Rumah

Rumah

Ibu bilang, Jinyoung adalah gambaran pangeran Korea masa kini. Ketampanannya khas Korea sekali. Ibu juga bilang kalau aku tidak pantas untuknya, tapi dia juga bersyukur aku mampu mendapatkannya dengan kecantikanku karena Jinyoung pernah berkata sejujurnya poin utama yang membuatnya jatuh cinta padaku adalah kecantikanku. Jinyoung, Han Jinyoung adalah pacarku. Dan calon suami masa depanku (mungkin).

 

Ibu selalu bertanya kapan aku akan menikah. Karirku sebagai model sudah tidak diragukan lagi, aku bisa mendapatkan apapun yang aku mau dengan penghasilanku sendiri. Aku sudah 27 tahun, kata ibu itu sudah cukup untuk menikah. Sedangkan Jinyoung masih 26 tahun. Tapi Jinyoung tidak keberatan menikahiku sekarang, dia bilang dia siap kapanpun aku mau, tapi aku belum mau sekarang.

 

Jinyoung bekerja sebagai barista di sebuah kedai kopi di Seoul, kedai kopi yang terkenal di kalangan anak-anak SMA dan mahasiswa. Aku juga sering ke sana setiap selesai dengan pekerjaanku, lalu mendapatkan secangkir kopi gratis dari menejer kedai yang sangat mengidolakanku. Jinyoung punya hobi yang sangat mainstream; membaca. Kamarnya lebih cocok disebut perpustakaan daripada kamar tidur. Dia mengoleksi banyak novel, dari semua seri Harry Potter, Twilight, sampai novel-novel klasik karangan Jane Austine. Novel favorit Jinyoung adalah The Miraculous Journey Of Edward Tulane. Katanya aku harus membaca novel itu kapan-kapan.

 

__

 

“Perancis?” Jinyoung menatapku dengan alis terangkat. Kami sudah lima tahun pacaran tapi sampai sekarang caranya menatapku masih membuatku gugup.

“Y-ya.” kataku setelah berdehem. Jinyoung tak berkata-kata lagi. Dia meletakkan secangkir teh di atas meja untukku. Aku tidak terlalu suka kopi, jadi meskipun dia tidak menyukai teh, Jinyoung tetap membeli teh, berjaga-jaga kalau aku datang ke rumahnya. Jinyoung tidak tinggal di apartemen sepertiku, dia membangun rumah mungilnya sendiri di sebuah kompleks perumahan. Ada garasi, kebun kecil di belakang rumah, dan taman kecil di terasnya, dia juga memelihara seekor anjing berjenis kelamin perempuan yang diberinya nama Choco.

“Kau yakin? Berapa lama?”

“Hanya seminggu. Ibu sudah memberiku ijin, tinggal kau.”

“Kenapa harus meminta ijin padaku? Lakukan saja kalau kau ingin.” katanya. Jinyoung menyesap kopinya. Aku paham betul tak ada gunanya meminta ijin pada Jinyoung setiap aku ingin melakukan sesuatu. Dia tidak pernah melarangku. Aku ingin sekali-kali dia bersikap posesif padaku.

 

__

 

Aku bersama beberapa model lainnya di rumah mode tempat aku bekerja akan melakukan perjalanan ke Perancis. Aku dan beberapa model tersebut terpilih untuk mempromosikan produk pakaian dari salah satu rumah mode Perancis di Paris. Ini adalah puncak keberhasilan karirku. Mungkinkah aku akan go international? Haha.

 

Sebelum berangkat ibu dan Jinyoung berpesan untuk menghubungi mereka setelah aku sampai. Tapi berakhir aku hanya menghubungi ibu karena ibu sangat cerewet, dia akan ngambek kalau aku tidak melakukan perintahnya. Sedangkan Jinyoung... umm dia tidak pernah ngambek, hehe.

 

Hari kedua aku jalan-jalan bersama temanku, belanja beberapa potong pakaian, membeli tas Hermes dan Gucci, sepatu dari Prada, dan beberapa aksesoris. Hari ketiga barulah aku menghubungi Jinyoung sebelum berangkat bekerja.

“Kenapa baru menghubungiku sekarang?” aku tertawa pelan mendengar nadanya berbicara. Dia pasti berusaha untuk terdengar ngambek tapi gagal total.

“Aku sibuk Jin, sangat sibuk.”

“Sibuk belanja?”

“Yeah, kau tahu ini Paris. Oh ya, musim panas di sini sangat keren, kita harus ke sini saat musim dingin atau musim gugur nanti, berdua.” kataku. Jinyoung hanya menyahut dengan deheman.

“Bagaimana kedai kopinya?”

“Seperti biasa, lancar.”

“Kalau begitu sudah ya, aku harus berangkat untuk pemotretan, besok aku akan bertemu dengan para model Ms. Emma.”

“Oke, semangat!.”

 

__

 

Hari ini aku akan bertemu Ms. Emma, seorang model sekaligus perancang busana yang terkenal di Paris, dia akan membawa beberapa modelnya yang mengenakan pakaian rancangannya untuk dipamerkan pada kami. Ms. Emma adalah idolaku, dia wanita keren yang kujadikan role model. Begitu Ms. Emma datang, aku langsung menahan nafas, dia seperti wanita Paris dalam bayanganku, anggun dan elegan. Aku suka. Ms. Emma sudah 50 tahun lebih, tetapi belum juga menikah, katanya dia ingin mengejar karirnya terlebih dahulu, aku dulu juga begitu. Ms. Emma tersenyum melihat kami. Satu dari tiga model yang dibawa Ms. Emma adalah laki-laki, dia sangat tampan. Namanya Sehun. Lucunya, aku tersipu ketika mata kami tidak sengaja bertemu pandang. Aku langsung berpaling.

 

“Annyeong Jinyoungie~”

“Jam berapa di sana?”

“Hm? Jam 3 pagi.”

“Kau tidak tidur?”

“Aku terbangun karena memimpikanmu.” sebenarnya tidak. Aku hanya mendadak merasa takut sampai aku sulit tidur begini.

“Memimpikanku? Mimpi yang bagaimana?” suara Jinyoung lebih lembut dari yang sebelumnya. Dia selalu suka topik tentang mimpi, apalagi ada dia di dalam mimpiku.

“Aku bermimpi jalan-jalan ke menara Eiffel denganmu,” hening sebentar.

“Aku jadi merindukanmu.” aku benci setiap dia mengungkapkan apa yang dia rasakan padaku saat itu juga. Tidak seru karena aku sudah tahu dari nadanya berbicara.

“Ya sudah ya, aku tiba-tiba jadi mengantuk.”

“Selamat tidur.”

 

Setelah telfon kumatikan, aku mengambil sebuah buku catatan tebal yang kugunakan untuk mencatat perjalananku selama di Paris ini. Tidak juga sih, buku ini lebih seperti buku serba guna, aku bahkan mencatat pengeluaraan belanjaku kemarin di sini. Lama aku melamun aku baru sadar nama Jiyoung sudah memenuhi satu halaman. Aku menggigit bibir, tiba-tiba kepalaku penuh dengan berbagai macam pertanyaan yang berduet dengan kilasan ceritaku bersama Jinyoung. Pertanyaan dari ibu tempo lalu juga ikut menggumpal di sana.

“Selalu bilang nanti nanti dan nanti, memangnya kurang apa Jinyoungmu itu?” dia lebih dari cukup, aku bersyukur memilikinya.

 

__

 

Pemotretan kali ini aku dipasangakn dengan Sehun, si model tampan. Sehun memiliki ketampanan yang berbeda dengan Jinyoung. Mereka berada di porsinya masing-masing. Sehun juga baik. Awalnya kami sedikit canggung saat melakukan pose-pose yang diminta sang fotografer, tapi karena Sehun begitu sabar dan telaten, semua berjalan dengan lancar. Setelah bekerja, Sehun dengan sopan mengajakku minum teh di balkon. Langit sore kota Paris berlatarkan menara Eiffel sangat indah hari itu.

“Kapan kau akan kembali ke Seoul?” Sehun bertanya. Suaranya terdengar jenaka. Dan aku terkejut begitu tahu dia berada di usia yang sama dengan Jinyoung.

“Mungkin lusa.” kataku cepat.

“Lalu kapan lagi kau akan kembali ke Paris? Atau bisakah kau menambah waktumu di sini satu hari lagi, jadi kita bisa jalan-jalan sebelum kau pulang?” tawaran yang menyenangkan. Dan cara Sehun menyisir rambut coklatnya ke belakang dengan jari-jari tangan saat itu,

“Boleh.” aku tidak bisa mengatakan ‘tidak’.

 

__

 

“Sedang apa kau?” lagi-lagi aku tidak bisa tidur yang berakhir dengan menelfon Jinyoung.

“Minum kopi sambil membaca buku di teras, Choco juga menemaniku.” sangat Jinyoung sekali. Aku mengangguk sambil menimang-nimang apa lagi yang ingin kukatakan padanya. Ini rumit sekali, sulit mengakui bahwa aku sebenarnya khawatir, tapi tidak tahu apa yang kukhawatirkan. Yang jelas mendengar suara Jinyoung mampu mengurangi kekhawatiranku.

“Novel apa yang kau baca kali ini?”

“Forrest Gump.” lalu Jinyoung menceritakan sinopsis novel yang ia baca. Aku suka suaranya, membayangkan setiap kami berhadapan, dia selalu menatapku ketika berbicara. Suaranya dan caranya menatapku, aku suka.

“Jinyoung, tidak ada mahasiswa yang mendekati dan kau dekati kan selama aku di sini?” hanya pertanyaan main-main untuk menggodanya seperti biasa, tapi sejujurnya aku serius.

“Tidak ada yang secantik dirimu, jadi tenang saja.” Jinyoung menjawab sambil tertawa.

 

__

 

Aku menghabiskan sandwichku dengan cepat. Tidur hanya dua jam membuatku bad mood, meskipun menejerku berkata kalau penampilanku sudah oke, aku merasa masih ada yang kurang. Hari ini aku mendapat undangan minum teh dengan Ms. Emma, sungguh sebuah kehormatan tapi aku sama sekali tidak merasa bangga atau senang. Ini aneh. Beberapa kali mengutuk kesal, Ms. Emma lama sekali. Dan begitu Ms. Emma membuka pintu aku langsung berdiri menyambutnya dengan senyuman yang aku usahakan selebar mungkin.

 

Kami hanya membicarakan tentang dunia fashion Perancis-Korea, saling bertukar pikiran dengan selera fashion masing-masing. Ms. Emma bercerita dia sangat menyukai hanbok, jadi aku membawakannya sebuah bingkisan satu stel hanbok. Dia terlihat senang sekali.

“Kau sudah punya pasangan?” Ms. Emma bertanya setelah aku membantunya memakai hanbok.

“Aku belum menikah tapi aku sudah punya pacar.” jawabku tersipu.

“Wow!”

“Ms. Emma, boleh aku bertanya?” Ms. Emma mengangguk.

“Aku dengar Anda belum menikah bahkan Anda juga pernah memberikan pernyataan tidak akan pernah menikah, kenapa begitu?” begitu aku selesai bicara, Ms. Emma menatapku tajam. Oh, aku menyesal melakukan tindakan lancang begini, tapi aku benar-benar penasaran.

“Pernikahan bukan sesuatu yang menyenangkan untukku, itu sangat merepotkan. Aku juga tidak suka menjalin hubungan cinta, aku suka dengan status single-ku,” Ms. Emma tersenyum menatapku.

“Kenya, aku sudah cukup mendapatkan semua apa yang kunginkan, aku bisa melakukan semuanya sendiri, aku tidak butuh laki-laki di sampingku, aku dan teman-temanku..., kami adalah wanita-wanita mandiri.” aku menggeleng. Merasa tidak setuju dengan pernyataannya.

“Apa Anda mengalami trauma?”

“Tidak.”

“Apa Anda tidak ingin memiliki anak?” desakku lagi. Aku benar-benar penasaran sekaligus ngeri dengan pilihan hidup idolaku. Tidak ingin menikah, tidak butuh laki-laki, tidak butuh pasangan, selamanya hidup sendiri begitu?

“Model-modelku adalah anak-anakku, Ken.” senyumnya yang dulu kupuji cantik sekarang terlihat mengerikan. Keriputnya terlihat jelas menghiasi wajah. Aku tiba-tiba teringat Jinyoung.

“Jadi, aku ingin sekali merekrutmu sebagai modelku, apakah kau mau?” Ms. Emma tanpa basi-basi langsung menanyaiku setelah kami diam agak lama. Tawaran yang menggiurkan.

 

__

 

Aku tidak langsung pulang ke hotel setelah pertemuanku dengan Ms. Emma, sejenak ingin jalan-jalan sendirian di dekat sungai Seine. Aku duduk di batu besar di pinggir sungai, mengamati aliran airnya yang berwarna hitam keemasan terkena pantulan cahaya langit senja. Di belakangku para pemusik jalanan sudah beraksi, memainkan alat-alat musik yang mereka bawa, lalu beberapa pasangaan menari, berdansa bersama sambil tertawa, yang lainnya yang tidak ikut menari hanya duduk mengelilingi sambil bertepuk tangan, sesekali mereka akan bersorak. Aku tersenyum membayangkan seandainya aku datang bersama Jinyoung, tanpa tahu malu aku pasti akan menggeretnya ikut menari.

 

Sekarang aku tahu kenapa aku resah dan panik belakangan ini. Mungkin aku merindukan Jinyoung, mungkin aku membutuhkan dia. Naluriku sebagai perempuan dewasa, aku tetap membutuhkan laki-laku di sampingku. Setelah semua apa yang menjadi cita-cita dan mimpiku tercapai, yang terakhir adalah aku butuh seorang pendamping, lalu semuanya tidak akan rumit lagi rasanya. Aku mengambil ponselku di saku jeans untuk menghubungi seseorang di sebrang sana.

“Ya?”

“Aku merindukanmu.” Jinyoung tergelak. Mungkin merasa asing dengan apa yang aku ucapkan. Mungkin dia juga berfikir jangan-jangan aku salah minum vitamin.

“Tunggu aku ya, aku akan segera pulang ke rumah.” suaraku lebih terdengar seperti bisikan, mengalun lembut ke telinga Jinyoung di sebrang sana. Aku memejamkan mata, bersama desiran angin senja, semoga Jinyoung merasakan kerinduanku ini.

 

Di perjalanan pulang aku menghubungi Sehun, menolak dengan halus idenya tentang jalan-jalan ke menara Eiffel. Sekalian aku menghubungi Ms. Emma juga, dengan sopan aku menolak tawarannya. Aku tahu kesempatan tidak selamanya datang dua kali, tapi aku berdoa semoga pilihanku kali ini tepat.

 

__

 

“Kau yakin tidak akan menyesal dengan keputusanmu?” Jinyoung bertanya setelah kuceritakan semua pengalamanku selama satu minggu di Paris, termasuk tawaran dari Ms. Emma juga.

“Tidak tahu. Hati manusia kan bisa berubah-ubah, tapi aku yakin dengan menjadikanmu sebagai alasanku untuk menolak tawaran emas itu, aku tidak akan menyesal.” Jinyoung langsung terperanjat, mengesampingkan bukunya lalu berbalik menatapku. Ya Tuhanku, dia lucu sekali.

“Aku?” Jinyoung menunjuk dirinya sendiri. Aku mengangguk mantap.

“Kenapa? Bagaimana bisa?”

“Di sana ada Sehun dan banyak sekali laki-laki Perancis yang tampan, sekali lagi hati manusia bisa berubah, aku takut nanti lama-lama aku berpaling darimu.” mata Jinyoung langsung memicing, tidak terlalu suka dengan jawabanku.

“Bercanda,” kataku main-main. Jinyoung masih memicingkan matanya.

“Aku hanya tidak mau jauh-jauh dari rumahku Jin, aku tidak mau jauh-jauh darimu, kau adalah rumahku.” Jinyoung menarik sebuah senyuman kecil di kedua sudut bibirnya, tampan sekali. Sepasang mata di balik kacamata bacanya melengkung manis.

“Jinyoung?”

“Hm?” aku menggigit bibirku gugup. Kuambil kedua tangannya lalu kugenggam erat. Ini mungkin konyol tapi aku ingin mencobanya.

“Ma-maukah kau menikah denganku?” hening. Lalu satu detik kemudian tawa Jinyoung mengglegar. Tawanya membuatku malu. Aku kesal, kupukul saja dia dengan novelnya.

“Ya! Ken, berhenti, jangan pakai novelku, ini sulit sekali mencari- ya! Jung Kenya!”

“Oh, ini novel baru? Bagus tidak? Ayo ceritakan padaku!” Jinyoung menunduk, dia terlihat menahan senyuman.

“Jung Kenya, kalau nanti kau sudah tidak cantik lagi, aku jamin aku akan tetap jatuh cinta padamu lagi, lagi, dan lagi.”

“Oya? Keren!” aku tidak mau bertanya kenapa alasannya, akan kucari sendiri seiring berjalannya kisah kami.

 

Satu bulan kemudian kami menikah.

 

Hubungan kami mungkin terlihat hambar. Tapi begitulah hati kami tidak pernah berpaling. Sejauh manapun hati kami melangkah pergi, mereka akan kembali pada pemiliknya, mereka akan pulang ke rumah mereka, mereka saling mengejar dan menanti kembali. Park Jinyoung, saranghae.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet