Too Late?

Too Late?

Too Late?

 

Kim Taehyung

 

Jeon Jungkook

 

Jeon Nami (oc)

 

 

Tanpa seharipun Taehyung tak merutuki kebodohannya. Tanpa seharipun Taehyung selalu mengumpati dirinya sendiri. Tanpa seharipun Taehyung selalu mengepalkan tangan, mengalunkan doa, untuknya, untuk tujuannya. Delapan tahun lamanya Taehyung selalu menggantungkan doanya, delapan tahun lamanya tak henti-hentinya menggumamkan kata semoga, delapan tahun lamanya Taehyung, pundak Taehyung serasa begitu berat.

“Tae, bangun, Tae.” Jimin menarik paksa selimut yang sedari tadi menjadi tempat Taehyung bersembunyi dari udara dingin. Berdecak keras saat melihat jam digital yang berada di samping tempat tidur Taehyung, mengambil ponsel Apple milik Taehyung yang membuatnya serasa ingin membanting ponsel itu, 38 panggilan darinya sama sekali belum terjamah oleh Taehyung, hingga saat ini Jimin masih tidak menyangka bahwa pria yang masih tertidur itu adalah pemilik sebuah perusahaan elit di Seoul. “Yak Kim Taehyung banguuuuuun!” Teriak Jimin dengan kerasnya di telinga Taehyung.

“Brengsek Jim, kau mau membuatku tuli?” Taehyung langsung terbangun dan terduduk, mengumpat dengan nada mengantuknya, hampir saja dirinya kembali berbaring namun jeweran Jimin mencegahnya untuk kembali memeluk guling kesayangannya.

“Bangun isajangnim, kau ada rapat 25 menit lagi.” Seketika membuat Taehyung tergelak, dirinya terbangun, mendelik menatap Jimin yang kini memijat pangkal hidungnya.

“Brengsek, kenapa tidak bangunkan aku dari tadi hah.” Taehyung ingin memukul Jimin, namun mengingat waktunya tak banyak, dirinya langsung berlari ke kamar mandi, meninggalkan Jimin dengan wajah memerahnya menahan umpatan kepada atasannya.

.

.

Dewi fortuna tengah memihak Taehyung dan perusahaannya, investor yang berasal dari Jepang terjebak macet hingga Taehyung memiliki waktu untuk berbenah diri, menyiapkan dokumen untuk presentasi, dan setidaknya dirinya memiliki waktu untuk mengumpati Jimin. Rapat kali ini membuat senyum Taehyung dan Jimin terus mengambang, saling melirik lalu berhighfive dengan tangan di bawah meja.

“Terimakasih Mr. Tatsuya, kami akan mengusahakan yang terbaik.” Taehyung menutup rapat dengan menjabat tangan Mr. Tatsuya, mengantar investor tersebut hingga lantai dasar yang menuju parkiran mobilnya.

“Kudengar anda masih single Mr.Kim, anda begitu tampan dan berkharisma, materi melebihi cukup, kenapa masih sendiri?” Mereka terhenti di samping mobil Limosin mewah yang sudah terpakir rapi di lobi. Jimin terkikik mendengar pertanyaan ini, meskipun sudah puluhan kali Jimin mendengar pertanyaan ini-dari orang-orang yang berbeda, tetap membuat Jimin terkikik saat melihat ekspresi Taehyung, sahabat sekaligus atasannya ini.

“Ahaha, aku sudah memiliki seseorang Mr. Tatsuya, tinggal menunggu dia pulang.” Senyum di bibir Mr.Tatsuya meluntur samar, dirinya lalu mengangguk dan menepuk lemah lengan Taehyung.

“Padahal aku berniat memperkenalkan puteriku, tapi syukurlah kau sudah memiliki seseorang. Semoga dia cepat kembali. Kalau begitu sampai bertemu kembali Mr.Kim.” Taehyung mengangguk dan membukan pintu untuk Mr. Tatsuya, menghempaskan nafas penuh saat mobil itu sudah keluar dari area kantornya.

“Tidak ingin masuk Tuan Kim?” Taehyung berbalik menatap Jimin, lalu melenggang dengan tangan mengepal, memikirkan kalimat yang tadi di ucapkan Mr. Tatsuya dengan entengnya, semoga cepat kembali? Bahkan Taehyung tak tahu kapan waktu itu, bukannya Taehyung pasrah atau menyerah, dirinya hanya lelah, delapan tahun bukanlah waktu singkat untuk bersabar menanti sesuatu yang tidak pasti.

“Kau masih berusaha mencarinya?” tanya Jimin setelah menekan tombol saat mereka hanya berdua di dalam lift.

“Aku akan terus berusaha mencarinya Jim, bahkan ketika aku sudah tak mampu menarinya, aku akan tetap mencarinya.” Taehyung menunduk menatap sepatu mengkilapnya, Jimin hanya memandang sendu sahabatnya, guratan kelelahan tercetak jelas di raut wajah Taehyung, sering pulang Jimin menemukan kondisi Taehyung yang tertidur di meja kerja, sofa bahkan lantai apartemennya, jika bukan karena obat penenang, mungkin Taehyung akan terus-terusan terjaga seperti zombie.

“Akupun Tae, akupun akan mencarinya.” Taehyung mengangkat wajahnya lalu menatap lekat Jimin, setidaknya ada orang yang mau menanggung sedikit bebannya. Setelah keluar dari lift, Taehyung berjalan duluan menuju ruangannya, sementara Jimin terhenti karena ponsel di sakunya bergetar.

“Ya?”

“Benarkah?”

“Baik. Kerja bagus, terimakasih.”

Seulas senyum tercetak di bibir tebalnya, berlari kencang menjebrak pintu Taehyung, memandang sahabatnya dengan pancaran kebahagiaan, membuat Taehyung mengerutkan alis terbingung dengan tingkah Jimin yang kini terus tersenyum menghampirinya.

“Tae, buka emailmu.”

“Untuk?”

“Kita menemukannya Tae, kita MENEMUKANNYA.” teriak Jimin dengan mata bersinarnya, sontak membuat Taehyung membuka paksa Laptopnya, mendial passwordnya, dengan terburu-buru, bahkan sempat salah memasukkan kata. Sial, gerutu Taehyung.

Mata Taehyung dan Jimin membola melihat lampiran sebuah foto, seorang wanita yang tengah menggandeng seorang anak laki-laki. Tangan Taehyung begitu gemetar hebat, matanya memanas, kerja kerasnya selama delapan tahun kini terbayar, Jimin membelai lembut punggung Taehyung, menyalurkan kekuatan dan kebahagiaan sekaligus.

“Tae, dia dekat. Alamat itu aku mengenalnya.”

“Jim bergegas.” Dengan cekatan Taehyung mengambil kunci mobilnya, berlari menarik Jimin, dirinya sudah tidak sabar untuk menaiki mobil mewahnya.

“Jim, kau memang runner up dalam balap mobil, tapi sekarang, kuharap runner up mu mengungguliku.” Taehyung melempar kunci mobilnya yang langsung mendapat makian dari Jimin, bukannya Jimin yang runner up, dirinya hanya berbelas kasihan pada Taehyung, makanya dia membiarkan Taehyung mendapatkan predikat The King Street. Batin Jimin.

“Jim, sial, lebih cepat.” Taehyung terus menggigiti telunjuknya, terkadang menepuk keras pahanya, geram dengan Jimin yang menurutnya masih kurang cepat.

“Demi Tuhan Tae, ini melebihi batas Tae, ini siang hari bodoh, jalanan ramai, kau mau mati sebelum bertemu mereka?” Taehyung mengabaikan perkataan Jimin, matanya tajam terus menatap jalanan, seandainya bisa, matanya memancarkan perintah agar mobil-mobil di depannya minggir memberi jalan untuk mobilnya melewati jalanan dengan cepat.”

 

“Kita berhenti disini saja, masih terjangkau untuk melihat anak-anak keluar dari gerbang.” Taehyung hanya mengangguk, melepas jam tangannya yang membuatnya terasa risih. Melemparnya pada dashboard mobilnya.

“Jam berapa biasanya anak SD keluar?” Tanya Taehyung masih dengan fokus menatp gerbang sekolah dasar yang terletak 10 meter darinya.

“Entahlah, aku belum punya anak.” Jimin hanya mengedikkan bahu lalu menurunkan kaca jendela mobilnya.

“Bodoh.”

 

Sudah setengah jam Taehyung terduduk di mobilnya dengan gelisah, terkadang miring kanan lalu miring kiri, keluar dari mobil berjalan mondar-mandir lalu masuk lagi ke dalam mobil, bahkan kukunya sudah berdarah sedari tadi ia gigiti. Pakainnya benar-benar kusut, bak pegawai yang baru saja kehilangan pekerjaannya. Tak lain juga Jimin, dirinya juga lelah sedari tadi memperhatikan Taehyung yang seperti orang gila, beruntunglah Jimin terkadang meletakkan cemilan di mobil Taehyung, jadi saat ini ia terduduk di kap mobil dengan sebungkus ciki yang tinggal separo.

“Tae anak-anak keluar.” Jimin langsung meremas cikinya, berlari memasuki mobil, mencondongkan badan dan menyipitkan mata, melihat satu-persatu wajah anak-anak yang baru keluar dari sekolah.

Taehyung pun gelagapan, wajah anak di foto masih tercetak jelas di memorinya, namun sampai kerumunan terakhir, ia tak menemukan wajah yang ia cari, para orang tua yang menjemput anaknya sudah membawa pulang buah hati mereka, membuat Taehyung begitu gelisah.

“Tae, aku tak menemukannya.” Jimin menghempaskan tubuhnya, menabrakkan punggungnnya pada kursi kemudi.

Jim.” Suara berat Taehyung membuat Jimin kembali mencondongkan badannya, melihat dua anak keluar dari gerbang dengan masing-masing memegang permen lolipop. Yosh, Jimin meninju udara saat menemukan anak dengan wajah persis di email Taehyung.

Saat Taehyung melihat wajah anak itu, nafasnya bagai berhenti, tangannya mengepal hingga kuku-kukunya memutih, menggigit bagian bawah bibirnya, ingin rasanya Taehyung mendobrak pintu mobilnya berlari menggendong anak itu.

“Tae, sungguh, dia mirip denganmu.” Lirih Jimin saat melihat anak itu melambai pada sahabatnya yang kini tengah menggandeng orang tuanya.

“Ji-m apa yang harus kulakukan? Mana Nami?” Taehyung celingukan mencari keberadaan ibu dari sang anak yang kini masih asik menjilati popsiclenya.

Tak lama seorang wanita mengahmpiri anak itu mengelus surainya lalu menggandeng tangan mungil itu, membawanya berjalan beriringan, hati Taehyung menghangat, bahkan dirinya tak sadar pipinya yang kini basah.

“Kit-kita menemukannya Jim.” Jimin mengangguk antusias, bibirnya masih tersenyum semenjak melihat anak itu hingga dua sosok yang selama ini mereka cari sudah tak terjangkau mata mereka lagi.

.

.

Taehyung tak pernah sebahagia ini selama hidupnya, untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, Taehyung masih terjaga dengan seulas senyum terpatri di wajahnya, untuk pertama kalinya selama delapan tahun Taehyung tidak membutuhkan obat penenang untuk gemuruh di dadanya, untuk pertama kalinya selama delapan tahun Taehyung bisa mengharapkan mimpi indah untuk malam ini, karena harapannya kini terwujud, meski ini masih dasar, setidaknya Taehyung memiliki harapan.

Sudah seminggu Taehyung layaknya seorang penguntit, menunggu di dekat sekolah setengah jam sebelum bel berbunyi, lalu sore harinya akan memakirkan mobil mewahnya dekat dengan taman yang berada di komplek apartemen tak terlalu jauh dari sekolah dasar, karena Taehyung telah mengamati, tiap pukul tiga sore, bocah yang selalu ia ikuti akan bermain di taman, bersama teman-temannya, lalu jam lima, Nami akan menjemput anak itu, terkadang membawakannya makanan lalu menyuapinya di taman.

Jauh dalam hati Taehyung, dirinya bersyukur, anak itu, darah dagingnya, menjadi anak yang ceria, patuh dan juga tampan sepertinya. Ya, anak itu adalah anak Taehyung bersama Nami, semua berawal dari dirinya yang memergoki Nami sedang meletakkan secarik surat di lokernya, Taehyung saat itu tengah kalut, membawa Nami ke apartemen dekat kampusnya, tanpa menanyakan nama ataupun alasan gadis itu mengirim surat untuknya, dengan bringas Taehyung meniduri Nami, hingga ia menyadari, Nami gadis-gadis baik yang ia ambil mahkotanya. Nami bukanlah jalang selama ini Taehyung cap kan pada setiap gadis yang mendambanya, hari itu dimana ia meminta maaf pada Nami, Nami hanya menjawab dengan gelengan kepala lalu mengucapkan tak apa, aku tahu kau sedih, setidaknya aku membantu meringankan sebentar pundak orang yang kusayangi. Nami adalah gadis terbaik yang Taehyung pernah temui, dirinya akan menumpahkan seluruh keluh kesahnya pada Nami, menceritakan mimpi-mipinya saat kuliah, karena perceraian orang tuanya membuat Taehyung kehilangan cahaya, rasa bangganya pada kedua orang tuanya yang ia banggakan karena cinta mereka yang begitu besar yang ia selalu bandingkan dengan teman-temannya yang kekurangan kekasih orang tua karena tuntutan pekerjaan melunturkan seluruh cahaya Taehyung, Taehyung kini sama seperti teman-temannya, bahkan dirinya lebih parah. Namun kini ada Nami, gadis yang selalu setia di sampingnya, teman berceritanya, teman tidurnya, teman dirinya mencari kembali cahaya-cahaya yang telah luntur. Meski terkadang dia merasa gadis baik seperti Nami tak pantas untuk berandal sepertinya, namun cintanya adalah sebuah kepastian yang tak akan pernah di ragukan oleh siapapun bahkan diri Taehyung sendiri.

“Tae, apa pandanganmu jika kau memiliki anak di usia sekarang?” Nami adalah mahasiswi cerdas, kaka tingkatnya yang beberapa saat lalu telah menyandang gelar sarjana di belakang namanya.

“Eii kenapa kau berkata seperti itu.” Taehyung meletakkan dagunya di pundak kekasihnya, mereka terduduk di tepi bukit yang terkadang mereka datangi, tangan Taehyung terus mengelus lembut tangan Nami.

“Jawab saja.” Taehyung terdiam sebentar lalu mengecup telinga Nami, membuat Nami menggeliat karena sentuhan Taehyung yang sensual, bahkan kini Taehyung mengecup leher kirinya, meninggalkan bekas samar yang bagi Taehyung begitu indah dan menggairahkan “T-Tae jaw-ab.” Nafas Nami terengah karena ulah Taehyung.

“Hm, jujur, untuk saat ini aku masih memikirkan masa depanku, hell, aku masih 22 tahun, mana mungkin aku mau memiliki anak dimana wisuda saja belum. Aku masih harus menikmati masa mudaku” Taehyung lalu kembali mengecup leher Nami, Nami hanya mengangguk setelah mendengar jawaban Taehyung, posisi Taehyung yang di belakangnya tak memungkinkan Taehyung untuk melihat raut wajah Nami saat ini, matanya begitu panas, rangsangan yang di berikan Taehyung lewat sentuhan-sentuhan nakalnya yang kini menggarai kedua belah dadanya tak membuatnya terangsang. Hanya kalimat Taehyung barusan yang terus terngiang di otaknya.

“Tae, ayo lakukan di apartemenmu.” Taehyung tersenyum menang, segera mengangat Nami ala pengantin baru menuruni bukit menuju mobilnya, menciumi dahi, hidung dan bibir Nami saat mereka terus berjalan, sementara Nami terus menampilkan senyumnya, menyembunyikan nyeri dadanya.

 

Hingga saat itu tiba, dimana cahaya Taehyung kembali lenyap, dimana dia menyumpahi dirinya sendiri, dimana ia menangisi sepenggal surat dari Nami yang menyatakan dirinya pergi mewujudkan mimpinya, Aku pergi Tae, saat ini aku memiliki mimpi yang harus aku capai, dimana dirimu juga bagian dalam proses impianku akan terwujud. Terimakasih Tae untuk semuanya, bersamanya, aku akan terus mencintaimu.

 

Untuk sejenak, Taehyung merasakan kerajaan yang ia bangun hancur seketika, runtuhan tembok bangunannya menindihnya, kerajaan yang ia bangun untuk dirinya dan Nami dimana mereka akan menjadi sepasang raja dan ratu yang bahagia, dimana ia akan menjadi raja yang bahagia dengan ratu tercantik di seluruh penjuru dunia menjadi miliknya, kini lenyap sudah. Persetan dengan itu semua, saat ini Taehyung berada di titik terlemahnya, menangis sejadi-jadinya, melempar seluruh perabotan di kamarnya, berpikir Nami meninggalkannya karena Nami memiliki lelaki lain, karena dalam suratnya Nami berkata bersamanya, kalimat itu menguatkan Taehyung bagaimana sosok Nami yang sebenarnya seperti ular. Hingga dirinya terlelah untuk menangis, tertidur di lantai kamar dekat ranjangnya, memeluk erat surat yang lusuh karena remasan Taehyung.

Dan dunianya terasa terbalik pada pagi harinya, dimana ia terbangun memincingkan matanya mendapati sebuah benda persegi berada di bawah kolong tempat tidurnya, setau Taehyung, Nami selalu membersihkan kamarnya dengan telaten, bahkan jendelanya selalu ia lap tiap sorenya. Sebuah tespack, bertanda positif, dimana benda kecil serasa menusuk Taehyung bagai tombak. Mencabik-cabik tubuhnya, pemikiran tentang Nami yang layaknya gadis jalang kini adalah sebuah kesalahan terbesar Taehyung. Naminya hamil, dan ia yakini ini anaknya, karena tanpa seharipun tanpa Nami disisinya. Namun kepergian Nami adalah sebuah pertanyaan besar bagi Taehyung, Taehyung begitu mencintai Nami, lalu kenapa Nami pergi? Jika anak itu anaknya, Taehyung dengan bahagia akan menerima Nami, mencintai darah dagingnya, namun kenapa Nami harus meninggalkannya.

Taehyung mencoba memutar otaknya, menerka-nerka hal apa yang sudah ia lakukan pada Nami, hingga ia memukulkan kepalanya pada sisi ranjang, kembali merutuki dirinya, dirinya ingat, dimana ia menjawab pertanyaan Nami, tentang anak, tentang masa depannya yang ia tak ingin dengan anak sebelum semua terwujud. Sungguh terkutuk diri Taehyung, dirinya begitu merutuki kebodohan dan segala perkataannya.

Dan dimana Taehyung mencari-cari kekasihnya sampai delapan tahun lamanya, menerka-nerka apa yang terjadi dengan kekasih juga anaknya. Sampai dimana Taehyung menemukan mereka, dan dengan segala cara, dirinya akan membuat Taehyung kembali memiliki mereka.

.

..

.

“Mama.” Teriak anak kecil dengan suara nyaringnya, berlari menghampiri ibunya yang tengah melipat baju-baju dengan gambar-gambar imut dan kebanyakan adalah gambar pororo dan ironman kegemaran anak semata wayangnya.

“Apa JungKookie sayang?” Nami masih melanjutkan aktivitas melipat bajunya, sesekali matanya akan menatap fokus layar tv yang menayangkan drama kesukaannya.

“Mama JungKookie mendapat sesuatu.” Jungkooh merogoh kantung keli yang berada di dadanya, membuat Nami menghentikan aktivitasnya lalu menatap Jungkook dengan tersenyum. “Mama taarra.” Jungkook memamerkan sebuah foto seorang anak tengah dalam gendongan seorang pria, tersenyum tanpa beban. Nami mengernyitkan dahi mengamati foto tersebut.

“Siapa itu Kookie?” Nami mengambil foto yang tadi berada pada tangan mungil puteranya, menuntun Jungkook untuk duduk di pangkuannya.

“Mingyu dan Papanya Ma.” Nami semakin tak paham dengan maksud Jungkook, dirinya diam menanti kelanjutan Jungkook. “Itu Papanya Mingyu, Mingyu tahu Kookie tak punya foto Papa, jadi Mingyu memberikan foto Mingyu dengan Papanya, katanya biar Kookie punya foto Papa Mingyu sekalian ada Mingyunya.” Hati Nami mencelos, matanya memanas, terlihat begitu menyedihkan dirinya, tak bisa memberikan sosok seorang ayah untuk anak kesayangannya, dirinya terus mengamati Jungkook yang masih setia tersenyum mengamati foto Mingyu dan ayahnya.

“Kookie sayang, kau punya foto Papa.” Nami meletakkan foto tersebut di meja, kedua tangannya menggenggam lembut kedua pipi gembul anaknya, mencium bibir mungil ananya “Kookie punya foto Papa, akan Mama tunjukkan, kalau Kookie sudah siap.” Nami tersenyum lalu mengecup singkat hidung mungil anaknya.

“Mama Kookie sudah siap.” Rengek Jungkook.

“Iya, suatu saat sayang. Ayahmu begitu tampan, jika kau memamerkan fotonya, bisa-bisa temanmu merebut Papamu.” Kilah Nami, entah kebohongan apalagi yang harus ia katakana pada puteranya semenjak Jungkook berumur tiga tahun, hingga saat ini di umurnya yang tujuh tahun, berbohong jika ayah Jungkook kerja jauh, berjanji pulang jika Jungkook menjadi anak baik, dan ada hikmah di balik kebohongannya, Jungkook yang saat kecil begitu manja dan memaksa, kini berubah menjadi bocah cilik penurut, baik bahkan mengerti kesibukan dirinya, menangis sesaat dirinya memutuskan pindah ke Seoul satu tahun lalu karena perpindahan pekerjaan, Jungkook yang memiliki banyak teman di Busan awalnya tak ingin pindah, namun karena iming-iming tentang Papa nya yang akan kembali jika Jungkook menurut, membuat Jungkook mengangguk antusias untuk pindah hingga saat ini Jungkook memiliki banyak teman di tempatnya yang baru.

“Benarkah Mama?” Kini tangan mungil Jungkook mengelus lembut pipi ibunya, menatap dengan tatapan binary yang sejujurnya membuat hati Nami teriris.

“Ne Kookie, Jja, kau mau cake yang tadi Mama buat?” Jungkook mengangguk antusias, bersenandung ria dalam gendongan ibunya, perutnya sudah tak sabar menampung cake lezat buatan Mama tersayangnya.

..

 

Jimin sedang mengobrak-abrik lemari besar Taehyung, sedari tadi sahabatnya menggelengkan kepala, menyumpahinya bodoh karena tidak menemukan baju yang pas untuk Taehyung. Ingin rasanya Jimin menerjang Taehyung lalu mencekiknya hingga Taehyung berbusa, namun yang ia lakukan adalah terus mencari kemeja yang cocok untuk Taehyung kenakan.

“Apa kita harus mall sekarang Jim? Aku akan menghubungi Hoseok Hyung untuk membuka mallnya.” Taehyung dengan segera mengambil ponselnya, sebelum mendial nomor Hoseok, telinganya terlebih dahulu di jewer oleh Jimin “Yak Jim!.”

“Bodoh, kau membeli sebuah baju di pagi hari hanya untuk ke sekolah. Otakmu benar-benar anak TK Tae. Sudah pakai warna merah saja, ini pas, semangatmu harus menyala layaknya api merah. Cepat sana ganti, aku akan mencarikan dasi.” Taehyung mengangguk dengan petuah Jimin, mengiyakan saja lalu mengenakan kemejanya, semoga saja omongan Jimin menjadi penyemangat hari pertamanya.

 

Dan kini berdirilah Taehyung di sebuah ruang mengan banyak berkas-berkas berjejer rapi di lemari kaca, juga bendera Korea yang berada di pojok ruangan, Taehyung berdiri menunggu pria di depannya menandatangani berbagai kertas.

“Baik Kim Taehyung-ssi, mari saya antar, semoga hari pertama anda berjalan lancar.” pria paruh baya itu berjalan beriringan dengan Taehyung, mengobrol singkat tentang kondisi sekolah. Menasehati Taehyung tentang tauladan guru yang baik. Terpujalah Taehyung dengan uang dan jaringannya sehingga ia dapat mengajar di sekolah dasar ini.

“Ini kelas anda Taehyung-ssi, anak-anak telah menunggu. Semangatlah.” Mereka berhenti di depan kelas dengan Papan 1-C, pria paruh baya yang juga seorang kepala sekolah itu mengetuk pintu menunggu guru di dalam kelas membukanya. Taehyung terus mengelap telapak tangannya pada pahanya, tangannya sedari tadi terus berkeringat karena kegugupannya.

Saat pintu di buka rasanya Taehyung ingin berlari meninggalkan kelas menuju mobilnya lalu melesat meninggalkan sekolah, namun yang ia lakukan sekarang menarik sudut bibirnya untuk tersenyum mengelap kembali telapak tangannya, melangkahkan kaki memasuki kelas yang sempat riuh kini hening saat dirinya sudah berada di depan para siswa yang masih begitu imut.

“Anak-anak perkenalkan ini wali kelas yang baru. Silahkan Saem perkenalkan diri anda.” Taehyung mengangguk lalu berdiri dengan tegap menatap satu persatu murid yang dengan rapih terduduk dengan tangan di atas meja, dirinya tersenyum saat melihat seorang anak yang terduduk di baris nomor tiga dari belakang, rasanya Taehyung ingin berlari lalu menggendong anak itu, ya Tuhan begitu imut.

“Anyeong anak-anak manis.” Taehyung melambaikan tangan dengan senyum kotaknya, para murid membalas sapaan Taehyung, lalu kembali hening, sejenak Taehyung menghirup dalam-dalam oksigen.

“Perkenalkan nama saya adalah Kim Taehyung, guru kalian yang baru, kalian boleh memanggil dengan Tae Saem.”

“Ne Tae Saem.” Koor anak-anak serempak.

“Kalau begitu anda bisa memulai kelas hari ini. Selamat bekerja Taehyung-ssi.” Lalu wanita itu melenggang pergi meninggalkan Taehyung yang kini tengah di landa gugupnya, heol, asal kalian tahu, Taehyung si mantan berandal sekolah, sama sekali belum pernah bermain dengan anak-anak, lalu dengan sekejap dia harus mengurus puluhan anak dengan usia rata-rata tujuh tahun.

“Em anak-anak karena ini hari pertama kita, bagaimana kalau kalian memperkenalkan diri satu persatu, agar Saem bisa menghapal kalian.”

“Ne Saem.”

“Kalau begitu di mulai dari si imut pojok depan. Sebutkan nama dan hobi kalian ne.” Taehyung menunjuk anak kurus dengan muka super imutnya, anak itu lalu berdiri memberikan senyum khasnya yang benar-benar menggemaskan.

“Anyeong Tae Saem, Xu Minghao-imnida.” Minghao membungkukan diri lalu kembali duduk.

“Eh hobinya belum.” Taehyung memperingatkan lalu Minghao membulatkan matanya kembali berdiri.

“Hao suka karate dan menari Saem, Hao bahkan sudah mengikuti les beladiri.” Lanjut Minghao.

“Minghao keturunan Cina?” Minghao mengangguk lucu. “Suatu saat kita boleh bertanding Minghao, Saem mantan petinju hebat saat kuliah dulu.” Ucap Taehyung dengan bangga membuat seluruh siswa berkoor ooooooo dengan panjang dengan mata terkagum .”Lanjut.” anak-anak memperkenalkan diri mereka, bahkan banyak yang membuat Taehyung tertawa terbahak-bahak seperti yang bernama Mingyu memiiki hobi menggandeng tangan Wonwoo Hyungnya, Taehyung bahkan tak tahu siapa Wonwoo, juga Seokmin yang memiliki hobi meminta makanan Minghao atau Eunha yang dengan terang terangan mengatakan hobinya adalah membuntuti Eunwoo, mereka menjelaskan hobi mereka dengan lucu dan panjang lebar, bahkan Mingyu menceritakan kesehariannya yang bermain kerumah Wonwoo atau Seokmin yang dengan entengnya sering meminta makan siang di rumah Minghao, hingga giliran bocah cilik yang sedari tadi Taehyung tunggu.

“Anyeong Tae Saem, Jeon Jungkook-imnida.” Untuk sesaat Taehyung tak bisa berkata-kata, hatinya berdesir hangat mendengar suara imut malaikatnya, sekuat diri menahan aliran air mata yang menerobos untuk mengalir.

“Em Kookie hobinya Cuma nonton pororo Saem.” Jungkook menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kau begitu menyukai pororo Ju-JungKookie?” Percakapan pertamanya dengan buah hatinya terasa begitu canggung bagi Taehyung sendiri. Jungkook hanya mengangguk lalu kembali duduk, tak tahu apa yang harus di bicarakan lagi, karena gurunya juga terdiam, Jungkook akui, guru barunya begitu keren.

.

.

Hari pertama bagi seorang Kim Taehyung yang begitu melelahkan, bahkan ini rasanya lebih melelahkan ketimbang berkas-berkasnya. Saat dirinya hendak bergegas menuju mobilnya karena urusan kantor yang penting, dirinya terhenti saat melihat Jungkook terduduk di salah satu ayunan di halaman sekolah. Dirinya tersenyum menguatkan diri lalu menghampiri Jungkook.

“JungKookie.”

“Eh Tae Saem.” Jungkook mendongakkan wajahnya tersenyum mendapati guru baru nan kerennya di hadapannya.

“JungKookie sedang apa?” Taehyung berjongkook mensejajarkan tinggi dengan Jungkook.

“Menunggu Mama Saem.” Jungkook mengayunkan kakinya yang tidak menyentuh tanah. Memberikan cengiran dengan gigi kelincinya yang sangat menggemaskan.

“Kalau begitu Saem temani sebentar ya.” Taehyung lalu berdiri berjalan kearah belakang Jungkook.

“Saem mau kemana?” Jungkook memutar tubuhnya mengikuti pergerakan Taehyung.

“Pegang ayunannya erat-erat Jungkook, Saem akan menerbangkanmu.” Seketika Jungkook tersenyum antusias, menggenggam erat rantai ayunannya, memekik keras saat Taehyung mendorongnya kencang, hangat sangat hangat saat Taehyung melihat Jungkook begitu riang karena dorongannya, terus berteriak agar Taehyung menambah dorongannya, sungguh Taehyung merasa dunia menjadi miliknya.

“Kookie sebentar ya.” Taehyung menghentikkan ayunan itu, merogoh sakunya yang bergetar, sementara Jungkook menatap Saemnya bingung, dirinya ingin kembali meminta Saemnya untuk menganyunkannya lagi, namun tidak berani.

“Hah serius? Lima belas menit Jim. Tunggu. Jungkookie maafkan Saem, Saem ada urusan. Mamamu akan segera sampai jangan kemana-mana.” Taehyung mengusak rambut Jungkook, tersenyum lalu berlari menuju mobilnya, dirinya yang saat ini memiliki dua profesi begitu benar-benar merepotkan, namun ini demi malaikatnya, jadi sekuat tenaga Taehyung akan menjalani ini.

Saat dirinya hendak keluar dari gerbang, senyumnya terparti saat Nami telah datang dan menggandeng Jungkook, setidaknya Jungkook sudah aman tak perlu ada yang di khawatirkan lagi. Lalu Taehyung dengan segera. menekan gas dalam-dalam melalui jalanan Seoul dengan kecepatan tinggi.

“Mama, hari ini kelas Kookie memiliki guru baru.” Jungkook mendongakkan kepalanya, mengayunkan tangan yang terpaut dengan tangan lembut ibunya.

“Benarkah. Seperti apa gurunya?” Nami tersenyum dan terus melangkahkan kaki menjajari langkah mungil Jungkook.

“Keren Ma, benar-benar terlihat keren. Bahkan tadi Saem menemaniku bermain ayunan, Saem mendorong ayunan Kookie tinggi.” Ucap Jungkook antusias. Mengangkat tangan nya mendeskripsikan bagaimana dirinya terbang tinggi wuusshh.

“Wah, kenapa Mama tadi tidak lihat?”

“Saem ada urusan katanya. Mama kita mampir beli ice cream boleh ya?” Jungkook menunjukkan aegyo imutnya. Nami sungguh tidak kuat melihat gigi manis yang seperti kelinci itu.

“Baiklah Mama akan belikan. Setelah itu Mama kembali berangkat kerja, Jungkook janji jangan nakal yah”

“Siap Mama.”

..

..

.

Hampir setiap hari Taehyung menemani Jungkook menunggu Mamanya, karena Jungkook bilang, Mamanya telah berpesan bahwa dirinya akan terlambat untuk menjemput karena pekerjaan menumpuk. Hal itu memberi sedikit keuntungan pada Taehyung, karena dirinya dapat lebih lama bersama Jungkook, dan dirinya mendapat banyak umpatan dari Jimin karena menyerahkan seperempat kerjaannya untuk di kerjakan Jimin.

“JungKookie.” Taehyung menghampiri Jungkook yang tengah duduk terdiam di bangku taman sekolahnya, dengan tersenyum lebar Taehyung mendudukan diri di samping Jungkook lalu meletakkan paper bag berwarna baby blue di sampingnya.

“JungKookie, JungKookie tahu Saem bawa apa?” Jungkook menatap Saemnya, menaikkan alis lalu menggeleng lemah.

“Sini Saem pangku.” Awalnya Jungkook hanya melongo, lalu dengan malu-malu dirinya berdiri dan dengan bantuan Taehyung kini Jungkook terduduk dengan nyaman di pangkuan Taehyung. Seulah senyum dari bibir Jungkook tercetak, Saemnya begitu hangat, bak seorang Papa yang selama ini Jungkook impikan. Dan Taehyung pun tersenyum menang, untuk pertama kalinya, seorang anak kecil terduduk di pangkuannya, menghangatkan hatinya.

“Lihat yang Saem bawa.” Taehyung menyerahkan paper bagnya, yang di terima Jungkook dengan melebarkan mata polosnya, mengambil satu persatu barang yang berada pada paper bag berukuran sedang. Saat melihat robot iron man Jungkook berteriak girang, menggerakkan badannya antusias, ada crayon, beberapa buku cerita, dan juga sebuah topi dengan gambar ironman.

“Woaah keren Saem.” Jungkook berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari mainan yang Taehyung berikan. Taehyung mengangguk tersenyum mencubit pipi gembul Jungkook.

“Maafkan Saem tidak terlalu mengerti apa kesukaan JungKookie, jadi sekarang katakan apa saja yang JungKookie sukai.”

“Semuanya Saem?” masih dengan menggenggam robot ironmannya, Taehyung mengangguk lalu memasangkan topinya ke kepala Jungkook. Merogoh sakunya mengelurakan ponselnya berniat merekam celotehan Jungkook.

“Em Kookie sangat suka ironman dan pororo, Tae Saem taukan?” Taehyung mengangguk lalu menunggu kelanjutan cerita Jungkook. “Kookie sangat suka cake buatan Mama, apalagi yang rasa vanilla dan cokelat Saem, sungguh lezat, jelly Jungkook juga suka, kalo jelly Kookie suka rasa jeruk dan strawberry, tapi semua rasa Kookie suka, ah susu Saem, Kookie suka susu rasa cokelat, setiap mau tidur Kookie minum susu, em sebelum berangkat juga, ah saat main kadang-kadang Mama memberikan susu.” “Wah pantas Kookie gendut.” Jungkook mengerucutkan bibirnya namun kembali berceloteh “Kookie suka bermain dengan Mingyu, Seokmin, Minghao , Yugyeom, Jaehyun. Bambam” Jungkook menghitung teman-temannya dengan jari mungilnya yang mendapat kekehan dari Taehyung. “Lalu apa lagi?”

“Ah popsicle Saem, Kookie suka itu, tapi Mama sering melarang Kookie makan itu.” Bibir mungil Jungkook melengkung “Tenang nanti Saem belikan. Terus?” “Banyak Saem, Kookie bingung ngomongnya, tapi yang paling Kookie sukai adalah Mama.” Jungkook mengucapkan Mama dengan begitu bahagia, Taehyung terharu, anaknya benar-benar menjadi bocah yang begitu baik. akupun sayang Mamamu, batin Taehyung.

“Lalu Papa JungKookie?” Dada Taehyung tersayat rasanya saat menanyakan seperti itu, Jungkook yang mendengar pertanyaan itu menghentikan cengirannya, menunduk lalu memeluk robot iron mannya.

“Kookie tidak tahu Saem.” Jawab Jungkook lemah.

“Eits jangan bersedih jagoan, lihat Saem.” Taehyung membawa wajah Kookie untuk menatapnya “Ingat Saem, jadikan Saem sebagai kawan Kookie, Saem janji, akan selalu bersama Kookie, menyayangi Kookie seperti Papa.” Karena aku adalah Papamu.

“Benarkah Saem?” Taehyung mengangguk lalu memeluk erat Jungkook yang kini tersenyum bahagia di dadanya. Bahagianya melebihi saat dirinya menemukan Nami Jungkook, melebihi saat dirinya memenangkan tender, kebahagiaan saat Jungkook di pelukannya melebihi kebahagiaan apapun yang pernah Taehyung rasakan.

“Kookie?” Suara lembut seorang wanita membuat Jungkook menarik diri dari pelukan Taehyung.

“Mama.” Teriak Jungkook lalu turun dari pangkuan Taehyung berlari menghampiri Mamanya yang mematung saat melihat seseorang di masa lalunya tengah memangku anaknya.

“T-Tae.” Nami tergagap bahkan mengabaikan Jungkook yang tengah memeluk pahanya. Taehyung berdiri dari duduknya, tersenyum samar, keringat dingin membanjiri pelipisnya.

“Mama, Mama kenal Tae Saem?” Jungkook menarik-narik ujung kemeja Mamanya agar mendapat perhatian.

“Tid-“

“Nami.” Panggilan Taehyung membuat Nami kembali menatap Taehyung. Hanya beberapa detik, lalu merengkuh tubuh anaknya, membawa Jungkook dengan sedikit berlari, Taehyung yang melihat itu hanya melototkan mata, tak kuasa untuk memanggil Jungkook atau Nami. Dirinya hanya diam mematung melihat dua cahaya hidupnya menjauh.

Jika biasanya Jungkook pulang bersama Mamanya dengan berjalan kaki, namun kali ini Nami menyetop taxi, masuk dengan tergesa-gesa. Selama perjalanan pulang Jungkook diam memperhatikan Mamanya, Nami hanya terdiam mengelus punggung Jungkook tanpa mengatakan sepatah katapun. Terkadang dirinya terbatuk lalu mencengkram erat celana katunnya, merasakan dadanya terasa sulit bernafas.

.

Taehyung memungut paper yang tergeletak di tanah, hanya robot dan topi yang di bawa Jungkook. Dalam diam Taehyung menangis, merutuki kebodohannya, lidahnya sudah kelu untuk menyumpahi dirinya sendiri. Kakinya tak mampu menompang tubuhnya saat ini, Taehyung terduduk, menyembunyikan wajahnya pada kedua tangannya, merasa dadanya begitu panas.

 

“Kookie, katakan pada Mama, siapa orang tadi?” Nami baru berbicara saat meletakkan Jungkook di sofa apartemennya, lalu berjongkok melepas sepatu Jungkook.

“Tae Saem Ma.” Sebenarnya Jungkook agak ketakukan, karena baru kali ini Mamanya seperti ini.

“Apa yang dia katakan?” Nami terduduk di samping Jungkook, lalu melepas dasi dan kancing baju Jungkook dengan tergesa.

“Mama.” Jungkook menangis ketakutan dengan perlakuan Mamanya, menyadarkan Nami dengan apa yang telah perbuat pada anaknya, segera dirinya memeluk Jungkook, meminta maaf atas sikapnya, namun hal itu tak membuat Jungkook terdiam tetapi membuat Jungkook menangis sejadi-jadinya.

“Maafkan Mama sayang.” Nami ikut menangis, membodohi dirinya yang memperlakukan Jungkook tidak sewajarnya. Saat memeluk Jungkook, dirinya baru tersadar ada pemisah di antara keduanya.

“Kookie kau membawa robot siapa?” Nami menghapus jejak air matanya, mengerutkan dahi menyadari anaknya memakai sebuah topi.

“T-Tae Saem mem-berikan Ko-Kookie.” Jawab Jungkook sesenggukkan, membuat Nami kembali merafalkan kata maaf.

“Paman Chollie membelikanmu cheese burger, kau mau?” Jungkook mengangguk dalam tangisnya.

.

.

“ Jim, aku tak bisa melakukan apapun.” Taehyung melempar asal sepatunya, Jimin yang baru saja mengganti pakaian kantornya dengan pakaian rumah terlonjak kaget saat melihat Taehyung dengan berantakannya terduduk di sofanya.

“Ngomong yang benar Tae.” Jimin membiarkan saja sepatu yang di lempar Taehyung, memilih mendudukan dirinya berhadapan dengan sahabatnha.

“Aku bertemu Nami.” Taehyung memijat pangkal hidungnya sambil terpejam.

“Daebak lalu?”

“Apanya yang lalu? Aku diam seperti orang bodoh, sementara Nami lari terbirit-birit menggendong Jungkook. Dan Nami begitu pucat astaga.” Jimin melirik paper bag yang berada di samping Taehyung. Ia tahu paper bag tersebut, karena dia ikut membantu Taehyung memilih mainan untuk Jungkook, karena demi apa, Taehyung sangat bodoh untuk urusan anak-anak.

“Bagaimana mainannya?” Jimin mengangkat kakinya dengan posisi bersila.

“Jungkook membawa iron man dan topinya.”

“Syukurlah, setidaknya tidak terlalu sia-sia.” Jimin melirik jam yang berada di dinding ruang tamunya lalu kembali melirik Taehyung.

“Tidurlah di kamar, Yoongi Hyung akan datang. Jika dia sudah memasak, akan kubangunkan kau.” Taehyung mengangguk lalu berjalan menuju ruang kamar yang biasa ia tempati jika menginap di rumah Jimin.

Jimin mengambil ponselnya menghubungi Yoongi-kekasihnya-yang memiliki gander sama sepertinya, bagi Jimin kekasihnya bahkan lebih cantik dari seluruh perempuan di dunia. Menanyakan kapan kekasihnya akan sampai di apartemennya, dan sukses mendapat omelan dari Yoongi karena Jimin baru menelponnya lima menit yang lalu.

.

.

Sudah dua hari semenjak Taehyung bertemu Nami, namun perlakuan pada Jungkook tetap sama. Dia bahkan memamerkan sayangnya pada Jungkook di depan murid-murid lain, yang terkadang membuat murid-murid lain iri.

“JungKookie coba sini Saem lihat pekerjaanmu.” Jungkook berdiri membawa buku tulis dengan corak spiderman, berjalan dengan langkah mungil menghampiri Taehyung yang terduduk di kursinya.

“Ini Saem.” Taehyung melirik hasil penjumlahan dan pengurangan yang di kerjakan Jungkook, tersenyum saat melihat beberapa hasilnya yang salah.

“Ini masih salah, lihat begini caranya, sini.” Tanpa sadar Taehyung membawa Jungkook dalam pangkuannya, mengajarkan cara menghitung yang benar, membuat Jungkook terkikik bahagia, dan merasa menang lalu melirik teman-temannya yang melihatnya dengan raut terkagum.

“Saem, punyaku.” Seokmin berlari menghampiri Taehyung, menyodorkan buku corak sepakbola, merengek meminta di pangku seperti Jungkook. Taehyung tertawa lalu menyanggupi. Dan akhirnya para murid maju ke depan untuk meminta bergantian di pangku, Jungkook masih bergeming terduduk dipaha kanan Taehyung, sementara paha kiri Taehyung sudah berkali-kali ganti penumpang yang meminta pangku. Karena Taehyung adalah guru dengan cap keren di mata anak-anak, sehingga seluruh murid di kelas itu begitu mengagumi Taehyung.

Jungkook yang melihat Taehyung bolak-balik mengangkat temannya untuk di pangku membuat Jungkook mengerucutkan bibir. Pipinya memanas, Jungkook tak suka, orang yang selalu menemaninya menunggu Mama, orang yang selalu menemaninya bermain saat dirinya sendiri, orang yang memberinya kehangatan bak seorang Papa kini di perebutkan oleh teman-temannya. Akhirnya tangis Jungkook pecah, membuat anak-anak yang sedari tadi ramai menjadi bungkam, Taehyung langsung memfokuskan diri pada Jungkook, matanya membola melihat anak di pangkuannya menangis begitu kencang.

“Maaaaaa.” Jungkook terus terisak, sementara Taehyung gelagapan, bangkit membawa Jungkook dalam gendongannya, membawa Jungkook keluar, terus mengelus punggung puteranya. Sementara anak-anak yang lain terus memandang Jungkook heran, terus terdiam bahkan saat Jungkook sudah di bawa keluar kelas.

“Tenang sayang. Kumohon.” Taehyung menaik turunkan badan Jungkook yang berada di gendongannya. Membawa Jungkook ke halaman sekolah, agar tangisan Jungkook tidak mengganggu kelas lain.

“Sstt, kenapa? Cup cup. Jagoan Papa jangan menangis.” Jungkook yang mendengar kata Papa langsung berhenti menangis, mengedip-ngedipkan mata basahnya menatap Taehyung. Taehyung memberikan wajah bodohnya, dirinya keceplosan.

“A-anu. Kookie, jika kau ingin jadi jagoan Papamu, jangan menangis oke.” Jungkook masih mengedip-ngedipkan matanya bingung. Taehyung hanya tersenyum, tangan terangkat untuk menghapus sisa air mata puteranya, membuang ingus Jungkook tanpa jijik. Sungguh bukan Taehyung sekali.

“Lebih baik kita pulang jagoan.” Taehyung membawa Jungkook untuk menemui kepala sekolahnya, meminta izin, dan meminta seorang guru untuk menggantikan kelasnya.

 

 

Dan berakhirlah Taehyung dan Jungkook saat ini di sebuah taman bermain terbesar di Seoul. Jungkook masih berada di gendongannya sejak keluar dari mobil, hidungnya masih merah akibat tangisannya. Taehyung merasa bersyukur karena Jimin sering meletakkan cemilan di mobilnya, sehingga sedari tadi selama perjalanan, meski sesenggukkan, Jungkook diam asyik memakan cemilan yang Taehyung miliki.

“Nah Kookie ayo kita bermain.” Taehyung membawa Jungkook berlari, dan langsung mendapat pekikan bahagia dari Jungkook. Mereka mencoba seluruh wahana yang aman untuk anak seusia Jungkook. Membeli bando kelinci untuk Jungkook kecilnya dan bando beruang untuk dirinya. Dan jika di lihat, mereka seperti pasangan Ayah dan Anak yang begitu bahagia. Karena memang, baik Jungkook dan Taehyung, mereka benar-benar sangat bahagia. Bagaimana Taehyung membawa Jungkook dalam gendongannya, bermain pesawat-pesawatan dengan Jungkook berada di lengan kokohnya, menjajali eskrim yang berakhir belepotan di baju Jungkook, dan lagi-lagi, Taehyung yang dulu memiliki sifat anti mengotori tubuhnya, kini malah membuat kemejanya menjadi kotor untuk membersihkan noda Jungkook.

Taehyung tak memikirkan waktu, karena sebelumnya dia berhasil meminta nomor Nami kepada kepala sekolah, dengan alasan untuk membawa Jungkook pulang pada Nami. Taehyung tak perlu menanyakan dimana alamat Nami, karena dia sendiri sudah mengetahuinya.

Setelah keluar dari mobilTaehyung tertawa melirik Jungkook yang kesusahan membawa barang-barangnya. Karena hari ini, semua yang menjadi keinginan Jungkook terpenuhi, berbagai mainan dan baju ia beli. Begitu banyak paper bag yang hanya berisi barang Jungkook tertenteng oleh Taehyung, sementara Jungkook berjalan memimpin menunjukkan letak apartemennya.

“Mama.” Teriak Jungkook saat ibunya membuka pintu apartemen mereka. Menerjang Nami yang masih terbalut pakaian kerjanya. Nami mengusak rambut Jungkook lalu beralih menatap lelaki yang sedari tadi berada di belakang puteranya.

Taehyung mengernyitkan dahi saat melihat Nami dengan wajah begitu pucatnya, “Nami, kau kenapa?” Taehyung maju selangkah untuk melihat lebih jelas wajah mantan kekasinya.

“Tetap disitu Tae. Jangan berlagak peduli.” Nami melirik tentengan yang di bawa Taehyung lalu menghela nafas menundukkan kepala menatap Jungkook.

“Hm jadi Kookie merepotkan Tae Saem?” Tanya Nami dengan lembut. Taehyung yang mendengar itu entah kenapa merasa begitu sakit. Nami menyebutnya dengan Tae Saem. Seolah tak pernah akan mengenalkannya sebagai ayah dari Jungkook.

“Tidak Mama, Tae Saem yang menyuruh Kookie beli apa saja, ia kan Saem?” Jungkook menatap Taehyung dengan mengedip-ngedipkan matanya lucu, membuat Taehyung tertawa lepas lalu berjongkook menghampiri puteranya.

“Benar JungKookie.” Jungkook tersenyum mendengar jawaban gurunya, membiarkan Taehyung menberantakan rambutnya.

“Em, masuklah Tae. Aku akan memasak.” Ajakan Nami membuat Taehyung membatu. Bahkan dirinya tak sadar jika Jungkook dan Nami telah masuk ke dalam, dirinya masih mencerna kalimat Nami hingga akhirnya dirinya tersenyum sendiri, membiarkan degupan jantungnya yang bahkan Taehyung dapat mendengarnya.

Setelah mengganti pakaian Jungkook, Nami membiarkan Jungkook duduk di lantai, membongkar seluruh belanjaannya. Taehyung tersenyum saat melirik Jungkook yang tanpa henti bergumam takjub melihat mainan barunya.

“Nami.” Nami menulikan telinganya, terus berkonsentrasi pada masakannya.

“Nami. Jeon Nami.” Suara tegas Taehyung menghentikkan aktivitas Nami. Dirinya membeku setelah delapan tahun lamanya, dirinya kembali mendengar suara mutlak yang di miliki Taehyung, yang sialnya begitu ia rindukan.

“Nami, aku sungguh meminta maaf.” Taehyung merubah nadanya menjadi begitu lembut, Nami masih membelakanginya.

“Ku mohon, aku tahu semua kesalahanku. Kumohon, berikan aku kesempatan lagi.” Taehyung dengan pelan menghampiri mantan kekasihnya yang masih terdiam. Saat hendak menyentuh pundak, Nami segera berbalik.

“Sudahlah Tae, itu masa lalu. Anggap saja itu tak terjadi, kau boleh menikah dan menganggap Jungkook bukan anakmu.” Bagai di sambar petir, perkataan Nami bagai menggosongkan hatinya.

“Kau gila, dia puteraku, dan selamanya dia adalah puteraku.” Emosi Taehyung seketika meluap. Nami tahu mantan kekasihnya adalah lelaki yang gampang tersulut emosinya.

“Tae, tak ingatkah kau tak pernah menginginkannya?”

“Persetan, jika kau mengatakannya, tentu aku menerimanya-“

“Kau pernah mengatakan sesuatu , ingat Tae.” Kalimat telak itu menyadarkan Taehyung akan kebodohannya.

“nam- maafkan aku komohon ak-“ perkataan Taehyung terpotong saat melihat Nami menyentuh pelipisnya, menopangkan tubuhnya pada tangan yang mencengkram pada sisi table top nya.

“Nam kau kenapa?” panik Taehyung.

“Ak-aku tak apa. Tolong jangan katakan pada puteraku.” Nami berjalan gontai meninggalkan Taehyung yang mematung. Yang menerka-nerka sendiri keadaan Nami.

.

.

 

Nami membiarkan Taehyung sering mengunjungi rumahnya. Membiarkan Taehyung yang mengantar Jungkook pulang. Karena ia tahu, apapun yang ia lakukan, ikatan ayah dan anak takan terputus. Dan melihat Jungkook begitu bahagia saat bersama Taehyung membuatnya juga ikut menghangat.

“Kookie sudah cukup jellynya.” Nami menyilangkan tangannya di depan dada.

“Mama baru dua.” Jungkook menunjukkan kedua buah jari kanannya.

“Awas ya kalo nambah.” Nami lalu melangkah menuju dapur melanjutkan acara memasaknya.

Taehyung dan Jungkook hanya terkikik. Karena perkataan sang Mama tak akan mereka dengarkan. Taehyung yang begitu sayangnya, akan membiarkan Jungkook memakan berapapun jelly kesukaannya. Taehyung dan Jungkook yang tengah bermain seketika berhenti saat mendengar bel berbunyi. Jungkook segera berlari untuk membuka pintu.

“Paman Chollie.” Teriak Jungkook saat menjumpai orang yang dengan senyum gagahnya merentangkan tangan lalu memeluk Jungkook.

“Hey anak manis. Ya ampun belepotan sekali.” Jungkook kembali masuk namun kini pada gendongan seorang pria gagah yang baru pertama kali Taehyung jumpai.

“Oh ada tamu?”

“Paman turun. Paman Chollie kenalkan ini Tae Saem.” Setelah di turunkan Jungkook berlari lalu memeluk Taehyung.

“Tae Saem, dia Paman Chollie.”

“Ah, Choi Seungcheol.” Seungcheol berjalan menghampiri Taehyung mengulurkan tangan.

“Kim Taehyung, kau?-“ Taehyung membalas uluran tangan pria di depannya.

“Oh aku kekasih Nami. Kau sendiri? Kau begitu dekat si manis ini.” Seketika dunia Taehyung kembali runtuh. Pria di depannya ini adalah kekasih wanita yang tak lama akan Taehyung jadikan miliknya. Nami tak pernah mengatakan ini, sama sekali tidak pernah menyinggung apapun tentang hubungannya. Taehyung hanya terdiam, dia tak tahu harus menjelaskan apa.

“Siapa Kookie? Oh Seungcheol.” Teriak Nami saat keluar dari ruang dapur. “Makanan sudah siap. Ayo semuanya makan.”

Nami, Taehyung dan Seungcheol makan dengan tenang. Hanya Jungkook yang berceloteh. Ketiga orang dewasa tersebut sibuk dengan pikirannya masing-masing. Setelah memberikan susu untuk Jungkook, Nami menemani Jungkook untuk terlelap. Taehyung dan Seungcheol saling diam, sangat canggung bagi keduanya.

“i-ni sudah malam. Ka-kalian tidak pulang?” Nami datang dengan wajah pucat dan keringat dingin yang membanjiri wajahnya, kedua pria tersebut berdiri panik bahkan saat tiba-tiba Nami ambruk jatuh ke lantai. Segera menelpon ambulans, namun memikirkan Jungkook yang sendiri, Taehyung memutuskan untuk menemani Jungkook. Membiarkan Seungcheol sendirian menemani Nami yang masih tak sadarkan diri.

Bahkan malam ini Taehyung kembali tak bisa tidur, meski pertama kalinya, Jungkook terlelap di sampingnya, pikirannya masih kalut memikirkan kondisi Nami. Tangannya terulur untuk mengelus dahi Jungkook, tersenyum saat melihat Jungkook terlelap sungguh persis saat Nami terlelap, benar-benar duplikat yang sempurna.

.

“Eugh.” Jungkook menggeliat di kasurnya, sinar matahari yang masuk lewat jendelanya membuat Jungkook harus rela terbangun dari mimpi indahnya.

“Pagi jagoan.” Suara berat yang sudah Jungkook hafal menyadarkan Jungkook dari dirinya yang masih setengah merem.

“Saem.” Teriak Jungkook saat melihat Jungkook dengan cengiran paginya. “Saem” untuk kedua kalinya Jungkook teriak lalu menubruk Taehyung dengan pelukan. “Saem disini.”

“Iya sayang, cepat bangun, kita akan menjenguk Mama.”

“Mama?” Jungkook melepas pelukannya.

“Iya cepat mandi.”

Jungkook menangis saat melihat Mamanya terbaring lemah dengan berbagai alat yang tidak Jungkook ketahui menempel pada tubuh Mamanya. Menangis terisak saat Mamanya hanya tersenyum dan mengelus pipinya, Taehyung kewalahan untuk menenangkan Jungkook.. dan memilih membawa Jungkook pulang dan mempercayakan Nami pada Seungcheol.

.

.

Taehyung menutup buku cerita yang selesai ia baca, namun bocah cilik di sampingnya masih belum mau menutup mata. Helanaan nafas keluar dari mulut Taehyung. Sudah lima hari dia bolak-balik kantor, rumah sakit, lalu sekolahan, beruntung ada Seungcheol yang dapat membantu bergantian menjaga Nami dan Jungkook.

“Hei jagoan kapan kau tidur?” Taehyung terus mengelus puncak kepala Jungkook.

“Kookie tidak mengantuk.”

“Em bagaimana kalau gantian Kookie yang bercerita.”

“Bercerita apa Saem?” sesungguhnya Taehyung sudah muak dengan panggilan Saem, dirinya sudah ingin sekali mendengar nama panggilan yang seharusnya Jungkook ucapkan padanya. Namun dia urungkan karena Taehyung bahkan juga belum siap untuk semua itu.

“Em siapa itu Paman Chollie?” Jungkook sempat berpikir lalu mengangguk.

“Paman Chollie adalah paman terbaik Kookie, dia sering bermain kesini, menemani Kookie, Paman Chollie begitu baik.”

“Oh ya? Baikan mana sama Saem?” kembali Jungkook berusaha berpikir.

“Tentu Saem. Tae Saem yang terbaik.” Jungkook mengacungkan jempolnya. “tapi kata Mama Paman Chollie akan jadi Papa Kookie nanti.” Tidak, ini tidak boleh terjadi. Taehyung serasa kalut, tidak, tidak ada boleh yang mengambil Jungkook dan Nami dari hidupnya.

“Kookie dengar” Taehyung mengangkat Jungkook menuju pangkuannya, memegang lembut kedua pipi Jungkook “Saem akan jujur, kau Kookie, JungKookie, anak kandung Taehyung, Kookie ini Papa sayang.” Jungkook mengerjap-ngerjapkan matanya bingung, Taehyung terus berusaha menjelaskan hingga saat Jungkook menubruknya lalu menangis, berteriak Papa, sungguh, lagi-lagi kebahagiaan Taehyung bertambah akibat bocah cilik di dekapannya sekarang.

“Maafkan Papa sayang, maafkan Papa.”

.

.

Saat ini ruangan Nami terasa begitu canggung, terdapat dua lelaki dewasa di samping kanan dan kiri, lelaki sama-sama mapan, tampan, penuh karisma, dan sama-sama mencintai dirinya dan puteranya.

“Nam, aku sudah memberi tahu Kookie.” Taehyung mengawali pembicaraan, Seungcheol yang sudah mengetahui masalah ini hanya menghembuskan nafas pasrah, sementara Nami melototkan matanya tak percaya.

“Aku mengatakannya, dan dia menerimaku.” Jeda sebentar. “Jadi Nami katakan, masikah kau mencintaiku?” Taehyung memandang lembut sosok yang kini terbaring lemah.

“Tid.” Nami menggelengkan kepalanya namun ucapannya terpotong oleh suara serak Seungcheol

“Dia mencintaimu.”

“Cheol.”

“Diam Nami, aku tahu, akan kuejaskan-“

“Seungcheol kumohon.” Seungcheol mengabaikan rengekan kekasihnya, dirinya menatap mantap netra Taehyung. Taehyung mematung menunggu kelanjutan Seungcheol.

“Aku mencintai Nami saat ia bekerja di kantorku 3 tahun lalu. Aku menyukainya diam-diam, mencari latar belakangnya, saat ku ketahui ia adalah single parents tak melunturkanku untuk mengaguminya. Aku mencintainya, mengejarnya, sesering aku menyatakan perasaanku, sesering pula ia menolakku. Aku begitu menyayanginya bahkan aku sangat menyayangi Jungkook bagai puteraku. Hingga Nami lelah dan menerimaku-“

“Chollie aku tidak lelah kumohon jangan bicara seperti itu.” Nami dengan cepat memotong kalimat Seungcheol yang lagi tak di hiraukan oleh Seungcheol.

“Dia selalu bilang mencintai orang lain, aku tak tahu siapa. Namun dalam buku kerja, memo kerjanya, tertulis huruf V. aku tak tahu siapa dia, Nami tak pernah mengatakannya padaku. Hingga akhirnya Nami menerimaku, aku menganggapnya kekasihku, namun aku tak melihat banyak cinta saat Nami memandangku. Aku pernah melihatnya menulis V dengan mata berbinar, dan aku tahu, cintanya memang untuk pria dengan nama V. Hingga saat bertemu pertama kali denganmu, aku sama sekali tak mengira kau adalah V, namun mata yang Nami dan Jungkook pancarkan saat melihatmu, aku menemukan cinta di mata mereka. Well, ku akui aku begitu sakit, bahkan hingga saat ini aku masih mengharapkan Nami menjadi isteriku. Namun, karena aku begitu bodoh mencintai Nami, aku ingin dia bahagia, dengan orang yang ia sayang. Jadi hari ini, aku resmi memutuskan Nami, dia milikmu saat ini, oh bukanya aku memperlakukan Nami seperti barang yang di oper, namun lelaki di hadapanku adalah pilihan terbaik dimana aku harus menitipkan permata berhargaku. Ini memang bukan hakku, namun sebagai orang yang menyayangi Nami, kumohon, bahagiakan mereka, sembuhkan Nami, kapanpun kau butuh bantuan, jangan sungkan menghubungiku.” Tanpa aba-aba, Nami menerjang Seungcheol, menangis di dada bidang yang beberapa detik yang lalu beralih status menjadi mantan kekasihnya. Taehyung tak kuasa mendengar ini, dia melangkahkan lebar kakinya, ikut menerjang Seungcheol dalam pelukan tangisnya, menggumamkan kata terimakasih.

Segera setelah kondisi Nami membaik, Taehyung yang telah melamar Nami saat Seungcheol memutus hubungan mereka, Taehyung memilih untuk segera meminang pujaan hatinya. Dengan pemberkatan di gereja lalu pesta kecil-kecilan, acara pernikahan itu berlangsung sakral dan bahagia.

Taehyung tak pernah membayangkan sebahagia ini saat menyematkan cincin berlian pada jari manis Nami. Taehyung tak pernah begitu memiliki sesuatu yang berharga sebelum menyadari ada malaikat manis yang tersenyum saat dirinya mencium lembut Nami. dan sekali lagi, cahaya Taehyung telah kembali, bahkan cahaya ini lebih besar dari perkiraannya. Cahaya yang selalu menghangatkannya, cahaya yang menjadi penyemangat hidupnya, dan Taehyung berjanji, tak akan melunturkan kembali cahaya itu.

“Tae, aku begitu bahagia.” Mereka masih terduduk di kursi pengantin. Nami terlihat begitu kelelahan, jadi Taehyung memutuskan menunda sesi untuk lempar bunga.

“Aku juga bahagia sayang.”

“Tae berjanjilah, apapun yang terjadi, tetaplah bersama Jungkook.” Taehyung melirik anak kebanggaannya yang sedang bercengkrama dengan Jimin Yoongi dan Hoseok, lalu kembali menatap isterinya, menggenggam lembut tangan isterinya yang begitu dingin.

“Aku akan menjagamu dan dan Jungkook selamanya.” Taehyung memajukan wajahnya, mencium bibir merah jambu isterinya, tersenyum dalam ciumannya.

Sehari setelah membawa Nami ke hotel, kondisi Nami memburuk. Taehyung dengan panik membawa Nami kerumah sakit yang seminggu lalu baru Nami tempati. Taehyung gelisah saat menunggu Nami di depan ruang operasi, Jimin yang beraada di sampingnya hanya terus menunduk. Sementara Jungkook berada di apartemen Yoongi, setelah menghubungi Seungcheol tentang kondisi Nami, Taehyung kembali berjalan mondar-mandir sambil menggigit jari telunjuknya.

Saat dokter keluar dari ruang operasi, Taehyung langsung berlari membrondong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Kenyataan pahit adalah saat sang dokter hanya menunduk lalu menggeleng lemah, menggumamkan kata maaf.

Taehyung ambruk, berteriak histeris, bahkan hendak memukul dokter namun tercegah oleh Jimin yang memeluknya dari belakang.

“Tae sadarlah.”

Adalah dimana dia melihat kembali neraka yang mengguyurnya saat isteri tercinta nya keluar dengan badan tertutup oleh kain, Taehyung berlari menggoyang-goyangkan tubuh Nami. meneriakkan namanya. Berharap air matanya dapat membuat isterinya kembali hidup.

“Nami sayang bangun. Hey!-“

“Nami , jung-Jungkook membutuhkanmu Nami.”

Karena apapun yang Taehyung lakukan adalah percuma, isterinya pergi dengan senyum yang dapat Taehyung lihat. Terus menyumpahi kanker paru-paru yang berani-berani bersemayam di tubuh isterinya lalu tanpa ampun mengambil nyawa ibu dari anaknya.

Taehyung seakan gila, namun sekelebat bayangan anaknya yang tertawa riang, memanggilnya Papa membuyarkan histerisnya, tidak, cahaya Taehyung sepenuhnya belum luntur. Tidak, masih ada satu cahaya yang harus Tae hidupkan untuk terus menyinarinya. Hingga akhirnya Taehyung tersenyum saat melihat isterinya kembali di bawa para perawat.

“Terimakasih telah menjadi isteriku, terimakasih telah melahirkan Jungkook. Terimakasih dengan tetap mencintai pria brengsek sepertiku hingga akhir hayatmu. Maafkan aku terlalu terlambat menemukanmu. Menemukan Jungkook.Terimakasih Nami sayang. Terimakasih.”

.

 

Tak pernah ada yang semenyakitkan ini saat melihat putera semata wayangnya menangis sejadi-jadinya bahkan pingsan saat melihat jenazah Mamanya berada dalam peti. Taehyung tak kuat melihat anaknya begitu lemah. Maka dengan sekuat tenaga, Taehyung membopong Jungkook yang sudah sadar, membawa Jungkook untuk mengikuti acara pemakan Mamanya.

“Sayang, jagoan Papa. Kau ingat apa yang Mama bilang? Jadilah kuat, bukan hanya untuk Papa, untuk dirimu sendiri. Jadi jagoan, ayo menjadi kuat bersama-sama. Kita harus menjadi tim yang hebat, membuat Mama bahagia. Setuju jagoan?” semangat Taehyung kembali bangkit saat Jungkook mengangguk lembut dan berkata bahwa akan menambahkan iron man untuk tim nya, setidaknya, cahaya ini akan terus Taehyung jaga, bahkan jika nyawa akan di pertanyakan kelak.

 

Tbc.?

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet