Love, Dream, Reality

Love, Dream, Reality

Aku menutup pintu kamar hotelku. Lelah mendadak menghinggapi tubuhku. Masih terasa rasa sedih setelah tiga puluh menit yang lalu aku mengucapkan perpisahan dengan ayah, ibu, kakak, dan keponakanku tersayang.

Walau pun lelah, aku malah berjalan ke arah jendela bukannya merebahkan tubuh untuk melepas penat. Dari sini bandara Incheon terlihat dengan jelas. Bandara yang akan jadi saksi perpisahanku dengan negara tempat tinggalku selama 27 tahun hidupku. Besok, aku akan terbang ke Inggris, untuk bekerja sekaligus melanjutkan kuliaku di jenjang S2 setelah mendapat beasiswa dari perusahaan.

Aku sengaja memilih bermalam sehari di hotel dekat bandara, karena tempat tinggalku cukup jauh dari Incheon. Keluargaku tak bisa ikut bermalam karena besok keponakanku harus masuk sekolah untuk ujian dan karena memang aku sengaja yang minta. Aku takut kalau berpisah dengan mereka sebelum check in, aku malah menangis tersedu-sedu dan tak sanggup berpisah dengan mereka. Perpisahan tadi saja sudah cukup membuatku menitikkan air mata, walaupun aku diam-diam melakukannya.

Aku pun menolak saat teman-teman sekantorku berniat datang. Sudah, tidak perlu. Sudah cukup bagiku mengucapkan perpisahan dengan mereka di restoran favorit kami yang diakhiri dengan pesta makgeolli yang untungnya tidak membuatku mabuk.

Senyum tiba-tiba tersungging di bibirku, mengingat kelucuan teman-temanku saat di kantor. Akankah ku dapatkan teman sebaik dan semenghibur mereka di Manchester nanti? Aku harap, iya.

Manchester. Salah satu kota yang dari dulu ingin ku kunjungi. Siapa sangka aku bekerja di perusahaan asing yang berbasis di sana dan kini aku dikirim ke kantor pusat sambil belajar di universitasnya?

Manchester. Kota tempat markas klub sepak bola favoritku sejak kecil, Manchester United. Entahlah apakah aku masih layak menyebut diri sebagai seorang penggemar, karena aku sudah jarang bahkan hampir tak pernah lagi menonton pertandingan mereka. Bahkan berita tentang mereka pun baru aku baca kalau aku menemukan koran berserakan di kantor ketika jam makan siang.

Ketika berbicara tentang Manchester United, aku pasti akan terkenang masa saat aku masih SMP dan SMA, saat bola masih menjadi hidupku, saat aku belum menggilai Super Junior (ya percayalah di usia segini, aku masih menggilai idol dan menganggap Donghae oppa 'suamiku'). Semua ini akan mengingatkan pada satu nama, Kim Jongin.

Jongin adalah teman SMP dan SMA-ku. Kami lima tahun di kelas yang sama. Aku lupa apa yang membuatku dekat dengannya. Mungkin karena dia duduk di depanku waktu kelas 2 SMP atau karena urusan bola ini. Yang jelas kalau urusan bola, dia musuhku. Kami selalu punya klub berbeda untuk didukung. Di Inggris, aku sudah pasti Manchester United. Dia pendukung Chelsea. Di Italia aku suka AC Milan dan dia Juventus. Di Spanyol, dia adalah pemuja Barcelona, sedangkan aku lebih ke Real Madrid. Di Jerman, dia suka Bayern Muenchen, kalau aku apapun yang penting bukan Muenchen, yang menurutku dulu sangat mendominasi Liga Bavaria.

Kami sering begadang dan menonton bola bersama via telepon, maksudnya kami nonton di rumah masing-masing, sambil SMS-an saling mengejek kalau tim kesayangan kami kalah. Kebiasaan ngobrol tentang bola ini berlanjut saat kami kuliah, meski tak seintens sebelumnya. Aku dulu masih suka bikin status Facebook tentang bola dan dia pasti akan memberikan komentar.

Kalau urusan bola, mungkin kami berbeda. Tapi untuk urusan yang lain, beda ceritanya.

Jongin adalah pria pertama atau bahkan mungkin satu-satunya yang membuatku tahu apa itu cinta yang sebenarnya. Aku dulu menganggap kalau perasaan yang aku pendam kepada kakak kelas tampanku, Park Chanyeol, adalah cinta. Tapi Jongin menyadarkanku, kalau Chanyeol sunbae hanya sekedar crush belaka.

Entah sejak kapan aku punya rasa lebih kepada sahabatku sendiri. Yang jelas aku merasa patah hati saat waktu kelas 3 SMP, Jongin bilang dia suka Kang Seulgi, teman kami di tempat bimbingan belajar. Aku cemburu waktu itu dan untuk menutupinya, aku bilang aku cinta Chanyeol sunbae, yang sejujurnya kenal denganku pun tidak.

Aku menangis pertama kali karena pria waktu kelas 1 SMA dan air mata itu untuk Jongin. Aku tak sanggup melihat Jongin dan Seulgi senyum malu-malu saat bertemu, ya saat SMA Seulgi satu sekolah dengan kami. Aku tak terima bukan aku satu-satunya gadis yang setiap malam SMSan dengan Jongin. Aku takut, aku kehilangannya.

Tapi Jongin bukan hanya sekedar air mata pertamaku, dia juga alasan utama kenapa masa remajaku begitu indah. Aku tak tahu apa yang terjadi antara Jongin dan Seulgi, karena pada akhirnya Jongin tak pernah menyatakan cintanya. Yang selanjutnya aku tahu adalah dia menyimpan namaku di phonebook-nya sebagai My Jessica SNSD, karena waktu itu aku pernah menyebut diriku sebagai Jessica, yang disebut-sebut sebagai pacar Donghae semasa trainee. Aku kemudian tahu dia punya nomor Chanyeol sunbae dan menyimpan namanya di phonebook dengan sebutan 'Saingan'. Aku juga tahu dia menyimpan semua pesanku dalam satu folder yang diberi nama c i n t a.

Masa-masa terindah adalah saat aku kelas 1 dan 2. Pergi dan pulang sekolah selalu bersamanya. Dia rela meminjamkan jaketnya saat hujan untukku. Tak ada malam tanpa bertukar pesan dengannya. Dari bertanya sedang apa kemudian berlanjut ke hal-hal manis. Dari pesan-pesan dan telepon tengah malam itu aku tahu Jongin sudah suka aku sejak hari pertama SMP, ada janji kalau dia akan memintaku jadi pacar saat kami lulus SMA nanti, serta pengakuanku kalau di antara semua cowok di bumi dia lah yang akan aku pilih.

Jongin mengerti bahkan menerima dan hanya tertawa kalau aku sudah gila dengan para idolaku, member Super Junior. Dia rajin menemaniku saat aku latihan band untuk acara tahunan sekolah. Jongin pun ikut bangga saat peringkatku lebih tinggi dirinya. Jongin yang diam-diam suka memandangku dari tempatnya duduk di kelas.

Semua teman tahu betapa manisnya kami. Bahkan ketika aku sakit di kelas, mereka rela bertukar tempat agar Jongin bisa duduk di dekatku. Hingga para guru pun tahu ada sesuatu istimewa di antara kami, yang membuat aku dan Jongin pernah diminta presentasi tentang DNA di depan kelas bersama. Ibunya pun tahu tentangku. Setiap kali Jongin pulang terlambat, aku lah orang yang ditelepon ibunya.

Ketika kelas 3 SMA, mulai ada jarak di antara kami. Dan itu semua karena aku, bukan hanya karena kami pada akhirnya tak sekelas lagi.

Aku menghindarinya karena kakak-kakakku membaca pesanku untuk Jongin dan mereka mengolok-olokku. Aku tahu aku harusnya marah kepada kakakku, tapi nyatanya aku malah berhenti membalas pesan Jongin. Aku malah dekat dengan Sehun, sahabatnya yang juga sahabatku. Di hadapannya aku terang-terangan bilang sedang suka dengan Youngho, anak sekolah sebelah saat ada pertandingan basket di sekolahku. Aku juga menggoda adik kelasku yang ganteng, Taeyong, saat ada dia. Berbagai cara aku lakukan untuk membuatnya berpaling dariku, tapi dia tetap bertahan.

Dan puncaknya saat Jongin memintaku untuk jadi pacarnya di hari kelulusan, aku menolak, karena saat itu aku merasa aku tak lagi mencintainya. Yang aku tahu kemudian, Jongin pacaran dengan Choi Jinri, teman sekelasnya saat kelas 3 SMA, walaupun tidak lama.

Kami kuliah di tempat berbeda. Kami sama-sama meninggalkan Busan, kota tercinta kami. Jongin kuliah di Seoul National University dan aku di KAIST. Hubungan kami pun sebatas bertukar pesan di Facebook. Jongin cukup sering ke Daejeon, sekedar untuk bertemu denganku. Ya, pada akhirnya setelah putus dengan Jinri, dia masih belum menyerah padaku. Segala hal dia lakukan untuk mendapatkan hatiku lagi, mulai dari beli tiket film yang dibintangi aktor favoritku, mengajak ke restoran terbaik di Daejeon, sampai rela mengejar kereta Daejeon - Busan hanya untuk menjemputku di Stasiun Busan dan mengantarku ke rumah. Saat itu bagiku, apa yang dilakukan Jongin was so annoying dan lagipula waktu itu aku sedang dekat dengan pria dari jurusan lain di kampusku, Byun Baekhyun, yang merebut hatiku dengan kecerdasan dan kepintarannya dalam berbicara. Walau pada akhirnya, Baekhyun tak pernah memintaku secara resmi untuk jadi kekasihnya.

Hubunganku dan Jongin akhirnya makin renggang dan kami hanya saling mengirim pesan untuk mengucap ulang tahun. Setelah lulus, aku bekerja di Busan, kembali ke kotaku dan dia di Seoul. Dan pada setelah itu aku hanya tahu kabarnya dari teman-teman SMAku yang masih rajin berkomunikasi dengan Jongin.

Ah...entah bagaimana ini awalnya aku jadi teringat pada Jongin. Tiba-tiba aku merasa perlu untuk memberitahunya tentang aku dan Manchester. Aku penasaran, apa komentarnya saat tahu salah satu mimpi yang aku katakan padanya dulu, sebentar lagi jadi nyata.

Aku mengambil ponsel dan mencari nomornya. Entah sudah berapa tahun aku tak meneleponnya lagi. Tapi kata hatiku mengatakan, aku harus memberitahunya.

Aku letakkan earphone di telingaku. Satu nada dering terdengar dan di seberang sana terdengar, "Halo?"

Jongin sudah mengangkat teleponku padahal aku belum siap. Hatiku berdebar mendengar suaranya. Ya Tuhan, aku baru sadar, aku rindu suara ini. Aku menelan ludah dan menahan agar air mataku agar tak jatuh.

"H-hei," suaraku terdengar bergetar, ah aku harusnya tak begini.

"Jisoo, hai, Ya Tuhan, aku kaget kamu nelepon. Apa kabar?"

Suaranya terdengar excited. Jongin, suaramu masih seperti dulu. Aku suka mendengarnya.

"Baik. Kamu sendiri gimana?"

"Baik juga, ada apa nih kok tumben banget telepon?"

"Uhmm...aku mau minta doa restu." Aku bingung mau ngomong apa.

"Kamu...mau nikah?" Nada suara Jongin terdengar berhati-hati saat bertanya.

"Nggaklah, nikah sama siapa coba?"

"Ya pacarmulah."

"Nggak ada pacar."

"Aku sama sekali nggak percaya."

"Ya terserah kalo nggak percaya, faktanya gitu kok."

Dia tertawa. "Oke oke, terus minta doa restu apa?"

"Sebenernya aku mau pamer juga sih ini selain minta doa."

"Hmm apa emangnya?"

Aku jadi tertawa, membayangkan wajah penasarannya. "Aku dapat beasiswa dari kantor. Besok mau berangkat ke Manchester. Aku mau kuliah S2 di sana," kataku mantap.

Dia terdiam sejenak. "Serius? Beneran?"

"Iya. Aku serius."

"Astaga. Wow. Jisoo, selamat. Aku ikut seneng banget ini."

Reaksinya seperti yang aku duga, Aku bisa mendengar ketulusan di suaranya. "Hehe iya, makasih."

"Beneran astaga, mimpi kamu terwujud dong ya? Abis itu bisa keliling Eropa seperti yang kamu mau."

"Doain ada uang aja biar bisa jalan-jalan."

"Gimana ceritanya kamu bisa dapet beasiswa?"

"Kamu pasti tahu dong aku dari dulu jago bahasa Inggris dan ada darah Royal Family Inggris?"

"Tetep ya narsisnya. Tapi iya sih kamu dulu emang paling pinter dan suka ngasih contekan."

Aku tertawa, dia juga.

"Ini kamu ngapain? Packing?" Jongin tanya lagi.

"Udah dari tadi packingnya. Ini lagi deg-degan aja rasanya mau ninggalin Korea."

"Kamu di mana sekarang?"

"Aku lagi di hotel depannya bandara."

"Sama keluarga kamu ya?"

"Mereka udah balik ke Busan. Aku nggak mau soalnya besok dianter, takut nangis."

Dia tertawa lagi. "Emang besok flight-nya jam berapa?"

"Jam 5 sore."

"Ooh..."

Tiba-tiba aku bingung mau bicara apa lagi. Terlalu banyak yang ingin aku katakan padanya, sampai aku bingung mulai dari mana.

"Udah dulu ya, aku ngantuk nih." Pada akhirnya, aku malah bilang begini.

"Oh iya, hati-hati ya besok. Semoga lancar dan sekali lagi selamat. Aku bener-bener ikutan seneng."

"Iya makasih banget. Malem ya selamat tidur, maaf ganggu cuma buat pamer."

"Nggak apa-apa, makasih malah masih inget aku sebelum kamu berangkat."

"Hmm iya, bye ya."

"Bye, Jisoo."

Aku menutup telepon. Menghela nafas panjang. Merebahkan tubuh di ranjang. Menutup mata, berharap semua kenangan tentang Jongin segera menghilang dari otak

---


Sudah sejam yang lalu aku keliling bandara, sebenarnya mau check in, tapi masih mau menikmati suasana Incheon dulu. Masih belum sanggup berpisah dengan Korea. Aku bersiap masuk ke Lotte Duty Free, saat ponsel di saku jaketku bergetar dan aku nyaris terkena serangan jantung saat melihat nama Jongin di layar.

Ada apa? Kenapa dia meneleponku?

"Halo?" Aku berharap detak jantungku terdengar di telepon.

"Jisoo, udah check-in?"

Aku mendengar deru nafas memburu di telepon. "Belum masih pengen keliling bandara dulu."

"Terus kamu di mana ini?"

Aku heran dengan pertanyaannya. "Di bandara lah."

"Iya tepatnya di sebelah mananya?"

"Di Lotte Duty Free...." jawabku masih heran.

Aku mendengar Jongin menutup panggilan teleponnya, membuatku makin keheranan.

"Jisoo."

Aku terlonjak kaget saat sebuah suara memanggilku dari arah belakang. Dan ketika berbalik, aku kehilangan kata-kata saat melihat Kim Jongin di hadapanku. Dia tersenyum-senyum menikmati keterkejutanku melihatnya yang hadir tiba-tiba di hadapanku.

"Kamu ngapain di sini?" Aku bertanya penuh kebingungan.

"Sahabatku mau ke Manchester meraih mimpinya, masa aku cuma ngucapin selamat tinggal via telepon?" Katanya dengan rona wajah menggoda.

"Aish, padahal aku nggak mau ngucapin selamat tinggal ke siapa-siapa nih ah," aku pura-pura marah.

Jongin tertawa. Sungguh dia memang terlihat paling tampan kalau tertawa begini.

"Kamu sendiri?" Aku tanya, masih belum sepenuhnya sadar dari rasa kaget.

"Iya. Kamu mau ke Lotte Duty Free beli apa?"

"Cuma mau lihat-lihat aja sih tadi."

"Ngobrol-ngobrol di StarBucks yuk, aku traktir."

"Boleh. Tapi aku aja yang traktir, kayaknya aku nggak pernah nraktir kamu kan?"

"Ya memang, kamu dari dulu kan emang pelit kalo sama aku."

Aku refleks memukul lengan Jongin, kebiasaanku dari dulu. "Enak aja kalo ngomong."

Jongin cuma meringis kemudian menarik koperku. "Sini aku yang bawa. Nggak tega aku lihat kamu yang kurus kering bawa koper segede ini. Lagian kamu dari dulu kurus terus gini ya?"

"Eh aku ini kayak Yoona, kurus tapi kuat." Aku manyun.

"Masih aja kamu nih ngurusin idol."

"Masih dong. Aku masih menunggu Donghae oppa nih."

"Hmm masih dia ternyata? Tapi kamu akhirnya lihat konser Suju ya setelah bertahun-tahun dilarang. Selamat lho!"

"Iya ya akhirnya berhasil juga aku."

Pada akhirnya Jongin setengah memaksa merebut koperku dan mulai menggiringnya, sambil jalan beriringan menuju Starbucks. Kami terdiam sampai akhirnya tiba di depan counter dan Jongin bilang dia terserah aku pesan apa, karena dia suka semuanya. Sayangnya kami tidak dapat tempat duduk di kedai kopi modern ini, jadi aku menawarkan untuk duduk di bangku kosong di depan lounge check-in.

Kami duduk dengan tenang, sambil menikmati es cappuccino di tangan masing-masing. Melihat Jongin di sampingku, aku jadi teringat kabar itu. Kabar yang aku dengar sebulan yang lalu saat tak sengaja bertemu Sehun di sebuah swalayan dekat kantor. Kabar yang membuatku bingung dengan apa yang aku rasakan. Kabar itu adalah pernikahan Jongin.

Ya Jongin akan menikah dua bulan lagi dengan kekasihnya sejak masa kuliah, Jung Soojung. Jongin pacaran dengan Soojung di semester 4, beberapa hari setelah ulang tahunku yang ke-20.

Aku ingat betul dia meneleponku tengah malam untuk mengucapkan ulang tahun dan saat itu dia tahu di tengah pembicaraan kami terdengar nada berkali-kali yang menandakan aku dapat banyak pesan. Saat dia bilang aku dapat pesan, aku mendengar nada menyerah dalam suaranya. Di kemudian hari aku menyadari, malam itu Jongin tak hanya sekedar memberiku ucapan selamat, tapi juga ingin menyiratkan pamit kalau dia ingin membuka lembaran baru dengan gadis lain.

Beberapa hari setelah itu, aku lihat status Facebook-nya berubah. Dia terlihat bahagia dengan foto-foto bersama Soojung. Waktu itu aku merasa lega dia punya pacar, sehingga Jongin tak akan berharap lagi padaku. Saat itu aku yakin Soojung pasti hanya sementara, seperti halnya Seulgi dan Jinri. Tapi aku salah dan hatiku tiba-tiba remuk saat tahu orang yang bersanding di foto kelulusannya adalah Soojung, bukan aku.

Saat itulah aku tersadar, Jongin bukan hanya sekedar cinta remajaku. Dialah cinta sejati pertamaku. Aku teringat perjuangannya untuk mendapatkan hatiku yang aku sia-siakan. Aku ingat bagaimana dia membuat hatiku berdebar dan tersenyum sebelum tidur lewat pesan-pesan manisnya. Sayangnya aku sadar kalau Jongin adalah satu-satunya pria yang mengerti aku dan kegilaanku, setelah semuanya terlambat.

Kini pria yang telah memberiku sejuta rasa sedang duduk di sampingku. Dan aku tak ada alasan untuk tidak memberinya selamat.

"Aku dengar dari Sehun kamu mau nikah. Selamat ya." Aku tersenyum, sungguh senyumku tulus.

Dia mengalihkan pandangan padaku. "Iya makasih ya."

"Maaf nggak bisa datang. Kalau tahu kamu mau ke sini tadi, pasti aku beliin kado dulu. Atau kamu mau angpao aja?"

Dia terbahak-bahak. "Nggak usah, cukup doain aja aku bahagia."

"Itu pasti aku doain. Kamu pasti bahagia. Harus bahagia pokoknya."

Jongin terdiam. Aku lihat tangannya mencengkeram cup kopinya lebih erat. "Jisoo, aku boleh nanya sesuatu?" Katanya sambil menatap mataku.

Ada sesuatu di matanya. Entah apa, tapi sudah cukup membuatku menahan nafas. "Apa?"

"Dulu...saat kita...bisa dibilang saat masih sering sama-sama, pernah nggak sih kamu biarpun cuma sebentar saja, cinta beneran sama aku?"

Kami saling bertatapan sebentar, sebelum aku memutuskan untuk melihat cup kopi di tanganku, agar dia tidak melihat mataku yang berkaca-kaca. Mungkin inilah saatnya bagiku untuk mengatakan padanya segala hal yang selama ini aku pendam. Aku menenangkan hati, tapi masih tak sanggup untuk melihatnya.

"Aku dulu cinta banget sama kamu. Aku...sadar aku cinta kamu setelah semuanya terlambat. Bahkan detik ini, aku masih cinta kamu."

Air mataku menetes tanpa aku sadari. Tiba-tiba aku jadi sulit bernafas, tapi aku buru-buru menahan semua rasa sakit ini karena aku ingin Jongin tahu semuanya.

"Maaf, aku dulu terlalu naif dan egois, nggak tahu bagaimana menunjukkan rasa sayang. Saat SMA, kakak-kakakku yang menyebalkan baca pesan kita dan selalu mengolok-olokku. Aku kesal sama mereka dan aku tiba-tiba merasa ini salah kamu. Ini yang membuat aku menjauhimu. Maaf juga aku sudah sering nyakitin kamu dulu. Kamu rela jauh-jauh ke Daejeon buat aku, tapi aku malah nganggep kamu nggak ada dan malah lebih milih orang lain yang pada akhirnya cuma memberiku harapan palsu. Maafin aku, aku bener-bener minta maaf buat semuanya."

Aku memberanikan diri menatap wajahnya dan hatiku semakin hancur saat melihat matanya berkaca-kaca. Aku melanjutkan kata-kataku dengan air mata berlinang dan terisak.

"Aku ngomong begini sumpah nggak ada maksud lebih, aku cuma mau kamu tahu perasaanku. Aku cuma mau kamu maafin semua salahku. Aku bener-bener tulus ingin kamu bahagia. Aku seneng kalau kamu kamu juga seneng, sungguh. Jadi aku mohon, maafin aku."

Jongin meletakkan cup coffe kami di bawah bangku tempat kami duduk. Setelah itu dia menggenggam kedua tanganku erat. Dia tak peduli tanganku yang basah dan dingin, kebiasaanku kalau sedang menangis dan berdebar.

"Jangan minta maaf, Jisoo. Tolong nggak usah merasa bersalah begini. Aku udah nggak peduli lagi itu semua. Cukup bagiku, aku tahu kamu pernah sayang sama aku. Terima kasih udah bikin cinta pertamaku bukan cinta bertepuk sebelah tangan. Dan harus kamu tahu, sampai kapanpun aku janji, aku nggak akan pernah lupa sama kamu. Sampai kapanpun, selalu ada tempat di hatiku buat kamu. Jadi aku mohon, kamu harus bahagia ya, bikin aku nggak sia-sia udah rela melepas kamu. Kamu juga harus jadi orang hebat, biar aku bangga udah pernah dicintai oleh orang sehebat kamu."

Ya Tuhan, Jongin menangis dan aku tak tahu harus bicara apa lagi dengan kebaikan hatinya. Jongin lalu memelukku dan aku pun tak bisa menahan air mataku lagi. Aku menangis tersedu-sedu di pelukannya dan aku pun mendengar isakan tangisnya. Aku tahu air mata ini tak akan bisa membuatnya kembali, tapi justru ini tanda kalau dia bukan untukku. Tapi bagiku air mata ini air mata bahagia karena kesalahpahaman di antara kami sudah tak ada lagi.

Di tengah-tengah sedu sedan itu, aku berbisik padanya, "Terima kasih, udah bikin masa remajaku indah."

Dan Jongin memelukku makin erat.

-----


Pesawatku sedang berjalan, bersiap take off. Aku melihat ke luar jendela, bukan hanya karena malu dengan orang di sebelahku gara-gara mataku yang sembab, tapi juga hatiku masih terasa mellow dengan semua yang baru saja aku alami.

Dan ketika pesawat mulai terbang aku menutup mata.

"Selamat tinggal ayah. Selamat tinggal ibu. Selamat tinggal, Korea. Selamat tinggal, Jongin. Sampai jumpa lagi di saat aku lebih bahagia dari hari ini."

---end---

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet