Tragedies.

Mong; I Am Number Nine

Bubur yang mereka berikan beracun, itu yang aku pikirkan pertama kali pagi ini. Karna aku terbangun dengan perut bergejolak, asam lambung seperti tengah diserang gelombang pasang. Aku muntah, mengeluarkan sisa bubur yang belum tercerna dan cairan lambung berbau amis. Sebelum aku ternyata dua saudaraku yang lain telah mendahului, mereka muntah disamping ranjang masing-masing. Kemudian lima sisanya muntah setelah aku.

 

Belum pukul sembilan saat kami selesai mandi dan ganti baju—aku mendapat baju seragam yang sama dengan milik saudaraku yang lain, sejenis baju pasien rumah sakit berwarna aquamarine dengan nomor 9 di cetak di dada sebelah kiri—aku dan tujuh saudaraku digiring ke ruang makan. Kami sudah duduk disana selama tiga puluh lima menit lebih, bubur seperti kemarin telah disajikan di hadapan kami. Aku sebenarnya masih berpikir dua kali untuk menelan semangkuk bubur hambar yang kemungkinan besar beracun itu, namun lambungku mendesak untuk segera diisi. Aku melirik wajah saudara-saudaraku yang nampak pucat, apalagi sebabnya kalau bukan dehidrasi gara-gara muntah tadi pagi.

 

Salah satu penjaga berteriak persis seperti kemarin, mengatakan bahwa kami punya waktu lima menit untuk menghabiskan semuanya. Pukul sembilan tepat, bunyi sendok bertemu piring membuat ruang makan tak lagi sunyi. Kami seperti tengah berlomba menghabiskan bubur itu, aku pun larut. Menyendok bubur itu cepat-cepat tanpa menghiraukan rasanya yang tidak lebih baik dari kemarin. Adapun salah seorang saudaraku, yang kebetulan duduk disampingku Nampak tak begitu berisik. Aku menoleh dan menemukan ia tengah meminum bubur itu. Ia menuangkan setengah dari air di gelasnya dan mengaduk bubur tu kemudian tanpa menyendoknya ia memakan semuanya. Aku tercekat saat ia menurunkan piring itu dari depan bibirnya, matanya terpejam erat dan ada air mata yang diam-diam mengintip di ujung matanya.

 

Lima menit berlalu, si lambung nampak tak banyak protes. Namun aku tidak merasa begitu baik saat melihat Hansol hyung dibawa oleh salah satu penjaga, ia menyeret langkah. Dan lagi-lagi aku—kami—hanya bisa diam sambil menatap si nomor pergi diasingkan entah dimana. Yang kami tahu, ini semua karena Hansol hyung hanya memakan setengah sisa jatah buburnya.

 


 

Mereka tidak langsung membawa kami ke kamar setelah makan, melainkan ke taman belakang. Aku dan enam yang lainnya hanya menurut. Di taman itulah aku merasa sedikit normal, mereka mengajakku main petak umpet, belajar menerbangkan layangan dan yang lainnya. Kemarin malam aku masih berpikir bahwa tempat ini tidak lebih bagus dari dua tempat yang pernah menjadi rumahku, namun toh aku mulai berpikir ulang. Setidaknya disini mereka tak menyekapmu dalam gudang pengap tanpa makanan selama seminggu, tidak menyuruhmu menyicipi heroin dan nikotin di umur semuda ini, pun tak harus memakai baju perempuan dan digunakan sebagai boneka. Aku merasa tempat ini lumayan, aku punya banyak saudara dan menyenangkan.

 

Aku tengah bersembunyi di semak-semak sekarang. Karna ini adalah musim semi maka semak-semak adalah tempat bersembunyi paling strategis karna seluruh ranting penuhi daun.

 

“Ssst, Mong!” Aku menoleh mencari sumber suara yang ternyata berasal dari Ten hyung. Ia berada di belakang tempat sampah yang tidak jauh dariku. Aku menempelkan jari di telunjuk, berisyarat agar ia tak bersuara begitu keras. Ia langsung membekap mulut, terlihat sangat lucu. Di tengah taman sana Yuta siap menggeledah seisi taman karna hitungannya nyaris genap seratus, Ten hyung yang melihatku ada dibalik semak nampaknya merasa tak begitu aman. Dengan tampang gelisah ia menggerakkan bibir, “aku akan mencari tempat persembunyian yang lebih bagus. Kamu akan mudah tertangkap kalau bersembunyi disitu.”

 

Aku menggeleng sambil memberinya acungan ibu jari yang dibalas dengan aksi menjulurkan lidah oleh Ten hyung. Ia kemudian bangkit dan berlari kearah belakang gedung, tubuh Ten hyung itu kecil jadi dia bisa bersembunyi dimana saja. Sebaliknya Johnny hyung, tubuhnya besar dan kelihatan menonjol, itu membuatnya tak begitu beruntung saat bermain petak umpet. Ia lah yang ditemukan Jaehyun pertama kali, kemudian dua orang lain, dan barulah aku. Tinggal dua lagi, Jaehyun pandai mencari hingga satu yang lainnya dengan cepat ia temukan. Kurang satu, Ten hyung. Mulanya semua berpikir bahwa mereka masih dalam permainan sampai Jaehyun merasa frustasi kemudian berteriak,

 

“Ten hyung, keluarlah. Aku menyerah, aku kalah.” Namun Ten tak juga keluar dari tempat persembunyiannya. Johnny hyung yang semula berjongkok sontak saja berdiri dan ikut mencari, ia mulai berteriak-teriak memanggil nama Ten hyung. Tanpa perlu dijelaskan lagi semuanya mengikuti Johnny hyung, aku memberi tahu mereka bahwa Ten berlari menuju ke belakang gedung. Semuanya berhamburan kesana. Rumput-tumput liar berwarna kuning disana, tidak hijau seperti di taman belakang. Ada banyak segunung kecil kotak kardus bekas, besi berkarat, tong-tong keropos yang tertelungkup diatas tanah dan kotak kayu yang bobrok. Yuta hyung yang menemukan Ten hyung disana, diantara salah satu kotak kayu yang berlumut. Ten hyung pingsan, tapi aku sedikit lega.

 


 

Meja makan malam itu dihuni tujuh orang, semuanya makan dengan tertib. Dan seperti rutinitas kami digiring menuju kamar setelahnya, aku merebahkan diri setelah sampai di kamar. Menoleh kearah kiri menuju ranjang Ten hyung, setelah sadar dari pingsannya ia tak terlihat seperti sebelumnya. Wajahnya murung dan itu membuat semuanya khawatir. Masih sibuk memandanginya, tiba-tiba bahu sempit itu bergetar. Ten hyung yang semula juga tengah berbaring di ranjangnya itu kini bangkit, Taeil hyung yang paling dekat pun menghampirinya, dan Ten hyung tanpa terduga ia muntah. Bau amis sontak mengusik penciuman, Ten hyung belum berhenti bahkan saat aku mengalihkan pandangan. Pintu terbuka, seorang penjaga berhambur dengan menarik seseorang di tangan kirinya. Hansol hyung. Seluruh manusia di ruangan itu seolah bisu, bahkan Ten hyung juga.

 

Penjaga berbaju hitam itu keluar, Hansol hyung tersenyum seolah berkata ‘aku tidak apa-apa’. Tidak ada yang bergerak kecuali waktu, tangis Doyoung hyung lah yang membuat semuanya sadar bahwa hari itu tragedi telah dimulai. Doyoung hyung menyambut Hansol hyung, ia menangis sejadi-jadinya. Hansol hyung seperti tengah membisikkan sesuatu tepat di telinganya.

 

“Doyoung-ah, jangan menangis. Aku sedang memelukmu sekarang, aku tidak bisa sekaligus menghapus air matamu karna hyung hanya punya satu tangan sekarang.”

 

Doyoung hyung meledak, Ten hyung menyembunyikan wajahnya dibalik punggung Taeil hyung. Jaehyun sesenggukan sedangkan Aku, Yuta hyung, Johnny hyung dan Taeil hyung hanya sanggup mendongak berusaha agar tidak memberatkan Hansol hyung. Kepalaku sakit karna menahan tangis. Tangan kiri Hansol hyung yang ada di punggung Doyoung hyung menepuk-nepuknya agar membuatnya tenang.

 

Aku menatap Hansol hyung yang terlihat begitu tegar, aku bahkan masih bisa melihat tulang berbalut daging yang merah dengan darah segar dipangkal tangan kanannya yang kini tinggal lengan. Ada bercak darah di baju dan di lengan bajunya. Jika ini lah ganjaran yang diterima Hansol hyung yang menyisakan sedikit makanannya, bagaimana dengan si nomer satu yang bahkan tak menyentuh makanannya hari itu?. Aku sungguh tidak bisa membayangkan apapun.

 


 

Malam selalu terasa singkat, aku tidak benar-benar menikmati tidurku. Saat terbangun pun perutku terasa seperti di aduk, dan seperti kemarin kami semua muntah. Kemudian perutku terasa kaku, kepalaku berdenyut sakit. Aku merebahkan badan kembali dan menemukan suara berisik membumbung di dalam tempurung otakku, persis seperti suara radio butut yang tengah mencari gelombang Megahertz. Aku memejamkan mataku erat dan suara-suara itu mulai terdengar lebih jernih.

 

“Ah kepalaku.”

 

“Bau muntahnya menjijikkan.”

 

“Halo? Halo? Tes! Ini Jaehyunnie~”

 

Aku sontak membelalak, bangkit dari tidur dan menatap Jaehyun, ternyata itu tidak hanya aku namun seisi ruangan. Jaehyun tengah menyengir lebar sambil mengacungkan V sign, dan pagi itu kami tahu bahwa saliva tidak di butuhkan lagi untuk berkomunikasi.

 

“Johnny hyung, Johnny hyung! Rambutmu jelek sekali seperti rambut burung beo.” Itu Doyoung hyung.

 

“Apa ini telepati? Wah keren waaahhh.” Yuta hyung terdengar kegirangan.

 

“Siapa saja yang bisa mendengarku?” Taeil hyung bertanya.
 

“Aku!” Tujuh suara menjawab serentak dengan intonasi berbeda, rasanya seperti berbicara langsung. Ini menyenangkan.

 

“Hansol hyung, apa yang terjadi padamu kemarin?” Aku menyela.

 

“Hanya hukuman kecil.” Kemudian tidak ada yang bersuara, Hansol hyung tidak menambahkan keterangan apapun, pun tidak ada yang bertanya lebih lanjut. Mungkin aku lah yang bersalah karna menanyakan hal itu saat ini.

 

Ji Hansol, ia lebih muda beberapa bulan daripada Taeil hyung. Ia lahir di pinggiran kota Busan yang keras, sebuah kota pesisir dimana laki-laki tangguh bercokol. Ia pun punya kepribadian yang sama layaknya laki-laki Busan pada umumnya, namun Hansol hyung lebih pendiam entah karna wataknya atau hasil tempaan lingkungan. Ia merantau ke Seoul saat masih belia, melanjutkan sekolah menengah atas di kota besar itu dan membiayai segalanya dengan hasil kerja paruh waktu. Saat terakhir kali menghirup udara Seoul adalah saat ia pulang kerja, ada orang yang menawarinya pekerjaan yang lebih baik dan fasilitas yang menunjang. Hansol hyung pun tergiur, ia sepakat namun pada akhirnya itu adalah omong kosong. Ia terdampar disini sebagai si nomor tiga.

 

Hansol hyung tidak terlalu suka mengeluh membuatnya terlihat menjadi orang yang tangguh. Beberapa orang masih menggunakan telepati, aku diam memandangi Doyoung hyung yang menyobek kain gorden untuk mengganti perban hansol hyung yang telah dipenuhi darah. Hansol hyung sesekali meringis namun tak sekalipun berteriak, harusnya ada obat merah atau semacamnya agar luka itu tidak bertambah buruk, terjadi infeksi atau yang paling buruk adalah pembusukan. Aku menggeleng cepat menepis pikiran buruk itu, bersamaan dengan satu suara masuk kedalam kepalaku. Aku tidak berniat menguping namun semuanya bisa terdengar dengan jelas. Aku rasa kami harus belajar untuk mengendalikannya.

 

Setengah jam kemudian kami digiring ke ruang makan seperti kemarin, ada dorongan lebih besar untuk menghabiskan bubur hambar itu sekarang. Semuanya menghabiskan itu dengan cepat, berpikir bahwa setidaknya kami tidak ingin kehilangan kekuatan telepati. Jika memakan bubur itu sebagai salah satu jalan, kami tak akan keberatan.

 

Ada perubahan jadwal. Kami tidak di ijinkan lagi bermain di halaman. Hari  itu aku bertemu dengan laki-laki berkaca mata tempo hari, ia menggunakan seragam layaknya seorang dokter. Wajahnya ditumbuhi jambang tipis membuatnya terlihat mengerikan. Aku mendapati salah satu penjaga memanggilnya Profesor Jung, di bajunya tak terdapat name tag atau sejenisnya padahal aku berniat membuat olok-olokan. Ia menemui kami seusai makan dan memimpin menuju sebuah ruangan yang mengagumkan. Ada bau desinfektan yang amat tajam saat memasuki ruangan itu, cat tembok berwarna putih bersih yang jika sang dokter berdiri disamping tembok maka bajunya seperti menyatu. Neon-neon putih berdaya 50 watt menggantung diatas membuat ruangan itu terasa menyilaukan.

 

Ten hyung tengah merengek diam-diam, berkata ia tak suka tempat ini. Johnny hyung mencoba berkelakar namun itu tak membuatnya membaik, sekilas aku menatap Hansol hyung yang sibuk menggigiti bibir. Kenapa ia terlihat gugup?.

 

Hansol hyung dihampiri oleh seorang perempuan yang juga memakai jas sama seperti sang Profesor, Hansol hyung mengangguk dan kemudian kami berpisah. Setelah itu kami disuruh berbaris sesuai nomor—yang artinya aku berada dibelakang dan terakhir. Johnny hyung lah yang pertama, ia disuruh masuk melalui sebuah pintu bersama sang Profesor. Aku tidak tahu yang pasti berapa lama ia didalam sana, mungkin tiga puluh menit atau dua puluh menit. Dan satu persatu pun melakukan hal yang sama, mereka yang keluar dari pintu itu selalu terlihat lemas. Aku bertanya padanya dan hanya dijawab ‘kamu akan tahu sendiri nanti.’

 

Aku tidak terlalu antusias saat Taeil hyung keluar dari pintu itu, ia terlihat lebih buruk daripada yang lain namun masih sempat tersenyum padaku. Aku dipanggil dan segera bergegas menuju pintu. Aku pikir yang ada di balik pintu mungkin ruang penyiksaan namun ternyata salah. Aku disambut oleh sang Profesor, ia tersenyum manis dan mempersilahkanku duduk. Ruangan itu tak jauh berbeda dari ruang tunggu tadi, hanya saja banyak alat-alat yang tidak aku mengerti. Kebanyakan berdengung dan mengeluarkan suara berisik, sungguh bising. Aku bisa melihat para hyung yang tengah duduk berjajar, ada kaca yang menghubungkan ruang ini dan ruang tadi. Sebuah kaca. Aku mendapatkan pemeriksaan kesehatan—aku tahu karna aku pernah melakukannya dulu saat hendak di adopsi untuk yang kedua kali. Kemudian aku disuruh terlentang dalam sebuah mesin yang membawa tubuhku masuk, aku mungkin sedang di pindai atu sejenisnya. Itu hanya berlangsung beberapa menit kemudian aku dikeluarkan lagi, sang Professor menanyaiku,

 

“Apa kepalamu sering sakit?”

 

“Tidak, tapi setiap pagi aku selalu muntah.” Aku mengatakan yang sejujurnya dan dia tertawa kecil.

 

“Tidak apa-apa.” Aku hendak mengusulkan perubahan menu namun ia buru-buru menyela dan menyuruhku lari di sebuah treatmil. Aku tidak punya alasan untuk menolak, lagi pula aku entah kenapa merasa harus menurutinya. Aku berlari dengan kecepatan yang berubah-ubah, kadang cepat kadang pelan sampai keringat bercokol di dahiku dan mereka menghentikan alat itu. Seorang perempuan datang membawakan handuk dan menyeka keringatku, ia tersenyum manis. Kemudian aku mendapatkan suntikan di lengan kiri dan semuanya selesai. Aku disuruh keluar ruangan.

 

Hansol hyung ada disana bersama dengan yang lainnya, tangannya mendapat perban baru yang lebih baik daripada sobekan kain gorden. Aku tidak akan menghawatirkan itu lagi sekarang. Setelah itu kami dibolehkan bermain di lorong, hanya di lorong. Padahal aku merindukan bau rumput.

 


 

Beberapa hari berlalu tanpa perubahan besar, kami masih menyembunyikan perihal kemampuan telepati itu. Dan bagusnya kami sudah bisa membangun bilik agar percakapan tak bisa menyebar menuju semua kepala, kami hanya butuh konsentrasi lebih. Kami juga jadi sering mendapat suntikan dari Profesor Jung.

 

“Mong, apa kamu pikir Yuta jadi sedikit lebih kurus sekarang?” Itu Hansol hyung, ia masih pura-pura tidur di ranjangnya saat aku meliriknya sekilas.

 

“Em, ya. Sedikit.” Aku memainkan ujung bajuku gugup, aku bukanlah observator yang baik. Jadi saat Hansol hyung bertanya tentang orang lain, aku jadi panik dan gugup.

 

Yang aku tahu, Yuta adalah seorang imigran asal Jepang. Ia adalah imigran gelap yang masuk ke Korea melalui kapal barang. Ia berjuang sangat keras di negri orang dan bertemu Ten hyung yang senasib. Mereka ada disini karna dijanjikan jaminan yang menggiurkan. Yuta hyung punya masa lalu yang kelam, sebelum ia datang kesini ia telah dibuang oleh keluarganya. Ia menganggap hidupnya tak begitu berharga, ia rentan secara psikis. Ia adalah orang yang paling sering kami khawatirkan, terutama Hansol hyung, ia selalu memberikan perhatian ekstra.

 

“Apa dia sudah bangun?” Tanyaku pada Hansol hyung. Yuta hyung masih bergelung dalam selimutnya seperti beberapa diantara kami yang lain. Hansol hyung tidak menjawab, ia melewati beberapa ranjang yang memisahkan mereka dan menuju ranjang Yuta hyung.

 

“Astaga! Tubuh Yuta seperti terbakar.” Itu percakapan dalam lingkup luas, karna setelah itu aku melihat Ten hyung bangkit dan menghampiri ranjang Yuta hyung. Aku dan yang lainnya pun melakukan hal serupa. Hansol hyung terlihat khawatir, Ten hyung pun sama. Aku menatap Yuta hyung yang nampak tenang namun napasnya terengah. Johnny hyung bertindak cepat, ia berlari menuju pintu dan menggedornya seperti tengah kesetanan.

 

“Penjaga! Yuta sakit! Tubuhnya akan melepuh sebentar lagi.” Itu agak berlebihan karna Johnny hyung berteriak sambil terus mengarah tinju pada pintu besi. Seisi kamar dipenuhi kegelisahan pekat.

 

-To Be Continue-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
vega08 #1
Chapter 1: Bagus ceritanya?! Lanjutin dong?! Suka yang generenya cem gini hahaha