Our Precious Memory

Our Precious Memory

Aku tengah duduk sambil menikmati sekaleng soda yang disediakan oleh crew pementasan drama musikalku ketika tiba-tiba ponselku berdering menampilkan nama Wooyoung di layarnya. Belum sempat aku mengucapkan kata 'halo' saat aku mendengar Woyoung memanggil namaku dengan suara yang bergetar seperti orang yang tengah menahan tangis. Dan saat itu pula aku merasakan firasat yang jelek. Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi.

Aku seketika terdiam setelah sambungan telepon itu berakhir. Aku seakan tak percaya dengan kenyataan bahwa Wooyoung baru saja meneleponku untuk mengabarkan berita yang sama sekali tidak masuk akal itu. Setidaknya berita itu sama sekali tidak masuk akal di otakku yang terus menyangkal semua yang baru saja kudengar.

Junho yang saat ini berada di Jepang baru saja mengalami kecelakaan serius di akhir pertunjukkan konser solo terakhirnya di negeri matahari terbit itu. Kecelakan itu mengharuskan Junho harus dilarikan ke UGD rumah sakit terdekat. Sebuah properti jatuh menimpa Junho saat ia tengah menunjukkan suara emasnya pada ribuan penggemar yang memenuhi stadium kala itu.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa semua itu terjadi? Aku bahkan baru saja bertukar pesan dengannya 3 jam lalu! Ia bahkan memberikan dukungannya untuk drama musikalku! Apa ini hanya mimpi? Ataukah Tuhan sedang bermain-main denganku?!

Aku bahkan sempat menuduh Wooyoung tengah berbohong dan mengerjaiku. Kalau memang iya, ini adalah lelucon terburuk yang pernah kudengar. Tapi mendengar dari suaranya yang bergetar menahan tangis, aku tahu ini bukan tipuan. Aku tahu semua ini adalah kenyataan saat kudengar tangis Wooyoung pecah di ujung kalimatnya.

Aku tahu aku tidak bisa menyalahkan Wooyoung karena telah memberitahuku berita buruk ini, aku justru harus berterimakasih padanya, karena berkat dirinyalah aku segera mengetahui keadaan Junho. Ia memang sengaja datang di konser terakhir Junho untuk memberinya semangat. Aku bersyukur Wooyoung ada di sana saat ini. Karena setidaknya Junho tidak akan sendirian berada di sana.

Sebenarnya aku bisa saja menelepon manager-hyung yang memang selalu berada di sisi Junho atau bahkan menelepon Junho sendiri untuk mengetahui kabarnya, namun seringkali aku justru mendapatkan omelan dari namja yang 17 hari lebih tua dariku itu jika aku sering-sering meneleponnya untuk menanyakan kabar.

Tidak tahu kah ia kalau aku mencemaskannya?

Tidak tahu kah ia kalau aku sangat mengkhawatirkannya?

Tidak tahu kah ia kalau aku sangat menyayanginya?

Dan tidak tahu kah ia kalau kepalaku serasa hampir meledak karena terlalu panik jika aku mendengar kabar buruk tentangnya seperti ini?

Kau harus tahu semua itu Lee Junho! Kau terlalu berharga bagiku!

Begitu Wooyoung mematikan sambungan teleponnya, aku segera menghubungi manajerku. Memintanya mencarikan tiket pesawat penerbangan Korea – Jepang secepatnya. Kuabaikan tubuhku yang sudah menjerit meminta jatah untuk diistirahatkan karena sudah terlalu lelah setelah menyelesaikan marathon syuting dan pementasan drama musikal. Aku HARUS segera berangkat ke Jepang. Aku harus tahu kondisi Junho sekarang juga. Aku harus melihat keadaan Junho dengan mata kepalaku sendiri.

Dan disinilah aku sekarang, berada dalam sebuah taksi yang tengah melaju dengan kecepatan cukup tinggi membelah jalanan kota Tokyo yang mulai lengang, menuju rumah sakit tempat Junho dirawat yang disebutkan Wooyoung dalam pesan singkat yang kuterima dua jam yang lalu saat aku memberitahunya bahwa aku akan pergi ke Jepang detik itu juga. Wooyoung sempat melarangku untuk datang, memikirkan jadwalku yang padat lantaran harus syuting drama dan persiapan pertunjukkan drama musikal. Namun aku bersikeras, dan siapapun tidak akan bisa mencegah atau mengubah keputusanku, jika aku sudah membuat keputusan. Panggil aku tuan keras kepala atau apapun, aku tidak peduli. Karena yang ku pedulikan saat ini hanyalah Junho.

Perjalanan dari bandara menuju rumah sakit terasa begitu lama meskipun aku sudah meminta supir taksi yang kutumpangi ini untuk menaikkan kecepatannya. Mataku terus menyusuri gedung demi gedung yang kulewati, tapi tetap saja deretan gedung-gedung tinggi menjulang yang sudah kulewati tak kunjung juga menunjukkan tulisan ‘Tokyo Medical University Hospital’ di depannya.

Aku sudah hampir putus asa, jemariku mengepal erat, nafasku terasa berat, degub jantungku pun berdetak sangat cepat memikirkan semua kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Semuanya yang terjadi padaku seakan tak terkendali, badanku serasa remuk karena kelelahan yang kurasakan, dan pikiranku sangat kacau saat ini. Tapi satu yang membuatku tetap bertahan, Junho. Aku harus menemuinya. Aku harus tahu keadaannya.

Jam di pergelangan tanganku menunjukkan waktu sudah lewat tengah malam. Sepanjang perjalanan tanganku tidak bisa berhenti bergerak mengetuk-ngetuk kaca jendela taksi sehingga menimbulkan suara yang mungkin saja mengganggu konsentrasi sang supir bila aku melihat dari raut wajahnya yang terlihat tidak suka. Aku sengaja melakukan itu, berharap tindakan yang aku lakukan bisa mengurangi rasa cemas yang kurasakan karena memikirkan kondisi Junho. Aku merasa sedikit bersalah pada supir taksi yang setiap menit melirikku dari kaca dashboard karena merasa terganggu. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Hanya cara inilah yang bisa aku lakukan untuk menyalurkan apa yang tengah aku rasakan saat ini.

Sayup-sayup aku mendengar lagu kesukaanku yang juga menjadi lagu kesukaan Junho, ‘That’s What Friends a For’ milik Dionne Warwick featuring Elton John, Gladys Knight, dan Stevie Wonder diputar pada saluran radio yang dinyalakan supir, mungkin untuk menghibur dan membuatku merasa sedikit tenang. Awalnya lagu lawas itu diperkenalkan Minjun-hyung ketika kami selesai latihan vocal bersama bertahun-tahun yang lalu. Namun lagu itu benar-benar menjadi lagu favorit kami ketika aku dan Junho tak sengaja mendengarnya saat tengah makan siang di sebuah café favorit kami.

Saat itu hujan turun menghentikan langkah kami dan memaksa kami untuk tinggal di café lebih lama sambil menunggu hujan reda, padahal saat itu Junho sedang terburu-buru karena harus kembali ke lokasi syuting utuk melanjutkan pengambilan scene dramanya yang belum terselesaikan. Namun apa daya, hujan turun cukup lebat sehingga kami terpaksa hanya bisa menunggu hingga hujan reda karena kami sama-sama tidak membawa payung ataupun jas hujan.

Suasana hujan yang dingin dan sedikit kelabu seperti ini dimafaatkan oleh pemilik café dengan memutar lagu-lagu dengan balad. Dan salah satunya adalah lagu ‘That’s What Friends a For’ ini.

Suasana itu, suasana yang sama saat terakhir kali aku bertemu dengan Junho beberapa hari yang lalu.

“Nuneo, apa kau masih ingat kebiasaan yang sering kita lakukan dahulu saat hujan seperti ini?” tanyaku seraya memandangi hujan yang turun di luar sana.

Junho menatapku sekilas, keningnya berkerut sebelum kemudian senyum bulan sabit menghiasi wajah tampannya. “Menghitung butiran air hujan yang jatuh dari daun talas yang tumbuh di halaman rumahmu bukan?”

Aku tertawa kecil mendengar jawabannya. "Ternyata kau masih mengingatnya,” jawabku membenarkan.

Rumah yang dimaksudkan Junho bukanlah rumah yang kutempati sekarang ini, tapi rumah orang tuaku yang memang masih memiliki pekarangan yang cukup luas. Aku memutuskan untuk tinggal di sebuah apartemen sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi aku sedikit menyesalinya sekarang, karena tidak seperti rumah orang tuaku, apartemenku tidak memiliki pekarangan. Jangankan pekarangan, untuk memarkir mobil saja terkadang aku harus berebut dengan tetanggaku. Aku benar-benar rindu tinggal kembali di rumah orang tuaku.

Aku tertawa lepas, begitu juga dengan Junho. Tawa Junho membentuk sebuah replika bulan sabit di matanya. Membuatnya semakin bercahaya. Kenangan itu memang benar-benar indah. Aku senang ternyata dia masih mengingat itu. Itu adalah salah satu kenangan saat kami masih dalam masa training sekitar sepuluh atau sebelas tahun yang lalu. Saat itu kami dengan nekat membolos latihan dan pergi ke rumahku hanya sekedar untuk meminum soda dan memakan kimchi buatan ibuku karena kami merasa cukup jenuh dengan rutinitas kegiatan training. Namun siapa sangka, kenekatan dan keisengan itu justru membawa kenangan manis dan mendalam bagi kami. Karena setelah itu kami hampir tidak pernah punya waktu untuk mengulang kejadian itu lagi. Kami terlalu sibuk berkarier, menjadi seorang idol di bawah nama besar 2PM.

“Aku ingin suatu saat sebelum kita beristirahat dari dunia hiburan untuk menjalankan tugas kita sebagai warga negara Korea yang baik, kita melakukan hal konyol itu bersama lagi, Chan,” ucap Junho tiba-tiba.

“Kau serius?” tanyaku, memastikan bahwa ia tidak sedang berbohong atau bercanda.

"Tentu saja!” jawabnya dengan nada antusias, yang segera kubalas dengan menyunggingkan senyum bahagiaku.

Perlahan butiran air mata turun membasahi pipiku. Aku mengingat senyum bulan sabit Junho yang mengembang bahagia saat ia meninggalkanku di café setelah hujan reda beberapa hari yang lalu. Ia sempat memeluk tubuhku erat sebagai salam perpisahan, sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Kepergiannya bersamaan dengan berakhirnya lagu ‘That’s What Friends a For’ yang sedang diputar di dalam café.

Dan kini, lagu yang sama turut mengantarku pada Junho yang sedang terbaring di rumah sakit dengan keadaan yang belum aku ketahui secara pasti.

“Keep smiling, keep shining. Knowing you can always count on me. For sure, that’s what friends a for. For good times, and bad times I’ll be on your side for ever more. That’s what friends a for….”

****

“Hyung, bagaimana keadaan Junho? Dia tidak apa-apa kan? Dia baik-baik saja kan? Tidak ada hal yang serius yang mengancam keselamatannya kan?” tanyaku bertubi-tubi ketika aku sampai di rumah sakit dan bertemu dengan Wooyoung.

Wajah Wooyoung nampak lelah, dan aku masih bisa melihat jejak-jejak air mata yang mulai mengering di pipinya. Tapi walaupun begitu, ia menyambutku dengan ekspresi lega yang tersirat jelas di matanya. Ia menggiringku duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruang perawatan Junho. Aku melihatnya menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.

“Kurasa keadaannya tidak cukup baik, Chan. Dokter mengatakan bahwa bahu kanan dan pergelangan kaki kirinya retak. Selain itu dokter juga masih perlu mengevaluasi hasil CT Scan-nya. Karena menurut saksi mata, kepala Junho terbentur cukup keras saat insiden itu terjadi.” Wooyoung menggenggam tanganku erat, entah untuk menguatkanku atau menguatkan dirinya sendiri.

Tubuhku langsung merosot mendengar penjelasan Wooyoung. Aku tidak menyangka bahwa kondisi Junho akan separah ini. Walaupun aku tetap memikirkan kemungkinan terburuk, tapi aku selalu mensugesti diriku sendiri selama perjalanan menuju ke rumah sakit bahwa Junho dalam keadaan baik-baik saja. Ia pasti bisa melaluinya karena aku tahu, sangat tahu bahwa Junho adalah orang yang kuat. Tapi setelah mendengar penjasan dari Wooyoung tentang kondisi Junho yang sebenarnya, hatiku mencelos. Hatiku terasa sakit seakan ada tangan tak kasat mata yang mencengkramnya erat. Otakku seakan berhenti berfungsi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

"Kau tidak apa-apa Chan?"

Aku tersadar dari disfungsi otakku saat aku merasakan genggaman di tanganku sedikit mengerat.

Aku mengerjap, mengedipkan mataku beberapa kali untuk memfokuskan pandanganku pada Wooyoung yang menatapku khawatir.

"Ah... ne hyung. Aku tidak apa-apa," jawabku berbohong, walaupun aku tahu kebohonganku pasti dengan mudah dibaca oleh member yang satu tahun lebih tua dariku itu. "Apakah sekarang aku bisa menemui Junho?" tanyaku sebelum Wooyoung mencecarku dengan pertanyaan lain.

Ekspresi menyesal terpancar di wajah Wooyoung yang langsung membuatku kehilangan harapanku untuk melihat keadaan Junho saat itu juga dengan mata kepalaku sendiri.

"Dokter masih belum selesai mengobservasi kondisi Junho. Setengah jam yang lalu, Junho sempat tersadar setelah melakukan operasi, tapi keadaannya sangat lemah, dan dia juga sempat merasakan mual kemudian muntah cukup parah. Setelah itu dia kembali tidak sadarkan diri. Dokter mengatakan padaku bahwa sepertinya benturan di kepalanya terlalu keras sehingga memberikan efek seperti itu kepada Junho." Wooyoung menjelaskannya dengan nada sendu yang terdengar jelas di telingaku.

Aku yang tadinya sudah berdiri kembali terduduk di kursi hingga menimbulkan bunyi derakan yang cukup keras akibat pergesekan antara kaki kursi dengan lantai. Detik selanjutnya, aku bisa merasakan tangan Wooyoung yang memeluk dan menepuk-nepuk pundakku, mencoba memberi dorongan kekuatan dan mungkin juga mencari kekuatan itu untuk dirinya sendiri.

Aku merasakan sebuah getaran yang berasal dari saku celanaku. Aku benar-benar melupakan keberadaan ponselku saat aku menemukan keberadaan Wooyoung tadi. Kulihat puluhan notifikasi memenuhi layar berukuran 5 inc itu. Notifikasi terbaru muncul dari Taecyeon hyung. Ia berusaha menghubungiku sejak tadi. Tapi aku sengaja mengabaikannya karena pikiranku terlalu kalut untuk menjawab semua rentetan pertanyaan yang akan dilontarkannya. Tidak hanya khawatir dengan keadaan Junho, dia pasti juga akan sangat khawatir dengan keadaanku karena aku memang sempat mengiriminya pesan bahwa aku akan langsung terbang ke Jepang untuk melihat keadaan Junho tepat setelah aku menyelesaikan pentas drama usikalku.

Aku baru saja akan memasukkan ponsel itu kembali ke dalam saku celanaku ketika aku merasakan benda berbentuk kotak itu bergetar, dan layarnya kembali menyala, menampilkan nama Taecyeon hyung di sana.

"Yeoboseyo..." ucapku dengan nada lemah.

"Chan?? Thanks God, akhirnya aku bisa menghubungimu," nada suara Taecyeon hyung terdengar lega di ujung sambungan telefon. "Apa yang terjadi pada Junho? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada hal yang serius menimpanya bukan? Dan bagaimana bisa kau langsung terbang begitu saja ke Jepang tanpa mempedulikan kondisimu sendiri yang mungkin saja drop karena kelelahan Hwang Chansung?!" rentetan pertanyaan bernada khawatir itu meluncur mulus dari mulut Taecyeon hyung.

Aku sempat merasa bersalah pada member yang lain karena membuat mereka mengkhawatirkanku karena sikap gegabah yang kulakukan. Tapi mengetahui keadaan Junho secara langsung adalah satu-satunya hal yang kupikirkan saat itu.

Meniru ekspresi Wooyoung ketika menjawab rentetan pertanyaanku tadi, aku pun menghela napas panjang dan dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Taecyeon hyung.

"Dia... tidak baik-baik saja hyung..." suaraku sedikit bergetar, aku menggigit bibir bawahku untuk mencegah tangis yang mungkin saja pecah.

"Apa maksudmu, Chan? Katakan dengan jelas agar kami mengerti!" kali ini aku mendengar suara Minjun hyung berteriak dari kejauhan. Nada khawatir, panik dan tidak sabar terdengar jelas dari nada suaranya. Sayup-sayup aku juga bisa mendengar suara Nichkhun hyung yang meminta Minjun hyung untuk tetap tenang.

Tes...

Kurasakan setetes air mata akhirnya luruh dari salah satu kelopak mataku yang terpejam. Hatiku sakit, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya pada mereka. Aku takut akan membuat mereka semakin khawatir karena tangisku pasti akan pecah saat aku memberikan penjelasan tentang kondisi Junho pada mereka.

Aku menarik nafas dalam, mencoba menetralkan semua yang kurasakan walaupun aku tahu itu sama sekali tidak berguna. "Nanti akan kuhubungi lagi, hyung." ucapku akhirnya sembari bergegas mematikan sambungan telepon secara sepihak. Dan di detik itu juga aku yakin mereka pasti sangat marah padaku saat ini karena menutup sambungan telefon dengan seenaknya tanpa sedikitpun memberikan penjelasan tentang keadaan Junho saat ini.

Aku kemudian bangkit dari dudukku dan berlari ke ujung lorong rumah sakit. Kuabaikan suara teriakan Wooyoung hyung yang sedari tadi khawatir melihat keadaanku.

Kubuka pintu toilet rumah sakit itu dengan kasar. Aku bersyukur karena tak ada seorang pun di dalamnya, karena aku bisa saja mengagetkan mereka dan membuat mereka merasa tidak nyaman dengan kelakuanku. Aku segera membasuh wajahku berkali-kali, mencoba meredam semua perasaan yang bergejolak di dalam hatiku. Kutatap pantulan wajahku di cermin yang tergantung di atas wastafel toilet tersebut, dan aku begitu terkejut saat melihat keadaanku sendiri. Aku seperti melihat sosok orang lain tengah menatapku dari balik cermin. Aku bahkan hampir tak mengenali wajahku sendiri. Mataku terlihat memerah dan bengkak, sembab akibat menahan air mata. Wajahku terlihat sendu, sementara rambutku terlihat sangat acak-acakan.

Kupejamkan kedua mataku saat aku merasakan air mata kembali luruh dipipiku. Kuhabiskan waktu hingga berpuluh-puluh menit untuk menumpahkan semua air mata yang sejak tadi aku tahan. Suara isakanku menggema, memenuhi toilet yang untung saja masih dalam keadaan sepi.

Setelah merasa cukup tenang, aku kembali menghapus jejak air mataku dengan membasuh wajahku beberapa kali. Setelah mengeringkan wajahku dan sedikit menata rambutku agar terlihat lebih rapi, aku melangkah keluar dari toilet rumah sakit tersebut dan berjalan perlahan menuju ruang rawat Junho.

Aku mempercepat langkahku saat aku melihat Wooyoung tengah berbicara pada seorang dokter paruh baya dengan sedikit kesulitan. Aku tahu bahasa Jepang Wooyoung memang belum sebaik aku maupun Junho. Tapi Wooyoung bisa mengerti apa yang dokter itu sampaikan walaupun ia sedikit terbata saat merespon ucapan dokter tersebut.

"Sepertinya pasien mengalami gegar otak yang cukup parah akibat benturan itu," kalimat dengan aksen bahasa Jepang yang sangat kental dari dokter itu akhirnya sampai di telingaku. Sepertinya aku datang tepat waktu. "Tetapi kami akan terus memantau keadaan pasien untuk memeriksa apakah ada masalah lain yang terjadi," lanjut dokter.

Otakku mencoba memproses informasi yang baru saja disampaikan dokter. Pikiranku kembali kacau saat otakku mulai bisa menerima fakta yang baru saja disampaikan oleh dokter tersebut. Aku sempat limbung dan hampir saja jatuh menghantam lantai kalau saja Wooyoung tidak segera menahan tubuhku. Raut khawatir terlihat jelas di wajah imutnya.

"Chan, gwenchana?"

"Apa kami diperbolehkan menemuinya sekarang, Dok?" tanyaku pada dokter itu, mengabaikan pertanyaan Wooyoung yang khawatir tentang keadaanku.

Dokter itu mengangguk sekilas kepadaku. "Tapi tolong segera hubungi kami jika pasien mulai sadar. Kami harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut padanya."

Aku balas mengangguk kepada dokter tersebut. Setelah itu ia kemudian pamit untuk menganalisis hasil CT Scan Junho lebih lanjut. Sementara aku dan Wooyoung bergegas masuk ke ruang perawatan Junho.

Di dalam ruang rawat, aku melihat Junho terbaring di atas tempat tidur. Selimut tebal menutupi tubuh lemahnya. Ingin rasanya aku merengkuh tubuh kecil yang terlihat semakin kurus itu saat ini juga. Wajahnya yang memang sudah putih tanpa sapuan make up apapun, terlihat semakin pucat sekarang. Bibirnya yang biasanya berwarna pink alami, kini terlihat pucat dan hanya terkatup rapat. Membuatku merindukan segala ocehan sarkastiknya untuk orang-orang di sekitarnya. Mata sipitnya juga terpejam. Membuatku kehilangan senyum bulan sabit favoritku.

Aku duduk di sisi tempat tidur Junho, menggenggam tangan kirinya dengan hati-hati karena di pergelangan tangannya tertancap jarum yang menghubungkannya pada selang dan ampul infus. Hatiku kembali berdenyut sakit ketika aku akhirnya melihat kondisi Junho. Kulihat perban yang cukup tebal membalut kepala, lengan kanan, serta kaki kirinya. Membuatnya tak bisa bergerak dengan leluasa seperti biasanya saat ia kembali tersadar nanti. Membayangkannya seperti itu saja sudah mampu membuat hatiku serasa tertusuk ribuan panah tak kasat mata.

"Junho-yaa, gwenchana?"

Bodoh.

Benar-benar bodoh. Bisa-bisanya aku bertanya seperti itu saat melihat keadaan Junho seperti ini. Junho juga mungkin akan merutukiku dengan ribuan kalimat sarkastiknya jika ia mendengar aku meluncurkan pertanyaan seperti itu.

Aku merebahkan kepala di sisi lengan Junho dengan masih menggenggam erat telapak tangan kirinya. Aku seakan bisa melihat wajahnya yang terlihat sangat lelah dan kesakitan. Entahlah. Namun tanpa kusadari, tiba-tiba aku memegang dadaku dengan tanganku yang lain, yang tidak kugunakan untuk menggenggam tangan Junho. Disana, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku bisa merasakan rasa sakit yang sedang Junho rasakan saat ini.

*****

Aku terbangun dengan tengkuk, bahu, dan punggung yang terasa kebas. Kepalaku terasa sangat sakit dan berat. Aku sedikit memijit-mijit bagian belakang leherku yang terasa kaku sembari melihat suasana di sekelilingku yang masih terlihat remang-remang, karena satu-satunya sumber pencahayaannya hanyalah lampu tidur yang tergantung di atas kepala tempat tidur.

Aku melihat Junho masih dalam kondisi yang sama seperti yang kulihat empat jam yang lalu. Matanya masih terpejam, wajahnya masih pucat, infus dan alat bantu pernafasan masih terpasang disana, membatunya untuk tetap bertahan dalam kondisinya saat ini.

Di seberang ruangan aku melihat Wooyoung dan Manajer-hyung tertidur di sofa dalam posisi terduduk. Kepala mereka saling bersandar di bahu satu sama lain. Aku tahu mereka pasti juga merasa tidak nyaman karena harus tidur dalam posisi seperti itu.

Suara detik jarum jam adalah satu-satunya suara yang mengisi kesunyian ruang rawat inap itu. Semuanya terasa berjalan sangat lambat bagiku. Aku ingin semua ini cepat berlalu. Aku ingin Junho segera sadar dan pulih dari cedera yang dialaminya. Aku ingin semua kembali normal seperti dulu. Tapi aku tahu itu semua tidak mungkin. Aku harus tetap kuat dan bersabar menghadapi semua ini agar aku bisa memberikan dukungan pada Junho agar ia bisa segera pulih.

Aku berdiri dari dudukku. Sedikit meringis sembari memegang pinggangku yang terasa sakit akibat posisi tidurku yang menelungkup. Aku mencoba meregangkan tubuhku yang benar-benar terasa kebas, mencoba mengurangi rasa kaku yang kurasakan menjalari setiap ruas dan sendi di tubuhku.

Kalau dalam keadaan normal, Junho pasti tengah mengolokku karena bersikap seperti orang tua sekarang. Ia pasti akan mengatakan bahwa latihanku di pusat kebugaran selama bertahun-tahun sama sekali tak berguna. Tentu saja sambil tertawa terbahak-bahak.

Aku baru akan kembali mengenang masa-masa indah yang kulalui bersama Junho saat aku melihat pergerakan kecil pada jemari tangan Junho. Aku mengusap-usap mataku memastikan bahwa aku tidak salah lihat. Tapi aku tidak mendapati jemari itu kembali bergerak. Hanya diam seperti sebelun-sebelumnya. Sepertinya aku memang salah lihat karena terlalu banyak berharap Junho akan segera sadar.

Sebaiknya aku jangan terlalu berharap sekarang. Karena rasanya sangat menyakitkan.

Aku baru saja akan melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh wajahku saat aku mendengar suara yang sangat familiar menyapa indera pendengaranku dengan nada yang sangat lemah.

"Chan..."

Aku terdiam, membeku di tempatku berdiri sekarang. Apakah aku kembali berhalusinasi?

"Chaann..." suara itu kembali memanggil, kali ini terdengar sedikit lebih keras. Aku masih berdiam di tempatku, tak seinci pun aku bergerak dari tempatku yang masih berdiri membelakangi tempat tidur Junho.

"Chaann..." suara itu kembali memanggil, terdengar sedikit putus asa sekarang.

Dan seketika aku terperanjat. Suara itu adalah suara yang sangat kukenal. Suara yang terakhir kudengar 96 jam yang lalu. Dan suara itu nyata, bukan hanya halusinasi seperti yang aku pikirkan.

Aku segera membalikkan badanku ke arah Junho. Ia tengah mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan penglihatannya dengan kondisi di sekelilingnya. Sekilas aku juga melihat ia meringis seperti tengah menahan rasa sakit dari cedera yang dialaminya.

Aku bergegas menghampirinya dan menggenggam tangannya. Sekali lagi meyakinkan diriku bahwa ini semua bukan hanya halusinasiku semata. "Nuneo, kau sudah sadar, syukurlah," Aku mendesah lega. Niatku untuk ke kamar mandi langsung terlupakan. Aku kembali duduk di sisi tempat tidur Junho sambil terus menggenggam tangannya.

Junho hanya tersenyum sekilas dibalik alat bantu pernapasan yang masih terpasang di hidungnya, mungkin mencoba memberi isyarat kepadaku bahwa ia merasa jauh lebih baik.

"Apa yang kau rasakan sekarang Junho? Apa aku perlu memanggilkan Dokter?" tanyaku yang justru direspon Junho dengan menutup matanya kembali.

Apa pertanyaanku terlalu berlebihan? Atau dia masih belum mampu berkomunikasi secara normal seperti biasanya? Bagaimana kalau ia tidak bisa berkomunikasi secara normal seperti dulu lagi? Aku segera menggelengkan kepalaku saat pikiran buruk itu kembali menghantuiku.

"Apa yang terjadi Chan?" tanya Junho dengan suara yang sangat lemah dan mata yang masih terpejam. Aku sempat mengira Junho kembali tak sadarkan diri saat ia kembali memejamkan matanya tadi. Tapi ternyata aku salah.

"Kau tak mengingat apapun yang terjadi padamu Nuneo?" pertanyaanku hanya dibalas dengan tatapan bingung dan gelengan lemah olehnya. "Wooyoung mengatakan bahwa kau mengalami kecelakaan saat tengah berada di atas panggung di konser terakhirmu tadi, kau sekarang sedang berada di rumah sakit untuk menjalani perawatan. Kau tidak ingat?" tanyaku kembali.

Kulihat Junho kembali memejamkan matanya. Raut wajahnya terlihat berpikir keras, mencoba mengingat apa yang terjadi.

Tanpa kuduga-duga Junho tiba-tiba mencoba menggerakkan bahu dan tangan kanannya namun sedetik kemudian aku melihatnya mengerang kesakitan. Mataku membulat sempurna melihat apa yang baru saja ia lakukan. Panik segera menyerangku saat kulihat ia memegangi bahunya dengan tangannya yang tidak sedang terluka.

"Apa yang lakukan Junho?!"tanpa sadar aku meninggikan nada suaraku karena terlalu panik. Aku juga dengan refleks memegang kedua bahunya untuk mencegahnya kembali melakukan tindakan bodoh lainnya. Raut kesakitan masih terlihat jelas di wajah seputih porselennya. Aku benar-benar ingin menghapus raut kesakitan itu dari wajahnya. Oh Tuhan, pindahkan saja semua rasa sakit itu kepadaku. Aku sungguh tak tega melihatnya kesakitan seperti ini. "Kau tidak diperbolehkan untuk bergerak terlalu banyak dulu," Junho menatapku dengan raut wajah tidak percaya. Aku tahu dia memang sangat keras kepala. Dan sifatnya itu sangat menyulitkan, terlebih di saat-saat seperti ini.

"Bahu kananmu cedera cukup parah. Ada tulang yang retak. Sehingga kau tidak boleh terlalu banyak bergerak," lanjutku menjelaskan keadaannya, karena aku tahu hanya dengan cara itulah Junho akan menuruti ucapanku.

Kulihat ia kembali diam. Tak berusaha untuk bergerak lagi. Tapi pandangan meminta penjelasan terpancar jelas dari sorot matanya.

Aku menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk menjelaskan semuanya pada Junho, "Selain bahumu, pergelangan kaki kirimu juga cedera. Jadi kau harus istirahat total Junho," jelasku. "Tidak ada tapi!" tambahku kemudian saat aku melihat ia hampir membuka mulutnya untuk memprotes ucapanku.

Aku terpaksa harus memberitahukan keadaannya yang sebenarnya karena aku tahu Junho bukan tipe orang yang mau dan mudah dibohongi. Aku lebih baik memberitahunya tentang kondisinya yang sebenarnya, sebelum ia memgetahui itu dari orang lain.

Kulihat Junho kembali memejamkan matanya. Aku tahu di dalam otaknya pasti tengah berkecamuk memikirkan segala hal yang membuatnya cemas.

"Jangan memikirkan apapun yang membuatmu cemas Junho. Yang perlu kau lakukan sekarang hanyalah beristirahat dan memulihkan cederamu," aku mengusap puncak kepalanya yang dibalut oleh perban putih itu.

"Apa yang kau tahu, Chan?" pertanyaannya sukses membuatku terkejut. "Apa yang kau tahu?! Jangan memikirkan apapun? Bagaimana bisa aku tidak memikirkan apapun saat semua orang mencemau?! Kau tidak tahu bagaimana raut wajah Wooyoung dan semua penggemar yang melihatku saat itu! Mereka semua terlihat terkejut dan sangat terpukul! Dan kau tahu semua itu karena siapa? Karena aku, Chan! Aku yang membuat mereka merasakan semua ketidaknyamanan itu! Bahkan kau juga sampai terbang kemari! Aku tahu kau pasti juga sangat kelelahan setelah menyelesaikan semua jadwalmu, Chan! Bagaimana aku bisa tidak memikirkan apapun dengan semua keadaan itu?!!" Junho meluapkan semua amarahnya. Kulihat air mata mulai mengalir deras dari kedua mata sipitnya. Wajahnya terlihat memerah bahkan sampai ke telinganya.

"Bukan seperti itu maksudku, Junho. Semua memang mencemaskanmu. Tapi kalau kau bersikap seperti ini, semuanya hanya akan menjadi semakin rumit! Kau harus tenang dan berusaha sebaik mungkin untuk memulihkan keadaanmu! Bukan malah memikirkan hal-hal yang tidak perlu!" tanpa sadar aku juga ikut meninggikan nada suaraku, yang langsung saja kusesali setelahnya.

****

Dua minggu telah berlalu sejak insiden itu. Setelah itu Junho masih harus melakukan perawatan intensif untuk penyembuhan cedera bahu dan pergelangan kaki kirinya. Sehingga total selama hampir tiga minggu Junho dirawat di rumah sakit di Jepang, dan selama itu pula aku selalu pulang pergi Korea-Jepang tiap kali aku punya waktu luang disela-sela jadwalku yang padat, walaupun aku tahu keluarga Junho sudah mendampinginya di sana. Manager-hyung dan member lain sebenarnya telah melarangku untuk pergi ke Jepang mengingat jadwalku yang cukup padat akhir-akhir ini. Mereka khawatir aku akan kelelahan dan akhirnya jatuh sakit. Tapi sepertinya kekeraskepalaan Junho telah menular kepadaku, sehingga aku sama sekali tak menggubris omongan mereka.

Tiga hari yang lalu, tepat satu bulan pasca insiden kecelakaan Junho sebenarnya sudah bisa meninggalkan rumah sakit yang ada di Jepang. Tapi pihak agensi memaksanya untuk beristirahat dan melakukan terapi pemulihan terlebih dahulu. Awalnya Junho menolak keras keputusan itu, tapi member yang lain memaksanya untuk menuruti apa yang disarankan oleh pihak agensi. Sehingga akhirnya ia menuruti perintah agensi tersebut tetapi dengan syarat bahwa ia akan melakukan terapi itu di rumah sakit di Korea saja.

Dibutuhkan waktu hampir dua minggu juga untuk Junho melakukan terapi pemulihan di rumah sakit Korea. Tapi beruntungnya untuk menjalani terapi itu Junho tidak perlu menginap, dia hanya perlu datang ke bagian terapi dan rehabilitasi rumah sakit setiap pagi dan akan selesai ketika jam makan siang tiba. Sehingga meskipun aku cukup sibuk dengan sederetan kesibukanku, aku sesekali masih bisa mengantarkan atau menjemput Junho untuk terapi seperti siang ini.

Sebenarnya untuk kali ini aku sedikit memaksa Manager-hyung untuk menggantikan tugasnya menjemput Junho saat ia mengatakan akan menjemput Junho di rumah sakit karena keluarganya sedang ada urusan masing-masing. Saat aku menawarkan diri agar aku saja yang pergi untuk menjemput Junho dengan tanpa banyak kata ia langsung menolak penawaranku karena aku masih mempunyai jadwal pekerjaan yang harus kulakukan nanti sore hingga malam. Tapi tolong ingat bahwa aku ini dilabeli dengan sebutan magnae bukan hanya karena umurku, tapi juga karena sikapku yang bisa berubah menjadi seperti anak kecil saat aku tengah merengek karena menginginkan sesuatu. Dan tentu saja, Manager-hyung pun akhirnya tidak tahan mendengar rengekanku sehingga ia pun mengalah dan membiarkanku untuk menjemput Junho di Rumah Sakit.

Saat ini jam di dashboard mobilku menunjukkan waktu hampir jam 2 siang. Setidaknya masih ada sekitar 3 jam lagi untuk mengantarkan pulang Junho ke apartemennya, menemaninya makan siang, dan membantunya mempersiapkan kebutuhannya untuk sore hingga malam hari sebelum akhirnya aku dapat melanjutkan agendaku yang lain.

"Chan." Junho memanggilku.

"Hmm?" responku sekenanya karena aku sedang menyetir.

"Aku tidak mau pulang, Chan."

Spontan aku menghentikan laju mobilku. Selain memang karena lampu lalu lintas tengah menyala merah, aku juga terkejut dengan perkataan Junho. Bisa-bisanya dia menolak untuk pulang di tengah kondisinya yang baru saja selesai terapi di rumah sakit. Bahkan perban dan juga gips masih melekat di bahu dan pergelangan kakinya. Dokter pun juga melarang dirinya untuk bepergian dan menyuruhnya untuk banyak istirahat saja di rumah. Apa maunya? Mau kemana dia dengan kondisi seperti itu?

Aku mengalihkan pandanganku pada Junho, menatapnya penuh tanya. "Apa maksudmu dengan tidak mau pulang Nuneo? Mau kemana kau dengan kondisi seperti ini hah?!"

Junho balik menatapku dengan tatapan teduhnya.

"Aku ingin ke rumahmu, Chan. Sekarang." Ia menekankan kata 'sekarang' pada kalimatnya yang membuat keningku berkerut karena keinginannya yang tiba-tiba itu.

"Kau tidak sedang bercanda kan?" tanyaku memastikan sambil memegang kedua bahunya.

Ia meraih tanganku kemudian menyandarkan pipinya di telapak tanganku tanganku. Kulihat ia menutup matanya, seperti meresapi momen yang mungkin akan menjadi salah satu kenangan indah kami.

"Ani..." aku bisa merasakan kepalanya menggeleng. "Aku tidak bercanda. Aku benar-benar ingin ke rumahmu."

Suara Junho yang manja seperti ini adalah salah satu dari sekian banyak tingkahnya yang benar-benar tidak mampu untuk kutolak. Seperti sebuah sihir yang selalu bisa membuat korbannya bertekuk lutut, menuruti semua keinginannya.

Dan tanpa banyak kata, tanpa pertimbangan panjang, aku kemudian memutar balik mobilku 180 derajat. Menginjak pedal gas dalam-dalam, melajukan mobilku menuju rumahku -rumah orang tuaku-.

Tiga puluh menit kemudian akhirnya kami memasuki pekarangan rumah orang tuaku, dan memarkirkan mobilku disana karena aku tidak mau repot-repot kembali mengeluarkan mobil saat berangkat kerja nanti. Aku sempat melihat ibuku yang terheran-heran melihat aku datang mendadak tanpa pemberitahuan di siang hari seperti ini. Karena jika aku mendadak mampir ke rumah seperti ini biasanya kulakukan di malam hari, saat aku jenuh hanya tinggal sendirian di apartemen.

Ibuku datang menghampiri tepat ketika aku mematikan mesin mobil. Wajahnya masih sangat cantik di usianya yang mulai memasuki usia senja. Dia mencondongkan kepalanya ke kaca mobil yang sedikit kuturunkan karena aku memang belum berniat untuk keluar dari dalam mobil.

"Chan, kenapa-" ibuku tidak jadi menyelesaikan pertanyaannya ketika melihat Junho tertidur di kursi penumpang. "Junho?" tanya ibuku dengan berbisik. Alisnya mengerut, dan pandangannya tertuju pada Junho yang sekarang tengah jatuh terlelap di kursi penumpang.

Aku hanya mengangguk. Kemudian memberi isyarat pada ibuku supaya bergeser sedikit, memberiku jalan untuk keluar dari mobil.

"Kenapa Junho ada disini? Bukankah seharusnya dia ada di rumah sakit?" tanya ibuku mengekor ketika aku berjalan memutari mobil menuju sisi pintu tempat Junho duduk.

"Dia baru saja pulang dari rumah sakit, Eomma," jawabku singkat.

Aku bisa merasakan ibuku yang penasaran karena terus mengekoriku hingga aku harus berhenti terlebih dulu sebelum membuka kursi penumpang. "Lalu kenapa dia ada di sini? Bukankah seharusnya ia pulang ke rumahnya?" tanyanya akhirnya.

"Dia tidak mau pulang Eomma, dia ingin kemari," jawabku. Dan aku bisa melihat ibuku membulatkan matanya menyiratkan pertanyaan 'mengapa?' padaku. "Aku tidak tahu Eomma. Dia hanya bersikeras ingin kemari," hanya itu yang bisa kuucapkan sebagai jawaban.

Ibuku akhirnya menganggukkan kepalanya, kemudian beranjak masuk ke dalam rumah setelah menggumamkan kata bahwa ia akan menyiapkan makan malam untukku dan Junho.

Aku membuka pintu penumpang lantas berjongkok di sisi luar kursi penumpang. Aku bisa melihat wajah Junho yang damai, kulit putihnya masih terlihat sedikit pucat, semakin menegaskan warna kulit Junho yang seperti pualam. Aku pernah menyinggungnya suatu kali, tetapi ia justru berkelakar bahwa ia lebih suka disebut sebagai si muka pantat bayi. Menurutnya itu lebih lucu dan menyerupai makhluk hidup, daripada dibandingkan dengan pualam yang merupakan benda mati. Mata sipitnya yang selalu membentuk bulan sabit favoritku juga masih terpejam meski aku sudah memandanginya lebih dari satu menit.

Pada akhirnya aku menyerah, aku tidak tega membangunkan Junho dari tidur nyenyaknya, karena aku dengar dari Minjun hyung yang dua hari yang lalu mengunjungi Junho, beberapa hari sebelum Junho akhirnya diizinkan untuk pulang dari rumah sakit ia sempat mengalami susah tidur akibat efek terapi yang dijalaninya. Jadi kubiarkan ia tetap terlelap seperti itu dan memutuskan untuk menggendongnya menuju kamar tidur tamu agar ia bisa beristirahat dengan nyaman.

*****

Hujan turun tidak lama setelah aku menidurkan Junho di kamar tidur tamu. Aku menyibak gorden kamar itu untuk melihat tetesan air hujan yang membasahi tanah kebun bunga milik ibuku. Mataku lantas tertuju pada sekelompok tanaman yang hanya memiliki daun, sama sekali tidak berbunga. Tanamam itu terletak di pojok taman diantara bunga mawar dan bunga lili favorit ibuku.

Hanya di tanaman itu, air hujan tidak mampu menunjukkan keperkasaannya. Air hujan sama sekali tak mampu membuatnya basah. Air hujan hanya akan menggelincir di atas daunnya tanpa ada setetes pun yang mampu membasahinya.

Aku menoleh ke arah Junho mengingat apa yang pernah kami lakukan bersama dan tidak terasa air mataku menetes.

Kenapa semua petaka ini menimpa Junho? Apakah Tuhan memiliki rencananya sendiri terhadap semua kesedihan yang terjadi kali ini?

Kuharap Junho bisa seperti daun talas itu, tak akan goyah meskipun air hujan terus mengguyurnya, dan membiarkannya hanya tergelincir dan jatuh menghantam tanah. Kuharap semua ini akan segera berlalu dan Junho bisa kembali berdiri tegak seperti biasanya setelah semua masalah ini, sama seperti daun talas yang kembali tegak setelah menumpahkan semua air hujan yang tertampung di atasnya.

~fin~

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
dehana
#1
Chapter 1: this was so good... semoga ga kejadian beneran yaa sama juneo, nginget gimana padatnya jadwal kerja dia sekarang kadang bikin khawatir.
ditunggu tulisan sejalnjutnyaaa thor-nim.... :)
Hottest2pmIndo
#2
Chapter 1: Akhirnya nemu jg FF karangan 2 author ternama ini (?) hahahahahahah... Syuka syuka syuka... Walaupun sedih liat nuneo gue bgitu hikkzzz...
cnnisleal
#3
Chapter 1: Aaaaaa this is sooooo heartwarming <3 <3
Cian nuneo tapi chan nya sweet geeeeets sukaaaa >.<
Ini mau dibikin cerita berchapter2 pun saya mau baca hehehe ^^
Ditunggu yaa karya2 selanjutnya author-nim :))
ovygaara
#4
Chapter 1: Aiguuuu.... Gomawooo udah disematin jd co-author... Padahal semua ide ff dr kak fitri sendiri. Aku cuman nambahin this and that dan uhlala~ jadilah syahroni #plak xD

Lanjutin berkaryanya ya kakfit~ fighthing! (ง'̀-'́)ง