[#10] Time Forgets

Description

Prompt : Judika - Mama Papa Larang
  Genre : Romance, Hurt-Comfort
  Rated : T
  Summary : "Aku bersyukur karena aku bertemu denganmu. Kuharap kau tahu itu."
  
  
  #ChanBaekRoom1stAnniv #CBR_GAMEFF

Foreword

It feels bittersweet to love you, as though time has already run its ruinous path and everything good is over before it begins.
It feels perilous to love you, like a dust storm swallowing up the sky or a comet skimming a stratosphere.
But it is an honor to love you. Like the snow drifts giving way to spring, I will hold you for as long as I can.
To Love You-Lang Leav


Saat itu senja ketika aku menoleh ke arah kanan. Kurasa ujung lengan bajuku ditarik oleh sesuatu. Sebenarnya seseorang. Dengan tubuh kecil, dua mata yang membentuk bulan sabit, dan senyum cerah yang menjadi penyaing rayuan lembayung di atas kepala kami, dia terkekeh.

"Kau terlihat seperti hampir gila." Komentarnya enteng.

Aku menghela nafas. Tanpa ditegaskan seperti itu pun aku sudah tahu, aku terlihat hampir gila. Kerutan yang tercetak jelas di dahi membuatku terlihat seperti pria di umur 40 tahunan. Rambut yang berantakan membuatku seperti seorang tuna wisma. Wajah kusam membuatku tampak seperti seorang pemalas yang tak perduli dengan apa itu mencuci muka. Ditambah lagi baju yang kusut semakin mendukung penampilanku yang luar biasa.

"Aku tahu. Dan aku memang hampir gila."

Dia tertawa kecil, kali ini sepenuhnya memutar tubuh untuk menghadapku. "Aku tidak tahu jurusan kuliahmu bisa semengerikan itu."

Jurusan arsitektur benar-benar bukan tempat untuk main-main. Dulu saat masih menjadi siswa sekolah menengah, aku sudah sering mendengar keluh-kesah kenalanku yang lebih dulu berkuliah di jurusan ini, dengan begitu aku sudah mempersiapkan diri, jiwa dan raga untuk menghadapi apa yang lebih dulu mereka hadapi. Sayangnya, persiapan itu bukan apa-apa. Kenyataannya kewajiban saat berkuliah di jurusan ini melambung di atas persiapanku.

Tugas-tugas datang sederas ceramah bibi Jung setiap aku telat membayar biaya sewa apartemen kecil yang kusebut rumah. Pekerjaan sampingan yang jumlahnya lebih dari IP bulat-ku menuntut aku untuk terus semangat dan memiliki stamina yang sempurna, padahal yang sangat ingin kulakukan adalah menutup kedua mata untuk sekedar bersitirahat sejenak.

Semua ini berat, aku tidak menyangkal. Andai saja ayahku tak meninggalkan wasiat agar aku mengambil jurusan yang ia inginkan agar aku mengambilnya, sudah pasti gedung yang akan kumasuki setiap hari adalah gedung seni, bukan gedung teknik.

Belum sempat berkomentar apa-apa, laki-laki kecil di sampingku kembali bersuara, "Kurasa kau perlu liburan, Yeol-ah. Ke Jeju? Gangwon? Atau ke Jepang?"

Aku menghela nafas sambil menunduk, "Tidak bisa, Baek. Liburan hanya buang-buang waktu dan buang-buang uang. Aku sedang menabung."

"Untuk membawaku kawin lari?" tanyanya bercanda disertai gelak tawa di ujung kalimatnya.

Tetapi aku tidak mengikuti tawanya. Justru aku mengangkat wajah, dan pandangan kami bertemu.

"Bagaimana kalau itu benar?"

Kulihat raut gembira di wajahnya perlahan luntur. Ujung-ujung bibirnya yang tadi melengkung ke atas perlahan mendatar. Dia terdiam selama beberapa saat, selama itu pula kami hanya saling tatap. Aku menatapnya dengan lembut, dan dia menatapku dengan raut yang tak terbaca.

"Gila." Akhirnya hanya itu yang dia ucapkan.

Aku tidak tahu harus merasa bagaimana. Di satu sisi aku membenarkan sanggahannya. Gila. Ya benar.

"Kalau memang ingin kawin lari, kau seharusnya memberitahuku sejak awal, jadi kita bisa menabung bersama."

Kali ini aku yang tertawa. "Hey, hey, aku hanya bercanda, Byun BaekHyun. Kita tidak akan kawin lari."

"Tapi aku serius, Yeol." Ekspresi gempita yang sempat ada di wajahnya menguap tak berbekas.

"Dan aku tidak, Baek." Gumamku final. Kutangkup kedua wajahnya, dan aku menyelami jiwanya dari kedua bola mata kecil itu. "Aku tidak ingin liburan karena itu hanya akan membuang-buang uangku, membuang waktu yang bisa kugunakan untuk bekerja menambah tabungan, dan alasan terpenting adalah, akhir pekan adalah waktu kita. Kita sulit bertemu di hari-hari kerja, dan akhir pekan hanyalah satu-satunya kesempatan yang ada -kecuali malam-malam dimana kita menyelinap keluar-. Aku tidak ingin membuang kesempatan untuk bertemu denganmu hanya demi liburan ke tempat dimana kau tidak ada disana." Aku tersenyum kecil, "Kecuali kau ikut denganku."

Dia menggigit bibirnya pelan. "Tidak bisa. Aku tidak bisa pergi jauh dari rumah."

Sebenarnya aku sudah tahu itu. Kedua orang tuanya tidak membiarkan Baekhyun pergi jauh dari rumah, apalagi pergi keluar dari Seoul. Alasan utamanya tidak kuketahui, tapi mungkin saja karena mereka tidak ingin Baekhyun bersama denganku untuk waktu yang lama.

"Maka dari itu aku tidak akan kemana-mana. Menghabiskan akhir pekan bersamamu di taman seperti ini sudah lebih dari cukup."

"Kau.. yakin?"

"Ya, sayang. Apalagi yang harus diragukan?"

Dia menghela nafas panjang, pertanda menyerah. Dahinya ia jatuhkan di pundak kananku. Seandainya aku tidak terbiasa dengan gumaman-gumanan lirihnya, mungkin aku akan melewatkan lirihan halus yang ia keluhkan, "Bagus, karena aku juga tidak ingin jauh-jauh darimu."

Aku tidak bisa menahan senyum di bibirku. Kudekap tubuh kecilnya tanpa berkata apa-apa. Kudekap erat, sampai-sampai aku merasa degup jantungnya dapat kudengar dengan jelas. Degup dengan ritme yang sama dengan yang jantungku elu-elukan.

Sore itu, cahaya senja dengan malu menyelimuti wajahnya yang kecil sebelum dia hilang dalam kelopak mataku saat aku menutup mata untuk menciumnya.
.
.
.
.
.
.
Pertemuan pertama kami terhelat tak sengaja beberapa tahun silam. Saat itu adalah hari pertama di sekolah menengah pertama. Menjadi siswa pindahan dari Jeolla Utara ke Seoul pernah menjadi hal yang mengganggu fikiranku sejak ayah mengumumkan bahwa beliau dipindahtugaskan ke ibu kota. Bagaimana dengan teman-temanku di Jeolla? Apakah anak-anak Seoul itu baik? Apakah aku akan memiliki teman di Seoul? Apakah semua akan baik-baik saja?

Kekhawatiranku menjadi nyata. Hari pertama bersekolah di ibu kota bukan hal yang mudah, terutama karena aku tidak mengenal satupun anak-anak berseragam sama denganku. Disaat mereka berbincang dengan teman dari sekolah lama yang bersatu di sekolah baru ini, atau mereka yang mulai mendapat teman baru karena kebetulan mempunyai cerita sejalan untuk dibahas, aku duduk sendiri tanpa ada satu orangpun yang kukenal atau mau mengenalku.

Tiga hari berlalu. Aku hanya menghabiskan waktu seorang diri. Membuat teman baru benar-benar sulit.

Di hari keempat, saat guru pelajaran kesenian meminta murid-murid untuk membentuk kelompok, itu menjadi kali pertama aku berkomunikasi secara sungguhan dengan murid lainnya. Ketika aku mulai panik karena seisi kelas membentuk kelompok masing-masing dan aku tak tahu harus berbuat apa, ada seorang bocah mendatangi mejaku dengan senyuman manisnya. "Hai, Park ChanYeol, bukan?"

Karena masih dikuasai rasa kaget, oh ternyata ada yang mengajakku bicara, aku hanya bisa mengangguk seraya membalas tatapan anak laki-laki itu.

Senyumnya semakin lebar. "Aku Do KyungSoo. Kulihat kau masih sendiri, jadi bagaimana kalau kita membentuk kelompok baru?"

"O-oh. Benar juga."

Lalu Do Kyungsoo menoleh ke belakang , terlihat berbicara dengan sesuatu, atau seseorang, sampai akhirnya seorang murid lagi muncul di balik bahunya.

"Kita bisa membuat kelompok bertiga. Chanyeol, ini temanku, Baekhyun."

Ketika Baekhyun pertama kali tersenyum ramah kepadaku, aku menyadari itu adalah sapaan terhangat yang pernah kuterima.
.
.
.
.
.
.
Di suatu malam dua musim yang lalu, ketika aroma bunga masih kentara menari di udara. Ketika bulan tampak penuh di atas sana. Ketika musim semi membangunkan dunia. Kepalanya berbaring di atas dadaku yang naik turun teratur karena ritme nafas. Jari-jari lentik yang dia akui diturunkan oleh ibunya, bertautan malas dengan jari-jemariku yang tampak besar dan kasar.

Tidak ada yang berbicara. Dia diam, begitu pula denganku. Angin yang masuk melalui jendela apartemen kecilku yang terbuka memainkan anak-anak rambutnya dengan malu-malu. Sedikit dingin, namun dia tidak membiarkanku menutup jendela itu. Dia bilang, dari sana dia bisa melihat bulan. Jadi kubiarkan dia selingkuh dengan sang bulan malam ini. Biar dia menduakanku untuk sesaat, karena kemanapun dia pergi, aku tahu muaranya hanyalah aku.

Aku nyaris terlelap dalam alunan nafasnya yang terdengar seperti lagu pengantar tidur, sebelum dia tiba-tiba berbicara.

"Chanyeol-ah.. jika aku menjadi tua dan tidak tampan lagi, apakah kau akan mencintaiku?" Baekhyun bertanya dengan suara kecil. Permainan jemarinya di jari-jariku masih terus terjadi. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya, namun yang pasti dia masih menatap bulan di luar sana dengan seksama.

Aku bergeser sedikit, "Pertanyaan macam apa itu?" gumamku setengah geli. "Tentu saja, Baek. Aku juga suatu saat nanti akan jadi tua. Tua itu pasti."

Aku ingin melihat wajahnya, tapi dia menolak.

"Jika sesuatu terjadi padaku dan aku akan menjadi seseorang yang cacat karena cedera, atau sakit jiwa, apa kau akan mencintaiku?"

"Tanpa cedera saja kau sudah gila." Aku tertawa mendengar jawabanku sendiri. Kukira dia akan ikut tertawa, namun ternyata tidak. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.

"Jika aku bukanlah anak dari keluarga kaya, apakah kau akan mencintaiku?"

Sebenarnya ini topik yang sensitif. Aku tidak suka setiap kali dia mengangkat isu latar belakang ekonomi di antara kami. Menurutku itu bukan sesuatu yang patut dijadikan bahan perbincangan. Terlebih pertanyaanya barusan menimbulkan ketidaknyamanan dalam diriku. Untuk apa mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan?

Meski demikian aku tetap menjawab pertanyaannya. Baekhyun-ku sedang banyak pertanyaan malam ini, sepertinya begitu.

"Aku tidak pernah perduli dengan kekayaan keluargamu. Aku bukanlah orang kaya, dan aku tidak perduli jika kau juga demikian. Kita bisa sama-sama bekerja untuk memiliki tabungan dan hidup bersama."

Aku menyadari pada kata demi kata yang kukeluarkan, suaraku kentara dengan rasa kantuk yang besar. Aku lelah setelah kegiatan kami yang sebelumnya. Dan Baekhyun juga biasanya akan langsung tertidur setelah melakukannya, namun malam ini tidak. Dia seakan memiliki tenaga cadangan. Wah, apa rahasianya?

Setelah itu dia diam. Apakah Baekhyun mulai tertidur?

Kurengkuh bahunya yang tak tertutupi kain apapun untuk menjadi lebih dekat dengan tubuhku, meskipun itu terdengar mustahil karena tubuhnya dengan tubuhku sudah sangat erat melekat. Aku tidak ingin dia menjadi kedinginan. Tubuh kecilnya semakin dekat denganku. Tulang di bahunya seakan semakin timbul dari tubuhnya. Baekhyun-ah, kenapa kau menjadi sekurus ini? Apakah kau makan dengan baik di rumahmu?

Ketika aku hampir memejamkan mata, suaranya kembali terdengar. Kali ini berkali lipat lebih lirih dari sebelumnya. Karena itu kantukku mendadak hilang, seakan luntur dan pergi melalui jendela yang terbuka. "Lalu jika aku adalah seseorang yang egois, yang hanya perduli pada perasaanku saja tanpa memperdulikan perasaanmu, apakah kau masih akan mencintaiku?"

Aku menghela nafas, "Tidurlah Baek. Ini sudah malam."

"Yeol-ah, bagaimana.. bagaimana jika aku adalah orang yang seperti itu? jika aku adalah orang yang tidak perduli perasaanmu dan hanya mementingkan keinginanku saja-"

"Selama itu kau, aku akan tetap mencintaimu. Dalam segala bentuk, dalam segala kemungkinan. Selama itu kau, Byun Baekhyun, aku akan tetap mencintaimu."
.
.
.
.
.
Baekhyun adalah seorang teman yang baik. Dia selalu ceria, tersenyum dan bercanda. Hampir semua murid di sekolah kami mengenalnya. Menjadi wakil ketua osis adalah jabatan yang bagus, suara yang indah adalah nilai tambahnya, namun sifat ramahnya adalah daya tarik terbesar. Baekhyun senang memiliki teman dimana-mana. Namun tetap saja dia hanya akan setia pada teman terdekatnya.

Kami sering menghabiskan malam sabtu bersama. Baekhyun bilang jangan malam minggu karena itu adalah malam keluarga. Aku menuruti saja, toh ayahku juga bukan orang romantis yang kerap mengajak aku atau noona untuk makan malam di luar hanya sekedar untuk menghabiskan waktu bersama. Jadi tak ada beda antara malam minggu maupun sabtu.

Aku dan Baekhyun senang menonton pertandingan base ball di acara televisi di rumah Baekhyun. Awalnya aku mengusulkan untuk menonton di sana karena rumah Baekhyun sangat besar dan luas. Lagipula televisi yang dia punya jauh lebih besar dan lebih modern dibanding televisi seadanya di rumahku yang kurasa umurnya sudah lebih tua dari umurku. Namun, ternyata alasan itu bukanlah alasan utama setelah aku mengenangnya sekarang. Aku hanya senang menghabiskan waktu di tempat Baekhyun biasa menghabiskan sebagian besar waktu dalam hidupnya. Tempat Baekhyun tumbuh.

Selain pertandingan base ball, Baekhyun terkadang merengek ingin menonton film saja. Film kesukaannya adalah film bertema action, sedangkan aku sebenarnya lebih menggemari drama komedi. Kami akan berdebat panjang mengenai film apa yang harus ditonton, namun pada akhirnya keputusan yang diambil selalu sama. Aku dan dia akan menonton film action. Baekhyun akan selalu menonton dengan semangat, dan aku tertidur di tengah-tengah plot, tapi Baekhyun akan dengan teganya membangunkanku sampai aku benar-benar tidak bisa tidur lagi.

Di masa-masa itu, kami kerap mengajak Kyungsoo untuk menonton bersama, namun Kyungsoo selalu tidak bisa hadir. Entah mengapa kami merasa Kyungsoo perlahan menjauh. Aku tidak tahu apa penyebabnya, namun Kyungsoo lambat laun mulai menjaga jarak dari kami. Sampai akhirnya hari kelulusan sekolah menengah pertama adalah hari terakhir kami melihat Kyungsoo.
.
.
.
.
.
.
Di mataku Baekhyun selalu terlihat lebih bersinar dibandingkan orang lain di sekitarnya. Ketika yang lain terlihat abu-abu, dia tampil dengan segudang warna. Saat yang lain melayu, dia tumbuh seistimewa permata. Padahal nyatanya dia hanya tersenyum, atau bahkan hanya bernafas tanpa melakukan apa-apa. Dia terlihat lebih istimewa.

Sering kali aku hanya terfokus padanya, sedangkan yang lainnya mengabur.

Awalnya aku kira ini karena aku sangat mengagumi sahabatku, namun ternyata ada alasan lebih kompleks dari semua itu. Aku jatuh cinta. Dan sialnya aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Di antara sekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus dia?

Aku harus membawa perasaanku kemana? Tidak mungkin aku mengatakan pada Baekhyun kalau aku menyukainya. Dia sudah punya kekasih. Jongin adalah laki-laki yang hebat. Perihal menari dia nomor satu. Di kelas, meskipun dia tidak berada di urutan teratas, tetapi posisinya selalu tetap aman di 10 pertama. Selain itu, Jongin hidup dengan uang disekitarnya. Dia bisa membelikan Baekhyun apapun yang sahabatku mau -meskipun Baekhyun tidak pernah memintanya-. Jika dibandingkan denganku, aku sama sekali bukan tandingan.

Karena itu aku cukup kaget saat tahu dia mengakhiri hubunganya dengan Jongin tepat di hari kelulusan sekolah menengah atas. Sore itu kami bertemu di lapangan basket tempat biasa aku menghabiskan sore kalau-kalau Baekhyun sedang kencan dengan Jongin. Dia datang dengan dua botol minuman soda rasa apel kesukaannya, dan rasa jeruk yang selalu dia berikan padaku.

"YA!" teriaknya dengan santai dari ujung lapangan. Dia melempar botol itu ke arahku. Beruntung aku dengan sigap menangkap lemparannya.

Dengan dahi berkerut karena bingung, aku berjalan mendekati Baekhyun yang memilih duduk di pinggir lapangan dan membuka botol sodanya.

"Hey Baek, kukira kau sedang kencan dengan Jongin? Bukankah kau bilang tadi hendak menghabiskan hari ini bersama dia?"

Tidak ada perubahan air muka yang kutangkap dari wajahnya. Dia dengan santainya justru meneguk soda rasa apel dalam botol di genggamannya. "Kami sudah berakhir." Ujarnya santai.

Beruntung aku belum meminum sodaku. Kalau tidak, mungkin aku sudah menyemburkannya lagi ke wajah Baekhyun, dan anak itu pasti akan marah besar padaku. Dia akan berteriak 'INI JOROK, YEOL!'. Itu pernah terjadi sekali saat kami di tahun terakhir di sekolah menengah pertama.

"A-apa?"

Dia menoleh, menatapku sesaat, sebelum tergelak dengan suara besar.

"Mukamu seperti orang bodoh."

"H-hey, tunggu.. itu.."

Dia mengangkat bahu. "Kurasa kami tidak cocok. Aku tidak bisa jadi apa yang dia mau, dan dia juga tidak bisa jadi seperti apa yang kuharapkan. Jadi.. kami berakhir. Tapi tenang saja, kami berakhir baik-baik, tanpa perseteruan sama sekali. Kami hanya menyadari kami memang bukan untuk satu sama lain."

Mendengar pengakuannya membuat lidahku kelu. Lalu aku harus apa? Apakah ini kesempatanku? Apakah ini giliranku untuk jujur padanya? Tetapi bagaimana kalau setelah ini dia justru menjauh?

Aku masih terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri sampai tidak sadar dia sudah menatapku lama. Saat aku mengangkat wajah, dia telah lebih dahulu memalingkan muka.

Dengan mengesampingkan resiko yang harus kuterima, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengaku padanya.

Aku tidak tahu apakah pemilihan kataku sudah benar, bahkan aku merasa seperti orang bodoh saat itu karena aku tergagap dan terlalu sibuk membetulkan kalimatku sampai tidak sadar dia menatapku jauh lebih lekat dari sebelumnya.

"Tidak apa-apa kalau.. uh kau tidak ingin menanggapinya. Anggap semua ini saja.. uh anggap saja semua ini tidak pernah terjadi. Hanya saja jangan menjauh dariku, Baekhyun-ah. Kita tetap bisa menjadi sahabat.... Baekhyun-ah?"

Kekeh kecilnya saat itu masih kuingat sampai sekarang. "Aku juga menyukaimu bodoh."

Pipinya bersemu merah dengan sangat jelas.
.
.
.
.
.
.
Jika kami berbicara melalui telfon, ia tidak pernah mau mengatakan selamat tinggal. Dia bilang selamat tinggal hanya diucapkan untuk orang yang berpisah dan tidak akan bertemu lagi. Jadi, dia lebih memilih untuk mengatakan selamat malam saja.

"Selamat malam, Chanyeol."

"Selamat malam, Baekhyunie. Tidur yang nyenyak."
.
.
.
.
.
.
Orang tua Baekhyun adalah orang yang baik. Aku tahu itu sejak awal aku bertemu mereka. Ekspektasiku tentang orang kaya angkuh seperti yang biasa Yura noona tonton di drama, luntur sudah. Aku sering menghabiskan waktu di rumah Baekhyun sehingga mereka mengenalku bahkan sejak pertama Baekhyun dan aku berteman.

Bibi Lee adalah seorang wanita yang sangat ramah dan hangat. Senyum cerahnya selalu menyambut Baekhyun setiap anak semata wayangnya tersebut pulang dari sekolah, dan dia akan menyapaku dengan sama hangatnya. Bibi Lee membuat kue cokelat terenak yang pernah kucicipi, yang sejak awal memang telah Baekhyun bangga-banggakan di depanku.

Sedangkan paman Byun adalah seorang laki-laki baik hati yang selalu memperlakukanku seperti anak kandungnya sendiri. Kami sering berbincang-bincang masalah catur -dulu aku menggemari catur, sekarang tak seberapa-. Dia selalu mengadu padaku bagaimana dia sedikit kecewa karena Baekhyun sama sekali tidak tertarik dengan permainan favoritnya dan lebih memilih mencintai musik. Meski demikian, paman Byun selalu mendukung apa yang Baekhyun inginkan, terlebih begitu beliau tahu bahwa aku dan Baekhyun memiliki kecintaan yang sama pada musik.

"Kalian bisa bermain musik bersama untuk mengisi waktu luang. Aku ingin sesekali mendengarnya." Begitulah ujaran ramahnya yang kala itu hanya kutanggapi dengan anggukan malu.

Kuulangi lagi, orang tua Baekhyun adalah orang-orang yang baik. Mereka menganggapku seperti adik Baekhyun yang sebenarnya tidak pernah ada. Bahkan saat mereka tahu aku dan anak mereka memiliki hubungan spesial, keduanya tidak melarangnya. "Kau bisa membuat Baekhyun bahagia nak. Apa lagi yang bisa kami harapkan selain itu?" begitu ujar bibi Lee saat aku dan Baekhyun terpaksa mengaku tentang hubungan kami setelah tertangkap basah sedang berciuman di kamar Baekhyun.

Aku pernah mendengar frasa yang berbunyi tak ada hal yang abadi di dunia ini. Waktu berlalu. Keadaan berubah. Mau tidak mau aku mengalami kenyataan dari frasa tersebut. Di tahun kedua hubungan kami, aku merasa dunia terputar balik. Kedua orang tua Baekhyun berubah. Tidak kepada anaknya, tetapi kepadaku, yang membuatku sering kali termenung untuk memikirkan kesalahan apa yang sudah kuperbuat sehingga sikap mereka berubah 180 derajat dari sebelumnya.

Awalnya mereka hanya tidak seceria biasanya di depanku. Tidak lagi menyapa. Kalaupun tersenyum, mereka justru menunjukkan senyum terpaksa. Kufikir mungkin saja mereka sedang memiliki masa-masa yang sulit. Mungkin ada permasalahan internal di perusahaan besar Byun sehingga mempengaruhi suasana hati orang tua Baekhyun. Namun perlahan-lahan sapaan mereka sama sekali hilang, digantikan pandangan sekilas, dan pada akhirnya mereka tidak lagi menghiraukan kehadiranku.

Yang membuatku tertampar adalah ketika di suatu malam setelah aku mengantar pulang Baekhyun yang terlihat begitu kelelahan, bibi Lee menunggui anaknya di depan gerbang besar rumah mereka. Ketika kami sampai dan pandanganku bertemu dengan beliau, aku spontan membungkuk untuk memberi salam, persis seperti apa yang kulakukan selama bertahun-tahun sejak aku pertama bertemu orang tua kekasihku. Anehnya, bibi Lee tidak tersenyum seperti biasa. Alih-alih menyambut kami dengan ramah, ia justru menatapku dengan tajam.

Tanpa memperdulikanku, dia berkata, "Baekhyun, masuk! Bukankah aku melarangmu keluar?"

Mendengar nada tinggi ibunya, Baekhyun mencoba meredamkan amarah wanita tersebut, namun tiba-tiba dia terbatuk pelan. Sontak aku memegangi bahunya, "Kau sakit, Baek? Sedari tadi kau juga terlihat lemas-"

Bibi Lee tiba-tiba saja membentakku, menumpahkan semua kesalahan padaku. Melihat hal itu Baekhyun tidak terima aku disalahkan sehingga malam itu, untuk pertama kalinya aku melihat ibu dan anak yang biasanya selalu rukun justru bertengkar di depan wajahku.

Bibi Lee masuk ke rumah dengan wajah merah menahan marah, sedangkan Baekhyun sempat berbalik badan untuk menghadapku. Dan pada saat itu dia terlihat lebih pucat dari biasanya. Aku sempat mengutuk diriku sendiri karena tidak menyadari lebih awal bahwa kekasihku sedang tidak enak badan.

Dia tersenyum tipis seraya menangkup kedua pipiku dalam tangkupan tangannya yang kecil, "Maafkan ibuku, Yeol-ah. Kondisi hati mereka belakangan ini sedang kurang baik." Maka aku mencoba memaklumi, dan malam itu berhenti disana.

Kukira semua akan membaik seiring dengan berjalannnya waktu. Nyatanya tidak. Semakin lama aku semakin sulit bertemu Baekhyun. Semakin banyak pula rencana kencan kami yang harus dibatalkan karena Baekhyun bilang dia mendadak tidak bisa menemuiku. Baekhyun memberikan alasan seperti ada sanak keluarganya dari Gyeonggi yang datang, ada terlalu banyak tugas, atau alasan-alasan bodoh lainnya, dan aku selalu menjawab 'Ya sudah, aku mengerti. Kita bisa menunda di lain waktu'. Baekhyun mungkin tidak tahu kalau aku tahu alasan sebenarnya kami menjadi sulit bertemu adalah orang tuanya.

Aku tidak gentar. Walau tidak bisa menemuinya sesering dahulu, hubungan kami tetap terjalin melalui alat komunikasi. Aku sama sekali tidak menghiraukan perubahan sikap paman Byun dan bibi Lee padaku. Sampai pada akhirnya ayah Baekhyun menemuiku di apartemenku yang tak seberapa, dan berkata, "Akhiri saja hubunganmu dengan anakku. Kalian tidak aka bisa mendapatkan akhir yang bahagia. Semua ini sia-sia."

Untuk pertama kalinya aku kecewa pada orang tua kekasihku.
.
.
.
.
.
.
Baekhyun sering menyelinap keluar dari rumah saat waktu mendekati pukul 11 malam, karena pada pukul itu orang tuanya mulai beristirahat. Aku akan menunggu di dekat pagar rumah mewahnya. Kami bertemu disana, lalu pergi ke tempat dimana aku bisa berdua bersama Baekhyun. Pukul 4 pagi, aku secara diam-diam akan mengantar Baekhyun, tepat sebelum kedua orang tuanya bangun.

"Kemana kita malam ini?" tanyaku pada suatu malam. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 11:14 malam.

Baekhyun berjalan di sisiku seraya menggenggam tangan kananku dengan kuat. "Aku tidak tahu. Aku hanya ingin bertemu denganmu." Gumamnya. Suaranya kecil dan bergetar seiring dengan angin dingin yang menubruk tubuh kami, jadi aku mendekap tubuhnya dari samping dan kami berjalan menuju sungai Han yang sebenarnya cukup jauh dari rumah Baekhyun.
.
.
.
.
.
.
Aku tidak pernah berniat menyerah pada hubungan kami. Aku tidak akan melepaskan Baekhyun hanya karena orang tuanya melarang kami untuk melanjutkan hubungan kami. Di setiap kemungkinan, di setiap kesempatan, aku akan selalu berusaha agar kami dapat bertemu. Kami saling mencari. Kami saling menghubungi. Aku tidak pernah menyesal memiliki hubungan ini dan tidak akan pernah menyerah. Namun mungkin Baekhyun telah mencapai batasnya.

Mungkin dia mulai lelah dan tak dapat lagi melakukan semua ini.

Mungkin dia mulai menyerah. Karena di suatu hari ia tiba-tiba menghilang setelah pada malam sebelumnya kami sempat berkomunikasi. Ia berbicara dengan suara pelan dan rendah, seakan membiarkanku untuk bicara lebih banyak.

"..... Lalu professor itu sadar bahwa sebenarnya dia yang salah. Yah, pada akhirnya dia mencoba mencariku dan meminta maaf. Gilanya, Baek, dia mengajakku minum karena rasa bersalahnya itu!" Ceritaku pada malam itu penuh semangat.

Baekhyun di ujung sana tidak tertawa, tetapi aku tahu dia sedang tersenyum lebar. "Keberuntunganmu, Yeol-ah"

"Aku tahu." Tukasku ringan sebelum tertawa kecil.

Dia kembali diam di ujung sana. Aku pun memilih diam, membiarkan kali ini dia yang berbicara.

Setelah hening beberapa detik akhirnya Baekhyun berbicara, "Park Chanyeol, aku bersyukur karena... karena aku bertemu... denganmu. Kuharap kau tahu itu."

Sebelum otakku sempat memproses perkataannya, senyum lebar sudah lebih dulu terulas di bibirku. "Aw, mencoba menjadi romantis, huh?"

Dan dia tidak menyangkal. Aku tahu dia lagi-lagi tersenyum di ujung sana.

Mungkin ia ingin mengingat suaraku sebelum benar-benar melupakannya. Baekhyun-ku mengucapkan selamat malam. Ia mengucapkan selamat malam sebanyak tiga kali. Dan setelahnya aku tidak pernah mendengar kabar apapun dari Baekhyun, meskipun aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk dapat menemuinya.
.
.
.
.
.
.
Dua minggu kemudian, di antara keputusasaan dan kekacauan dalam hidupku, aku mendapat panggilan dari sebuah nomor asing. Itu adalah bibi Lee, ibu Baekhyun. Ia memintaku datang ke sebuah upacara. Dan aku datang karena harapanku untuk dapat bertemu dengan Baekhyun-ku sangatlah besar. Terlebih saat mendengar suara ibu Baekhyun yang terdengar netral dan tidak mengandung unsur kebencian sama sekali.

Setelah sekian lama, aku kembali bertemu dengan kedua orang tuanya. Seperti dulu kala, mereka kembali tersenyum saat melihatku, hanya saja senyum mereka kali ini dihiasi air mata.

Tubuhku yang bergetar mencoba tetap berjalan untuk sampai di hadapan keduanya. Dengan kaku dan gerakan pelan aku memberi salam, tetapi mereka hanya menatapku dengan pandangan iba. Saat itu, tepat pada saat itu, aku benar-benar ingin menghilang dari muka bumi. Aku ingin mati saja, toh pasokan udara di paru-paruku sudah nyaris menyentuh angka nol.

"Chanyeol anakku.." gumam paman Byun, sedangkan bibi Lee menatapku dengan kedua matanya yang merah dan bengkak. "Kau datang dengan sangat tampan. Dengan jas hitam dan celana kain. Aku yakin Baekhyun senang kau datang dengan penampilan serapi ini untuk menemuinya untuk yang terakhir kalinya." Ujar wanita itu dengan air mata yang mengalir deras dan suara yang tercekat.
.
.
.
.
.
.
Penyakitnya diketahui di tahun kedua setelah kami memulai hubungan. Dan pada waktu itu dokter berkata bahwa semuanya sudah terlambat. Baekhyun tidak bisa bertahan lama. Dengan begitu kedua orang tuanya meminta Baekhyun untuk berhenti menemuiku agar perpisahan yang terjadi di antara kami tak terasa seberapa menyakitkan. Namun Baekhyun tidak menurutinya. Untuk sekali itu saja, dia bilang, dia ingin menjadi egois. Dia tidak ingin menyerah pada hubungan kami. Padaku.

Di satu sisi, dia tidak bisa memberitahuku tentang penyakit yang dideritanya. Dia tidak ingin aku terfokus hanya membahagiakan dirinya saja karena sisa waktunya tidak banyak lagi. Dia ingin hidup normal seperti sebelum dinyatakan mengidap sesuatu yang bisa merenggut nyawanya.

Orang tua Baekhyun tidak setuju. Mereka bilang dia hanya akan menyakiti dirinya sendiri dan juga aku, maka sebaiknya Baekhyun menyerah. Namun kekasih kecilku itu tidak perduli. Sampai di helaan nafas terakhirnya dia tidak pernah menyerah pada hubungan kami.

Sejak dua minggu yang lalu kondisinya turun drastis, dan dia sempat koma, sampai akhirnya menyerah kemarin pagi. Dia pergi membawa kenangan kami.

Si bodoh itu...

"Baek, maafkan aku karena tidak menyadarinya lebih awal.. tapi kumohon, jangan pergi. Ayahku sudah tiada. Noona sudah menikah dan hidup bersama suaminya. Lalu aku? Aku harus bagaimana jika tidak ada kau? Baek... Baekhyun-ah."

Kekasihku tidak menjawabnya. Dia tetap mempertahankan senyum manisnya yang tak mungkin bisa aku lupa. Di sana, di depanku, terpatri di dalam pigura.
.
.
.
.
.
"Kami bersyukur kau tidak pernah benar-benar serius untuk kawin lari dengan anak kami. Setidaknya kau tidak harus menghadapi semua ini seorang diri. Kau tidak harus merasa kehilangan arah seadainya Baekhyun tiba-tiba tidak lagi dapat bertahan, sedangkan kau sama sekali tidak mengetahui apa-apa dan kau hanya tinggal seorang diri. Maafkan kami Chanyeol, kami hanya berusaha membuat perpisahan kalian tidak terlalu tiba-tiba. Setidaknya ada waktu untukmu untuk belajar melupakan Baekhyun kami. Kalau-kalau berita seperti ini tiba, kau tidak harus merasakan duka, karena Baekhyun hanyalah masa lalumu."

Itulah bisikan sedih bibi Lee di bahuku yang berguncang seiring dengan satu demi satu kata yang beliau ucapkan di upacara terakhir Baekhyun, tiga tahun yang lalu. Pelukan beliau hangat nan erat, dan rasa sakit di hatinya merembes masuk ke dalam tubuhku sampai-sampai aku tidak bisa bernafas.

Sekali lagi kulihat senyum secerah matahari itu. Teman sekelasku. Sahabatku. Kekasihku. Baekhyun-ku..
.
.
.
.
.
Saat ini senja ketika aku menoleh ke arah kanan. Nisannya tampak cantik setelah aku meletakkan sebuket bunga lily, kesukaannya dulu.

"Byun Baekhyun, aku bersyukur karena aku bertemu denganmu. Kuharap kau tahu itu." Gumamku kecil dengan senyum di bibir.

Sore ini, cahaya senja dengan malu menyelimuti nisannya sebelum hilang dalam kelopak mataku saat aku menutup mata untuk mencium nisannya.

FIN

 

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet