Chapter 1

A Tale of Two Brothers
Please Subscribe to read the full chapter

Wooyoung mendesah pelan begitu melihat ibunya sedang menjemur pakaian di belakang rumah sederhana mereka. Ia langsung memakai sandal jepitnya dengan cepat dan segera membantu Ibunya.

“Apa lagi yang kau lakukan sih, umma?” Wooyoung bertanya dengan nada kesal.

“Tentu saja menjemur pakaian, apalagi yang kau harapkan.” Ibunya tersenyum tipis.

“Aku sudah mengatakannya padamu, Umma. Biarkan aku saja yang melakukan pekerjaan rumah. Kenapa Umma masih tidak mendengarkan juga?”

“Kalau kau semua yang mengerjakan pekerjaan rumah, lalu apa yang akan umma lakukan?”

“Tentu saja kau harus istirahat dan lekas sembuh!”

Woyoung membanting pakaian yang sempat ia pegang. Ibu Wooyoung terdiam sesaat kemudian kembali sibuk menjemur pakaian.

“Sebaiknya kau segera makan, Wooyoung-ah. Umma tidak ingin kau sakit.”

Suara Ibu Wooyoung terdengar parau. Begitu mendengar perkataan Ibunya, Wooyoung kembali memungut pakaian yang sempat ia banting lalu menjemurnya ke tali jemuran.

“Aku juga tidak ingin Umma sakit. Aku akan berangkat ke Seoul sebentar lagi. Kalau Umma sakit, siapa yang akan menjaga Umma?” Balas Wooyoung.

Mereka berdua pun terdiam hingga terdengar suara pintu yang dibuka dengan keras.

“Hyejin! Hyejin! Aku lapar.”

“Ayahmu sudah pulang, Wooyoungie. Kau lanjutkan pekerjaan ini, ya. Umma akan mengambilkan makanan buat ayahmu terlebih dahulu.”

Hyejin, Ibu Wooyoung segera menghilang dari pandangan Wooyoung. Wooyoung menatap pria yang tengah duduk di meja makan itu. Ia memegang sebotol soju. Wajahnya sedikit memerah. Wooyoung yakin pria itu tengah mabuk. Merasa tengah dipandangi dengan intens, pria itu menoleh dan beradu pandang dengan mata Wooyoung. Segera mungkin Wooyoung membuang pandangan ke arah lain.

“YA! Ada masalah apa kau denganku?” Tanya pria itu dengan suara lantang.

Wooyoung mendecih. Pria itu tidak terdengar sedang bertanya, tetapi terdengar seperti orang yang mengancamnya dan mengajak untuk berkelahi. Wooyoung menoleh lagi dan melihat Ibunya yang meletakkan piring di depan pria itu. Wooyoung tertawa kecil melihat pria itu makan. Pria itu makan seperti babi. Tubuhnya saja besar, pikir Wooyoung. Wooyoung segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum Ibunya memanggilnya.

“Makanlah bersama kami, Wooyoung-ah.” Kata Ibu Wooyoung begitu melihat Wooyoung mengangkat piringnya.

“Aku akan makan di kamar saja, Umma.”

“Ya ya pergilah sana!” Usir pria itu sebelum Ibu Wooyoung sempat berkata.

Wooyoung menatap pria itu kesal dan mendecih, “seharusnya kau saja yang pergi. Dasar babi!”

“Mwo?! Apa yang kau katakan anak brengsek?”

Pria itu menggebrak meja dengan keras, membuat piringnya sedikit terangkat lalu kembali ke posisi semula di atas meja. Melihat kejadian itu, Hyejin segera mengelus pundak pria itu.

“Sudah yeobo, Wooyoung tidak sengaja,” katanya sambil menenangkan, “Wooyoung-ah, cepat kembali ke kamarmu.”

***

Nickhun menggeliat dalam tidurnya saat dirasakannya sinar matahari menerpa wajahnya. Ia membuka matanya perlahan dan merasakan lengan kirinya yang terasa sedikit kram. Ia menoleh dan mendapatkan adik laki-lakinya yang tidur dengan tenang tanpa sedikitpun terganggu dengan sinar matahari yang juga menerpa wajahnya. Nickhun melindungi wajah adiknya menggunakan tangannya karena tak ingin adiknya merasa panas. Ia memandangnya dengan senyum tipis di bibirnya.

Tak lama kemudian pelaku yang menindih lengan kiri Nikchun itu membuka matanya. Mata sipitnya semakin terlihat sipit begitu ia melihat Nickhun yang menatapnya dengan mata besarnya.

“Hyung,” panggilnya dengan suara serak, suara khas orang yang baru bangun tidur.

“Bagaimana tidurmu tuan putri, apakah nyenyak?”

“Ya.. aku bermimpi mendapatkan ponsel baru darimu, hyung.”

“Ah kau pasti sedang mengada-ada.” Ucap Nickhun tak percaya.

Ia hanya tertawa mendengar jawaban Nickhun sambil kembali memejamkan kedua matanya.

“Aish Junho, kenapa kau tidur lagi?” Keluh Nikchun.

“Aku masih mengantuk, hyung.” Junho menjawab sambil tersenyum.

“Jika kau masih ingin tidur, bisa kah kau memindahkan kepalamu ke bantal yang lebih empuk, Junho?”

Pertanyaan Nickhun sukses membuat kedua mata Junho kembali membuka. Begitu ia sadar tengah tidur di lengan Nikchun, ia tersenyum malu.

“Hehe maafkan aku, hyung. Aku tidak sadar.” Junho bangun dari tidurnya.

“Tanganku sekarang kesemutan.”

Nickhun meregangkan tubuhnya.

“Ah hyung, kata Chansung, kalau kita kesemutan berarti kita sedang dihantui oleh roh-roh semut yang telah kita bunuh.”

“Mwo? Mitos dari mana itu?”

Nikchun menatap Junho dengan tatapan aneh.

“Entahlah hyung, kan itu kata Chansung.”

“Kau ini masih saja mudah dibohongi oleh Chansung.”

Nickhun menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil.

“Tentu saja aku tidak percaya dengan Chansung pabo itu hyung. Aku kan hanya bercanda.”

“Baiklah. Junho, hyung haus. Bisa kau ke dapur untuk ambilkan hyung minum?” pinta Nickhun.

“Tidak mau. Kau kan punya kaki hyung bisa pergi sendiri ke dapur.”

“Kalau begitu kau pergi ke kampusmu sendiri ya Junho, kau kan punya kaki.” Balas Nikchun tak mau kalah.

“Mwo kenapa kau mengancamku hyung?” Tanya Junho tak terima.

“Makanya kau jangan melawan sama almighty hyung, Junho.”

Junho mendesah pelan. Ia bangkit dari ranjang Nikchun dan berjalan menuju dapur. Nickhun tersenyum menang dan Junho mengaku kalah.

***

Wooyoung memasukkan beberapa lembar pakaiannya ke ransel saat Ibunya masuk ke kamarnya. Ia membawakan segelas susu hangat untuk Wooyoung.

“Berapa lama kau akan tinggal di Seoul, Wooyoung-ah?” Tanya Ibunya terdengar sedih.

“Lusa aku akan pulang, umma. Aku ka

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
tcha0304 #1
nado..... di tunggu kelanjutannya
ovygaara
#2
Chapter 1: Aaaaakkkk.... kapan ini dilanjut thorniiimmmm.... duo twins jd sodara lagii... yeayyy.... suka sama gaya tulisannya. Deskripsi juga bagus. Alurnya rapi. Ditunggu chap selanjutnya... fighthing! ^^