final

Messy Morning

 

“Aku cinta kamu, Tao. Sangat cinta kamu, tapi kamu jahat. Kamu jahat...”

Patahan-patahan berantakan yang terlontar dari bibir Jia di bawah pengaruh alkohol melekati Tao hingga pagi datang. Pembicaraan mengenai komitmen tempo hari kembali melintasi benak pria itu. Bahwa ia menyayangi Jia, itu adalah fakta tak terbantahkan, tetapi menikahinya? Memiliki anak dengannya? Membangun keluarga? Tao bukan tipe lelaki macam itu dan ia rasa Jia juga sudah paham. Jia bahkan sempat tertawa saat bilang mencinta di ‘alam bebas’ lebih seru ketimbang ‘dalam rumah’, lalu mereka berciuman cukup lama di sofa seakan tidak terusik dengan status hubungan yang tidak bakal pernah resmi ini.

Tao menyesal ia tidak peka pada kepahitan yang tersembunyi di balik kekehan Jia.

Sejujurnya, di balik fisik sempurna Tao, tersimpan kepengecutan yang ia akui sudah berada di level menjijikkan. Oke, mungkin dulu dia menumbangkan banyak wanita dan puas atas tindakannya usai mengatakan putus, tetapi sekarang, menyaksikan Jia yang berwajah sembab terkapar di tempat tidurnya saja sangat menyakitkan. Menjijikkan, bukan, melukai hati wanita yang sebegitu lembutnya cuma gara-gara takut mengambil risiko berkeluarga?

Bak senjata makan tuan, Tao kini paham apa artinya suatu hubungan jika berakhir ketika cinta masih demikian membara.

(Bagi seorang wanita, sebuah hubungan yang tidak berlanjut ke jenjang lebih serius sama saja dengan ‘berakhir’.)

Tao menempelkan gelas air dingin yang telah kosong ke kepalanya, berharap badai di dalam sana segera sirna. Sebelah tangannya yang menganggur mulai mengetuk-ngetuk bimbang permukaan meja makan, kotak merah mini di hadapannya tergeletak lesu menanti keputusan. Manajernya (baca: seorang wanita) kemarin menyuruhnya untuk jadi jantan dan segera melamar Jia, sampai-sampai mengajaknya ke toko perhiasan segala buat persiapan, tetapi dasarnya Tao benci disuruh-suruh, terang saja ucapan itu tak digubris sama sekali.  Dia membeli cincin atas rekomendasi si manajer yang sudah seperti kakaknya sendiri itu cuma buat membungkam si ‘kakak’.

Rencana tampaknya harus diubah.

Bohong kalau dibilang memutuskan menikah berarti hidup bahagia seterusnya layaknya di buku dongeng. Di agensi model tempat Tao dan Jia bernaung, kabar perceraian bagaikan menu makan siang favorit para pegawai, terutama dari lingkaran penata rias, jadi Tao tahu bahwa api yang kata para pujangga selalu menyala selama berdua itu suatu saat akan padam dan yang tertinggal dalam rumah-tangga mereka hanya abu dingin. Memikirkan perasaannya pada Jia yang cepat atau lambat akan binasa, untuk Tao tentu tidak menyenangkan. Ia ingin menjaga perasaan itu sebab sejak Jia hadir, ia tak yakin lagi bisa menggeser wanita itu dengan sosok berbeda. Tiga tahun pertama dari dekade tiga hidupnya dihabiskan dengan hidup bersama Jia, bukan sekadar berkasih-kasihan tapi juga memperbaiki diri. Bahkan berbagai olok-olok yang dilempar ke arah Jia karena mempertahankan ‘anak laki-laki’ seperti Tao sebagai kekasih ditepis begitu saja karena Jia percaya Tao akan berubah.

Jia terlalu baik untuk tidak dinikahi, sebetulnya, tetapi Tao masih enggan menggadaikan kebebasannya.

Mendesis frustrasi, Tao melesakkan kotak merah kecil kembali ke saku.

---

Jam sembilan kurang lima belas, Jia terbangun, tak mengenakan apapun selain kemeja putih Tao yang sudah usang. Tubuhnya lengket oleh peluh dan rambut panjangnya acak-acakan. Kepala yang sakit memperparah semuanya, pun ia kesulitan mengingat kejadian malam sebelumnya, kecuali bagian mabuknya. Merasa tidak akan kuat bangkit dengan keadaan seperti itu, Jia berusaha memanggil kekasihnya parau.

“Ya, Cantik?”

Jia tersenyum lemah tatkala Tao masuk, terkesan kalem dalam balutan sweater putih yang Jia hadiahkan Mei lalu. Pasti dia sudah bangun cukup lama untuk mandi dan memulai hari tanpaku, batin wanita itu, agak malu mendapati dirinya masih sangat kacau.

“Kepalaku pusing... Aku tak kuat bergerak...”

Tao duduk di sisi ranjang, mencondongkan tubuhnya pada Jia dan secara otomatis, Jia mengalungkan lengan rampingnya pada leher Tao.

“Butuh sesuatu supaya merasa baikan?”

“Hm... berendam sejenak, mungkin?”

Hal itu menjadi petunjuk Tao untuk segera melepaskan kemeja tipis yang meliputi tubuh Jia, membuat si wanita sepenuhnya telanjang, dan membopong Jia ke bak mandi. Ajaib, bagaimana Tao tahu Jia sedang suka aroma lemon, padahal ia tak pernah menyinggung soal itu? Ditambah air hangat yang melingkupi tubuhnya tanpa menyisakan ruang, Jia merasa rileks seketika.

“Oh, Tao,” Jia menengadah dengan mata terpejam nikmat, menggosok leher jenjangnya amat perlahan, “Ini hebat. Terima kasih banyak.”

“Ha, sesuai dugaanku, ini pasti berhasil. Kau tegang dari semalam dan lemon selalu ampuh buat menghilangkannya.”

“Kau terdengar sok tahu,” canda Jia, “tapi benar, ini sangat berhasil. Aku mulai ‘bangun’ sekarang.”

Dan memang demikian. Memori dari kemarin malam datang dalam gelombang-gelombang kecil. Ia pergi ke bar karena tak sanggup lagi menahan perih, mengeluhkan Tao yang tidak mau menikahinya, menenggak isi sloki demi sloki, menggelosor ke meja sambil sesenggukan, lalu seseorang datang...

Punggung tangan Jia yang basah tiba-tiba terangkat dari air dan dikecup. Jia membuka mata kaget. Pipinya memanas setelah maniknya bersitatap dengan manik Tao yang lebih hitam dari malam tak bercahaya, menariknya kuat tanpa tertolak.

Apa yang lebih mengejutkan adalah cincin emas bermata berlian kecil yang entah kapan tersemat di jari manis kirinya.

“Aku tidak mau terus lari karena aku tak bisa berada jauh darimu lagi. Aku ingin kau menjadi tempatku pulang, Jia, maka menikahlah denganku.”

TAMAT

sorry ini minim banget editnya, udah kebelet ngepost :p

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jzhztxyz #1
Chapter 1: aduh ini ff bikin baper hmmm.... Ditunggu ff-ff selanjutnya (especially tao) keep writing author! \^0^/