Ettard.

Ettard.
Relativitas menelan Zen bulat-bulat. Ia tengah duduk disalah satu meja, merasa waktu beku dalam satu detik yang panjang saat pemuda itu duduk sebagai sentral atensi.
My heart is running to you
Every sec getting close to you
My heart is running to you …
Moon Taeil, dengan mempesona memetik gitar sembari bernyanyi seolah ia hidup untuk itu. Mata mereka bertemu untuk sekian detik dan Zen tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Dan waktu begitu kejam, mengindahkan rasa bahagia Zen dengan terus melaju hingga Zen menyadari bahwa satu lagu telah tuntas. Seketika ada dahaga yang begitu merongrong dadanya, dahaga yang tak akan hilang dengan mereguk air yang tersaji di mejanya.
“Kamu benar-benar datang,” lupakan tentang dahaga, pemuda itu sekarang disini. Di hadapan si gadis Ettard, duduk satu meja dan tersenyum menenangkan.
Jantung, tetaplah tenang.’ Bisik Zen dalam hati.
“hai.”
“Hai juga, penampilanmu bagus seperti biasa.” Itu bukan pujian yang berlebihan, namun Taeil tetap tersipu sambil menggaruk tengkuk. Hening panjang karna kecanggungan melanda, Zen selangkah lebih maju “ingin minum sesuatu? Tidak haus?”
Iris mereka bertabrakan. Mata itu, jika saja Taeil adalah vampir maka Zen akan menuduh pemuda itu tengah mengguna-gunainya hingga mampu sedemikian mabuk kepayang. Namun, fakta bahwa Taeil sama sepertinya membuat Zen urung menimpakan tuduhan. Kesimpulan akhir yang ia dapat adalah Zen memang tengah jatuh hati pada pemuda pendek itu.
"Sedikit, aku akan pesan air putih saja." Zen mengangguk, ia menyampirkan helaian rambut yang jatuh menutupi wajahnya sambil tersenyum. Mata mereka masih beradu, suasana canggung tadi perlahan-lahan terkikis. Namun jantung Zen masih tak berdetak seperti selayaknya.
 

 

Zen mengenal Taeil cukup baik. Tahu warna kesukaannya, tahu jenis parfum yang ia pakai, tahu kebiasaannya saat sedang gugup, dan sebagainya. Terakhir, Zen tahu kalau Taeil juga menaruh hati padanya. Mereka tak butuh komitmen, pun tak butuh banyak rayuan. Hanya butuh Zen dan Taeil, berdua. Baginya cinta sesederhana itu.
Petang itu mereka melintasi trotoar dalam diam, tangan saling bertaut dan Zen pikir ini adalah momen yang sempurna. Karna ini adalah awal musim semi, bukan karena Taeil ada disampingnya maka ia merasa begitu, namun sakura yang gugur dengan wangi lembut sungguhan indah.
Perasaan tenang itu koyak saat ia menatap Taeil. Beberapa hari lalu Zen menemukan fakta bahwa Taeil memang bukan manusia. Awalnya ia pikir itu hanya bualan atau sejenis lelucon. Ada tanda dibalik tengkuk Taeil, yang biasanya ia tutupi dengan syal. Hingga sekalipun musim panas Taeil tetap menutupi lehernya. Zen adalah satu-satunya yang tahu bahwa Taeil bukanlah Taeil. Yang ia tahu Taeil terjebak dalam tubuh itu sejak sepuluh tahun lalu, mendiami tubuh orang lain tentu saja tak nyaman sama seperti memakai baju dengan ukuran yang salah. Zen mencoba mengerti perasaan Taeil. Konon ia mendiami tubuh itu karena sebuah kutukan, kutukan apa Taeil sendiri tak begitu ingat karena ia masih sangat kecil saat itu. Yang ia tahu, ada harga yang harus dibayar demi mematahkan kutukan itu. Sama seperti pangeran katak yang harus mendapat ciuman cinta sejati demi kembali ke wujud semula, Taeil butuh seseorang yang mau memakan jantungnya mentah-mentah dan ia akan menjadi dirinya sendiri. Tubuhnya akan otomatis berganti jika jantung miliknya telah tandas, seperti ular yang berganti kulit. Proses selanjutnya akan seperti itu.
Zen tak yakin sepuluh tahun adalah kurun waktu yang sesungguhnya, pasti lebih lama dari itu. Zen melabuhkan kepalanya di bahu Taeil, gelisah itu merayap makin menyiksa. Dan tanpa sadar genggaman di tangan Taeil mengerat. Zen harus mencari cara secepatnya.
"Mau beli eskrim?" sang adam menawari. Zen hanya mengangguk. Setengah hari sisanya mereka habiskan dengan berbincang tentang ini-itu di kedai eskrim, setengah hari yang panjang Zen lalui dengan keresahan.
 

 

Ettard, Zen tak menyandang marga itu tanpa alasan. Kakek buyutnya adalah seorang Ettard pertama, bergelar pemburu vampir terhebat. Ia tersohor, kuat dan tegas. Namun pada akhirnya takluk pada hal yang disebut cinta. Ia mengakhiri hidupnya setelah berselingkuh dengan orang yang membuatnya paling bahagia, sekaligus paling sengsara. Perempuan itu mati sebelum sang Ettard melamarnya untuk dijadikan istri yang sah. Itu adalah sejarah buruk yang coba Zen kubur dalam-dalam.
Ia dan Taeil adalah kasus yang lain. Zen tak keberatan dengan Taeil versi manapun, versi ini ataupun versi yang sesungguhnya. Ini hanya masalah tubuh, sepele;yang terpenting adalah jiwa Taeil itu sendiri. Namun seperti baterai yang kian lama kian menurun daya gunanya, tubuh Taeil mengalami hal serupa. Sendi dan ototnya terkadang sulit untuk di gerakkan, Taeil pernah mengalami mati setengah badan sebelumnya—separuh dari tubuhnya mati rasa. Dan itu adalah hal buruk. Belakangan Zen mengutarakan hal itu pada sang adik sepupu, Ten. Tentang asal usul Taeil beserta kutukan yg melekat pada jiwanya.
"Gila, kamu tidak sedang mengikuti sekte hitam kan?" ucapnya sontak membuat Zen ingin memukul wajah Ten. Mereka sedang membicarakan tentang solusi terbaik agar Taeil lepas dari kutukan itu. Dan wajar saja reaksi Ten seperti itu, mengingat ayah Ten adalah seorang pendeta dan ibunya sendiri cenayang. Ia tumbuh dengan kitab-kitab perundang-undangan aliran yang diwariskan turun-temurun, ayahnya yang mengharuskan Ten membaca itu setiap hari.
"Ten, tenanglah. Ini hanya seperti memberi plester pada burung yang sayapnya patah, aku sedang melakukan itu pada Taeil." Zen mendesah sejenak.
"Tapi, itu jantung mentah. Kenapa harus seperti itu?" Ten berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Zen duduk sambil memijat pelipis. "kamu yakin tidak akan ada resiko dengan melakukan itu? Bukan padamu, tapi pada Ten. Kamu benar-benar yakin?"
Zen diam. Semuanya membuat bingung. Ia hanya tak ingin nasibnya berakhir seperti kakek buyutnya. Ini bukan dongeng, Zen tak seserakah itu untuk berharap semua akan berakhir bahagia selama-lamanya. Namun setidaknya ia ingin bersama Taeil dan mengecap indah lebih lama.
"Kalau kutukan itu kadaluarsa bagaimana? Kalau ini gagal, bukannya kamu yang akan sengsara?" Tolong, Zen hampir benar-benar meninju wajah Ten sampai babak belur sekarang. Tangannya terkepal bulat.
"Kita tak akan tahu sebelum mencoba."
"Tidak ada percobaan, kamu lakukan atau tidak. Kesempatan ini satu-satunya. Kamu yakin?"
Zen mengangguk kaku, Ten mengerang sambil menendang sofa. Ia menentang pilihan Zen sampai akhir. Tak cukup lewat perdebatan panjang, Ten jadi begitu protektif. Ia bahkan mengusulkan agar mengakhiri hubungannya dengan Taeil, Zen menulikan diri dari Ten sejak saat itu.
"Ibu bilang, akan terjadi hal buruk kalau kamu melakukan itu. Dengarkan aku dan jadilah rasional, aku tidak ingin kamu jadi pembunuh."
Yang harus di garis bawahi disini adalah percaya pada ramalan itu tidak rasional. Zen enggan menyanggah dan hanya berlalu sebelum Ten mendakwahinya lebih jauh. Semakin banyak Ten mencegahnya untuk melakukan hal itu, semakin Zen ingin membebaskan kekasihnya. Keluhan terakhir dari Taeil yang ia dengar adalah pemuda itu sempat kehilangan penglihatan hampir selama lima jam. Zen kian resah, malam ini ia berniat menuntaskan segalanya.
Sekitar dua jam setelah matahari undur diri, Zen datang mengetuk pintu rumah Taeil. Sang hawa langsung memeluknya kala pintu terbuka, menghirup aroma maskulin beserta pheromon si pemilik rumah. Satu pelukan panjang tak akan cukup, Zen merindukannya.
Taeil berdehem sejenak, "ayo masuk. Aku punya kue jahe."
Zen melepaskan pelukan, menatap was-was wajah sang Moon yang nampak biasa saja. Ia mendapati ekspresi tak nyaman dari pemuda itu kemudian.
"Tidak sekarang." tangan Zen terulur mengarah ke dada sang adam. "kita akan makan kue jahe setelah kamu mendapatkan tubuhmu." Zen tersenyum, Taeil pun tak dapat menahan diri untuk tersenyum. Zen hanya tak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi beberapa menit kedepan.
"Okay." Taeil berkata pelan. Ia menarik tangan Zen.
Zen tergugup. Apapun yang ia lakukan saat ini memang demi Taeil tapi ia adalah manusia yang dididik dengan rasa keprikemanusiaan, saat ini logika dan perasaannya bertabrakan. Keprimanusiaannya menolak membunuh Taeil meski ini demi dia, tapi perasaan cinta nya untuk Taeil juga tak kalah besar. Ia ingin Taeil bahagia, berhenti bergantung pada raga orang lain dan bebas.
Seolah turut mengalami pergolakan batin yang terjadi pada Zen. Taeil terhenti dalam melangkah. Ia berbalik dan menaruh kedua tangannya pada pundak Zen. Sorot mata Zen terpias antara ragu dan bingung, namun Taeil bisa membaca emosi lain.
"Maafkan aku Zen. Tidak seharusnya kamu berkorban seperti ini." Tangan Taeil menyentuh pipi Zen yang lebih pucat.
Zen mendongak. Bertemu pandang dengan Taeil. Ia mengenggam kedua tangan dingin Taeil yang menyentuh pipinya.
"Aku akan melakukan apapun untuk membantu. Aku berjanji." Zen menempelkan dahinya pada kedua tangan yang ia genggam. Sejenak, seperti ada api yang tersulut di dadanya, ini akan berakhir dengan baik ‘kan?
Taeil menatap kearah Zen dengan emosi bercampur. Lantas tanpa diduga Taeil mengecup tangan Zen. Sang hawa menarik nafas dalam dan mencoba tersenyum. Jantungnya berdetak kuat. Tangan nya masih bergetar.
"Kita akan melakukan ini." Zen membuang nafas kembali, sekaligus mengingatkan dirinya agar tetap pada pendirian awalnya.
Taeil tersenyum lembut. Ia menarik pelan tangan Zen. Mengiring keduanya pada kamar mandi besar dirumahnya. Ia mengerti kenapa Taeil memilih kamar mandi, tempat yang tepat lagi praktis untuk menghilangkan noda darah.
"Oke, aku akan berbaring dan kamu bisa melakukannya." Taeil berkata tenang. Zen tidak mengerti kenapa Taeil bisa setenang ini. Apa ia sedang melindungi perasaan Zen?
Zen kembali memaksakan senyum. Manik Zen memerhatikan bagaimana Taeil perlahan membuka kemeja yang dipakainya. Taeil kembali melirik Zen. Meski situasi tegang dan mengerikan seperti ini Taeil masih bisa memberikan seringai kecil ketika ia melihat Zen terpanah pada tubuhnya. Kemudian Taeil berbaring diatas lantai marmer kamar mandinya. Tubuh atas nya tak berbalut apapun. Pemuda yang hanya lebih tua dua tahun dari Zen itu mendongak melihat sang kekasih yang semakin dan semakin pucat. Ia merogoh kantung celananya. Zen terlihat terkejut melihat Taeil mengeluarkan pisau lipat. Taeil menjulurkan tangan nya, memperhatikan bagaimana rasa yakin Zen mulai goyah.
"Ambillah. Pisau ini sangat tajam. Aku memesannya khusus untuk kebebasan ku." Taeil tersenyum lembut, seolah mencoba menangkan Zen. Bilah putih itu berkilat, seolah mengiyakan apa yang baru saja Taeil utarakan. Zen menatap pisau itu seolah itu lah kematiannya bukan kematian Taeil. Zen menutup matanya dan mengambil pisau yang Taeil sodorkan.
"Lakukan." Taeil menutup matanya.
Zen menatap kembali pisau lipat ditangannya. Ia bisa membayangkan warna merah akan menodai pisau mungil itu.
Lantai marmer itu terasa dingin dikakinya, semua lantai marmer memang dingin namun Zen menemukan ada rasa dingin lain yang hinggap di benaknya. Rasa dingin yang pastinya akan membekukan hati nya. Zen menggenggam erat pisau ditangannya.
'Ini demi Taeil. Demi kita berdua. Kebebasannya adalah tujuanku.' Zen berucap dalam hati, menanamkan keyakinan kembali ke hatinya yang mulai rapuh. Ia mencoba membayangkan senyum Taeil untuk yang terakhir kali sebelum pemuda itu kembali ke tubuh aslinya.
Zen melirik kebawah. Taeil masih menutup matanya. Ia menunggu detik-detik kebebasannya dan disini Zen justru bimbang. Dasar idiot. Gadis itu nampak mengertakan giginya. Ia bisa. Ia kuat. Membunuh Taeil sementara agar ia bisa terlahir kembali dengan lebih indah dan bahagia. Seperti phoenix, ia rela menjadi api guna membakar phoenix agar phoenix itu bisa terlahir kembali dari tumpukan debu hasil pembakarannya. Ia bisa melakukan pengorbanan ini.
Zen bersimpuh disamping Taeil. Pisau lipat itu ia pegang kuat ditangan kanannya. Tangan kiri Zen menyentuh dada Taeil, mencoba merasakan bagaimana detak jantung itu masih berdetak ditubuh kekasihnya. Ketika ia menemukan nya, tangan kirinya menekan kuat.
"Maafkan aku, Taeil." Zen berucap pelan. Sangat pelan.
"It's okay, babe. I can take it." Zen mendongak mendengar suara Taeil yang meyakinkannya.
Zen menahan napas. Tanpa buang waktu lagi, pada mengarahkan pisau itu dikulit dada Taeil. Ia menyentuhkan sisi tajam yang dingin itu dikulit Taeil memberitahu apa yang akan dilakukannya. Lagi lagi Taeil mengangguk. Zen menggores pelan. Ia melihat darah mulai keluar. Ia mendongak melihat wajah Taeil mengkerut menahan sakit. Tiba-tiba ia menjauhkan pisau itu dari Taeil.
Idiot. Zen idiot.
Zen mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia harus membuat kekasihnya kesakitan. Ia akan membunuh Taeil tanpa ia harus berlama lama merasakan kesakitan.
"Taeil!" Zen menjerit menahan suaranya ketika ia dengan cepat mengarahkan pisau tajam itu keleher Taeil.
Taeil terkejut, ia membelalak mendengar panggilan Zen.
Zen melihat bagaimana mata Taeil terbuka lebar kemudian darah memuncrat kewajah Zen. Ia baru saja memotong nadi penting dileher Taeil. Ia baru saja membunuh Taeil! Air mata Zen mengucur. Hati nya hancur melihat mata dan tubuh itu kehilangan nyawanya. Tangannya sendiri lah yang menjadi pencabut nyawa kekasihnya sendiri.
Zen menggigit bibir bawahnya. Ia tidak bisa berlama lama. Ia membutuhkan jantung segar Taeil.
"Taeil! Taeil.... tunggulah." Zen bergumam dan menancapkan pisau itu keras-keras. Kedua tangan itu bergetar tapi Zen menekan kuat. Memantapkan niatnya, sudah terlambat untuk mundur. Ia harus segera menuntaskan ini.
Tangan Zen menarik kebawah. Sulit. Tulang rusuk itu sulit sekali untuk Zen singkirkan. Ditambah licin karena darah juga mengotori gagang pisau lipat itu. Zen mengerang, emosi. Ia menarik bilah tajam itu sekuat tenaga hingga tubuh Taeil terbuka.
Zen ingin muntah. Tubuh Taeil terbuka lebar. Tulang rusuk yang patah. Darah yang membanjiri. Organ-organ dalam yang terlihat jelas. Usus Taeil terlihat. Cairan yang tidak Zen mengerti pun terlihat. Jujur ini mengerikan sekaligus menjijikan. Zen segera memotong Jantung Taeil. Jantung itu masih hangat. Darahnya mengucur. Otot-otot pada jantung itu terasa berkontaksi meski Taeil telah meninggal.
Zen meletakan pisaunya begitu saja. Ia menatapi jantung Taeil, membawa jantung merah itu didepan mata nya. Rasa mual itu kembali lagi. Zen menutup mata.
"Demi Taeil." Zen berucap kembali.
Ia membuka mulutnya. Menjilat bibirnya yang tiba-tiba terasa kering.
Ingin muntah. Ingin muntah.
Zen akhirnya menggigit jantung hangat itu. Rasanya aneh sekali. Rasa darah dan jantung itu kenyal. Mungkin setelah dimasak akan lebih lembut.
Idiot.
Zen menahan mualnya. Suara kunyahan itu sangat terdengar. Kress, kress, kress. Astaga kenapa begitu sulit untuk dikunyah. Terlalu kenyal. Zen frustasi. Ia langsung menelannya. Anyir sekali. Menjijikan.
Zen kembali menggigit potongan jantung dengan giginya. Ah bahkan giginya ngilu, tak cukup kuat mencabik bongkahan daging itu begitu saja setelah gigitan pertama yang juga tak mudah. Zen menaruh jantung itu dilantai marmer. Ia menatap pisau lipat berlumur darah milik Taeil. Kemudian dengan membabi buta ia memotong-motong jantung itu. Darah membuncah. Bau anyir merebak. Gaun putih miliknya telah bermandi darah. Oh bahkan wajah Zen berlumur darah.
Zen muak. Ia ingin Taeil nya segera hidup kembali.
Dengan tenaga kuat Zen segera memotong motong jantung itu kembali. Zen bernafas tersenggal. Ia melihat karyanya.
"Haha." Zen tertawa pelan melihat jantung kekasihnya yang serupa irisan bawang itu.
Tanpa babibu Zen langsung menskop sebisanya, meraup potongan kecil itu kemulutnya. Tanpa kunyah. Ia ambil. Ia makan. Oh rasa anyir itu tidak terasa begitu ia hanya menelan nya. Ia tetap menelan meski perutnya mulai protes. Tangannya berlumur darah, bibirnya merah lebih merah saat dipuas lipstik, lidahnya kelu. Tapi ia membayangkan nantinya akan ada kue jahe dan Taeil menyuapinya. Zen menelan potongan terakhir dari jantung Taeil dengan perasaan lega. Ia menatap wajah Taeil yang kaku, wajahnya telah kosong. Zen baru menyadari bahwa Taeil-nya tak terlihat baik-baik saja. Entah berapa lama ia menunggu namun Taeil tak kunjung menunjukkan reaksi seperti apa yang ia katakan dulu. Tubuhnya tak bersinar, tak juga menunjukkan tanda-tanda beregenerasi. Zen mulai panik dan mengguncang tubuh Taeil.
Jangan jangan ia melakukannya dengan salah. Ia telah menyia-nyiakan kesepatan satu-satunya. Taeil benar-benar mati. Astaga!
"Taeil, aku sudah memakan jantungmu. Bangunlah! Harusnya terjadi sesuatu." Tapi tubuh itu dingin, tak bergerak sekalipun hanya ujung jarinya.
Apakah Zen tadi salah? Apakah harusnya yang ia makan adalah hati Taeil, bukan jantungnya? Zen meraih pisaunya lagi dan mengoyak perut Taeil. Ada selang berkerut besar yang menurut Zen adalah usus, ia menariknya keluar dan memotong dengan asal. Darah meluber makin banyak. Ia lantas menemukan sebuah organ mirip kantung, barangkali itu lambung. Zen juga menarik itu keluar. Dan ia tersenyum lebar saat menemukan daging padat berbentuk segitiga gemuk, itu pasti hati. Zen memotongnya serampangan dan sebelum ia benar-benar mengecap rasa hati milik kekasihnya, Zen merasakan jantungnya nyeri.
Zen tak peduli. Ia akan memakan hati itu. Namun—
"Akkkh!!" Zen mengelinjang. Tubuhnya panas. Tubuhnya seperti ditusuk ribuan pisau. Sakit yang tak berperi ia rasakan.
"Taeil!" Zen mencakar lantai marmer dnegan sia-sia.
Apa yang terjadi?
"Akh—!" Jeritan itu begitu keras. Manik Zen membesar. Mulut kotor penuh darah itu terbuka lebar.
Idiot.
Seharusnya Zen tak pernah mengiyakan rencana pembebasan jiwa Taeil, seharusnya Zen tak mengindahkan ucapan Ten, seharusnya Zen tak pernah berniat mengubah nasibnya. Karna sekarang ia malah jatuh pada kesalahan yang sama seperti kakek buyutnya, berkali lipat lebih buruk.
Mata Zen terbuka lagi, dengan sorot yang lain. Bibir itu kembali mengukir senyum namun dengan kadar ketulusan yang jauh dari sebelumnya. Sebuah tanda terbentuk di tengkuk nya, hitam dan mencolok. Zen bukan lagi Zen sekarang. Jiwanya telah dipaksa keluar dari dirinya sesaat setelah ia menandaskan jantung segar milik kekasihnya. Moon Taeil disana, mengambil alih nahkoda atas tubuh Zen. Moon Taeil kekasihnya yang dulu divonis mendiami tubuh anak laki-laki milik seorang anak dukun yang nyaris gila karna ditolak cintanya. Moon Taeil yang sesungguhnya adalah perempuan. Kini ia bahagia bisa menikmati tubuh yang layak, Zen baru saja menandatangani kontrak perbudakan atas raganya, dan ia adalah Ettard yang berakhir seperti seharusnya.
"Ahahaha—haha!" Zen tertawa lepas. Ah, tapi itu Taeil yang tertawa atas kemenangannya.
 

-FIN-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet