01 "Hun" Si Orang Ke-Tiga

Garnet

Bayangkan suara berisik dari teko yang menandakan air di dalamnya telah mendidih. Jongin segera mematikan kompor. Dia lalu menuangkan air panas secukupnya ke dalam cangkir berisi bubuk kopi- kiriman dari ibunya dan gula yang dibelinya di mini market. Bibirnya tersungging sedikit menikmati aroma nikmat kesukaannya.

Dia tidak suka air panas buatan listrik.

Layar ponselnya hanya menyala tanpa suara ataupun getaran. Jongin tidak suka suara berisik dari benda kotak itu. Dia menerima telepon pemberitahuan kalau jasa pindah rumahnya akan tiba 20 menit lagi. Mereka sekaligus meminta konfirmasi alamat apartemennnya. Dia mengulang percakapan seminggu lalu dengan pegawai yang sama sambil menggenggam secangkir kopi panas di tangan kanannya. Percakapan berlanjut ketika Jongin hanya duduk menyilangkan kaki sambil mendengarkan apapun yang pegawai itu jelaskan selama 2 menit lamanya sebelum pegawai itu akhirnya mengucapkan salam perpisahan.

Pandangan Jongin mengarah ke langit-langit. Sejak kemarin, dia sudah sibuk memberesi barang-barang “berguna”, “tidak terlalu berguna” dan “tidak berguna” miliknya ke dalam kardus-kardus yang kini menumpuk rapi di salah satu sudut ruangan. Melihat luasnya ruang kosong, dia tambah yakin untuk pindah. Apartemen ini terlalu besar untuknya sendiri.

Jongin mengecek jam tangannya. Saat ini, seharusnya Sehun sudah tiba. Dua hari yang lalu, Sehun berjanji akan membereskan barang-barang “tidak terlalu berguna” dan “tidak berguna” miliknya. Dia tahu salah satu tempat yang bisa membuat barang-barang miliknya itu bisa menjadi berguna.

Ouch…. Jongin lupa meniup kopi panasnya.

***

Hana membuka pintu untuk disambut oleh sepasang sepatu kulit yang tidak lain adalah kado darinya untuk Chanyeol.

“Selamat pagi! Tidurmu nyenyak?”

Hana mengangguk. Tidak ingin menjawab.

“Kudengar hari ini ada yang pindah ke kamar nomor 114…..” Chanyeol berhenti sejenak untuk melihat ekspresi adiknya. “Kudengar dia seorang laki-laki.” Chanyeol sedikit berbisik saat mengucapkan kalimat terakhir. Dia berharap ada sedikit respon dari adiknya tapi tentu saja tidak ada.

Tidak mendapatkan respon, Chanyeol langsung memberikan kotak bekal berbalut kain berwarna coklat tua untuk adiknya yang daritadi berdiri menunduk di depannya.

“Eomma memasakkan sarapan ini untukmu. Jangan lupa dimakan.”

Hana hanya mengangguk lagi.

“Hari ini kamu ada rencana?”

Hana keluar dari rumah dan hidup sendiri sejak 15 bulan yang lalu. Tidak ada keluarga yang tahu tentang alasan kenapa adik perempuannya ini tiba-tiba saja ingin hidup mandiri. Sifatnya yang sangat keras kepala dan usianya yang sudah tidak remaja lagi, membuat orang tua mereka tidak bisa mengekang ambisinya untuk keluar dari rumah.

Hana tidak merespon. Dia menutup pintu segera setelah beberapa detik sempat melihat wajah kakaknya. Sekali lagi Chanyeol pulang tanpa sempat berbincang sebentar dengan adiknya. Besok pagi dia akan datang lagi untuk mengambil kotak bekal kosong dan bersih.

Sementara Hana di belakang pintu sedang mengatur irama debar jantungnya. Dia tidak sadar sejak tadi menahan nafas dan keringat dingin di telapak tangannya tidak membuat perasaannya menjadi lebih baik. Dia bertemu dengan Chanyeol hanya 2 kali dalam seminggu. Ketika Chanyeol bertugas mengantar makanan khusus dari ibu mereka sekaligus memeriksa keadaan Hana.

Kenapa harus Ibunya?

….

Apa dia sudah pulang?

Pertanyaannya terjawab saat dia mendengar suara berisik dari teriakan beberapa orang – termasuk Chanyeol yang berteriak kegirangan menyapa seseorang bernama Jongin dan meminta orang asing itu untuk menjaga adiknya. Chanyeol akhirnya pulang setelah sempat mengancam Jongin untuk tidak mengganggu adiknya.

“Tadi siapa?”

Hana bisa membayangkan bahu Jongin terangkat sebentar menanggapi pertanyaan dari orang ke-tiga yang Hana tidak tahu namanya.

“Jong! Nomor kamarmu kayak tanggal ulang tahunmu!”

“Hun… kalau cuma mau main, mending kamu pulang.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet