[3]
Waiting for You“Jadi, kenapa kau ingin menemuiku, Soojung?”
Tidak mau berbasa-basi, Seulgi langsung saja menanyakan maksud Soojung menemuinya. Gadis itu cukup terkejut ketika menerima pesan singkat Soojung beberapa hari yang lalu. Menanyakan waktu luang Seulgi dan mengajak gadis itu bertemu untuk minum kopi. Alasan terpayah yang mampu Soojung berikan sebenarnya. Karena tanpa gadis itu menyebutkan maksudnya, Seulgi sudah mampu menerka tujuan pertemuan ini. Pasti ini berkaitan dengan Kim Jongin, sahabat sehidup sematinya Jung Soojung sekaligus mantan pacar Seulgi.
“Tidak mau menjawab?” Seulgi bersuara lagi karena tidak kunjung mendapat jawaban pasti dari Soojung. Namun, tetap saja Soojung belum mau bersuara. Gadis itu masih bungkam dengan kedua sudut bibir tertarik. Menampilkan satu senyum menawan yang terkadang membuat Seulgi begitu iri.
Sungguh, Seulgi akui Soojung cantik—terlebih saat tersenyum. Hal itu pulalah yang sering kali membuat gadis itu was-was atas kedekatan mantan pacar-nya dengan Soojung. Meski Jongin berulang kali menekankan label persahabatan di antara mereka, tidak juga membuat keresahan Seulgi berkurang. Menurut Seulgi, tidak mungkin seorang lelaki dan perempuan mampu bertahan dalam sebuah hubungan persahabatan tanpa menggunakan hati sama sekali. Belum lagi dengan menyadari satu kenyataan bahwa sahabat mantan pacar-nya itu begitu menarik. Kekasih mana yang tidak merasa was-was?
“Menurutmu, kenapa aku ingin menemuimu, Seulgi?”
Seulgi memutar bola matanya kesal. Dia tidak menyukai pembicaraan yang berbelit-belit seperti ini. “Apa ini soal Jongin?”
“Itu kau tahu,” Soojung menyeringai jahil ke arah Seulgi. “Ternyata benar jika kalian itu masih saling sayang. Buktinya selalu memikirkan satu sama lain.”
“Itu bukan memikirkan, tetapi menebak,” ralat Seulgi segera. “Jadi, Jongin kenapa? Jika maksudmu ingin membujukku agar berbaikan dengan Jongin, maka—“
“Kata siapa aku mau membujukmu untuk berbaikan dengan Jongin?”
Bibir Seulgi yang telah separuh terbuka tertutup segera. Gadis itu mengedip beberapa kali lantas berdeham ketika merasa bahwa perkataannya tadi terkesan janggal. Meski Seulgi sudah mampu menerka maksud Soojung menemuinya, tetap saja seharusnya Seulgi tidak langsung mengungkapkan perkiraannya. Jika itu salah, bisa-bisa dirinyalah yang dikira berharap minta dibujuk untuk berbaikan dengan Jongin.
“Atau sebenarnya—“ Mata Soojung menyipit. Membuat Seulgi memejamkan mata dan berharap Soojung tidak mengatakan sesuatu yang dipikirkannya. “—kau ingin kubujuk agar mau berbaikan dengan Jongin?” ‘Kan benar dugaan Seulgi. Seharusnya Seulgi memang lebih berhati-hati. Sudah tahu jika sahabat mantan kekasihnya itu pintar membolak-balik kata, tetap saja dilawan.
Hal yang terdengar kemudian adalah tawa renyah yang Soojung layangkan. Tawa yang benar-benar Seulgi tidak sukai. Karena sesungguhnya tawa itu terkesan menghinanya, meski mungkin sebenarnya hanya sebatas tawa respon sebagai candaan.
“Tenang saja, Seulgi. Aku tidak akan membujukmu. Toh, kau terlalu bagus untuk Jongin.”
Perkataan Soojung penuh candaan. Namun, kini terdengar seperti ejekan. Memangnya kalau dia terlalu bagus kenapa? Tidak cocok dengan Jongin? Lantas, Jongin cocok dengan yang bagaimana? Yang seperti Soojung? Uhh, memikirkannya saja sudah membuat Seulgi kesal sendiri. Ingin rasanya dia meninggalkan Soojung sekarang juga, karena dirasa obrolan meraka tidak berguna. Lebih baik jika Seulgi segera kembali ke kantor dan menyelesaikan semua pekerjaannya.
“Jika bukan itu alasannya? Kenapa kau menemuiku, huh?” Suara Seulgi terdengar meningkat. “Kau tahu, waktuku terbuang percuma hanya untuk menemuimu, Soojung,” tambah gadis itu lagi mengungkapkan betapa kesal dirinya.
“Hei, kenapa kau marah begi—“
“Aku tidak marah.”
Baik, Soojung memilih diam. Emosi Seulgi terlihat tidak stabil. Satu kata terucap dari mulut Soojung mungkin akan memperburuk suasana. Jadi yang dapat dia lakukan sekarang ini adalah diam. Menunggu hingga Seulgi menyelesaikan penyampaian keluh kesahnya.
“Aku ... tidak ... marah ....” Seulgi menekankan kata-per-kata. Menegaskan bahwa dirinya tidak mudah terpancing emosi, meski gesturnya membantah itu sama sekali. “Aku hanya sedikit kesal,” gadis itu menambahkan dengan gumaman yang begitu lirih.
“Seharusnya, kau membujukku untuk berbaikan dengan Jongin. Seharusnya, kau meminta maaf kepadaku karena menjadi bahan pertengkaran kami. Seharusnya ....”
Seulgi menghela napas. Menggantungkan kalimatnya begitu saja, hingga membuat Soojung merasa tidak enak hati. Meski sedikit banyak Soojung kesal karena Seulgi berharap sekali dirinya membujuk gadis itu untuk berbaikan dengan Jongin dan bahkan meminta maaf kepadanya, tetapi tetap saja ada sekelumit perasaan bersalah yang menyiksa Soojung. Mungkin ini pertama kalinya Soojung menyukai gagasan Jongin putus hubungan dengan Seulgi, tetapi ini pertama kalinya juga Soojung merasa bersalah.
Jika Soojung menjadi Seulgi, mungkin dia akan bersikap seperti gadis itu juga.
“Mungkin aku sedikit merasa bersalah,” ujar Soojung pada akhirnya. Gadis itu menarik napas dalam seraya mengulas senyum tipis ke arah Seulgi. “Aku minta maaf jika menjadi alasan kalian bertengkar, tapi itu bukan murni kesalahanku juga. Aku tidak pernah meminta Jongin untuk membelaku, dan tidak pernah meminta dia bertengkar denganmu hanya karena aku. Aku hanya sekadar alasan, sesuatu yang bisa kalian salahkan dalam pertengkaran itu.”
Sekali lagi Soojung menarik napas. Mengisi paru-parunya dengan pundi-pundi oksigen yang sedikit berlebih. “Dan soal memintamu berbaikan dengan Jongin, kenapa harus kulakukan? Kalian ‘kan yang menjalani hubungan, tidak ada kaitannya denganku. Jika kalian masih saling sayang, tapi memutuskan untuk berpisah adalah hak kalian. Aku bisa apa?”
Seulgi merenungkan kata-kata Soojung sembari menundukkan kepala. Benar kata gadis itu, Soojung berpisah atau masih bersama itu adalah hak Jongin dan Seulgi selaku yang menjalin hubungan. Soojung tidak ada kaitannya dan tidak berkewajiban untuk membuat mereka bersama kembali. Kebersamaan mereka adalah perjuangan mereka sendiri, bukan campur tangan Soojung.
“Mau baikan atau tidak, itu terserah kalian,” sekali lagi Soojung menegaskan. “Tapi, satu yang mau kuberi tahu. Jongin masih menyayangimu, mengharapkanmu. Dia saja mau berjuang, masa kamu tidak, Seulgi?”
O0O
Soojung, terima kasih. Aku mencintaimu.
Soojung membaca pesan terakhir yang Jongin kirimkan dengan malas. Baru saja lelaki itu memberitahukan bahwa dirinya dan Seulgi sudah berbaikan. Itu tandanya mereka menjadi sepasang kekasih, lagi. Lumayan cepat juga ternyata, mengingat hanya berselang tiga hari setelah pertemuannya dengan Seulgi, dan mereka bersama lagi. Ternyata memang keduanya masih saling sayang, membutuhkan satu sama lain. Wajar jika mudah sekali untuk memutuskan kembali bersama.
Soojung menghela napasnya sejalan merebahkan kepala di meja kerja. Pandangan gadis itu menerawang, entah ke mana. Namun yang jelas, pikiran gadis itu menjelajah berbagai memori mengenai kebersamaannya dengan Jongin. Ini pertama kalinya sejak gadis itu bersahabat dengan Jongin semenjak duduk di bangku SMA. Kenangannya bersama Jongin tidak pernah seistimewa ini, tidak sebelum lelaki itu dengan gambling mengatakan kalau Soojung begitu berarti, sebelum mengatakan kalau lelaki itu mencintainya.
Kekehan miris terdengar. Soojung merutuki diri sendiri dalam hati. Seharusnya dia jelas tahu makna mencintai yang keluar dari bibir Jongin. Itu tanpa makna, hanya sekadar perasaan antar sahabat, bukan antara lelaki dengan wanitanya. Kenapa juga dia harus memikirkan pernyataan menggelikan itu berulang kali?
“Soojung?”
Soojung terkesiap saat suara berat menggetarkan gendering telinganya. Membuat gadis itu menarik diri dari meja kerja dan menegakkan tubuh. Kelopaknya mengedip beberapa kali untuk memastikan siapa yang baru saja memanggilnya. Dan ternyata itu bos Soojung, kepala redaksi kantor majalah tempatnya bekerja.
“Kamu sakit?”
Please Subscribe to read the full chapter
Comments