I will always by Your Side

I will always by Your Side

Author’s POV

            Sebuah pagi yang cerah kembali menyambangi kota Seoul. Dipelataran sekolah, tampak seorang gadis tengah duduk di bangku berwarna putih sambil membaca buku. Sementara itu, di kejauhan dari tempat yang cukup tersembunyi, tampak seorang pemuda tengah menatap gadis itu. Sesungging senyuman manis terukir di wajah putihnya tatkala matanya menatap sosok gadis cantik yang selalu sanggup membuat jantungnya berdebar dengan kencang itu. Ketika menangkap bahwa gadis itu mulai beranjak dari duduknya, pemuda itu pun segera pergi.

 

            Di sebuah lorong yang menghubungkan antara ruangan kelas dengan taman, tampak seorang gadis tengah berjalan dengan menggenggam sebuah buku di tangannya. Ketika gadis itu melewati lorong yang akan membawanya menuju ke kelasnya, ia mendapati seorang pemuda tengah bersandar pada tiang sambil membaca buku. Ada rasa ragu dalam benak gadis itu untuk lewat di depan seorang pemuda yang selalu sanggup menari dalam pikirannya itu. Akhirnya gadis itupun lewat di depan pemuda itu. Dengan langkah yang sedikit ragu, ia berjalan melewati pemuda itu.

****

 

 

            Suatu hari di Woolim Entertainment High School di adakan sebuah acara. Sebuah acara yang memang diadakan setiap tahun secara rutin di Woolim Entertainment High School, yaitu Student Athletic Championship yang di selenggarakan dengan mengadakan berbagai kompetisi olah raga. Mulai dari lari 70 meter, lari 100 meter, hurdle, memanah, high jump dan olah raga lainnya.

 

            Saat itu, para siswa yang menjadi peserta lomba tengah berkumpul di lapangan olah raga Woolim Entertainment High School yang di buat mirip dengan sebuah stadion berukuran sedikit lebih kecil itu. Seorang pemuda yang merupakan atlit High Jump kebanggaan kelas 3-B di jurusan Seni Musik, Lee Sung Yeol, tengah beristirahat di bawah sebuah pohon yang berada di dekat gedung Seni Musik. Namun tiba-tiba mata Sung Yeol menangkap sesosok gadis yang tengah berjalan ke tepi lapangan yang baru saja melakukan pertandingan memanah. Benar, gadis tersebut adalah Ji Hyeon, Lee Ji Hyeon, yang merupakan atlit memanah kebanggan kelas 3-A di Jurusan Perfilman. Mata Sung Yeol tak terlepas dari sosok Ji Hyeon yang selalu mengalihkan seluruh perhatiannya itu. Namun tak pernah ada keberanian dalam diri Sung Yeol untuk menyapa Ji Hyeon. (http://jh-nimm.blogspot.com)  

 

            Ketika Ji Hyeon dan teman-temannya baru saja sampai di tepi lapangan, tiba-tiba seorang pemuda datang dan memeluk Ji Hyeon dari belakang.

 

            “Myung Soo-ya…” ucap Ji Hyeon terkejut. “Kau membuatku terkejut…”

 

            “Kau terlihat sangat lelah,” ucap Myung Soo.

 

            “Lepaskan aku,” ucap Ji Hyeon seraya melepaskan tangan Myung Soo dari tubuh mungilnya.

 

            “Ige…” Myung Soo menyorokan sebotol minuman pada Ji Hyeon.

 

            “Gomawo…” ucap Ji Hyeon seraya mengambil minuman itu.

 

            Ternyata ketika Myung Soo memeluk Ji Hyeon, Sung Yeol melihatnya. Ia tampak tidak suka dengan keakraban Myung Soo dan Ji Hyeon yang memang adalah sahabat sejak kecil. Kecemburuan Sung Yeol itu tertangkap oleh Woo Hyun, sahabat terdekat Sung Yeol.

 

            “Kau cemburu?” tanya Woo Hyun yang membuat Sung Yeol sedikit terkejut.

 

            “Aniya…” elak Sung Yeol.

 

            “YA! Matamu tak bisa menyembunyikannya,” ucap Woo Hyun.

 

            “Apa maksudmu?” tanya Sung Yeol berpura-pura memasang wajah tidak terjadi apa-apa.

 

            “Kau pikir aku ini bodoh?” tanya Woo Hyun. “Aku sudah mengenalimu sejak lama dan aku tahu benar dirimu,”

 

            Sung Yeol menatap Woo Hyun, kemudian kembali mengarahkan tatapannya ke arah lain.

 

            “Tatapan matamu tampak kau ingin membunuh Myung Soo saat ini juga,” ucap Woo Hyun.

 

            Sung Yeol hanya tertawa kecil.

 

            “Kau menyukainya?” tanya Woo Hyun.

 

            “Siapa?” tanya Sung Yeol balik.

 

            “Ji Hyeon,” jawab Woo Hyun.

 

            “Kenapa kau menyimpulkan seperti itu?” tanya Sung Yeol.

 

            “Jika kau menyukainya, kenapa kau tidak mendekatinya?” tanya Woo Hyun.

 

            Sung Yeol hanya menatap Woo Hyun.

 

            “Tenang saja, aku mendukungmu,” ucap Woo Hyun seraya merangkul bahu Sung Yeol.

 

            Sung Yeol hanya tersenyum dan kembali mengarahkan pandangannya pada Ji Hyeon yang tengah bercakap dengan Myung Soo itu.

****

 

 

            Pada suatu sore, Ji Hyeon tengah menunggu kedatangan bis yang akan membawanya pulang. Namun sudah 30 menit Ji Hyeon menunggu, tapi bis tersebut tidak juga datang, sementara hari mulai gelap dan mendung. Akhirnya Ji Hyeon pun memutuskan untuk berjalan kaki. Ketika baru setengah perjalanan, ternyata hujan gerimis mulai turun. Sialnya, Ji Hyeon tidak membawa payung saat itu.

 

            “Aigoo…” ucap Ji Hyeon seraya menutupi kepalanya dengan kedua tangannya.

 

            Ji Hyeon kembali melanjutkan perjalanannya. Tapi ternyata hujan yang turun malah semakin deras. Ji Hyeon mulai kebingungan dan memutuskan untuk berteduh di pelataran toko. Namun belum sempat Ji Hyeon sampai di pelataran pertokoan, tiba-tiba hujan di sekitarnya berhenti. Ternyata ada orang yang memayungi Ji Hyeon.

 

            “Sung Yeol-sshi…” ucap Ji Hyeon seraya menatap orang yang memayunginya itu dengan heran.

 

            Sung Yeol hanya tersenyum.

 

            “Aku antarkan kau pulang,” ucap Sung Yeol.

 

            “Ne? tidak usah…” ucap Ji Hyeon.

 

            “Hujan seperti ini lama mereda, kau mau menunggu sampai reda?” tanya Sung Yeol.

 

            “Tapi…”

 

            “Gwaenchanha…

 

            Akhirnya Sung Yeol pun mengantarkan Ji Hyeon ke rumahnya. Selama di perjalanan, hampir tak ada kata yang baik Ji Hyeon atau pun Sung Yeol ucapkan. Mereka terlihat canggung. Hanya suara hujan yang jatuh ke payung warna biru yang Sung Yeol pegangi yang terdengar berisik saat itu.

 

            Tak berapa lama, mereka sampai di depan rumah Ji Hyeon.

 

            “Sung Yeol-sshi, gomawo…” ucap Ji Hyeon malu-malu.

 

            “Ah…” jawab Sung Yeol.

 

            “Hmm… apa kau mau mampir dulu sambil menunggu hujan reda?” tanya Ji Hyeon.

 

            “Tidak usah, ada yang harus aku kerjakan,” jawab Sung Yeol.

 

            “Arasseo…” ucap Ji Hyeon terdengar canggung.

 

            “Hmm… Ji Hyeon-a, bagaimana jika besok kita berangkat bersama?” tanya Sung Yeol.

 

            Ji Hyeon sedikit terkejut dengan pertanyaan Sung Yeol dan hanya menatap Sung Yeol.

 

            “Jika kau tidak mau, tidak apa-apa…” ucap Sung Yeol.

 

            “Tidak masalah, besok kita berangkat bersama…” ucap Ji Hyeon.

 

            “Baiklah, kalau begitu besok aku akan menjemputmu,”

 

            “Ne…

 

            “Sekarang kau sudah sampai, segera masuk ke dalam rumah. Jangan sampai karena terlalu lama di bawah hujan membuatmu sakit,”

 

            Ji Hyeon tersenyum mendengar setiap ucapan Sung Yeol. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

            “Gomawo…” ucap Ji Hyeon.

 

            Sung Yeol hanya mengangguk. Ji Hyeon pun masuk ke dalam rumahnya. Sementara Sung Yeol memastikan bahwa Ji Hyeon sudah benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Dari balik jendela, Ji Hyeon menatap Sung Yeol yang masih berdiri di luar dan melambaikan tangannya seraya tersenyum dan menatap Sung Yeol.

 

            “Ja…” ucap Sung Yeol seraya menatap Ji Hyeon dan melambaikan tangannya.

 

            Dari dalam rumah, Ji Hyeon terlihat mengangguk dan tersenyum. Sung Yeol pun mulai melangkahkan kakinya meninggalkan pelataran rumah Ji Hyeon.

****

 

 

            Burung-burung berkicau menambah hangatnya pagi hari yang cerah. Sinar mentari yang hangat mulai kembali menyapa seluruh kota Seoul. Di depan sebuah rumah bernuansa hijau muda, tampak seorang pemuda dengan sebuah sepeda. Tak berapa lama kemudian, seorang gadis keluar dari rumah tersebut dan segera menghampirinya.

 

            “Apa sudah lama menunggu?” tanya gadis itu.

 

            “Aniya, aku baru saja sampai,” jawab pemuda itu.

 

            “Kita…” ucapan gadis itu tertahan sambil menatap sepeda yang di bawa pemuda itu.

 

            “Naiklah…” ucap pemuda itu.

 

            Gadis itupun naik di belakang sepeda itu. Namun setelah gadis itu menaiki sepedanya, pemuda itu belum juga mengayuh sepedanya untuk berangkat.

 

            “Sung Yeol-sshi, waeyo?” tanya gadis itu.

 

            Pemuda bernama Sung Yeol itu hanya menyunggingkan senyuman kecilnya mendengar pertanyaan gadis yang selalu sanggup membuat jantungnya berdetak seolah tak terkendali itu.

 

            “Pertama, aku tidak ingin mendengarmu menyebut namaku terlalu formal. Kita adalah teman, jadi panggil namaku seperti biasa kau memanggil teman-temanmu yang lain. Arattji?

 

            Ji Hyeon terlihat sedikit bingung mendengar setiap perkataan Sung Yeol.

 

            “Sung… Yeol-a…” ucap Ji Hyeon ragu.

 

            “Joha…” ucap Sung Yeol. “Geurigo… kau yakin akan menaiki sepeda tanpa berpegangan seperti ini?” tanya Sung Yeol.

 

            “Ne?” ucap Ji Hyeon seraya menatap punggung Sung Yeol.

 

            Tanpa banyak bicara lagipun Ji Hyeon mulai melingkarkan tangan kanannya di pinggang Sung Yeol. Sementara Sung Yeol hanya tersenyum ketika Ji Hyeon berpegangan padanya.

 

            “Baiklah, kaja…” ucap Sung Yeol seraya mulai mengayuh sepedanya itu.

 

            Sung Yeol dan Ji Hyeon pun berangkat ke sekolah. Namun ketika Sung Yeol dan Ji Hyeon berangkat, tampak seorang pemuda keluar dari balik persembunyiannya. Matanya tak henti menatap Ji Hyeon dan Sung Yeol yang tengah berangkat menelusuri setiap jalanan hingga sosok Ji Hyeon dan Sung Yeol tak terlihat lagi di jarak pandangnya. Benar, pemuda itu adalah Myung Soo, sahabat Ji Hyeon sejak kecil. Namun seiring bertambahnya usia mereka, maka kata persahabatan dalam hati Myung Soo berubah menjadi sebuah perasaan yang selalu menggerogoti hatinya dan menjadikan Ji Hyeon sebagai tumpuan kebahagiaannya.

 

            “Ji Hyeon-a, apakah orang itu yang akan menggantikan posisiku di sampingmu?” gumam Myung Soo tanpa melepaskan pandangannya dari jalanan yang baru saja menghantarkan kepergian Ji Hyeon bersama seorang pemuda lain, yaitu Sung Yeol.

***

 

 

            Semenjak hari hujan ketika Sung Yeol mengantarkan Ji Hyeon ke rumah, Ji Hyeon dan Sung Yeol menjadi semakin dekat. Bahkan hampir setiap hari mereka berangkat sekolah dan pulang bersama. Terkadang Ji Hyeon dan Sung Yeol juga menghabiskan waktu mereka bersama, meskipun hanya berjalan-jalan di taman kota atau ke tempat-tempat permainan dan ke toko buku. Seiring dengan kedekatan Ji Hyeon dan Sung Yeol itu, rupanya mereka sama-sama merasakan sebuah kehangatan yang menyapa hati mereka. Sebuah kehangatan dan ketulusan yang dimana ketika mata mereka saling bertemu, mereka sama-sama menyunggingkan sebuah senyuman yang hangat dan tulus. Sebuah kehangatan yang membalut hati mereka menjadikan perasaan yang di sebut cinta mulai tumbuh dalam lubuk hati mereka.

***

 

 

            Malam itu, Sung Yeol sengaja mengajak Ji Hyeon berjalan-jalan. Karena kebetulan keesokan harinya hingga beberapa minggu ke depan, sudah memasuki musim dingin dan sekolah sudah mulai diliburkan. Rupanya Sung Yeol mengajak Ji Hyeon untuk berjalan-jalan di sekitar Sungai Han.

 

            Sudah 30 menit Sung Yeol dan Ji Hyeon berjalan-jalan di sekitar Sungai Han, namun belum ada sepatah kata yang baik Sung Yeol ataupun Ji Hyeon ucapkan. Mereka terlarut dalam kediaman. Meskipun hampir setiap hari Ji Hyeon dan Sung Yeol bersama, namun malam ini terasa ada sebuah kecanggungan antara mereka.

 

            Ji Hyeon dan Sung Yeol hanya saling menatap.

 

            “Ji Hyeon-a…” akhirnya Sung Yeol berani membuka suaranya memecah keheningan yang sempat terjadi antara mereka.

 

            “Wae?” tanya Ji Hyeon sambil menatap Sung Yeol.

 

            Sung Yeol hanya menatap Ji Hyeon, sementara dalam benaknya berkecamuk sebuah dorongan untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam untuk gadis yang sanggup membuatnya kembali tersenyum itu. Hingga tanpa Sung Yeol sadari, ia mulai mendekatkan wajahnya pada wajah Ji Hyeon. Ketika hidung Sung Yeol menyentuh hidung Ji Hyeon, Ji Hyeon memejamkan matanya. Sung Yeol pun mendaratkan kedua sayap bibirnya di bibir manis Ji Hyeon.

 

            “Biarkan jantung ini tetap berdetak bersama dengan denyut jantungmu selamanya,” ucap Sung Yeol tak berapa lama setelah ia memberikan kecupan hangatnya pada Ji Hyeon.

 

            Ji Hyeon hanya menatap Sung Yeol tanpa memberikan reaksi yang menunjukkan bahwa ia senang mendengar pernyataan yang baru saja dilontarkan seorang pemuda yang selalu memenuhi ruang pikirannya itu. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

            “Apapun yang terjadi, hanya dirimu dan namamu yang akan aku ingat selamanya,” ucap Ji Hyeon.

 

            Sung Yeol dan Ji Hyeon sama-sama tersenyum dan Sung Yeol kembali mendaratkan kedua sayap bibirnya itu di bibir Ji Hyeon. Namun seiring bertemunya bibir Sung Yeol dan Ji Hyeon, saat itu juga buliran bening meluncur tanpa di kehendaki dari mata Ji Hyeon dan Sung Yeol.

****

 

 

            Cahaya putih keemasan itu kembali menyinari kota Seoul yang sempat mendingin karena malam yang menyapa. Kicauan burung terdengar mulai bernyanyi seolah menyambut datangnya sang matahari. Di dalam sebuah ruangan dengan nuansa lavender, tampak seorang gadis baru saja membuka matanya dan terduduk di tempat tidurnya.

 

            “Waeyo geurae?” gumamnya pelan.

 

            Gadis itu memegangi dadanya dan wajahnya tampak menunjukkan ketakutan. Mulutnya sedikit terbuka dan nafasnya terdengar memburu. Ia seperti telah terbangun dari mimpi buruk yang mendatanginya.

****

 

 

            “Neo eodiga…” ucap seorang gadis ketika ia menghentikan langkahnya tepat di ruang tengah sebuah rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan baginya itu.

 

            Nada suaranya terdengar seolah menyimpan begitu banyak kekhawatiran. Ya, bagaimana tidak, ia sudah mencari ke seluruh tempat yang mungkin di datangi kekasihnya, namun ia juga tetap tak dapat menemukan seorang pemuda yang begitu ia rindukan dan khawatirkan itu. Benar, gadis itu adalah Ji Hyeon yang tengah mengkhawatirkan Sung Yeol yang masih belum dapat ia temukan.

 

            Ji Hyeon hanya berdiri di depan jendela. Berharap Sung Yeol akan segera datang karena ia harus menceritakan sebuah mimpi yang begitu aneh yang semalam menyapanya itu.

 

            Rupanya Sung Yeol juga baru kembali. Ketika Sung Yeol memasuki rumahnya, ia menemukan Ji Hyeon yang sedang berdiri di depan jendela. Sesungging senyuman terlukis di wajah Sung Yeol ketika ia melihat gadis yang selalu sanggup membuatnya merasakan kehangatan itu.

 

            Ji Hyeon tidak menyadari Sung Yeol yang datang. Sung Yeol pun menghampiri Ji Hyeon dan kemudian memeluk Ji Hyeon dari belakang, satu hal yang sangat Ji Hyeon sukai.

 

            “Aigoo…” Ji Hyeon terkejut ketika seseorang memeluknya dari belakang.

 

            Keterkejutan Ji Hyeon segera hilang ketika menemukan bahwa yang tengah memeluknya itu adalah Sung Yeol, seseorang yang sangat ia rindukan. Ji Hyeon pun melepaskan tangan Sung Yeol dari tubuh mungilnya. Sung Yeol sempat heran dengan tingkah laku Ji Hyeon, namun rasa herannya berubah menjadi rasa khawatir ketika Ji Hyeon memeluknya dengan sangat erat.

 

            “Darimana saja kau?” tanya Ji Hyeon tanpa melepaskan pelukannya dari Sung Yeol.

 

            “Aku… dari sebuah tempat,” jawab Sung Yeol seraya membelai rambut panjang kecoklatan Ji Hyeon.

 

            “Entah kenapa beberapa hari ini aku sangat mengkhawatirkanmu,” ucap Ji Hyeon.

 

            Ji Hyeon pun melepaskan pelukannya dari pemuda yang sanggup membuatnya mencurahkan seluruh cinta yang ia miliki untuk pemuda beruntung itu, Sung Yeol.

 

            “Sudah beberapa hari ini aku bermimpi aneh. Mimpi yang benar-benar aneh dan membuatku takut,” ucap Ji Hyeon.

 

            “Mimpi aneh?” tanya Sung Yeol.

 

            “Di mimpi itu seolah aku sedang menonton film yang kita buat. Karena dalam mimpi itu hampir semua kejadian semenjak pertama kali kita bertemu hingga kita saling mengungkapkan perasaan tergambar dengan jelas,” jawab Ji Hyeon.

 

            “Geurigo, kenapa kau merasa bahwa itu adalah sebuah mimpi yang aneh?” tanya Sung Yeol.

 

            “Karena setiap kali aku terbangun dari mimpi itu, aku selalu mengkhawatirkanmu dan aku takut bahwa mimpi itu menjadi sebuah pertanda,” jawab Ji Hyeon. “Aku takut mimpi itu akan menjadi sebuah pertanda buruk…”

 

            “Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa,” ucap Sung Yeol berusaha menenangkan gadis yang teramat ia cintai itu.

 

            “Aku takut kau akan meninggalkanku,” ucap Ji Hyeon tiba-tiba.

 

            “Mana mungkin aku sanggup meninggalkanmu sementara separuh hatiku ada di hatimu,” jawab Sung Yeol.

 

            Sung Yeol menatap Ji Hyeon, lalu memberikan sebuah kecupan hangat di bibir Ji Hyeon.

 

            “Bukan hanya kau yang mengalami mimpi itu, aku juga. Dan bahkan aku takut aku akan pergi jauh meninggalkanmu. Aku ingin bersamamu selamanya. Jika kau mengatakan takut aku akan meninggalkanku, itu adalah hal yang sangat tak mungkin akan terjadi. Karena bagaimana bisa aku meninggalkanmu, sementara separuh dari hidupku adalah milikmu,” gumam batin Sung Yeol.

 

            Ketika Sung Yeol belum melepaskan Ji Hyeon, sebuah cairan dingin terasa membasahi bibir Ji Hyeon. rupanya Ji Hyeon juga menyadarinya dan ia segera melepaskan Sung Yeol. Ternyata cairan dingin yang mereka rasakan adalah sebuah cairan merah yang keluar dari hidung Ji Hyeon.

 

            “Kau mimisan lagi…” ucap Sung Yeol dengan nada yang menyimpan kekhawatiran.

 

            “Gwaenchanha…” ucap Ji Hyeon seraya menyeka darah segar dengan sapu tangan berwarna peach yang merupakan peninggalan neneknya itu.

 

            “Kita ke rumah sakit,” ajak Sung Yeol.

 

            “Tidak usah, aku hanya kecapean. Karena akhir-akhir ini sangat banyak tugas yang harus aku selesaikan,” jelas Ji Hyeon.

 

            Semburat kecemasan mewarnai wajah tampan Sung Yeol, terlebih lagi wajah manis Ji Hyeon tampak sangat pucat.

 

            “Baiklah, kalau begitu aku antarkan kau pulang. Kau harus banyak beristirahat, aku tak mau melihatmu sakit,” ucap Sung Yeol. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

            “Ne…”  jawab Ji Hyeon.

 

            Sung Yeol pun mengantarkan Ji Hyeon ke rumahnya.

 

            Setibanya di rumah Ji Hyeon, mereka hanya duduk di sofa sambil menatap TV yang tengah memutar sebuah drama. TV yang mereka biarkan menyala, namun hanya mereka tatap tanpa mereka tonton.

 

            “Bagaimana keadaanmu?” tanya Sung Yeol.

 

            “Gwaenchanha…” jawab Ji Hyeon.

 

            Sung Yeol hanya menatap Ji Hyeon yang saat itu tengah menatap TV.

 

            “Bukankah kau juga tahu bahwa aku sering mimisan jika aku sedang kecapean?” tanya Ji Hyeon.

 

            “Geurae, tapi…” ucapan Sung Yeol tertahan ketika Ji Hyeon menggenggam tangannya.

 

            “Gwaenchanha…” ucap Ji Hyeon.

 

            Ji Hyeon dan Sung Yeol kembali terdiam dan menatap TV yang ada di hadapan mereka. Rupaya rasa kantuk mulai Sung Yeol rasakan, hingga perlahan ia memejamkan matanya dan tertidur. Menyadari Sung Yeol tertidur, Ji Hyeon pun beranjak untuk mengambilkan selimut.

 

            “Yeoliya…” ucap Ji Hyeon seraya menyelimuti Sung Yeol yang tengah terlelap.

 

            Ji Hyeon terduduk di depan sofa yang menjadi tempat Sung Yeol tidur.

 

            “Yeoliya…” ucap Ji Hyeon lagi.

 

            “Lee Sung Yeol…”

 

            “Sung Yeol-a…”

 

            “Yeoliya…”

 

            “Yeoliya…” Ji Hyeon terus menyebut nama panggilan sayangnya untuk Sung Yeol itu.

 

            “Kau tahu, aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku takut akan kehilangan dirimu dan aku juga takut aku akan pergi meninggalkanmu. Seperti yang kau katakan, bagaimana mungkin kau akan meninggalkanku sementara separuh hidupku adalah milikmu, begitu juga aku. Karena separuh dari hidupku adalah milikmu,” ucap Ji Hyeon seraya membelai wajah kekasihnya itu.

 

            “Yeoliya…”

 

            “Aku minta tetaplah hidup dengan baik, jika memang mungkin aku tak bisa bertahan lebih jauh. Dan tetaplah hidup dengan bahagia, jika memang mungkin aku tak bisa membahagiakanmu lagi,” ucap Ji Hyeon.

 

            Tanpa Ji Hyeon sadari, buliran bening itu mulai menuruni pipinya. Meninggalkan jejak-jejak sungai kecil yang terbentuk di wajahnya. Bagi Ji Hyeon, ini adalah saat yang sangat sulit dan menakutkan. Ia tak ingin kehilangan Sung Yeol dan ia juga tak ingin menyakiti Sung Yeol jika saja Sung Yeol tahu akan keadaannya yang sebenarnya.

****

 

 

            “Sampai kapan kau akan menyembunyikannya dari Ji Hyeon?” tanya seorang pemuda tanpa melepaskan tatapannya dari Sung Yeol.

 

            “Woo Hyun-a, kau tahu diriku, aku tidak bisa memberitahukan tentang hal itu pada Ji Hyeon. Aku tak mau membuatnya sedih,” jelas Sung Yeol.

 

            “Tapi kau juga tidak bisa terus menyembunyikannya seperti ini. Cepat atau lambat, kau harus tetap memberitahukan Ji Hyeon,” ucap Woo Hyun.

 

            “Aku belum siap melihat Ji Hyeon menangis. Bagiku, air mata Ji Hyeon teramat berharga. Aku tidak mau air matanya ia gunakan untuk menangisiku. Kau juga bahkan sangat tahu dengan baik bahwa aku tidak bisa hidup tanpa Ji Hyeon. Jika saja aku memberitahukannya sekarang pada Ji Hyeon, aku takut Ji Hyeon terluka. Aku tak mau menyakitinya,” jelas Sung Yeol.

 

            Woo Hyun hanya menatap sahabatnya itu. Woo Hyun tahu benar bahwa Sung Yeol teramat mencintai Ji Hyeon. Bahkan Woo Hyun pribadi, iri dengan hubungan Ji Hyeon dan Sung Yeol yang tak pernah ada pertengkaran yang sanggup membuat mereka saling marah. Hubungan Ji Hyeon dan Sung Yeol yang teramat harmonis dan baik-baik saja itu membuat Woo Hyun semakin mencemaskan keadaan Sung Yeol dan Ji Hyeon.

****

 

 

            Hari ini, Sung Yeol sengaja mengajak Ji Hyeon jalan-jalan ke tempat-tempat yang sering mereka datangi sewaktu masih di sekolah menengah saat itu. Ketika mereka berjalan-jalan di taman kota, Ji Hyeon sempat beberapa kali memegangi kepalanya dan wajah Ji Hyeon tampak pucat. Hal itu tentu saja membuat Sung Yeol khawatir.

 

            “Ji Hyeon-a, waeyo? Bagaimana jika kita pulang saja?” tanya Sung Yeol.

 

            “Gwaenchanha…” ucap Ji Hyeon.

 

            “Tapi wajahmu sangat pucat,” Sung Yeol semakin khawatir dengan keadaan Ji Hyeon.

 

            “Gwaenchanha…” ucap Ji Hyeon seraya menggenggam tangan Sung Yeol.

 

            “Atau bagaimana jika kita ke rumah sakit saja?” tanya Sung Yeol.

 

            Ji Hyeon hanya menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Sung Yeol. Akhirnya Sung Yeol mengalah dan menekan rasa khawatirnya terhadap Ji Hyeon dan kembali melanjutkan perjalanan mereka meskipun rasa takut masih menyelimuti hatinya.

 

            Sung Yeol dan Ji Hyeon sampai di Sungai Han, sebuah tempat ketika untuk pertama kalinya mereka saling mengungkapkan perasaan. Namun baru saja Sung Yeol dan Ji Hyeon menghentikan langkah mereka, Sung Yeol tampak pucat dan beberapa kali memegangi dadanya.

 

            “Yeoliya…” ucap Ji Hyeon.

 

            Mendengar Ji Hyeon menyebut nama panggilannya, Sung Yeol berusaha meredam rasa sakit yang sebenarnya tengah menjalarinya itu.

 

            “Waeyo?” tanya Ji Hyeon.

 

            “Ani…” jawab Sung Yeol sambil tersenyum sebisa yang ia lakukan.

 

            “Wajahmu tampak sangat pucat,” ucap Ji Hyeon.

 

            “Gwaenchanha, geokjeonghajima…” ucap Sung Yeol.

 

            “Hajiman…” belum sempat Ji Hyeon melanjutkan kata-katanya, kedua sayap bibir Sung Yeol telah mendarat di bibirnya.

 

            “Sudah ku katakan, aku baik-baik saja. Geureom, geokjeonghajima…,” ucap Sung Yeol ketika melepaskan Ji Hyeon.

 

            Meskipun rasa khawatir masih menyelimuti hati Ji Hyeon, namun ia berusaha meredamnya ketika merasakan genggaman hangat Sung Yeol. (http://jh-nimm.blogspot.com)

****

 

 

Kali ini Sung Yeol dan Ji Hyeon pun menuju ke sebuah taman dimana nama mereka terukir di batang sebuah pohon. Di taman itu, Ji Hyeon dan Sung Yeol pun duduk di bawah sebuah pohon tempat nama mereka terukir dengan cantik. Yeol & Ji yeongwonhi, yang berarti Sung Yeol dan Ji Hyeon selamanya.

 

            “Rupanya tempat ini tidak banyak berubah,” ucap Sung Yeol seraya menyandarkan tubuhnya di batang pohon tersebut.

 

            “Geurae, tempat ini masih sama seperti dulu,” timpal Ji Hyeon seraya menyandarkan kepalanya pada bahu Sung Yeol.

 

            Keheningan mulai menyapa.

 

            “Hiduplah dengan baik…” ucap batin Ji Hyeon.

 

            Ji Hyeon meraih tangan Sung Yeol dan menggenggamnya dengan erat.

 

            “Bagaimana aku bisa hidup dengan baik jika aku tak bersamamu?” gumam batin Sung Yeol.

 

            Sung Yeol pun mengecup puncak kepala Ji Hyeon yang tengah bersandar di bahunya itu. Namun seiring dengan bibirnya menyentuh puncak kepala Ji Hyeon, saat itu juga air mata Sung Yeol mengalir.

 

            Selama 30 menit, tidak ada kata-kata yang baik Ji Hyeon ataupun Sung Yeol katakan. Mereka terbalut dalam sebuah kediaman. Karena baik Ji Hyeon ataupun Sung Yeol, saat ini tengah merasakan sebuah hal yang sama. Hal yang sejatinya membuat mereka sama-sama merasakan sakit, namun tak ingin mereka ungkapkan. Kata-kata mereka seolah tercekat dan mereka tetap memilih untuk diam. Karena jika mereka bicara, mereka takut hanya kata ‘selamat tinggal’ yang akan mereka ucapkan dan mereka tak ingin hal itu terjadi.

 

            Sung Yeol pun melingkarkan tangannya pada tubuh mungil Ji Hyeon, memeluk Ji Hyeon dengan erat. Begitu juga Ji Hyeon, ia melingkarkan tangannya di pinggang Sung Yeol dan membiarkan kepalanya bersandar pada dada Sung Yeol yang masih tetap menyandarkan dirinya pada pohon itu.

 

            Ji Hyeon mulai memejamkan matanya ketika semua kenangannya bersama Sung Yeol mulai terputar bagaikan sebuah film yang tengah ia tonton. Bayangan kebersamaannya dan Sung Yeol mulai merambat di seluruh pikirannya. Tak lain dengan Sung Yeol, ia memeluk Ji Hyeon dengan erat dan mulai memejamkan matanya ketika sebentuk organ dalam dirinya berhenti bekerja.

 

            Sementara itu, dari kejauhan, tampak dua orang pemuda tengah menatap Ji Hyeon dan Sung Yeol. Selama mengikuti Ji Hyeon dan Sung Yeol, tak ada kata yang sanggup mereka ucapkan. Hanya ketika mereka sama-sama melihat Ji Hyeon dan Sung Yeol berpelukan di bawah pohon itu, mereka mulai sama-sama saling menatap. Benar, mereka adalah Woo Hyun dan Myung Soo.

 

            “Kau datang untuk menjaga Ji Hyeon?” tanya Woo Hyun.

 

            “Apa kau juga datang untuk menjaga Sung Yeol?” tanya Myung Soo balik.

 

            Baik Woo Hyun maupun Myung Soo, mereka sama-sama tahu dengan keadaan Ji Hyeon dan Sung Yeol.

 

            “Kau tahu, aku sangat iri pada Sung Yeol,” ucap Myung Soo.

 

            “Waeyo?” tanya Woo Hyun.

 

            “Karena ia bisa menjadi bagian dari hati Ji Hyeon,” jawab Myung Soo.

 

            “Kau… mencintai Ji Hyeon?” tanya Woo Hyun.

 

            Myung Soo hanya menjawab pertanyaan Woo Hyun dengan sesungging senyuman yang cukup bisa Woo Hyun artikan.

 

            Sejenak keheningan mulai menyapa Myung Soo dan Woo Hyun. Namun ketika angin yang berhembus menerpa mereka, Woo Hyun dan Myung Soo hanya saling menatap. Tanpa banyak bicara, mereka berjalan ke tempat Ji Hyeon dan Sung Yeol.

 

            “Ji Hyeon-a…” ucap Myung Soo seraya meraih tubuh Ji Hyeon dan membawanya ke pangkuannya.

 

            “Sung Yeol-a…” ucap Woo Hyun seraya menepuk-nepuk wajah Sung Yeol.

 

            Myung Soo dan Woo Hyun saling menatap. Seolah mereka berbicara dalam tatapan itu.

 

            “Ji… Ji Hyeon-a… andwae…” ucap Myung Soo seraya mengguncangkan tubuh Ji Hyeon yang terkulai lemas dalam pangkuannya itu.

 

            Tak dapat di tahan lagi, bahkan seolah tanpa di perintahkan buliran bening yang mengalir dari mata Myung Soo, mulai membentuk sungai kecil di wajah tampannya.

 

            “Sung Yeol-a, ireona…” ucap Woo Hyun seraya mengguncangkan tubuh Sung Yeol. “ANDWAE!!!”

****

 

 

            Di sebuah taman, tampak Woo Hyun tengah menatap Ji Hyeon dengan tatapan khawatir. Sudah 15 menit ia hanya menatap Ji Hyeon setelah kedatangan Ji Hyeon yang memang sengaja ia ajak untuk bertemu itu. Ia mengajak Ji Hyeon bertemu tentunya tanpa sepengetahuan Sung Yeol.

 

            “Woo Hyun-a, bukankah ada yang ingin kau bicarakan?” tanya Ji Hyeon.

 

            “Mianhae…” ucap Woo Hyun tiba-tiba.

 

            “Waeyo?” tanya Ji Hyeon yang mulai khawatir.

 

            Woo Hyun menggenggam tangan Ji Hyeon.

 

            “Sebelum aku mengatakannya, berjanjilah untuk tidak menunjukkan sikap yang berbeda terhadap Sung Yeol dan berjanjilah kau akan menjaganya dengan baik, dan berjanjilah untuk selalu berada di sampingnya apapun yang terjadi,” ucap Woo Hyun.

 

            Ji Hyeon hanya menjawab kata-kata Woo Hyun dengan menganggukkan kepalanya.

 

            “Sebenarnya Sung Yeol melarangku untuk mengatakan hal ini padamu. Karena ia tidak mau membuatmu sedih dan ia tak mau membuatmu menangis. Aku selalu memintanya untuk memberitahumu akan keadaan yang sebenarnya, tapi Sung Yeol tetap mengatakan ingin merahasiakannya darimu dan akan memberitahumu jika memang waktunya tepat,” jelas Woo Hyun.

 

            Ji Hyeon hanya menatap Woo Hyun tanpa menunjukkan reaksi apapun, walau dalam hatinya berkecamuk sebuah rasa yang sangat menusuk. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

            “Sung Yeol menderita sebuah penyakit,” ucap Woo Hyun.

 

            Seiring dengan ucapan Woo Hyun, saat itu juga buliran bening itu mengalir dari mata indahnya tanpa Ji Hyeon perintahkan.

 

            “Sung Yeol menderita aritmia. Awalnya memang ia sudah menjalani perawatan dan keadaannya mulai membaik. Namun beberapa waktu terakhir, penyakitnya itu mulai kembali sering kambuh dan bahkan ketika Sung Yeol memeriksakannya ke rumah sakit, hasilnya menunjukkan bahwa penyakit yang ia derita semakin parah. Jantung Sung Yeol semakin melemah,” jelas Woo Hyun.

 

            Ji Hyeon hanya terdiam dalam tangis yang tak dapat ia hentikan.

 

            “Dokter menyarankan untuk kembali menjalani perawatan dengan perawatan yang lebih intensif, karena kemungkinan untuk sembuh masih lumayan besar. Tapi Sung Yeol menolak. Karena jika ia menjalani perawatan, akan membutuhkan waktu yang lama dan ia harus tetap berada di rumah sakit. Sedangkan jika dia di rawat di rumah sakit, itu artinya dia akan menghilang dan tidak akan bertemu denganmu, sementara ia juga tak ingin memberitahumu tentang keadaannya. Karena jika kau tahu, Sung Yeol tidak ingin melihatmu bersedih setiap kali kalian bertemu,” jelas Woo Hyun.

 

            “Yeoliya…” hanya itu kata-kata yang sanggup Ji Hyeon ucapkan.

 

            “Ji Hyeon-a, mianhae…” ucap Woo Hyun.

 

            Ji Hyeon menggelengkan kepalanya.

 

            “Maafkan aku jika aku harus memberitahumu kenyataan menyakitkan ini. Aku hanya tidak ingin nantinya kau semakin terluka jika secara tiba-tiba sesuatu yang tidak di inginkan terjadi pada Sung Yeol,” jelas Woo Hyun. “Mianhae…”

 

            “Arasseo…” ucap Ji Hyeon yang tak sanggup lagi membendung tangisnya itu.

****

 

 

            Tidak biasanya, kali ini Myung Soo mengajak Sung Yeol bertemu.  Sudah hampir 20 menit mereka berdiri di tepi sebuah danau, namun belum ada sepatah katapun yang mereka ucapkan. Baik Myung Soo ataupun Sung Yeol, hanya mengarahkan tatapan mereka ke danau dengan air yang tenang itu.

 

            “Kau tahu kan aku adalah sahabat Ji Hyeon sejak kecil?” tanya Myung Soo.

 

            “Ne…” jawab Sung Yeol.

 

            “Tapi tidakkah kau tahu bahwa aku juga mencintainya?” tanya Myung Soo.

 

            “Aku tahu…” jawab Sung Yeol.

 

            Ketika mendengar jawaban Sung Yeol, Myung Soo mengalihkan pandangannya pada Sung Yeol yang rupanya kini tengah menatapnya.

 

            “Aku tahu kau juga mencintainya,” ucap Sung Yeol.

 

            “Baguslah, jika kau tahu akan hal itu. Karena ada hal lain yang ingin ku katakan dan ku minta darimu,” ucap Myung Soo.

 

            “Mworago?” tanya Sung Yeol.

 

            “Ini tentang Ji Hyeon,” jawab Myung Soo.

 

            Sung Yeol menatap Myung Soo. Kekhawatiran mulai menyelimutinya. Bahkan rasa takut untuk mendengar apa yang akan Myung Soo katakan juga mulai menyeruak dalam batinnya.

 

            “Mungkin sudah bukan menjadi hal yang aneh lagi bagimu jika kau menemukan Ji Hyeon mimisan. Itu karena Ji Hyeon menderita sebuah penyakit. Ji Hyeon menderita kanker otak sejak ia di bangku sekolah menengah. Penyakit yang diwariskan keluarganya,” jelas Myung Soo.

 

            Sung Yeol terkejut mendengar kata-kata Myung Soo, namun ia tidak menunjukkan rasa terkejutnya itu dihadapan Myung Soo.

 

            “Penyakit yang Ji Hyeon derita, akhir-akhir ini menjadi semakin parah. Bahkan beberapa kali, dokter memintanya untuk menjalani operasi, namun Ji Hyeon tetap menolak. Sebenarnya Ji Hyeon juga sempat melupakan beberapa hal. Saat itu aku bahkan menemukan Ji Hyeon tidak ingat denganku. Hal itu sangat membuatku sedih dan sangat sakit. Aku pun memaksanya untuk menjalani operasi, namun Ji Hyeon tetap menolak. Karena penyakitnya memang adalah warisan keluarganya, dan Ji Hyeon pikir, jikapun ia di operasi, kemungkinan untuk sembuh akan sangat kecil,” jelas Myung Soo.

 

            Rasa sesak mulai menjalari Sung Yeol, namun sekeras apapun ia menahan rasa sesak itu, buliran bening itu sempat membuat matanya berkaca-kaca, namun tak sempat mengalir menuruni pipinya.

 

            “Kau pasti tahu alasan mengapa Ji Hyeon tidak mau memberitahumu. Kau pasti tahu benar akan hal itu,” ucap Myung Soo.

 

            “Ne…” jawab Sung Yeol.

 

            “Dan kali ini, sebagai seorang pria yang juga mencintai Ji Hyeon, aku ingin memintamu satu hal,” ucap Myung Soo.

 

            “Mwoya?” tanya Sung Yeol.

 

            “Aku memintamu untuk tetap menjaga Ji Hyeon dan tetap berada di samping Ji Hyeon. Jangan pernah meninggalkan Ji Hyeon dan jangan membuat Ji Hyeon menangis. Karena jika sampai kau meninggalkan Ji Hyeon hanya karena kau ini sudah tahu akan keadaan Ji Hyeon yang sebenarnya, maka aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri,” ucap Myung Soo. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

            “Mana mungkin aku akan meninggalkan Ji Hyeon,” ucap Sung Yeol.

 

            Myung Soo hanya menatap Sung Yeol.

 

            “Bagaimana mungkin aku meninggalkan Ji Hyeon, sementara separuh hidupku dan separuh hatiku adalah milik Ji Hyeon,” ucap Sung Yeol.

 

 

=== THE END ===

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet