahu tentang hal ini?"

"Lebih baik baginya untuk tidak mengetahui hal ini," adalah jawaban yang diberikan sang nyonya.

Tentu saja. Tentu saja lebih baik bagi sang nyonya muda untuk berpikir bahwa Sehunlah yang pergi, bukan kemauan dari ibu sang gadis yang justru menyuruhnya untuk pergi. Gadis itu mungkin akan membencinya karena telah mengingkari janjinya untuk terus selalu berada disana untuk sang gadis, namun bila hal ini berarti membuat gadis itu menemukan kebahagiaan dengan keluarga barunya, maka Sehun lebih dari rela untuk mengorbankan kebahagiaanya untuk gadis itu.

Dengan anggukan kecil dan air mata yang telah memupuk di matanya, Sehun telah menyetujui permintaan sang nyonya.

"Aku akan pergi."

Sehun tidak ada disana ketika ia berjalan menuju altar, ditemani sang ayah. Ia berharap bahwa tidak akan ada sesuatu hal yang buruk terjadi dan ia hanya berharap bahwa Sehun terlambat datang. Namun ayah Sehun ada disana, tanpa kehadiran lelaki itu.

Dan lelaki itu masih tidak ada disana ketika ia mengucapkan janji pernikahannya, dan hatinya perlahan runtuh.

Ketika gadis itu berkata bahwa "Ia bersedia" kepada suaminya yang sah, bagaimanapun ia telah tahu bahwa ia akan pernah melihat Sehun lagi.

Janji itu telah teringkari.

The End.

P.S: IT REALLY HAS ENDED. SEE U IN ANOTHER STORY OF MINE I GUESS🙄

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
shipwreckedeva
This story isn't mine. It's written by mermaera so i only translate into indonesia after got her permission and it's link to read the original version https://www.asianfanfics.com/story/view/968338/agony-angst-romance-originalcharacter-sehun

Comments

You must be logged in to comment
shipwreckedeva
#1
Chapter 2: comment on my own translation to get extra karma point-___