Although with(out) You

Although with(out) You

Henry’s POV

                Rupanya malam sudah kembali datang. Dan aku baru saja sampai di sebuah kota yang begitu banyak menyimpan kenangan-kenangan yang sempat ku ukir bersama dengan orang-orang terdekatku, termasuk dengan salah seorang gadis yang sanggup meruntuhkan keangkuhanku dan merenggut seluruh perhatianku hanya dengan ia menyunggingkan sebuah senyuman yang masih terlukis dengan jelas di bayang kenanganku.

 

                Ku langkahkan kakiku menuruni sebuah bus yang ku naiki dari daerah Incheon itu. Ku edarkan pandanganku ke sekitar yang tampak gelap karena sang malam telah kembali datang menyelimuti sebuah kota bernama Seoul ini. Tampak tidak begitu ramai. Mungkin karena mulai memasuki musim dingin, sehingga orang-orang lebih memilih untuk diam di rumah mereka menghangatkan diri dan menghangatkan suasana bersama orang-orang terkasih mereka. Uh, sungguh membuatku iri. Namun ketika ku alihkan tatapanku pada langit yang menaungi kota Seoul malam ini, sungguh sepi dari bintang dan bulan yang biasanya bertaburan mencoba memberikan sedikit penerangan di sela-sela gelapnya malam.

 

                Kembali ku lanjutkan langkahku. Selama kaki ini terus melangkah, mataku tak terlepas dari pemandangan-pemandangan sekitarku yang menyimpan begitu banyak kenangan ini. Ini tentu saja membuatku terpikirkan, seandainya saja dia, gadis itu, ada di sampingku ketika aku menelusuri jalanan ini menemaniku dan menghangatkan suasana dengan canda-tawa dan gurauan-gurauan manjanya yang semakin membuatku merindukannya. Tapi sayangnya, pada kenyataannya, ia tak lagi berada di sampingku.

 

                Tanpa ku perintahkan, langkah kaki ini terhenti di depan sebuah café. Sebuah tempat yang biasa ku gunakan bersamanya untuk menghabiskan waktu bersama ketika aku membuat janji dengannya di akhir pekan atau di waktu senggang ketika aku sangat merindukannya. Benar, hal pertama yang ku lakukan ketika merindukannya adalah dengan memintanya bertemu.

 

 

Flashback…. 

                “Ah, lihatlah krim cappuccino itu,” ucapnya seraya menyunggingkan sebuah senyuman yang begitu indah di mataku.

 

                Akupun menatap diriku di sebuah kaca yang tembus pandang dan menampilkan sebuah pemandangan kota Seoul yang hangat itu. Di kaca tersebut, aku masih bisa melihat bayanganku meskipun samar. Rupanya benar, krim cappuccino itu dengan sempurna menempel di bagian bibir atasku.

 

                “Kenapa malah mentertawakanku bukannya membersihkannya?” tanyaku.

 

                “Bersihkan saja sendiri,” jawabnya seraya menunjukkan ekspressi wajah dinginnya.

 

                “Tapi aku ingin kau yang membersihkannya,” ucapku.

 

                “Shirheo[1]!” ucapnya.

 

                “Seperti salah satu scene di drama Secret Garden itu…”

 

                Aku sengaja menggodanya. Setelah ini pasti wajahnya mulai bersemu merah karena malu. Aku sangat menyukai ketika wajah putihnya berubah bersemu merah. Manis sekali.

 

                “Baiklah…” ucapnya.

 

                OH! Sebuah jawaban yang tak pernah ku duga. Bahkan kali ini wajahnya tidak menampakkan semu merah yang ku sukai.

 

                “Tapi kau harus memejamkan matamu,” pintanya.

 

                “Baiklah!” jawabku seraya memejamkan mataku.

 

                Ada sebuah rasa antusias dalam benakku, sehingga ketika mendengar permintaannya, aku langsung menurutinya. Ah, dia akan menghapus krim cappucinno ini dari bibirku dan itu artinya untuk pertama kalinya aku bisa menciumnya. Tapi kenapa aku hanya merasakan sebuah kertas lembut yang menyentuh bibirku.

 

                “Selesai,” ucapnya.

 

                Akupun membuka mataku dan ku temukan tangannya menggenggam sebuah kertas bernama tissue. Jadi rupanya ia menipuku. Oh baiklah, kali ini aku maafkan. Meskipun aku kecewa karena sebuah hal yang sangat ku harapkan belum bisa ku dapatkan, padahal aku juga ingin seperti pasangan lainnya.

Flashback END…

 

 

                Bayangan salah satu kenangan manis dengannya masih tergambar dengan jelas di benakku. Seandainya saja aku masih bersamanya, pasti saat ini juga aku akan menghubunginya dan memintanya untuk bertemu di café itu.

 

                Kembali ku lanjutkan langkahku, meninggalkan sebuah café yang menyimpan kenangan manis yang tak mungkin begitu saja ku lupakan. Sebuah kenangan yang teramat berharga, dimana hampir seluruh waktuku bersamanya ku habiskan di café itu. Namun rupanya langkah kaki ini menuntunku ke sebuah taman. Sebuah tempat yang membuatku semakin menginginkannya untuk berada di sampingku saat ini juga.

 

 

Flashback…

                Ku genggam dengan erat tangan mungilnya yang hangat, seolah aku tak ingin melepaskannya lagi. Sementara langkah kakiku dan langkah kakinya berjalan beriringan hingga langkah kaki kami terhenti di sebuah taman.

 

                “Kaja…[2]” ucapnya sambil menarikku.

 

                Rupanya ia ingin menaiki sebuah ayunan. Ia duduk di ayunan berwarna kuning itu, lalu memberikan isyarat padaku untuk mendorongnya. Sebuah hal yang paling tak bisa ku lakukan adalah menolak setiap permintaanya. Maka, aku pun berdiri di belakangnya dan mulai mendorong ayunan yang ia naiki. Ternyata apa yang ku lakukan tidak begitu sia-sia, karena dengan aku menuruti permintaannya, aku bisa melihat wajah cerianya menyunggingkan sebuah senyuman dan bisa mendengar tawanya yang ceria.

 

                “Ah, jangan terlalu kencang,” teriaknya ketika secara tak sengaja aku mendorongnya terlalu kencang karena kesadaranku hanya di penuhi oleh tawa ceria dan senyumannya membuatku seolah lepas kendali.

 

                “Mianhae…[3]” ucapku.

 

                Akupun berhenti mendorongnya, bahkan aku menghentikan ayunan itu. Ku lihat ia menoleh dan menatapku.

 

                “Wae?[4]” tanyanya.

 

                Tapi aku tak ingin menjawab pertanyaannya, yang ku inginkan saat ini adalah memeluknya. Aku pun memeluknya dari belakang. Ku rasakan tangan mungilnya mengusap tanganku, ketika kedua tanganku itu ku lingkarkan di lehernya, mendekapnya dengan hangat seolah aku tak ingin melepaskannya lagi, seolah aku tak mengizinkannya untuk pergi meninggalkanku apapun alasannya.

Flashback END…

 

 

                Ku sentuh tali ayunan berwarna kuning itu dan mulai mendorongnya meskipun tak ada dia yang sedang menaiki ayunan itu. Ku sadari sebuah senyuman tersungging dari wajahku, meskipun tak dapat di pungkiri juga bahwa mataku tak sejalan dengan bibirku. Mata ini justru berkaca-kaca bahkan ku rasakan ia mulai memanas, seolah buliran bening itu kian mendesak untuk mengalir dan membasahi pipiku. Begitu juga dengan hatiku. Seolah ada 2 kubu yang tengah berperang dengan hebat di dalamnya. Karena ketika ku putar kembali kenangan bersamanya, ada sebuah perasaan bahagia karena aku beruntung sempat bersama dengan gadis yang teramat berarti itu, tetapi juga ada sebuah rasa sedih ketika ku sadari bahwa gadis itu tak lagi bersamaku. Hingga akhirnya, tanpa bisa ku tahan lagi, buliran bening itu berhasil menuruni pipiku dan membentuk sebuah sungat kecil di wajahku.

 

                “Bogoshipeo…[5]” gumamku.

 

                Aku pun terduduk di ayunan itu. Semakin aku teringat tentangnya, semakin rasa sesak ini menyeruak dalam batinku. Bahkan rasa sesak ini kian menjalar, membuatku kesulitan untuk bernapas. Hingga ku rasakan angin berhembus menerpak, namun angin itu terasa hangat bagiku. Bahkan aku merasakan seolah ada yang memelukku dari belakang ketika angin itu berhembus. Seolah ada yang mendekapku dari belakang. Membuatku terpikir bahwa ia ada di sini, menemaniku dan memelukku seperti aku memeluknya saat itu. Namun saat ku arahkan tanganku pada leherku, tangan itu tak ada. Tak ada tangan yang memelukku dengan hangat. Dia tak ada di sini.

 

                Setelah puas menumpahkan semua rasa rinduku padanya, aku pun beranjak dari ayunan itu. Sejenak ku tatap ayunan itu, kemudian ku edarkan pandanganku ke sekitar taman itu berharap dia masih berada di jarak pandangku sehingga aku bisa menjangkaunya. Tapi yang ku temukan hanya gelap. Tak ada pertanda bahwa ia ada di sini. Kemudian kembali ku langkahkan kaki ini. Sialnya mengapa langkah kaki ini justru menuntunku ke sebuah tempat terkutuk ketika aku harus terpaksa merelakan perpisahan yang sama sekali tak pernah berani ku bayangkan itu?

 

 

Flashback…

                Aku baru saja sampai di penghujung jalanan dari arah Apgujung. Jalanan yang cukup ramai, terlebih lagi ini sudah memasuki pekan untuk merayakan tahun baru dan memasuki masa liburan. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang, membuatku kesulitan untuk menyeberang. Membuatku sedikit kesal, karena aku berniat datang ke tempat itu lebih awal untuk membelikan se-bucket bunga di toko bunga yang berada tepat di seberang jalan untuk gadis terkasihku.

 

                Meskipun kendaraan yang berlalu-lalang di hadapanku kita padat bahkan dengan kecepatan yang cukup tinggi, tapi di seberang jalan dapat ku lihat seorang gadis tengah berdiri. Seorang gadis yang selalu dapat ku temukan keberadaannya karena hatiku selalu tertuju padanya. Mendapati keberadaannya, sebuah senyuman selalu tersungging begitu saja di wajahku. Seolah dialah puncak kebahagiaanku, dialah satu-satunya yang bisa membuatku tersenyum.

 

                Jalanan di hadapanku masih padat, membuatku kesulitan untuk menghampirinya. Sialnya sebuah truk besar melintas tepat dihadapanku membuatku kehilangan sosok gadis yang selalu memenuhi ruang pikiranku itu.

 

                “Awaaasss!!!”

 

                Terdengar suara beberapa orang berteriak di seberang jalan, tapi truk yang melintas dihadapanku membuatku tak tahu apa yang tengah terjadi di seberang jalan sana.

 

                “Akhirnya…” ucapku ketika truk itu melintas.

 

                Jalanan mendadak macet dan truk itu tak lagi menghalangiku, membuatku ingin segera menyeberang untuk menemui gadis yang selalu hadir di setiap mimpi di tidurku itu. Namun mengapa yang ku lihat justru kerumunan orang-orang di hadapan sebuah mobil mewah berwarna hitam. Membuatku cukup penasaran dengan apa yang terjadi dan ku harap gadisku masih berada di tempatnya. Akupun menyeberang di sela-sela jalanan yang mulai macet itu, namun mengapa langkah kakiku justru menuntunku ke rumunan orang-orang itu.

 

                “ANDWAE![6]” teriakku ketika ku dapati orang-orang itu tengah mengerumuni seorang gadis yang tergeletak di jalanan dengan bersimbah darah.

 

                Aku pun menghampiri gadis itu dan segera memeluknya.

 

                “Bertahanlah,” ucapku seraya menggenggam tangannya.

 

                Ia hanya menatapku. Ku lihat buliran bening mulai mengalir dari mata indahnya yang selalu ku rindukan itu.

 

                “Seseorang tolong panggilkan ambulance!” teriakku.

 

                Tak ku pedulikan lagi orang-orang yang masih berkerumun itu, meskipun tak yakin ada salah satu dari mereka yang akan memanggilkan ambulance.

 

                “Bertahanlah,” ucapku seraya terus menggenggam tangan mungilnya.

 

                Tanpa ku perintahkan, rupanya buliran bening itu juga turut mengalir di wajahku. Rasa sesak dan sakit semakin mendominasi batinku saat ini. Bagaimana tidak, seorang gadis yang dengan gila begitu ku cintai penuh luka dan… ANDWAE!

 

                “Bertahanlah, jebal[7]…” ucapku.

 

                Ia hanya menggelengkan kepalanya.

 

                “Mianhae…” ucapnya.

 

                “Jebal…  ucapku.

 

                “Saengil chukhahae[8]…” ucapnya.

 

                Tidak! Aku tidak peduli lagi dengan ulang tahunku, yang ku pedulikan saat ini adalah dirimu.

 

                “Aku akan selalu mencintaimu… jebal… hiduplah dengan baik… semoga kau selalu bahagia...” ucapnya.

 

                Ku rasakan genggaman tangannya di tanganku mulai mengendur. Ku tatap wajahnya yang mulai memucat, ia tersenyum. Senyuman pahit, senyuman yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Hingga akhirnya ia menutup matanya dan kurasakan napasnya mulai terhenti.

Flashback END…

 

 

                “ANDWAE!

 

Spontan aku berteriak ketika ku ingat sebuah kenangan menyakitkan ketika aku harus melepaskan kepergiaannya dihadapanku. Aku merasa diriku terkutuk saat itu. Karena dengan bodohnya aku membiarkannya pergi. Dengan bodohnya aku membiarkan senyumannya yang manis, wajahnya yang cantik, tawanya yang ceria dan tatapannya yang sendu pergi begitu saja. Terkutuklah aku.

 

Ku sadari, buliran bening ini semakin deras mengalir dari kedua mataku. Dengan bebasnya cairan bening itu menuruni pipiku. Bahkan rasa sesak dan sakit turut menyapa batinku ketika ku ingat kedua tangan ini memeluknya untuk terakhir kalinya. Ketika tangan ini memeluk seorang gadis yang selalu membuat detak jantungku seolah tak terkendali meskipun hanya melihat senyumannya.

 

 

~~ EPILOG ~~

Benar, adalah dirimu

Gadis terbaik yang sanggup membuatku tersenyum

Bahkan semenjak kedatanganmu yang diam-diam menelusup ke dalam hatiku

Ku sadari bahwa aku merasakan sebuah kebahagiaan

Sebuah perasaan yang tak pernah ku temukan sebelumnya

Ketika tanganku menggenggam tanganmu

Ketika kakiku dan kakimu melangkah beriringan

Ketika tawa ceriamu memenuhi pendengaranku

Ketika senyuman manismu memenuhi ruang pikiranku

Dan ketika perasaanmu menghangatkan hatiku

Mengapa semuanya harus di sebut dengan kenangan?

Mengapa kau hanya hidup di dalam kenanganku?

Mengapa kau menjadi kenangan yang tak pernah dapat ku hapuskan?

Tapi meskipun semuanya tinggal kenangan, tetap percayalah pada satu hal

Bahwa aku, hatiku dan jiwaku selalu tertuju padamu

Bahkan seluruh hidup ini adalah untuk dirimu

(2013.07.13 – Henry Lau)

 

 

== THE END ==

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet