First

The Vision
Please Subscribe to read the full chapter

Aku pernah begitu dekat dengan kematian. Dari posisi fetalku saat ini, aku menyaksikan kejadian tiga bulan lalu itu berulang-ulang di tirai putih yang seolah memantulkan video dari alat proyektor. Orang lain mungkin tak akan melihat apa pun di sana. Tapi visualisasi dari senyum Jin yang duduk di balik kursi kemudi ketika itu begitu jelas tergambarkan di sana. Aku bahkan masih mengingat apa yang dia bicarakan saat itu; yang membuat senyumnya menjadi senyuman termanis yang dia ukir di depanku.

“Kimchi… aku akan bermain dalam sebuah film.” Ungkap Jin dengan tatapan lurus mengarah ke jalanan lengang di malam bulan Agustus. Meski begitu aku tetap melihat senyumannya dengan jelas, seolah senyuman itu memancarkan cahaya di dalam mobil yang gelap. Pantas dia menawarkan untuk menjemputku pulang di sela-sela jadwalnya yang sangat padat. Rupanya dia mempunyai berita bahagia yang ingin dia bagi padaku.

“Wow! Selamat, Jin! Aku sangat senang! Sungguh ! » aku berusaha sebisa mungkin mengekspresikan rasa senangku untuknya karena pada dasarnya aku memang tak pandai mengungkapkan apa yang aku rasakan pada siapa pun.

Jin tergelak, « Haha ! Terima kasih, Soo! Kau terlihat sangat senang!” Jin menyebutkan nama panggilanku yang lain. Aku tahu keceriaanku barusan terlihat dipaksakan hingga Jin mengomentari dengan sarkastik, tapi aku juga tahu dia tetap merasakan ketulusan dari ucapanku tersebut.

“Kau tahu aku sungguh-sungguh senang, Jin.” Ucapku sekali lagi, kali ini tanpa harus memaksakan agar aku terdengar begitu ceria.

Jin mengangguk, “Tentu saja.” Dia melepaskan sebelah tangannya dari stir untuk sesaat mengusap punggung tanganku.

Lelaki yang selalu mengagumi ketampanannya sendiri itu sudah sejak lama menantikan saat-saat dia bisa menyalurkan ilmu yang dipelajarinya selama di bangku kuliah. Meski tidak memperlihatkan kepada siapa pun, tapi aku tahu dia kecewa ketika Kim Taehyung, teman satu grupnya (kalian pernah mendengar Bangtan Boys kan? Oh, ayolah. Kurasa kalian pasti tahu jika kalian membaca ceritaku di sini.) ketika Taehyung telah mendapat tawaran untuk bermain drama terlebih dahulu. Padahal Jin-lah yang sudah mendalami ilmu seni peran sejak sebelum debut sebagai anggota sebuah boygroup hip hop. Tapi dia bukan kecewa kepada Kim Taehyung, sungguh bukan. Dia ikut senang untuk sahabatnya itu. Jin justru kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa menjadi pusat perhatian di grup hingga tawaran untuk acting itu datang lebih lama untuknya. Bahkan tanpa Jin mengungkapkan hal tersebut sepatah kata pun, aku bisa membaca dari setiap senyumnya yang tertahan, dari setiap pandangan yang mengarah ke lantai tanda kepercayaan diri yang merosot. Aku bisa membaca Jin semudah kau membaca jilid buku, karena aku dan Jin sudah bersama sejak kami berada dalam kandungan ibu kami.

Sayangnya kebahagiaan Jin harus terhenti ketika sebuah truk oleng menghempaskan bagian kiri mobil yang kami tumpangi secara paksa hingga kami terseret beberapa kilometer dari tempat kami semula, dalam keadaan mobil terbalik.

Aku mendengarkan dengan jelas setiap suara dentuman dan bagian mobil yang berdecit di aspal. Tubuhku berguncang hebat dan rasa sakit melingkupiku hingga aku tak bisa bergerak di balik sabuk pengaman yang masih kencang terpasang. Di sampingku, Jin sempurna menutup mata. Tetes demi tetes darah meleleh di pelipisnya, tubuh dipenuhi sayatan-sayatan dari pecahan kaca mobil.

“Jin…” dadaku seolah menahan suara yang keluar akibat rasa sakit yang luar biasa.

“Oppa…” kupanggil Jin dengan panggilan yang selalu dia dambakan untuk aku memanggilnya meski selalu kutolak dengan alasan dia lahir hanya 1,5 menit lebih cepat dariku hingga tak ada alasan bagiku untuk memanggilnya oppa.

Namun Jin tak pernah membalas panggilanku. Aku ingin membangunkannya, ingin mengguncang tubuhnya dengan keras, ingin meneriakinya sekencang mungkin, tapi tubuhku kaku dan aku bahkan tak bisa merasakan kaki dan tanganku sendiri bagaimana aku bisa membangunkan Jin.

Hal terakhir yang kuingat adalah suara sirine ambulans yang mendekat, sebelum gelap merenggut Jin dariku.

Aku tak tahu pasti tapi dari pembicaraan perawat yang berusaha menjelaskan kepadaku, waktu telah berlalu satu bulan ketika aku membuka mata di ruang khusus di rumah sakit. Dan tangisku pecah ketika ibu berusaha mengatakan padaku dengan isak tangis yang mencoba menahan kata-katanya bahwa Jin telah beristirahat dengan tenang. Untuk selamanya. Aku bahkan tak sempat mengucapkan kalimat perpisahan untuknya, tak sempat mengungkapkan betapa aku menyangi dia, tak sempat memberikan penghormatan terakhir sebelum dia dikebumikan.

Mungkin pergi lebih baik untuk Jin dibandingkan harus merasakan kesakitan seperti yang kurasakan saat itu, seperti yang kurasakan sekarang. Mungkin Tuhan lebih menyayanginya hingga Dia tak ingin menyiksa Jin seperti Dia menyiksaku saat ini. Tetapi kepergian Jin tak akan pernah disertai dengan kembalinya. Aku telah kehilangan dia.

Klek…

Suara knop pintu yang dibuka mengembalikanku dari dunia yang menjeratku sendiri. Aku baru tersadar air mata telah membasahi bantal yang menopang kepalaku ketika pintu perlahan dibuka, memperlihatkan seorang laki-laki yang melangkahkan kakinya begitu hati-hati untuk masuk ke dalam kamar.

“Noona…” suara Jeon Jungkook. Aku sudah mengenalnya bahkan tanpa memfokuskan padanganku pada siapa yang datang mendekat. “Bagaimana perasaanmu hari ini?” Jungkook berjongkok di samping tempat tidur tanpa dipan. Dia tersenyum ketika aku menatap ke dalam matanya, tanda bahwa aku sudah menyadari keberadaan dia.

Jungkook tahu betul aku tidak akan menjawab. Tapi setiap kali dia datang dengan gesture yang sama, dia pun selalu memberikan pertanyaan yang sama padaku tanpa lelah. Kemudian dia akan menjelaskan alasan palsu kedatangannya untuk menjengukku, lalu menceritakan setiap titik cerita dari hari-harinya yang dia habiskan sebagian besar dengan orangtuanya.

“Tadi aku mampir ke sebuah café dan teringat padamu ketika melihat cheesecake kesukaanmu. Kau mau aku membawakannya? Di bawah ada Jimin dan Taehyung hyung. Aku tidak rela kalau mereka menghabiskan jatahmu.” Jungkook tertawa kecil.

Bagaimana Jungkook bisa begitu terikat denganku hingga dia selalu memastikan untuk datang hanya untuk memastikan apakah aku masih bernapas, apakah ibu berhasil menyuapiku minum atau bubur walau hanya satu-dua sendok? Semua penggemar bisa melihat bahwa Jungkook adalah dongsaeng kesayangan Jin di Bangtan hingga aku bertemu dengannya lebih sering dibandingkan member lain. Jin selalu mengajak Jungkook ketika dia ingin menghabiskan waktu bersamaku untuk sekedar minum kopi atau makan di sebuah restoran kesukaannya. Belakangan Jin menggodaku bahwa Jungkook mau ikut bersamanya hanya karena dia mengajakku.

“Lihatlah maknae kita ingin terlihat seperti oppa! Pasti yang dia maksud adalah ‘terlihat seperti oppa di depan Jisoo noona’!” tawa Jin ketika suatu hari Jungkook terang-terangan mengatakan ingin terlihat seperti oppa mengenai potongan rambutnya yang baru saat dia ikut muncul dalam Eat Jin. Tentu saja Jin tidak mengatakan itu di depan kamera. Dia mengatakannya langsung padaku, membuat Jungkook tersipu malu.

Jungkook mendesah, putus asa karena aku tak mendengarkan ceritanya. Setiap kali dia bercerita, aku hanya menerawang mengingat-ingat masa lalu menjadikan suara Jungkook sebagai backsound.

“Noona… apa kau tidak lelah?” tanya Jungkook ketika akhirnya dia berhasil mendapat perhatianku. “Tidurlah, aku akan tetap di sini jika kau bermimpi buruk.” Ibu jari Jungkook mengusap-usap keningku lembut, menggoda agar mataku terpejam mengarungi mimpi sama yang menghantuiku semenjak aku terbangun dari koma.

Aku sungguh ingin tidur dengan lelap, Kook. Tapi aku tak ingin merasakan kecelakaan itu secara berulang-ulang melalui mimpi burukku yang terlampau nyata.

“Pergilah.” Pintaku dengan suara serak yang nyaris tak terdengar, membuat Jungkook membelalakkan mata karena tak percaya bahwa betul dirikulah yang barusan bersuara setelah beberapa bulan terhanyut dalam diam.

“Seriously, Noona? Aku sangat senang mendengar suaramu tapi kenapa harus kata itu yang kau ucapkan pertama kali kepadaku?” aku bersumpah melihat manik air di kedua ujung mata Jungkook. Mungkin dia sendiri tak yakin harus senang atau sedih mendengar aku memintanya pergi.

« Aku tak akan pergi. Aku tak ingin pergi sebelum Noona berbicara lebih banyak padaku. Please. »  

« Pergi. » ulangku, masih dengan suara rendah tapi menggunakan penekanan yang lebih dalam. Sekuat apa pun aku menginginkan keberadaan Jungkook, tapi aku tak ingin dia terlalu banyak menghabiskan waktu bersamaku hanya untuk menunggu aku bisa berfungsi sebagaimana biasanya karena aku sendiri tak yakin apakah aku bisa. Mungkin Bangtan masih dalam masa berkabung dan tidak memiliki jadwal apapun, entahlah karena Jungkook selalu berada di sini. Namun aku tak ingin dia melihatku terpuruk sekali lagi. Terakhir kali ketika dia menyaksikan sendiri bagaimana teriakanku memecah keheningan malam akibat mimpi buruk itu, Jungkook bersikeras tak ingin meninggalkanku hingga manajer menjemputnya pagi-pagi buta untuk sebuah rekaman, pertama kali setelah berbulan-bulan Bangtan hiatus dari segala aktivitas.

« Noona… » rengek Jungkook, menguji keberuntungannya apakah aku luluh oleh rengekan itu sebagaimana biasanya.

« Jeon Jungkook. » panggilanku terdengar lelah, sungguh aku tidak sanggup berkata apa-apa lagi untuk mengusir Jungkook.

« Baiklah, aku akan pergi. » Jungkook menyerah, dia bangkit dari tempat tidur lalu berjalan menjauh untuk kemudian berhenti tepat di ambang pintu sambil menoleh. « Besok aku akan mengunjungimu lagi. »

« Jangan. Jangan pernah. »

Jungkook cemberut mendengar bisikan terakhirku kemudian dia berbalik keluar kamar.

 

Ada tujuh malam terlewat setelah terakhir kali Jungkook menjengukku. Tiga malam pertama, aku masih memimpikan hal yang sama: truk menabrak mobil Jin, kami terjebak dalam mobil yang terguling-guling, Jin yang kemudian tak lagi membuka matanya. Namun di

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet