Inception

Inception
Please Subscribe to read the full chapter

            Bila akan berangkat ke sekolah, ada sebuah jalan yang harus aku lalui. Jalanan panjang yang di sisi kiri dan kanannya terdapat pohon maple. Membuat mataku selalu merasa segar karena warna dari daun maple yang sangat cerah. Selain itu, kesunyian yang tercipta di jalanan ini pun selalu mampu membuatku tenang.

            Hari ini pun aku melalui jalan tersebut. Kuarahkan mataku ke atas sambil membiarkan telapak tanganku terbuka. Menikmati tiap helai daun maple yang mulai berguguran. Walau kini daunnya tak lagi melekat pada cabang pohonnya, tetapi menurutku warna dari daun tersebut masih indah.

            Merasa puas dengan apa yang telah aku lakukan. Aku pun mulai mengarahkan mataku ke kiri dan kanan. Mencoba menikmati pemandangan yang telah tersaji. Hingga di satu sudut titik, mataku menangkap sesosok namja yang tengah berdiri mematung di dekat salah satu pohon maple. Wajahnya menyiratkan kesedihan, bahkan matanya tengah menerawang jauh. Entah mengapa setelah melihat namja itu timbul rasa ingin melindungi dalam diriku.

            ”Hai Dongwoo...pagi!” seru seorang namja yang merupakan temanku sembari memukul bahuku pelan. Kaget mendengar suara temanku, namja itu langsung menggerakkan kakinya menjauh dari jalan ini.

            ”Ah...kau ini, pagi-pagi sudah berteriak seperti itu.”

            ”Ada apa denganmu?! Suaraku ini tidak lebih keras dibanding suaramu. Tumben kau merenggut, biasanya setiap melewati jalanan ini kau akan senyum-senyum sendiri seperti orang gila.” Plak...setelah mendengar penuturannya, aku langsung memukul kepala temanku ini.

            ”Enak saja mengatai orang lain gila. Aku baru menemukan belahan jiwaku, tapi karena suara kerasmu, ia langsung pergi.” Jelasku sembari mencoba mencari sosok itu.

            ”Sudah...jangan berpikiran macam-macam! Ini masih pagi, Dongwoo. Lagipula kau pikir kau adalah cenayang apa?! Bisa menentukan siapa belahan jiwamu.”

            ”Detak ini yang memberitahuku.” Jawabku sembari menepuk dadaku pelan.

            ”Hahahahaha....iya...iya...terserah kau saja.” Balasnya cepat kemudian mulai mempercepat langkah meninggalkanku.

            ”Hei Gyu, tunggu aku!” Setelah menyamai langkah dengan temanku, Sunggyu atau biasa kupanggil Gyu, aku langsung merangkulnya dan berjalan bersama menuju sekolah. Tawa dan canda menemani perjalanan kami. Walau aku dan Sunggyu baru berteman selama tiga tahun, tetapi kedekatan kami terlihat seolah kami ini telah berteman sejak kecil.

            Sesampainya di kelas, kami langsung menuju bangku kami. Sudah tiga tahun ini kami sekelas dan duduk sebangku. Tak ada rasa bosan dari kami untuk menghabiskan waktu bersama. Selalu ada cerita dan tawa yang kami bagi satu sama lain.

            Selang beberapa saat kemudian, bel tanda masuk pun berbunyi. Tak seperti biasanya, guru kami datang terlambat pagi ini. Sontak hal tersebut membuat keributan yang pada awalnya sempat terhenti karena bel kini mulai mencuat kembali. Segala macam kegiatan dilakukan sembari menunggu kedatangan guru. Ada yang mengobrol, mendengar lagu, bahkan membaca komik. Namun, tiba-tiba suara pintu terbuka mengagetkan seisi kelas. Dalam sekejap keheningan langsung tercipta.

            ”Pagi anak-anak. Maaf saya datang terlambat. Ada hal yang harus saya urus dahulu tadi. Begini, tentu kalian sebagai seorang siswa kelas tiga tahu apa yang harus dilakukan di semester dua ini. Saya harap selain mempersiapkan diri, kalian juga berkenan membantu teman baru kalian.”

            ”Apa tidak salah?! Pindah di semester ini. Kelas tiga pula. Apa dia gila?!” Ucap Sunggyu kepadaku.

            ”Iya kau benar. Sepertinya dia gila. Lagipula, jangankan membantu orang lain, persiapan untuk diri sendiri saja belum aku lakukan. Hahahaha...” jawabku menyetujui ucapan Sunggyu sebelumnya.

            Setelah dipersilakan masuk, murid baru itu berjalan perlahan ke dalam kelas. Deg...namja itu, namja yang tadi aku lihat di pohon maple. Wajahnya tidak terlalu segar, seolah habis melakukan olahraga berat. Namun bibirnya berwarna merah, hal itu menutupi ketidaksegaran pada wajahnya. ’Nice...dia benar-benar belahan jiwaku.’

***

            ”Hai...perkenalkan, aku Dongwoo dan ini teman sebangkuku, Sunggyu.” Ucapku sembari duduk di bangku sebelahnya.

            ”Sunggyu... Siapa namamu?”

            ”Hoya.” Jawabnya singkat sembari membalas uluran tangan Sunggyu untuk bersalaman.

            Bila dilihat dari dekat, wajahnya sangat manis. Walau bibirnya tidak menyunggingkan senyum sedikit pun, tetapi aku telah terhipnotis untuk ketiga kalinya. Tanpa sadar senyum merekah pun tercipta di bibirku.

            ”Bisakah kau tidak memandangiku seperti itu?!” ucap Hoya dengan masih tak melihat ke arahku.

            ”Tidak bisa. Kau tahu, aku telah terhipnotis olehmu.”

            ”Ah...kau mulai lagi. Maafkan dia ya, Hoya. Dia memang agak sedikit aneh. Tadi pagi saja ketika melihatmu di pohon maple, dia mengatakan kalau kau adalah belahan jiwanya. Eh, Dongwoo aku mau ke kantin. Kau mau ikut?” jelas Sunggyu sembari mengambil uang dari dompetnya.

            ”Tidak. Aku di sini saja bersama Hoya.” Jawabku.

            Selepas kepergian Sunggyu keheningan mulai tercipta. Sebenarnya aku ingin berbicara banyak hal, tetapi aku harus menjaga sikapku agar kesan pertama yang terasa oleh Hoya tidak terlalu buruk. Satu hal yang aku sadari, wajahnya merona ketika Sunggyu bilang bahwa aku menyebutnya sebagai belahan jiwaku. Ini permulaan yang baik menurutku.

            Hoya tak kunjung mengeluarkan bekal makan atau minuman dari tasnya, sedangkan aku sudah kelaparan luar biasa. Akhirnya, aku mengambil bekal makan siangku dan kembali duduk di sebelahnya. Tanpa meminta izinnya, aku mengarahkan sebuah sosis ke depan mulutnya.

            ”Makanlah...aku punya banyak sosis di bekal makanku. Ayo... Aaaaa...” tidak ada respon sedikit pun dari Hoya. ”Kalau kau tidak juga membuka mulutmu, aku akan meninggalkanmu dan pergi menyusul Sunggyu.” Tanpa aku duga ancamanku berhasil, Hoya membuka mulutnya dan mulai mengunyah sosis yang kuberikan.

            Waktu makan siang itu kami habiskan dengan memakan bekal makan siangku. Walau tak ada kata yang keluar dari mulut Hoya, tetapi ia bersedia aku suapi. Padahal aku hanya mengancamnya sekali. Dia benar-benar unik dan misterius.

            Tanpa terasa bel masuk pun berbunyi. Mendengar itu, aku langsung membereskan bekalku dan berniat kembali ke bangku asalku. Namun, gerakanku terhenti ketika tanganku ditarik seseorang. ”Bisakah kau tetap duduk di sini?” tanya Hoya dengan nada malu-malu.

            ”Dengan senang hati belahan jiwaku.” Jawabku sambil mengangguk. Seketika rona merah itu muncul kembali di pipinya.

            ”Mau ke mana?” tanyanya ketika menyadari aku tetap akan beranjak setelah memberikan jawaban padanya.

            ”Tunggu sebentar ya. Tasku kan masih di sana, kalau aku tidak mengambilnya, aku tidak bisa belajar. Tenang saja, aku tidak akan ke mana-mana.” Jelasku yang membuat Hoya melepaskan pegangannya pada tanganku.

            Selama pelajaran berlangsung tak pernah sekali pun senyumku terlepas dari bibirku. Siapa yang tidak senang bisa bersama dengan orang yang spesial?! Bahkan Sunggyu pun mengerti ketika aku menjelaskan akan duduk bersama Hoya. Sesekali aku melihat ke arah Hoya hanya untuk mengetahui ekspresinya. Memang ia tak banyak memberikan ekspresi, tetapi aku tahu tak pernah sekali pun rona merah meninggalkan pipinya. Bersama Hoya seperti ini membuat waktu berjalan cepat. Bahkan waktu pulang pun sudah tiba menjemput kami semua.

            ”Ku antar kau pulang ya!” ucapku dan dijawab dengan anggukan oleh Hoya.

            Setelah pamit kepada Sunggyu, aku pun langsung berjalan berdampingan dengan Hoya untuk mengantarnya pulang. Bila ketika istirahat tadi han

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Jongwoonbby #1
Chapter 1: Waaaaaa authornimm cerita mu sangat bagus sekali:") ga tega hoyanya mati:( huhu