Teriakan, tangisan, dan amarah telah meliputi seluruh kota. Di sini aku terbaring dengan berlumuran darah, menunggu ajalku tiba. Kutersenyum lebar sambil memegang erat tangan sahabatku yang juga sedang terbaring di sampingku. Menghabiskan saat-saat terakhir kami bersama merupakan keinginan terakhirku. 

“Aku tidak pernah menyangka kekacauan seperti ini akan terjadi di kota kita,” ucap sahabatku itu.

“Kurasa semua orang juga begitu,” jawabku dengan suara yang amat kecil.

“Eonnie, apa kau ingat? Dulu kita sangat sering menjahili anak-anak di kompleks kita.”

“Tentu saja aku ingat. Kita sampai dihukum gara-gara itu.”

“Benar-benar masa yang indah, bukan?”

“Iya, tentu saja.”

“Aku ingin kembali ke masa itu.”

“Aku juga.”

“Sana eonnie..”

“Ya, Dahyun?”

“Kurasa waktuku sudah hampir tiba..”

“Kurasa waktu kita memang sudah tidak banyak lagi. Apakah ada yang ingin kau katakan, Dahyun?”

Untuk beberapa saat dia terdiam dan tak mengucapkan apapun. Kulihat ke arahnya dan nampkanya dia sedang mengumpulkan tenaga terakhirnya untuk mengatakan sesuatu kepadaku.

“Sana eonnie, dengarkan aku baik-baik dan peganglah kata-kataku.”

“Tentu saja.”

“Aku berjanji akan mencarimu dan menemuimu lagi. Saat itulah aku akan berkata..”

“Kita adalah magnet,” ucap kami secara bersama-sama.

—————————————————————

Ting ting ting

“Selamat datang!” ucapku dengan penuh semangat.

“Mau pesan apa?” tanyaku dengan ramah.

“Hot chocolate satu.”

“Ada lagi?”

“Hanya itu saja.”

“Tidak ingin mencoba menu baru kami?”

“Kurasa tidak.”

“Baiklah, silakan ditunggu pesanannya.”

Beginilah kegiatanku setiap harinya. Aku bekerja sebagai seorang kasir di sebuah kafe milik temanku. Berdiri dan melayani setiap pelanggan dengan ramah dan penuh senyum itulah pekerjaanku. Kadang bila sedang sepi, aku memilih untuk duduk di salah satu kursi dan memandang orang-orang yang lalu lalang di depan kafe. Aku memperha