BAB 9
Spring in LondonBAB 9
Ketika pulang malam itu, Changmin menemukan flat dalam keadaan kosong. Chris dan Julie belum pulang. Changmin mendesah dan berjalan ke dapur. Tidak ada Chris berarti tidak ada makan malam. Ia meletakkan tas besarnya ke atas meja dapur dan membuka kulkas. Ia menemukan cottage pie yang sudah dimakan setengah. Entah milik siapa, tapi Changmin tidak peduli. Tidak ada catatan yang tertempel di sana yang menyatakan bahwa cottage pie itu tidak boleh dimakan. Lagi pula Changmin lapar. Ia memasukkan cottage pie ke dalam microwave, lalu meraih tasnya dan masuk ke kamarnya.
Empat puluh menit kemudian ia sudah selesai mandi, keramas, dan duduk di depan televisi di ruang tengah sambil melahap cottage pie-nya. Tayangan berita di televisi tidak berhasil menarik perhatiannya. Pikirannya selalu kembali kepada kejadian siang tadi dan tanpa sadar ia menusuk cottage pie-nya dengan tenaga yang lebih besar daripada yang diperlukan.
Tiba-tiba ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi dan lamunannya buyar.
Alisnya terangkat ketika membaca nama yang muncul di layar. “Apa?” katanya singkat setelah ponsel ditempelkan ke telinga.
“Kenapa kau marah-marah padaku?”
Waluapun Changmin tidak menyadarinya, tetapi kini hanya mendengar suara Yunho saja bisa membuat sudut-sudut bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman. Seperti sekarang.
“Aku tidak marah,” kata Changmin, mencegah senyumnya terdengar dalam suaranya.
“Kukira kau rindu padaku.”
Changmin mendengus. “Aku sudah pasti tidak rindu padamu.”
“Kalau begitu kau mau aku menutup telepon?”
“Kenapa Hyung meneleponku?”
Yunho tertawa, lalu berkata, “Ada yang ingin kukatakan padamu.”
“Apa? Katakan saja.”
“Sekarang kau ada di rumah?”
“Mmm.”
“Aku ingin kau melihat ke luar jendela. Ada sesuatu di sana.”
Changmin mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Jangan menakutiku, Hyung.”
“Tidak, tidak. Justru yang akan kaulihat itu akan membuatmu gembira. Lihatlah ke luar jendela.”
Changmin berdiri dan berjalan ke jendela. “Apa yang harus kulihat?” tanyanya sambil menyibakkan tirai dan mendongak menatap langit gelap di atas sana. Tetapi tidak terlihat apa pun. Bintang pun tidak ada. “Tidak ada apa-apa, Hyung. Memangnya menurutmu langit yang hitam bisa membuatku gembira?”
“Itu karena kau melihat ke arah yang salah,” kata Yunho.
“Apa?”
“Lihat ke bawah.”
Changmin menunduk menatap jalan di bawah sana dan matanya langsung melebar melihat Yunho berdiri di trotoar di depan gedung flatnya. “Oh, dear,” gumamnya tanpa sadar.
Yunho tersenyum lebar dan mengangkat tangannya yang tidak memegang ponsel. “Halo, Changminnie. Kau gembira melihatku, bukan?” katanya.
Changmin mendesah berat, namun ia tidak bisa mencegah dirinya tersenyum. “Yunho Hyung, sedang apa kau di situ?”
“Temanmu ada di rumah?” tanya Yunho.
“Tidak. Mereka belum pulang.”
“Kalau begitu kau bisa turun sebentar?”
Changmin tahu kenapa Yunho tidak memilih naik ke flatnya. Walaupun mereka berteman baik dan Changmin tidak menganggap Yunho sama dengan laki-laki lain, sepertinya Yunho tahu Changmin masih merasa tidak nyaman apabila berdua saja dengannya di dalam ruangan tertutup. “Tunggu di sana,” kata Changmin ke ponselnya. “Aku akan segera turun.”
Tidak lama kemudian mereka sudah duduk di ayunan di taman bermain anak-anak yang tidak jauh dari flatnya. Yunho merogoh saku jaketnya dan mengulurkan sehelai saputangan kepada Changmin. “Aku datang ke sini untuk mengembalikan ini,” katanya.
Changmin menerimanya dengan kening berkerut heran. “Ini bukan milikku.”
“Memang bukan. Itu milik temanmu, Jaejong,” kata Yunho. “Dia meninggalkannya ketika kami makan siang tadi.”
Changmin mengeluarkan suara yang terdengar seperti dengusan dan tawa pendek. “Aku tidak percaya ini. Dia memakai taktik saputangan,” gumamnya lirih.
“Apa katamu?”
“Tidak apa-apa,” kata Changmin cepat. “Lalu kenapa Hyung tidak mengembalikannya sendiri kepadanya? Aku yakin itu yang diinginkannya.”
“Aku pasti sudah melakukannya kalau aku tidak menghilangkan nomor teleponnya,” sahut Yunho ringan.
Changmin berdeham pelan. “Makan siang kalian menyenangkan?”
Yunho mengangguk. “Tentu saja.”
“Aku yakin begitu,” kata Changmin, tidak sanggup menyingkirkan nada tajam dalam suaranya. Lalu ia melirik Yunho dan menambahkan, “Ngomong-ngomong, dia juga tertarik padamu, Hyung.”
“Oh ya?”
“Dia mencekokiku dengan ratusan pertanyaan tentangmu setelah kami bertemu denganmu ta
Comments