내가 사랑했던 이름 (The Name I Loved)

내가 사랑했던 이름 (The Name I Loved)

Jo naam dil pe ho likha, ikrar ussi se hota hai – nama yang tertulis di hati, dengan dialah kita berikrar [Mohabbatein – Aankhein Khuli]

 

 

 

Author’s POV

                Di tengah heningnya pagi, matahari mulai memancarkan sinar keemasannya. Menghangatkan setiap jiwa yang baru saja memulai aktifitasnya. Di sebuah taman yang berada di pelataran Universitas Inha, tampak seorang gadis tengah duduk di bawah rindangnya pohon. Matanya terpejam menikmati alunan musik yang mengalun dari ipod  melalui headphone  berwarna ivory yang terpasang sempurna di kedua telinganya. Sementara itu, di kejauhan tampak seorang pemuda tengah memperhatikan gadis itu. Seulas senyuman tersungging begitu saja dari bibir pemuda itu tatkala matanya terus menatap rupa menawan yang sanggup membuat jantungnya berdebar lebih kencang itu.

 

                “Apakah kau cukup puas hanya dengan memandangnya dari jauh seperti ini?” tanya sebuah suara.

 

                “YA¹! Jinki-ya, kau membuatku terkejut,” ucap pemuda itu sambil membalikkan tubuhnya.

 

                “Kibum-a, nyatakan saja perasaanmu,” ucap pemuda bernama Jinki.

 

                Kibum hanya menatap Jinki, sahabat terdekatnya itu.

 

                “Haish, kau pikir aku ini bodoh? Aku tahu, kau sudah sejak lama memperhatikan gadis itu,” ucap Jinki.

 

                “Hanya memperhatikan,” ucap Kibum santai.

 

                “Itu artinya kau menyukainya,” balas Jinki.

 

                Kibum hanya tertawa kecil mendengar ucapan Jinki.

 

                “YA!” bentak Jinki yang merasa Kibum tengah menertawakannya.

 

                “Sudahlah, sebaiknya kita segera ke kelas. Sebentar lagi Youngjin Seonsaengnim² datang,” ucap Kibum.

 

                “Aku akan membantumu,” ucap Jinki sambil menepuk bahu Kibum.

 

                “MWO³?!” ucap Kibum keheranan.

 

                Jinki pun meninggalkan Kibum yang masih tertegun karena ucapannya.

 

                “YA!” teriak Kibum sambil mengejar Jinki yang tengah berjalan menuju ke gedung Fakultas Seni Musik.

***

 

 

 

                Keesokan harinya, pemandangan yang sangat aneh bahkan terlalu aneh menyapa mata Kibum di hari sepagi ini. Dari kejauhan, tampak Jinki dan Jihyeon tengah berjalan bersama sambil berbincang. Mereka terlihat begitu akrab.

 

                “Kibum-a,” terdengar suara Jinki memanggil Kibum yang tertegun menatapnya dan Jihyeon.

 

                Kibum hanya tersenyum ketika Jinki dan Jihyeon berjalan menghampirinya.

               

                “Jihyeon-a, kenalkan ini Kibum. Kim Kibum, sahabatku,” ucap Jinki.

 

                “Annyeong haseyo, Jihyeon imnida⁴,” ucap Jihyeon sambil tersenyum dan  mengulurkan tangannya.

 

                “Ah, annyeong haseyo, Kibum imnida,” ucap Kibum sambil menjabat tangan Jihyeon.

 

                Ketika tangannya bersentuhan dengan tangan Jihyeon, bahkan bagaikan tersengat ribuan lebah yang menyuntikkan cairan manis ke dalam hatinya. Senyuman manis pun terukir di wajah tampan Kibum, sementara matanya berbinar dan tak beralih menatap wajah gadis yang sanggup membuat hatinya berdesir itu.

 

                “Jinki Oppa⁵, Kibum Oppa, aku harus ke kelas sekarang. Annyeong⁶…” ucap Jihyeon seraya melambaikan tangannya dan berjalan menuju ke gedung Fakultas Psikologi.

 

                “Annyeong…” ucap Jinki dan Kibum bersamaan.

 

                Jinki dan Kibum masih menatap arah perginya Jihyeon hingga sosok Jihyeon benar-benar menghilang dari pandangan mereka. Senyuman terkembang dari wajah kedua pemuda tampan itu. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Apakah mereka tengah memikirkan hal yang sama? Entahlah…

 

                “Kibum-a…” ucap Jinki sambil menyenggol lengan Kibum dengan sikutnya.

 

                “Mwoya⁷?” tanya Kibum.

 

                “Bagaimana?” tanya Jinki balik.

 

                Kibum mengalihkan pandangannya pada Jinki yang ternyata tengah menatapnya itu.

 

                “Apanya yang bagaimana?” tanya Kibum.

 

                “Kau sudah berkenalan dengannya. Tinggal menyiapkan langkah selanjutnya untuk kau mendekati Jihyeon,” ucap Jinki.

 

                “Tapi bagaimana bisa tadi kau datang bersamanya? Bahkan kalian terlihat akrab. Apa jangan-jangan kau sudah lama mengenalnya?” tanya Kibum.

 

                “Aku baru berkenalan dengannya semalam,” jawab Jinki.

 

                “Bagaimana bisa?” tanya Kibum.

 

                “Ternyata Eomma⁸ku dan Eommanya Jihyeon adalah sahabat sejak di sekolah menengah,” jawab Jinki.

 

                “Geurigo⁹?” tanya Kibum seolah menyelidik.

 

                “Eomma kami lah yang memperkenalkan kami,” jawab Jinki.

 

                “Tapi bagaimana bisa kalian datang bersama? Apa kalian membuat janji?” tanya Kibum yang semakin penasaran.

 

                “Tadi kami tidak sengaja bertemu di gerbang,” jawab Jinki.

 

                “Rupanya begitu…” ucap Kibum.

 

                “Sekarang kau sudah mengenalnya, jangan sia-siakan kesempatan ini,” ucap Jinki.

 

                “Tentu, Jinki-ya…” ucap Kibum sambil tersenyum. “Gomawo¹⁰…” ucap Kibum sambil menepuk bahu Jinki.

 

                Jinki hanya tertawa kecil.

 

                “Tidak perlu sesungkan itu,” ucap Jinki.

 

                “Iya,” ucap Kibum sambil mengusap tengkuknya.

 

                “Sudahlah, sebaiknya sekarang kita ke kelas,” ucap Jinki sambil melangkahkan kakinya menuju ke gedung Fakultas Musik dan Kibum pun mengikutinya.

***

 

 

 

= Flashback =

Author’s POV

                Malam ini, ada pertemuan khusus di gedung Hyundai Department. Pertemuan ini sebenarnya adalah acara reuni yang diadakan oleh alumni-alumni Universitas Inha.

 

                Kim Haneul –eomma Jihyeon- adalah salah satu lulusan terbaik Universitas Inha dan pastinya datang juga ke acara pertemuan itu. Nyonya Kim sengaja mengajak puterinya, Jihyeon, untuk datang ke acara tersebut karena Tuan Lee –appa¹¹ Jihyeon- tidak bisa datang karena masih berada di Inggris untuk urusan bisnis.

 

                “Haneul-a…” terdengar sebuah suara yang tak asing di telinga Nyonya Kim.

 

                “Haerin-a…” ucap Nyonya Kim ketika melihat sosok pemilik suara yang memanggilnya itu.

 

                Haerin, Yoon Haerin atau Nyonya Yoon adalah sahabat Nyonya Kim sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah. Nyonya Kim dan Nyonya Yoon pun saling berpelukan untuk melepas rindu satu sama lain. Ya, bagaimana tidak rindu, mereka belum pernah bertemu lagi sejak Nyonya Kim sempat pindah ke Inggris setelah menikah dan Nyonya Yoon juga pindah ke Jepang mengikuti suaminya.

 

                “Jeongmal bogoshipda¹²…” ucap Nyonya Yoon.

 

                “Aku juga… Kau tidak banyak berubah…” ujar Nyonya Kim.

 

                “Kau juga, aku masih bisa mengenalimu meskipun kita sudah setua ini,” ucap Nyonya Yoon sambil tertawa kecil.

 

                “Ini…” ucap Nyonya Kim ketika melihat seorang pemuda yang berdiri di samping Nyonya Yoon.

 

                “Jinki, puteraku…” jawab Nyonya Yoon.

 

                “Annyeong hasimnikka, Jinki imnida¹³…” ucap Jinki sambil membungkukkan badannya.

 

                “Tampan sekali…” ucap Nyonya Kim.

 

                “Gamsahamnida¹⁴…” ucap Jinki sambil tersenyum.

 

                “Ah, ini puteriku, Jihyeon…” ujar Nyonya Kim seraya merangkul bahu Jihyeon.

 

                “Annyeong hasimnikka, Jihyeon imnida…” ucap Jihyeon seraya membungkukkan badannya.

 

                “Neomu yeppeo¹⁵… Puterimu sangat mirip dengan Ayahnya,” ujar Nyonya Yoon.

 

                “Gamsahamnida…” ucap Jihyeon seraya tersenyum.

 

                “Melihat anak muda seperti kalian, aku jadi teringat saat kita masih seumuran kalian,” ucap Nyonya Kim.

 

                “Iya, benar…” timpal Nyonya Yoon.

 

                “Bagaimana? Apa kau sudah bertemu dengan Choi Kiho?” tanya Nyonya Yoon.

 

                “Ah, kenapa kau menanyakan hal itu?” tanya Nyonya Yoon.

 

                “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kalian ketika bertemu kembali di saat kalian sama-sama sudah punya anak seperti ini,” ucap Nyonya Yoon.

 

                “YA!” bentak Nyonya Kim tersipu.

 

                “Eomma…?” Jihyeon menggantung ucapannya.

 

                “Eommamu dan Kiho Oppa adalah mantan kekasih,” ucap Nyonya Yoon.

 

                “Haerin-ya…” Nyonya Kim tersipu karena masa lalunya di bahas di depan puterinya.

 

                “Biar ku beri tahu, Kiho Oppa dan Ayahmu, Lee Jungkwon, adalah sahabat. Meskipun Kiho Oppa adalah mantan kekasih Eommamu, tapi yang berhasil mendapatkan hati Eommamu adalah Jungkwon, Ayahmu…” jelas Nyonya Yoon.

 

                Jihyeon tertawa kecil mendengar penjelasan Nyonya Yoon.

 

                ‘Eomma, berhentilah membongkar rahasia orang lain,’ batin Jinki yang sedikit kesal karena Eommanya terus membahas masa lalu Nyonya Kim di depan Jihyeon.

 

~ Flashback END~

 

 

 

Author’s POV

                Saat itu, Jihyon tengah duduk dihalaman kampus yang ditumbuhi rerumputan hijau. Wajahnya tampak serius mempelajari kembali materi-materi yang tadi di bahas oleh YoungKyung Seonsaengnim di kelas. Dengan ragu-ragu, seorang pemuda tengah berjalan menghampirinya.

 

                “Hi…” sapa pemuda itu.

 

                Jihyeon pun mengangkat wajahnya dan mendapati sesosok pemuda yang baru saja di kenalnya itu.

 

                “Kibum Oppa… Hi…” sapa Jihyeon sambil tersenyum.

 

                “Boleh aku duduk di sini?” tanya Kibum.

 

                “Tentu saja,” jawab Jihyeon.

 

                “Eung… Kau sedang apa di sini?” tanya Kibum seraya duduk di samping Jihyeon.

 

                “Mempelajari ulang materi yang di sampaikan YoungKyung Seonsaengnim,” jawab Jihyeon sambil menutup bukunya.

 

                “Ah, apa kedatanganku mengganggu?” tanya Kibum.

 

                “Aniya¹⁶… lagi pula aku sudah selesai,” jawab Jihyeon.

 

                Kibum dan Jihyeon pun terlibat dalam sebuah obrolan. Tanpa mereka sadari, dari tempat yang cukup tersembunyi, ada seseorang yang tengah memperhatikan mereka.

 

                ‘Usaha yang bagus, Kibum-a… aku harap kau tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini,’ batin pemuda bernama Jinki itu.

 

                Saat Jinki baru saja meninggalkan tempat itu dan hendak menuju ke gerbang kampus, ternyata Jihyeon melihatnya.

 

                “Jinki Oppa…” panggil Jihyeon.

 

                Jinki pun menghentikan langkahnya dan menatap ke arah Jihyeon yang tengah merapikan barang-barangnya kemudian segera menghampirinya itu. Kibum pun mengikuti Jihyeon.

 

                “Sudah mau pulang?” tanya Jihyeon.

 

                “Ah, iya…” jawab Jinki.

 

                “Kenapa kau tidak mencariku seperti biasanya?” tanya Kibum protes.

 

                “Aku… Aku sedang terburu-buru…” jawab Jinki.

 

                “Tidak biasanya…” ucap Kibum.

 

                “Ya sudah, bagaimana jika kita pulang bersama?” ajak Jihyeon.

 

                Jihyeon, Jinki dan Kibum pun pulang bersama. Mereka sengaja menggunakan bus sebagai alat transportasi yang akan mengantarkan mereka pulang. Jinki duduk bersama Jihyeon, sedangkan Kibum duduk di belakang mereka. Selama di perjalanan, Jihyeon dan Jinki terlihat sangat dekat dan akrab. Kibum yang melihatnya, jelas saja merasa cemburu.

***

 

 

                Semakin hari, Kibum dan Jihyeon semakin dekat. Namun tidak sedekat Jinki pada Jihyeon. Melihat hal itu, Kibum merasa cemburu namun ia juga tidak bisa marah pada Jinki. Bahkan Kibum juga tidak bisa menyimpulkan bahwa Jinki telah merebut Jihyeon darinya. Karena bagi Kibum, wajar saja jika Jihyeon lebih dekat dengan Jinki, toh orang tua Jinki dan Jihyeon memang bersahabat.

 

                Pada suatu hari, Kibum mengajak Jihyeon untuk berjalan-jalan ke sebuah taman bunga di pinggiran kota Seoul. Hanya berdua, Kibum dan Jihyeon. Kibum dan Jihyeon menelusuri taman bunga itu.

 

                “Kau menyukainya?” tanya Kibum.

 

                “Tentu. Ini indah sekali,” jawab Jihyeon.

 

                “Tempat ini adalah salah satu tempat kesukaanku,” ujar Kibum.

 

                “Kau menyukai bunga?” tanya Jihyeon.

 

                “Iya,” jawab Kibum.

 

                “Menurutku, bunga adalah sesuatu yang sangat indah. Bahkan sesuatu yang harus di jaga dengan baik. Karena menjaga bunga sama dengan menjaga orang yang kita sayangi. Jika kita tidak bisa menjaga dengan baik, perlahan bunga akan layu dan mati. Begitu juga dengan orang yang kita sayang, jika kita tidak bisa menjaganya, maka perlahan ia akan menjauh dan benar-benar pergi,” jelas Kibum sambil menatap Jihyeon.

 

                “Iya, aku setuju dengan pendapatmu. Kita juga harus bisa seperti bunga. Ketika ada orang yang benar-benar menjaga kita dan menyayangi kita, kita tidak boleh menyia-nyiakannya. Dalam situasi tersulit pun, kita harus tetap terlihat baik-baik saja. Karena bungapun begitu. Tetap menunjukkan warnanya yang cerah dan tetap terlihat cantik dan segar, meskipun di dalamnya mungkin ada hama yang perlahan merusaknya,” ucap Jihyeon.

 

                ‘Kenapa aku merasa ada seuatu yang lain dari ucapanmu,’ gumam batin Kibum.

 

                “Eung… Jihyeon-a…” Kibum menatap wajah Jihyeon yang terlihat memucat itu.

 

                “Ne?” tanya Jihyeon.

 

                “Ada yang ingin aku katakan padamu,” ucap Kibum.

 

                “Mwoya?” tanya Jihyeon.

 

                Kibum menatap wajah Jihyeon. Terlihat rona gugup dan malu di wajah Kibum. Sementara Jihyeon hanya menatap Kibum dengan heran.

 

                “Nan… Nan neol saranghae¹⁷…” ucap Kibum.

 

                Jihyeon terdiam. Cukup terkejut dengan pernyataan Kibum. Karena itu benar-benar di luar dugaannya dan ia juga bingung harus bagaimana menanggapinya.

 

                “Maukah kau menerima perasaanku?” tanya Kibum.

 

                “Mianhae¹⁸…” jawab Jihyeon yang sontak membuat Kibum khawatir dan takut.

 

                “Wae… Waeyo?¹⁹” tanya Kibum.

 

                “Aku butuh waktu untuk memberikanmu jawaban. Mianhae…” jawab Jihyeon.

 

                “Ah, arasseo²⁰… aku akan menunggu jawabanmu,” ucap Kibum.

 

                Kibum tersenyum. Senyuman yang dipaksakan. Tapi setidaknya untuk saat ini ia merasa lega karena Jihyeon hanya membutuhkan waktu untuk menjawab pernyataanya, bukan menolaknya.

***

 

 

                Malam harinya, Jinki yang baru saja pulang dari Starbucks Coffee tidak sengaja melihat Jihyeon yang tengah duduk sendirian di halte bus. Jinki pun menghampiri Jihyeon.

 

                “Jihyeon-a…” sapa Jinki.

 

                “Jinki Oppa…” Jihyeon segera mengalihkan pendangannya pada Jinki.

 

                “Apa yang sedang kau lakukan sendirian di sini?” tanya Jinki.

 

                “Menunggu bis,” jawab Jihyeon datar.

 

                “Malam hari seperti ini kau darimana? Mengapa baru pulang?” tanya Jinki.

 

                “Aku dari toko buku,” jawab Jihyeon.

 

                “Kau sendiri darimana?” tanya Jihyeon.

 

                “Aku dari Starbucks,” jawab Jinki.

 

                “Bagaimana jika aku mengantarmu pulang?” tanya Jinki.

 

                Jihyeon hanya terdiam dan menundukkan wajahnya.

 

                “Waeyo²¹?” tanya Jinki khawatir.

 

                “Ada yang ingin aku katakan,” ujar Jihyeon.

 

                “Mworago²²?” tanya Jinki.

 

                “Kibum Oppa menyatakan perasaannya padaku,” jawab Jihyeon.

 

                “Jinjja²³?” Jinki cukup terkejut mendengar ucapan Jihyeon. Tapi ia sudah menduga bahwa hal itu memang akan terjadi.

 

                “Iya, tapi aku belum memberikan jawaban,” ucap Jihyeon.

 

                “Waeyo?” tanya Jinki.

 

                “Karena aku menyukai orang lain,” Jihyeon beranjak dan melangkah ke sisi lain halte.

 

                “Kibum sudah lama menyukaimu. Dia selalu memperhatikanmu. Bahkan diam-diam Kibum selalu melihatmu dari kejauhan. Ketika aku mengenalkanmu padanya, dia sangat bahagia. Dia benar-benar menyukaimu,” jelas Jinki.

 

                “TAPI AKU MENYUKAIMU,” ucap Jihyeon.

 

                Jinki terkejut mendengar ucapan Jihyeon. Sebuah pernyataan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Bahkan sebuah kenyataan yang tidak sesuai dengan jalan cerita yang ia rangkai dalam pikirannya.

 

                “Aku belum memberikan jawaban pada Kibum Oppa, karena aku sdar, aku tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya. Hanya teman dan itu sangat berbeda dengan perasaanku terhadapmu,” akhirnya Jihyeon mengutarakan perasaannya yang sebenarnya pada Jinki.

 

                Jinki terlihat bingung dengan apa yang harus ia katakan. Tak dapat dipungkiri bahwa memang ada perasaan bahagia dalam hatinya ketika mendengar pernyataan Jihyeon itu.

 

                “Saranghamnida²⁴…” Jihyeon menatap wajah Jinki yang berada beberapa langkah darinya itu.

 

                “Jihyeon-a, aku… Jujur aku sangat bahagia mendengar pernyataanmu bahwa kau menyukaiku, ah ani, kau mencintaiku. Bahkan entah sejak kapan, sejujurnya aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu. Na do saranghae²⁵... tapi…” Jinki menggantung kalimatnya dan mendekat pada Jihyeon.

 

                “Tapi apa? Katakanlah…” ucap Jihyeon.

 

                “Aku tidak ingin menyakiti Kibum. Aku tidak ingin terlihat seolah-olah aku telah merebutmu darinya,” jelas Jinki.

 

                “Waeyo?” tanya Jihyeon.

 

                “Aku dan Kibum sudah lama bersahabat, bahkan aku juga tahu benar bahwa Kibum sangat mencintaimu. Geurigo, meskipun kita memiliki perasaan yang sama…” ucapan Jinki terpotong.

 

                “Dan kita tidak bisa bersama…” potong Jihyeon.

 

                “Jihyeon-a…” Jinki menatap Jihyeon, ia bingung apa yang harus ia katakan.

 

                “Aku… aku…” kali ini Jihyeon tidak bisa menahan lagi air matanya.

 

                “Aku mohon, terima Kibum…” ucap Jinki.

 

                “Shirheo²⁶…” ucap Jihyeon.

 

                “Jihyeon-a, dengarkan aku baik-baik…” Jinki meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Jihyeon.

 

                “Aku sungguh tak bermaksud menyakitimu. Karena melihatmu terluka, hatiku juga turut merasa sakit. Bahkan lebih sakit dari yang kau rasakan. Aku sangat mencintaimu. Tapi kenyataan mengatakan bahwa kita tidak bisa bersama untuk saat ini. Orang yang mencintaimu bukan hanya aku, tapi ada Kibum, sahabatku. Aku juga bukan tidak ingin memperjuangkan cintaku, tapi bagiku kebahagiaanmu dan Kibum adalah hal terpenting untukku. Dengan melihat kalian berdua bahagia, aku juga turut bahagia…” ucapan Jinki tertahan ketika Jihyeon menepis tangannya.

 

                “Kebahagiaan katamu? Justru aku terluka karena…” ucapan Jihyeon tertahan karena sesak yang menjalar didadanya.

 

                “Yang terluka di sini bukan hanya kau, tapi aku juga…” ucap Jinki.

 

                Jihyeon menatap Jinki.

 

                “Jika memang kita ditakdirkan untuk bersatu, suatu saat Tuhan pasti akan mempersatukan kita,” ujar Jinki seraya menarik Jihyeon ke dalam pelukannya.

 

                Dari tempat yang cukup dekat dari halte bus, tampak seorang pemuda tengah mematung menyaksikan adegan dihadapannya. Matanya membulat dan rahangnya mengeras menahan rasa yang bergemuruh dalam dadanya. Tubuhnya bergetar menahan perasaan yang dapat di sebut amarah itu. Benar, pemuda itu adalah Kibum yang tengah menyaksikan Jihyeon dan Jinki berpelukan.

***

 

 

                Ketika matahari mulai kembali mengukir semburat putih kekuningan di pagi hari, burung-burung berkicau saling bersahutan seolah menyambut hari yang cerah ini. Di sebuah taman yang terletak di pelataran belakang Universitas Inha, tampak seorang pemuda tengah duduk di atas rerumputan hijau. Matanya terarah ke langit, namun tatapannya kosong. Ada sebuah rasa yang tengah berkecamuk dalam pikirannya. Membuatnya cukup bingung. Ia merasa marah, namun ia juga tak bisa menganggap bahwa itu adalah sebuah amarah.

 

                “Kibum Oppa…” tiba-tiba terdengar sebuah suara  lembut yang sangat akrab di telinga pemuda itu.

               

                “Jihyeon-a…” Kibum menatap gadis yang tengah berdiri di sampingnya itu.

 

                “Sedang apa?” tanya Jihyeon.

 

                “Aniya… Aku hanya sedang menikmati udara pagi,” jawab Kibum bohong.

 

                “Waeyo?” tanya Kibum.

 

                “Eung… Aku sudah mengambil jawaban atas pernyataanmu saat itu,” jawab Jihyeon.

 

                Kibum segera beranjak dan berdiri di hadapan Jihyeon. Kibum menatap wajah Jihyeon yang selalu mampu mengalihkan dunianya itu. Wajah yang tak bisa sedetikpun ia lupakan. Wajah yang selalu menghiasi hari-harinya meskipun hanya berupa bayangan.

 

                “Aku… Eung~ keputusanku… Aku akan menerimamu,” ucap Jihyeon gugup.

 

                “Ne?²⁷” sontak Kibum terkejut mendengar jawaban Jihyeon.

 

                “A-apa aku tidak salah dengar? Atau aku tidak sedang bermimpi?” tanya Kibum.

 

                “Aniya… Ini nyata…” Jihyeon tersenyum. Senyuman yang selalu mampu membuat Kibum kehilangan konsentrasinya.

 

                “Gomawo…” Kibum memeluk gadis yang selalu merebut seluruh perhatiannya itu.

 

                ‘Aku tahu, hatimu bukan untukku. Aku bahkan tahu benar pada siapa hatimu tertuju. Tapi aku cukup bahagia karena setidaknya aku dapat memilikimu, meski tidak dengan hatimu. Dan aku juga cukup bahagia karena kau bersedia menerima perasaanku, meskipun aku tahu hatimu benar-benar tak bisa ku miliki’ gumam batin Kibum.

 

                Dari kejauhan, di koridor tampak seorang pemuda tengah menyaksikan adegan itu. Senyuman kecil tersungging dari bibirnya ketika melihat kedua orang yang sanggup membuatnya bahagia –dan terluka di saat yang bersamaan- itu bersama. Membuat dua sisi dirinya bekerja tidak sinkron, membuahkan senyuman diwajahnya dan mengukir tangis di relung hatinya. Dan ya, pemuda itu adalah Jinki.

 

                ‘Semoga kalian selalu bahagia,’ gumam batin Jinki seraya melangkahkan kakinya ke sebuah tempat yang sekiranya bisa membuatnya sedikit lebih tenang.

***

 

 

                Selama beberapa hari ini, Jihyeon tidak datang ke kampus. Tidak ada kabar sama sekali. Bahkan Jihyeon juga tidak mengabari Jinki, Kibum dan teman-temannya. Jihyeon benar-benar menghilang.

 

                “Kibum-a…” panggil Jinki saat melihat sahabatnya itu melintas menuju ke perpustakaan universitas.

 

                “Waeyo?” tanya Kibum.

 

                “Kemana Jihyeon?” tanya Jinki.

 

                “Entahlah. Selama beberapa hari ini aku tidak melihatnya dan dia juga tidak mengabariku. Bahkan ponselnya sulit dihubungi,” jawab Kibum.

 

                “Dia tidak mengatakan apapun padamu?” tanya Jinki.

 

                “Eobseo²⁸,” jawab Kibum.

 

                ‘Kemana kau beberapa hari ini? Mengapa kau menghilang begitu saja?’ gumam batin Jinki.

 

                ‘Kau sangat mengkhawatirkannya. Tampak jelas dari raut wajahmu kau lebih mengkhawatirkannya dariku. Aku memang kekasih yang tak berguna untuknya,’ rutuk batin Kibum.

 

                “Kibum-a, bagaimana jika kita tanyakan pada Jejoon? Bukankah dia sepupu Jihyeon?” tanya Jinki.

 

                “Ah ya… Kaja²⁹…” ujar Kibum.

 

                Kibum dan Jinkipun ber gegas mencari Jejoon. Kebetulan sekali karena saat itu, Jejoon melintas tepat di hadapan Jinki dan Kibum.

 

                “Jejoon-a!” seru Jinki dan Kibum serempak.

 

                Jejoon pun menghentikan langkahnya dan menatap Kibum dan Jinki yang tengah berjalan kearahnya dengan heran.

 

                “Waeyo?” tanya Jejoon.

 

                “Selama beberapa hari ini Jihyeon menghilang, apa kau tahu kemana Jihyeon?” tanya Jinki.

 

                “Kau kan sepupunya, pasti kau tahu sesuatu,” timpal Kibum.

 

                Jejoon tampak bingung. Jejoon tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Jinki dan Kibum.

 

                “Jejoon-a, waeyo?” tanya Jinki yang menangkap roman kebingungan di wajah Jejoon.

 

                “Eung… sebenarnya Jihyeon di rawat di rumah sakit,” jawab Jejoon.

 

                “Rumah sakit?” Jinki dan Kibum terkejut mendengar jawaban Jejoon.

 

                “Waeyo? Kenapa Jihyeon di rawat di rumah sakit?” tanya Kibum.

 

                “Aku tidak bisa menjelaskannya di sini pada kalian. Sebaiknya kalian ikut aku ke rumah sakit,” jawab Jejoon.

 

                Jejoon, Jinki dan Kibum pun bergegas menuju ke rumah sakit tempat Jihyeon di rawat. Selama di perjalanan menuju ke rumah sakit, pikiran Jinki tak jua teralih dari Jihyeon. Ia benar-benar mengkhawatirkan kondisi Jihyeon. Ia merasa sesuatu telah terjadi pada Jihyeon.

 

                ‘Demi apapun aku benar-benar kahwatir dan ketakutan. Apa yang telah terjadi padamu? Apa kau baik-baik saja? Kenapa aku merasa begitu takut? Tolong, aku tidak mau merasa ketakutan seperti ini. Semoga kau baik-baik saja,’ gumam batin Jinki.

 

                Akhirnya Jejoon, Jinki dan Kibum sampai di rumah sakit tempat Jihyeon di rawat. Sesampainya di sana, mereka mendapati Haneul Ajumma –Eomma Jihyeon- sedang duduk di depan ruang rawat Jihyeon sambil melamun.

 

                “A… Ajumma³⁰…” sapa Jinki ragu.

 

                “Jinki-ya…” Haneul Ajumma menatap Jinki dan sedikit terkejut dengan kedatangan Jinki.

 

                “Kenapa kau bisa datang kemari?” tanya Haneul Ajumma.

 

                “Aku yang memberitahu mereka,” jawab Jejoon.

 

                “Lalu kau siapa?” Haneul Ajumma menatap sosok Kibum yang baru saja dilihatnya itu.

 

                “Annyeong haseyo, jeoneun Kibum imnida. Aku… aku temannya Jihyeon,” jawab Kibum.

 

                “Ajumma, bagaimana keadaan Jihyeon?” tanya Jinki.

 

                “Jihyeon, kenapa?” tanya Kibum.

 

                Mata Haneul Ajumma tampak berkaca-kaca. Wajahnya memerah seolah tengah menahan tangis. Melihat bibinya seperti itu, Jejoon pun duduk di samping Haneul Ajumma dan merangkup Haneul Ajumma, mencoba menenangkan dan member sedikit kekuatan pada Haneul Ajumma.

 

                “Sebenarnya Jihyeon tidak sakit. Tapi kurang lebih 2 tahun  yang lalu, Jihyeon sempat mengalami kecelakaan. Beruntung Jihyeon selamat dan ia baik-baik saja. Saat itu Jihyeon hanya mengalami luka kecil dan memar di beberapa bagian tubuhnya. Hanya saja…” rasa sesak semakin menyeruak dalam dada Haneul Ajumma, membuatnya tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

 

                “Hanya saja apa?” tanya Kibum hati-hati.

 

                “Ketika kecelakaan itu kepala Jihyeon terbentur. Saat di periksa, memang tidak apa-apa dan tidak terdapat luka. Bahkan keadaan Jihyeon ditanyakan baik-baik saja. Namun semenjak kecelakaan itu, Jihyeon menjadi mudah lupa akan sesuatu. Ia bahkan terkadang lupa bahwa hari ini hari apa. Dan akhir-akhir ini, semakin banyak hal yang Jihyeon lupakan. Dokter mengatakan, bisa saja akibat benturan itu, semakin banyak hal yang Jihyeon lupakan,” jelas Haneul Ajumma seraya menyeka air matanya.

 

                “Tapi, Jihyeon tidak akan apa-apa ‘kan?” tanya Jinki hati-hati.

 

                “Jihyeon mungkin bisa bertahan, tetapi Jihyeon mungkin akan kehilangan semua ingatannya,” jawab Haneul Ajumma.

 

                Jinki terlihat terpukul mendengar jawaban Haneul Ajumma. Wajahnya memucat, rahangnya mengeras dan tatapannya kosong. Ada rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Namun perasaan yang kini mendominasi hati dan pikirannya ialah kekhawatiran dan takut. Ia khawatir dan takut Jihyeon akan benar-benar kehilangan semua ingatannya dan itu artinya dirinya juga bisa benar-benar terhapus dari ingatan Jihyeon.

 

                Begitu juga Kibum. Ia terdiam. Terlihat seolah membeku. Bahkan Kibum menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit dengan kasar. Kibum juga merasa takut jika kenangan yang baru saja ia buat bersama Jihyeon akan terhapus begitu saja dari ingatan Jihyeon.

***

 

 

                Hari ini Jinki datang ke rumah sakit sendirian karena Kibum masih ada urusan yang harus ia selesaikan dengan Youngmin Seonsaengnim. Tapi Kibum berjanji jika urusannya dengan Youngmin Seonsaengnim telah selesai, ia akan menyusul Jinki ke rumah sakit untuk menjenguk Jihyeon. Sesampainya di ruangan tempat Jihyeon di rawat, Jinki mendapati Haneul Ajumma tengah merapikan rambut Jihyeon yang sedikit berantakan.

 

                “Ajumma…” sapa Jinki.

 

                “Rupanya kau,” ujar Haneul Ajumma ketika mendapati Jinki di belakangnya.

 

                “Aku bawakan bunga mawar putih ini untuk Jihyeon,” Jinki menyerahkan sebucket bunga mawar pink pada Haneul Ajumma.

 

                “Gomawo…” ujar Haneul Ajumma seraya menerima bunga dari tangan Jinki.

 

                “Bagaimana keadaan Jihyeon? Apa ia sudah sadar?” tanya Jinki hati-hati.

 

                “Jihyeon belum tersadar sejak ia masuk rumah sakit hingga detik ini,” Haneul Ajumma menatap puteri semata wayangnya yang masih tertidur itu.

 

                “Ajumma, kau terlihat lelah. Beristirahatlah. Biar aku yang menjaga Jihyeon,” ucap Jinki.

 

                “Iya, kebetulan aku harus pulang dulu untuk mengambil beberapa pakaian Jihyeon,” ucap Haneul Ajumma.

 

                “Ajumma pulang dan beristirahatlah. Aku akan menjaga Jihyeon dan aku akan segera mengabarimu jika ada sesuatu,” ujar Jinki.

 

                “Baiklah. Gomawo, Jinki-ya, kau memang anak yang baik,” Haneul Ajumma menepuk pundak Jinki yang berada di sampingnya saat itu.

 

                Haneul Ajumma pun menatap dan membelai wajah Jihyeon dengan lembut.

 

                “Jihyeon-a, Eomma pulang dulu. Nanti Eomma akan kembali lagi. Akan Eomma bawakan pancake pisang kesukaanmu. Sekarang di sini ada Jinki yang akan menemani dan menjagamu selama Eomma pulang ke rumah,” tanpa bisa di tahan lagi, perlahan cairan bening itupun menuruni pipi Haneul Ajumma.

 

                “Jinki-ya, jaga Jihyeon baik-baik,” ujar Haneul Ajumma seraya menatap Jinki.

 

                “Ne, Ajumma… Percayalah padaku,” sahut Jinki.

 

                Haneul Ajumma pun meraih tasnya dan segera keluar dari ruangan tempat Jihyeon di rawat. Kini hanya ada Jinki dan Jihyeon yang masih tertidur di dalam ruangan itu. Jinki pun duduk di kursi yang berada di samping tempat Jihyeon terbaring lemah tak berdaya itu. Jinki menggenggam tangan kiri Jihyeon yang terasa dingin itu.

 

                “Kapan kau akan bangun? Apa kau sedang bermimpi indah hingga kau tak mau terbangun? Bangunlah. Bukalah matamu. Ku mohon. Aku merindukan untuk menatap manik matamu yang berwarna cokelat itu. Bangun dan bukalah matamu dan aku ingin memelukmu,” ucap Jinki.

 

                Tidak ada respon dari Jihyeon.

 

                “Saranghaeyo…” Jinki mencium punggung tangan Jihyeon yang sedari tadi ia genggam itu.

 

                Jinki menatap wajah Jihyeon yang terlihat sangat manis dan cantik di matanya itu. Ketika menatap wajah Jihyeon, terbayang beberapa kenangannya bersama Jihyeon. Jinki tersenyum kecil ketika memutar kembali kenangannya bersama Jihyeon itu. Namun bayangan indah itu seketika lenyap ketika Jinki merasa tangan Jihyeon yang tengah ia genggam itu bergerak.

 

                “Jihyeon-a,” Jinki terperanjat dan ada rasa senang dalam hatinya juga ada harapan besar bahwa itu adalah pertanda bahwa Jihyeon akan bangun.

 

                Secara perlahan, Jihyeon mulai membuka matanya. Jihyeon telah terbangun dari tidur panjangnya. Jihyeon menatap sekitarnya yang terasa asing itu. Mendapati sosok Jinki di sampingnya, dengan kekuatan yang masih tersisa, Jihyeonpun berusaha bangun dan duduk.

 

                “Jihyeon-a, akhirnya kau sadar,” ucap Jinki sumringah. Namun Jihyeon hanya menatap Jinki dengan heran. Roman wajah Jihyeon cukup menyiratkan bahwa ia merasa asing dengan sosok yang tengah berada dihadapannya itu.

 

                “Nugutjyo³¹?” tanya Jihyeon.

 

                Jinki terkejut mendengar pertanyaan Jihyeon itu.

 

                “Aku Jinki. Lee Jinki. Kau tidak tau?” Jinki menatap Jihyeon.

 

                Jihyeon menggelengkan kepalanya.

 

                “Kau… kau tidak tahu siapa aku? Ani³²… kau tidak ingat siapa aku?” roman kekhawatiran semakin terlihat jelas dari wajah Jinki.

 

                “Mollaseo³³…” jawab Jihyeon.

 

                Seketika itu juga Jinki merasa lemas. Seolah kakinya tak sangup lagi menopang beban tubuhnya, Jinkipun kembali terduduk di kursi. Hal yang ia takutkan benar-benar terjadi. Jihyeon tidak ingat padanya. Jinki tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Seolah ia telah kehilangan kesadaran dan berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang ketika ia terbangun, Jihyeon tetap baik-baik saja dan tetap ingat semuanya.

***

 

 

                Seorang pemuda tampak berjalan menuju ruangan tempat Jihyeon di rawat. Dengan sebucket bunga mawar putih di tangannya, pemuda bernama Kibum itu terus berjalan menuju ke ruangan tempat kekasihnya di rawat itu. Sekarang ia sudah berada di depan ruangan tempat Jihyeon di rawat, namun langkah kakinya terhenti begitu saja ketika ia melihat Jihyeon terbangun. Entah apa yang menahannya, hanya saja ia tidak juga masuk ke dalam ruangan tempat Jihyeon di rawat itu dan mencoba mendengarkan apa yang tengah Jihyeon bicarakan bersama Jinki di dalam.

 

                “Kau… kau tidak tahu siapa aku? Ani… kau tidak ingat siapa aku?” tanya Jinki.

 

                “Mollaseo…” jawab Jihyeon.

 

                “Jihyeon kehilangan ingatannya?” gumam Kibum pelan.

 

                Rasa sesak menyeruak dalam diri Kibum hingga tanpa sadar, sebucket bunga mawar pink yang berada di tangannya terjatuh. Ketika rasa sesak itu semakin menyeruak dalam dirinya, Kibum pun memilih meninggalkan tempat itu. Membuatnya urung menemui Jihyeon yang sangat ia khawatirkan itu.

 

                Langkah kakinya rupanya membawa Kibum ke sungai Han. Kini ia tengah duduk terpekur sendirian di tepi sungai Han. Tangannya menggenggam beberapa kerikil dan melemparkan kerikil-kerikil itu ke sungai. Roman wajahnya menyiratkan ia sangat sedih. Rasa sesak dalam dadanya terus menjalar bahka rasa sakit juga turut melingukupi hatinya. Ia sangat terpukul dengan kenyataan yang mau tidak mau harus ia terima itu.

 

                “Waeyo? Wae ireohke³⁴?” hanya teriakan yang sanggup terlontar dari mulut Kibum.

 

                ‘Kenapa harus seperti ini? Kenapa kau harus melupakan semuanya? Bahkan Jinki, seseorang yang kau cintai itu juga tidak kau ingat. Bagaimana dengan aku? Ini sungguh ironis. Kita… kita baru saja bersama. Kita baru mengukir beberapa kenangan dan kau melupakan semuanya. Aku tahu aku egois dan seolah tak paham akan keadaanmu, tapi aku merasa sangat terluka dan sakit dihadapkan pada kenyataan seperti ini. Belum lagi aku membuatmu bahagia selayaknya seorang pria membahagiakan wanita yang menjadi kekasihnya, tapi mengapa harus begini? Ini seolah aku terlempar jauh darimu. Benar-benar jauh. Semakin jauh darimu,’ rutuk batin Kibum.

***

 

 

                Hari ini Jinki masih berada di rumahnya. Ia memang bermaksud untuk menjenguk Jihyeon di rumah sakit. Namun ada sebuah hal yang harus ia lakukan sebelum ia menemui Jihyeon. Ia duduk di sofa berwarna turquoise itu. Tangannya sibuk menyusun beberapa foto dan menempelkannya di buku diary Jihyeon. Ya, beberapa hari yang lalu Jinki sempat meminta diary Jihyeon dari Haneul Ajumma yang akan ia gunakan sebagai alat untuk membantu mengembalikan ingatan Jihyeon.

 

                Jinki menyusun foto demi foto yang sempat ia ambil bersama Jihyeon dan Kibum dalam diary Jihyeon. Bahkan Jinki juga menghiasinya dengan kelopak-kelopak bunga mawar pink yang menjadi kesukaan Jihyeon. Namun ketika membuka beberapa lembar terakhir diary Jihyeon, Jinki menemukan sebuah kertas yang baru ia sadari terselip di sana. Jinkipun mengambil kertas berwarna Lavender itu dan membukanya. Ternyata isinya adalah sebuah tulisan yang sepertinya sengaja Jihyeon sembunyikan. Yang membuat Jinki tercengang adalah di kertas itu tertulis tanggal 4 Januari 2012 dan itu artinya Jihyeon menulisnya sebelum ia masuk rumah sakit dan kehilangan kesadaran. Jinkipun membacanya.

 

Seoul, 2012 1 4

 

2 tahun yang lalu aku mengalami sebuah kecelakaan. Kecelakaan itu membuatku sangat takut. Bahkan saat itu aku terpikir bahwa aku mungkin akan mati. Tapi ternyata Tuhan menyelamatkanku. Aku masih di berikan kesempatan untuk hidup. Aku sangat bersyukur karena Tuhan masih mengizinkanku untuk hidup lebih lama.

 

Namun akhir-akhir ini aku merasa ada sesuatu yang terus berkurang dari dalam diriku. Sesuatu yang perlahan menghilang dan terhapus. Iya, nampaknya aku melupakan beberapa kenangan dan ingatan. Kenangan dan ingatan itu terhapus begitu saja. Bahkan tidak jarang aku sama sekali tidak ingat hari dan tanggal. Aku terpikir, apakah itu adalah efek dari benturan di kepalaku?

 

Jikapun memang banyak kenangan yang terlupakan dan terhapus secara perlahan, aku masih terbilang beruntung. Bahkan sangat beruntung karena aku tidak kehilangan ingatan total ketika kecelakaan itu terjadi. Benar tidak?

 

Karena banyak hal yang akan terlupakan, aku menjadi merasa bersalah. Terutama pada orang-orang terdekatku yaitu Eomma, Jejoon, Jinki dan Kibum. Aku akan sangat bersalah jika aku benar-benar melupakan mereka juga. Mereka adalah orang-orang terdekat yang sangat ku sayangi.

 

Tuhan, jika boleh aku meminta, jika memang aku akan kehilangan semua ingatanku, ku mohon jangan hapus sebuah nama. Biarkanlah nama itu tetap terpatri dalam hatiku meski tidak dalam ingatanku, ku mohon jangan hapus sebuah nama. BiarkanJinki, Lee Jinki, tetap berada dalam hatiku. Ku mohon, biarkan nama Jinki tetap tertulis dalam hatiku. Karena aku sangat mencintainya dan dialah penyemangat hidupku. Aku sangat mencintai Jinki, Lee Jinki.

 

Tuhan, ada satu hal lagi yang ingin ku pinta darimu. Jika memang aku akan kehilangan semua kenangan dan ingatan dengan Jinki, tolong berikan aku kesempatan untuk dapat bersamanya. Meskipun aku tidak akan ingat oadanya ketika aku terbangun dari tidur panjangnku nanti, tapi aku mohon biarkanlah aku tetap bersamanya. Izinkan aku untuk merasa bahagia berada di samping Jinki sejenak saja. Dan setelah Kau berikan kesempatan itu aku memang harus pergi, ku mohon jangan biarkan cinta ini pergi bersamaku. Biarkan cinta ini tetap hidup bersama Jinki, dan biarkan cinta ini membuat Jinki bahagia.

 

-Lee Jihyeon-

 

 

                Ketika Jinki selesai membaca surat itu, Jinki tidak dapat lagi menahan kesedihan dan sesak yang terus menyeruak  dalam dadanya. Rasa sakit dan sesak itu semakin menjalar.

 

                “Jihyeon-a…” hanya nama Jihyeon yang sanggup ia ucapkan dengan jelas di sela-sela tangisan yang tak dapat ia tahan lagi.

 

                Dengan sisa kekuatan yang ada dalam dirinya, Jinki mulai kembali menyusun foto-foto dalam diary Jihyeon dan menuliskan beberapa kalimat didalamnya. Tangannya terus tergerak merangkaikan saksi-saksi kenangannya bersama Jihyeon itu, tapi cairan bening itu juga terus memburu untuk keluar dari pelupuk mata Jinki. Ada sebuah harapan besar, sangat besar dalam benak Jinki, yaitu Jihyeon akan kembali mengingat semuanya dan kondisi Jihyeon kembali baik seperti semula.

***

 

 

                Jinki berjalan di koridor menuju ke ruangan tempat Jihyeon di rawat. Tangan kanannya membawa sebucket bunga mawar pink, sementara tangan kirinya menggenggam erat buku diary milik Jihyeon. Langkah Jinki terhenti di depan sebuah pintu ruangan. Dari jendela kecil pintu tersebut, mata Jinki menangkap sesosok gadis yang tengah duduk di kursi roda dan menatap kosong ke arah luar. Ketika matanya dengan jelas menangkap sosok gadis itu, hatinya bergetar dan lagi-lagi ia hampir meneteskan cairan bening itu.

 

                ‘Jihyeon-a, tidak peduli apapun yang terjadi padamu, aku berjanji untuk selalu berada disampingmu dan aku akan membuatmu kembali mengingat semuanya…’ gumam batin Jinki.

 

                Dengan langkah pasti, Jinkipun mulai membuka pintu tersebut dan melangkah mendekati Jihyeon.

 

                “Joheun achim, Jihyeon-a³⁵…” sapa Jinki.

 

                Jihyeon pun mengalihkan pandangannya pada suara yang ia dengar menyapanya itu. Jihyeon hanya menatap Jinki dengan tatapan heran bahkan wajahnya tidak menampakkan ekspressi apapun. Ada sedikit rasa bingung dalam benak Jinki, namun bagaimanapun ia tetap harus berusaha membantu Jihyeon mengingat semua kenangan dan kebersamaan yang pernah mereka lalui.

 

                “Nugutjyo?” lagi-lagi hanya kata itu yang terlontar dari mulut Jihyeon ketika mendapat Jinki berada di sekitarnya.

 

                “Aku… Aku Jinki, Lee Jinki…” jawab Jinki.

 

                “Jinki?” tanya Jihyeon.

 

                Hati Jinki bergetar. Ia takut Jihyeon benar-benar melupakannya.

 

                “Jihyeon-a, aku membawakanmu sesuatu. Lihatlah, aku membawakan bunga mawar pink, bukankah ini bunga kesukaanmu?” ujar Jinki seraya menyerahkan bunga mawar itu pada Jihyeon.

 

                Jihyeon tetap menatap Jinki dengan heran.

 

                “Jihyeon-a, kau lihat, aku juga membawa sebuah buku yang akan membantumu mengingat kembali semuanya,” ujar Jinki seraya menyerahkan buku diary Jihyeon yang sempat ia hiasi dengan beberapa kelopak bunga mawar pink itu.

 

                “Ige mwoya³⁶?” tanya Jihyeon seraya membuka buku diary miliknya itu.

 

                “Itu buku diary milikmu. Bukankah di buku itu duku kau selalu menuliskan hal-hal menarik yang pernah kau alami? Aku yakin, dengan kau membacanya kembali, kau pasti akan segera mengingat semuanya,” jelas Jinki yakin.

 

                Jihyeon mulai membuka-buka buku diary yang menjadi satu-satunya asset bagi Jinki untuk membantu mengembalikan ingatan Jihyeon. Sementara Jinki hanya sanggup berdiri di samping Jihyeon sambil menatap wajah seseorang yang sanggup mencuri semua kasih sayangnya kitu dengan prihatin dan khawatir. Ya, di satu sisi Jinki prihatin dengan kondisi Jihyeon saat ini, tapi di sisi lain juga memang tidak dapat di pungkiri bahwa ia juga merasa sangat khawatir Jihyeon tidak akan bisa mengingat semuanya.

 

                Sementara itu, di balik pintu, ada seorang pemuda yang tak lain adalah Kibum tengah memperhatikan adegan Jinki dan Jihyeon. Menyaksikan hal itu, hati Kibum merasa sakit. Karena baginya, Jinki masih tidak bisa Jihyeon kenali, apalagi dirinya.

***

 

 

                Hari ini, dengan berbekal keberanian yang cukup, Kibum datang sendirian ke rumah sakit. Ia menjenguk Jihyeon yang memang masih di rawat. Ketika sampai di ruang tempat Jihyeon di rawat, Kibum mendapat Jihyeon tengah duduk di tempat tidurnya sembari membuka-buka buku diary yang di hias dan di tempeli foto-foto oleh Jinki itu. Kebetulan saat itu, Jihyeon tengah sendirian.

 

                “Annyeong haseyo, Jihyeon-a³⁷?” sapa Kibum.

 

                Jihyeon pun segera mengalihkan pandangannya pada Kibum yang asing baginya itu.

 

                “Nugutjyo?” tanya Jihyeon.

 

                “Aku Kibum, Kim Kibum, sahabatmu juga sahabat Jinki,” jawab Kibum.

 

                Seperti yang telah ia duga, Jihyeon tidak mengenalinya. Ketika Jihyeon menatapnya seolah-olah ia adalah orang yang sangat asing, hati Kibum bergetar menahan sesak yang kembali menyeruak dalam dadanya. Namun ia segera kembali menetralkan perasaannya.

 

                “Kau sedang apa?” tanya Kibum.

 

                “Aku sedang membuka-buka buku ini, barangkali ada yang dapat ku ingat,” jawab Jihyeon.

 

                “Buku ini pasti dari Jinki,” Kibum pura-pura menebak padahal ia sudah tahu benar bahwa buku itu memang dari Jinki.

 

                “Geurae³⁸…” jawab Jihyeon.

 

                “Adakah kau tahu sesuatu tentang Jinki?” tanya Kibum.

 

                Jihyeon hanya menatap Kibum lalu menjawab pertanyaan Kibum dengan menggelengkan kepalanya.

 

                “Kau tahu, Jinki adalah seorang pria yang baik dan dia sangat mencintaimu lebih dari apapun,” jawab Kibum.

 

                Jihyeon tak bergeming.

 

                “Bagi Jinki, kau, Lee Jihyeon, adalah salah satu yang dapat membuatnya bahagia. Kaulah kebahagiaannya. Dia sangat mencintaimu. Begitu juga kau. Kau sangat mencintai Jinki lebih dari Jinki mencintaimu,” jelas Kibum.

 

                Jihyeon masih juga tak bergeming.

 

                “Harapan besar Jinki saat ini adalah kau dapat kembali mengingat dirinya dan semua kenangan yang telah kalian lalui. Jinki setiap hari juga berdoa untuk kesembuhan dan kebahagiaanmu,” jelas Kibum lagi.

 

                Jihyeon hanya menatap Kibum. Dalam pikirannya, ia mencoba mencerna dan berusaha mengingat setiap apa yang Kibum katakan meskipun itu sangat sulit baginya.

 

                Ternyata sementara Kibum membantu Jihyeon mengingat kenangan-kenangannya, di balik pintu ada seorang pemuda yang tengah memperhatikan mereka. Pemuda itu adalah Jinki.

 

                ‘Gomawo, Kibum-a…’ gumam batin Jinki.

***

 

 

                Sepulangnya dari kampus, Kibum segera pulang ke rumahnya. Namun belum juga ia sampai di sebuah rumah yang tak jauh dari kampusnya itu, ia melihat sesosok pemuda yang begitu ia kenali tengah bersandar pada pagar rumahnya. Kibum pun segera mendekati pemuda itu.

 

                “Jinki-ya, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kibum.

 

                Jinki tersenyum, “Kibum-a, apa yang ada dalam pikiranmu?”

 

                “Apa maksudmu?” tanya Kibum balik.

 

                “Aku melihatnya, Kibum-a,” jawab Jinki.

 

                “Mwoya?” tanya Kibum heran.

 

                “Kenapa kau lakukan hal itu? Kenapa kau membantu Jihyeon untuk mengingatku lagi? Bukankah au juga mencintainya?” tanya Jinki.

 

                “Jinki-ya…”

 

                “Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanya Jinki.

 

                “Jinki-ya, kita sudah lama bersahabat. Saat pertama kali berkenalan dengan Jihyeon, bukankah kau juga melepaskan Jihyeon untukku karena kau tahu aku menyukainya? Bahkan saat itu juga Jihyeon rela mengorbankan perasaannya hingga kalian sama-sama terluka demi aku, bukan? Sekarang adalah giliranku. Aku juga ingin melihat sahabatku dan orang yang ku cintai bahagia,” jelas Kibum.

 

                “Kau pasti salah paham, kan?” tanya Jinki.

 

                Kibum menatap Jinki, “Kau marah padaku?”

 

                “Justru aku sangat berterimakasih atas apa yang kau lakukan. Tapi aku juga merasa sangat bersalah karena kehadiranku, kau dan Jihyeon…” ucapan Jinki tertahan.

 

                “Jangan katakan hal itu, memang kau yang sepatutnya berada di samping Jihyeon untuk membahagiakan Jihyeon,” Kibum menyela ucapan Jinki.

                “Gomawo, Kibum-a… Jeongmal gomawo³⁹…” ucap Jinki seraya memeluk sahabatnya itu.

***

 

 

                Hari ini, Jihyeon mengajak Jinki ke tempat-tempat yang sekiranya bisa membantunya untuk kembali mengingat kenangan-kenangannya bersama Jinki. Ternyata Jinki membawa Jihyeon ke sebuah taman yang memang selalu mereka datangi. Dengan langkah sedikit tertatih, Jihyeon berusaha bangkit dari kursi roda. Jinki pun membantu Jihyeon beranjak dan berjalan menuju ke sebuah pohon. Di pohon itu terpahat sebuah ukiran yang membentuk “J&J” yang merupakan singkatan dari Jinki dan Jihyeon.

 

                “Ini kau yang membuatnya?” tanya Jihyeon.

 

                “Kau yang membuatnya,” jawab Jinki. “Dulu kita sering datang kemari dan di tempat inilah kita selalu menghabiskan waktu bersama,” jelas Jinki.

 

                “Indah sekali,” ucap Jihyeon seraya membelai ukiran itu.

 

                “Apa kau mulai mengingat beberapa kenangan yang sempat kita lalui di tempat ini?” tanya Jinki.

 

                Jihyeon tak bergeming.

 

                “Jihyeon-a, bagaimana kalau kita pergi ke danau yang tak jauh dari sini?” tanya Jinki.

 

                “Baiklah,” jawab Jihyeon.

 

                Jinki pun membawa Jihyeon ke tepi sebuah danau yang memang saat sebelum Jihyeon hilang ingatan selalu mereka datang itu. Jihyeon dan Jinki pun duduk di atas rerumputan di tepi danau itu.

 

                “Udaranya sangat sejuk,” ucap Jihyeon.

 

                “Dulu juga kita sering kemari,” ujar Jinki.

 

                Jihyeon tampak memejamkan matanya untuk menikmati udara sekitar. Melihat Jihyeon memejamkan matanya, Jinki hanya bisa memandangi wajah Jihyeon yang selalu sanggup merenggut seluruh perhatiannya itu. Batin Jinki menangis menghadapi kenyataan bahwa memang sepertinya Jihyeon tidak memberikan tanda-tanda bahwa ia akan mengingat semua kenangan yang sempat mereka lalui itu.

 

                “Jinki Oppa, jeongmal gomawo…” Jihyeon perlahan kembali membuka kedua matanya.

 

                “Kau berterimakasih untuk apa?” tanya Jinki.

 

                “Meskipun aku tidak dapat mengingat semuanya, tapi tanpa putus asa kau terus berusaha membantuku untuk mengingat semua kenangan yang pernah kita lalui. Bahkan mungkin kau juga tahu benar bahwa aku tidak bisa mengingat semuanya,” jelas Jihyeon.

 

                Jinki hanya menatap Jihyeon.

 

                “Tapi tahukah kau bahwa ada sebuah hal yang ku yakini memang tidak bisa terhapus dariku?” tanya Jihyeon.

 

                “Mwoya?” tanya Jinki balik.

 

                “Entah kenapa, meskipun aku sempat tidak mengenalimu dan bahkan aku tidak dapat mengingat semuanya, tapi namamu begitu familiar bagiku. Seolah aku memang sangat mengenalmu dan hatiku bergetar setiap mendengar namamu,” jelas Jihyeon.

 

                “Jihyeon-a…”

 

                “Terima kasih atas semua perhatian dan kasih sayang yang kau berikan untukku kemarin, saat ini dan di masa yang akan datang. Tapi maafkan aku jika aku tidak dapat mengingatnya…” ucap Jihyeon.

 

                Jinki hanya menatap Jihyeon.

 

                “Jeongmal gomawo…” ucap Jihyeon.

 

                “Jihyeon-a…”

 

                Mata Jinki mulai terasa memanas. Terlebih lagi ketika matanya dan mata Jihyeon beradu tatap. Bagi Jinki, tatapan Jihyeon adalah tatapan yang akan selalu ia rindukan sampai kapanpun. Bahkan bagi Jinki, tatapan Jihyeon lah yang selalu ingin ia lihat setiap ia terbangun dari tidurnya.

 

                Tangan Jinki perlahan terarah untuk meraih wajah Jihyeon dan membelai wajah Jihyeon yang selalu menghiasi ruang pikirannya itu. Wajah yang setiap kali memaksanya untuk tidak berhenti memikirkan Jihyeon ketika ia teringat pada Jihyeon. Wajah yang sanggup membuatnya tersenyum ceria dan wajah yang selalu membuatnya tergila-gila meskipun hanya menatapnya dari sebuah foto.

 

                Tanpa sadar, Jinki semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Jihyeon. Sementara Jihyeon hanya memejamkan matanya ketika bibir Jinki menyapa bibir tipisnya. Namun tak berlangsung lama, karena Jinki merasa hembusan nafas Jihyeon terhenti dan Jihyeon terkulai.

 

                “Jihyeon-a…” ucap Jinki seraya menepuk-nepuk wajah Jihyeon dan tak dapat di pungkiri bahwa kekhawatiran dan ketakutan mulai menyeruak dalam pikirannya.

 

                “Jihyeon-a, ireona⁴⁰... ireona…” ucap Jinki.

 

                Air mata yang semenjak tadi ia tahanpun mulai keluar dari pelupuk matanya tanpa ia kehendaki, “Ireona… ireona, Jihyeon-a…”

 

                “Jihyeon-a, jebal⁴¹…

 

                Sekeras apapun Jinki memungkiri bahwa Jihyeon telah pergi, bagaimanapun juga hati kecilnya tak bisa pura-pura mati rasa.

 

                “Jihyeon-a… ireona…”

 

                Bulir-bulir bening itu saling memburu keluar dari pelupuk mata Jinki. Dipeluknya raga Jihyeon yang sudah tak bernyawa lagi itu.

 

== THE END ==

 

 

= EPILOG =

Demi bintang dan bulan yang menjadi saksi pertemuan kita dahulu

Maka kini aku berjanji dengan di saksikan bumi dan langit, bahwa aku akan tetap mencintaimu

Ku mohon, berbahagialah…

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet