Mereka Gila

1AM
Please Subscribe to read the full chapter

Walaupun Taeyong berlari menjauh, anehnya Ten merasa dia semakin dekat. Sekarang Ten punya perasaan aneh yang mengaduk-aduk dada dan perutnya yang membuatnya ingin menarik punggung yang dilihatnya semakin lama semakin mengecil itu dan memerangkapnya dalam dua lengannya. Hampir saja kakinya melangkah mengikuti anak laki-laki itu kalau bukan karena Tern yang menarik lengannya.  “Kita pulangnya lewat sana bodoh.” Aku pasti sudah gila, pikirnya.

Walaupun tubuhnya sudah terbungkus jaket, Ten masih merasa kedinginan. Dimasukkannya kedua tangannya ke dalam saku jaket.  Apa ini? Pikirnya ketika tangan kanannya merasakan sesuatu seperti kertas. Dia menariknya dan benar saja itu memang secarik kertas. Penasaran, dibacanya kertas itu tanpa ada rasa curiga sekalipun, mungkin saja itu hanya nota pembayaran atau semacamnya. Tidak pernah terpikirkan olehnya kalau isi dari kertas itu bisa membuat kedua matanya membulat karena shock.

“Apa itu?” Tern mengerutkan dahinya melihat eskpresi terkejut kakaknya. Karena yang ditanya sepertinya telah berubah menjadi batu, dia menarik kertas itu sendiri dan membacanya. “, Ten!” serunya. Ada sesuatu yang membakar dalam tubuhnya, membuat sebuah organ di dalam dadanya seperti dicengkeram dan ditarik jatuh (ok author alay).

Mata Tern menyapu lagi apa yang tertulis di kertas itu, masih tidak percaya. Di sana Taeyong menulis sesuatu seperti call me dengan emoji cium serta lope-lope bertebaran. Di sana juga Taeyong meninggalkan nomor telephonenya.

“Ini sih aku nggak ada kesempatan lagi,” Tern berdecak, lalu mengeluarkan handphonenya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Ten melihat apa yang dilakukan adiknya.

“Menyimpan nomornya??” jawab Tern, terdengar jengkel. Kan sudah kelihatan.

Ten memutar bola matanya, “Ya, ya, simpan saja.” Dia sadar adiknya juga jatuh hati pada anak aneh itu. Tunggu, dia bilang juga?? Heol, Ten, kau tidak sedang jatuh hati pada anak itu. Apa yang kau rasakan sekarang hanyalah karena anak itu bertingkah aneh kepadamu dan kau tidak terbiasa diperlakukan aneh seperti itu. Hanya Tern yang jatuh hati pada Taeyong ok. Kau tidak.

Tapi tetap saja ketika Tern menyerahkan kembali kertas itu dia langsung merebutnya. Well, siapa tahu nanti berguna. Ten berkilah. Dasar munafik.

 

 

 

Taeyong menghabiskan malamnya hanya berbaring di atas kasur. Tidak peduli berapa kali dia mencoba, otaknya tidak mau berhenti berpikir dan matanya tidak berhenti mengecek layar handphonenya. Dia berusaha meyakinkan dirinya kalau Ten tidak akan langsung menelponnya jadi lebih baik dia tidur saja. Namun dia juga tidak bisa mengabaikan hatinya yang masih berharap kalau Ten akan langsung menelponnya sesampai di rumah.

Mungkin Ten tidak menemukan kertasnya, dia mencoba berpikir positif. Atau mungkin saja Ten malu atau mungkin juga Ten pikir tidak sopan menelpon malam malam. Tapi bisa juga Ten tidak menyukainya jadi dia tidak menelponnya. Bisa saja Ten menganggapnya aneh dan freak jadi Ten tidak mau berhubungan dengannya.

“UGH!” Taeyong frustrasi.  Dia melemparkan guling yang dari tadi dipeluknya itu ke lantai. Baru juga beberapa menit setelah mereka berpisah dia sudah ingin mendengarkan suara anak itu lagi.

“Kau kenapa sih seperti cacing kepanasan begitu?” Hansol yang juga tidur di kamar yang sama melemparan pandangan aneh ke anak laki-laki yang tidak bisa diam di kasur seberangnya itu.

“Bukan urusanmu,” bukan Hansol yang ingin dia ajak bicara sekarang. Namun sampai pagi pun handphonenya tidak kunjung berdering.

“Sialan,” gerutu Taeyong ketika melihat bayangannya di cermin pagi ini.  Ada lingkaran hitam yang terlihat jelas di bawah matanya. Dia tidak bisa tidur semalam. Dia menghela napas, Taeyong tidak terbiasa mendapat penolakan, jadi dia masih mencoba mencekoki dirinya sendiri dengan pikiran-pikiran positif semalam yang, tentu saja, berhasil dihancurkan oleh dugaan negatif bahwa Ten tidak punya minat terhadapnya. Sekali lagi dia berteriak jengkel.

“Dasar gila,” lagi-lagi Hansol berkomentar. “Kau kenapa sih?” Taeyong tidak peduli. “Tae?”  dan tidak mau peduli. “TAE!” Apa sih, tidak tahu apa dia sedang frustrasi. “LEE TAEYONG!”

Sudah cukup. “APA?”

“Handphonemu dari tadi berdering.”

“Apa??” Seperti kesetanan Taeyong langsung mencari handphonenya yang tersembunyi di bawah selimutnya.”Mana?” Hansol cekikikan melihat tingkah sepupunya. Padahal daritadi tidak ada suara handphone berbunyi. Wajah Taeyong membara ketika dia tidak menemukan apa-apa di layar handphonenya. “Bangsat.” Yang di-bangsat-i hanya tersenyum lebar sambil memamerkan jari telunjuk dan tengahnya yang dibalas Taeyong dengan jari tengah saja.

Sungguh, Taeyong ingin sekali Ten menelponnya. Dia ingin mengajaknya pergi keluar untuk jalan atau makan bersama, seperti yang dijanjikannya semalam.Dia bahkan sudah meminta rekomendasi Hansol tempat mana saja yang bagus untuk dikunjungi.

DRRRT

Handphonenya berbunyi! Demi tuhan handphonenya berbunyi!! Ada nomor tidak terdaftar yang menelpon Taeyong. Wajahnya yang suram dari semalam langsung berubah menjadi cerah. Dia tidak tahu siapa yang menelponnya namun dia yakin sekali bahwa itu Ten. Harapannya tinggi sekali.

“Lee Taeyong?” Hatinya mencelos. Itu adalah suara perempuan dan Ten bukanlah perempuan. Rasanya ingin sekali dia menekan tombol merah. Lesson learned, jangan berharap terlalu tinggi kalau tidak mau kecewa.

“Siapa?” jawabnya dingin, tidak terlalu ingin tahu siapa yang menelponnya sepagi ini.

“Ini Tern!” seru suara di seberang, sangat ceria, berbanding terbalik dengan mood Taeyong saat ini. “Coba kutebak, Ten belum menelponmu?” Taeyong mengerutkan dahi, apa dia sedang diejek sekarang? “Oppa tidak menjawab, pasti jawabannya iya,” dia menambahkan dengan tawa ringan.

“Apa maumu?” Sebenarnya Taeyong tidak ingin terdengar kasar namun dia juga tidak bisa disalahkan karena moodnya sedang buruk. 

“Tidak ada.” Oh jangan bercanda.

Namun kemudian terdengar suara batuk dari seberang, “Tern, kau sedang menelpon siapa?” itu suara Ten, dan suaranya terdengar serak. Taeyong jadi khawatir.

“Dia sakit?” tanya Taeyong.

Yang di seberang tidak menjawab, melainkan menanggapi kakaknya, “Jangan nguping bocah, balik tidur saja sana.” Kemudian terdengar langkah kaki serta pintu yang ditutup, sepertinya Tern pindah tempat. “Iya, sepertinya demam gara-gara semalam. Oppa mau menjenguknya?

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
glennrodho #1
Ayeye ♥.♥ TaeTen ♥.♥
azxka_ #2
Sukaaa
intandm97 #3
Ayeye ♥.♥ TaeTen ♥.♥
arscy8 #4
Chapter 3: Akhirnya ketemu fanfic taeten yg seru yeayy. Fighting
mimimini #5
Chapter 9: senyum senyum sendiri..
apalagi pas yg di sungai...
oke.. berharap epilognya lebih greget..

hahaha.... ty menderita banget ya???
mimimini #6
Chapter 9: senyum senyum sendiri..
apalagi pas yg di sungai...
oke.. berharap epilognya lebih greget..

hahaha.... ty menderita banget ya???
sohee2303 #7
Chapter 8: epilog must go on!#maksa^^
TT71227 #8
Chapter 8: Sequel plisssss!!! Wajib sequel authornim!! >< pengen liat perjuangan taeyong di seoul nyari ten!! Jgn biarkan taeten berakhir ganjel kaya gini ?
Sngat sangat ditunggu! ^^ fighting!
TT71227 #9
Chapter 8: Sequel plisssss!!! Wajib sequel authornim!! >< pengen liat perjuangan taeyong di seoul nyari ten!! Jgn biarkan taeten berakhir ganjel kaya gini ?
Sngat sangat ditunggu! ^^ figting!
KiyoKiyoHi #10
Chapter 8: Lubang sialan yg malah bikin kisah mereka lebih berwarnaaaa~ ahay good job lubang di jalan! wkwkwk #plak
dan plissss pertemukan Taeyong n Ten di seoul xD pasti bakal menarik xD
Sequelnya ditunggu ya Authornim. Hehe Fighting.