Prologue

Mong; I Am Number Nine

P1 : “Bawa dia kemari.”

P2 : “Pasti.”

P3 : “Kalau dia kembali kamu tidak akan kesini lagi, mengerti kan?”

P2 : “Memang harus ada yang dikorbankan.”

P1 : “Kamu akan banyak melihat dia menangis.”

P2 : “Hahaha.”

 

Tawa yang hambar.


Abee proudly present
Mong—Im Number Nine.

Genre:
Friendship, Adventure, Drama.

 

Standard disclaimer applied

 

 

Ittadakimasu~!


Kalau aku terlahir kembali, setidaknya aku ingin punya keluarga. Mungkin dua orang kakak dan seorang adik sudah cukup, tidak punya dua orang yang bisa dipanggil ayah dan ibu pun tak masalah. Aku hanya ingin punya saudara. Dua kali di adopsi oleh keluarga yang salah, aku selalu berakhir di tempat aku memulai. Panti asuhan. Dan aku berjanji, ini adalah pertaruhanku yang terakhir. Jika kelak ini berakhir buruk, aku tidak akan kembali ke panti asuhan apapun yang terjadi.

 

Mobil yang aku tumpangi berguncang  sebelum akhirnya berhenti, kemudian pintu belakang terbuka dan aku disuruh turun. Tuan Lee yang menjadi pengantarku kali ini, menggandengku melewati gerbang besi tinggi yang diatasnya diberi kawat berduri. Didepanku berdiri rumah gagah dengan cat putih luntur, beberapa sudut berwarna kusam dan ditumbuhi jamur. Dua rumah yang aku tempati sebelumnya berasitektur yahud, setidaknya kebun mereka tertata rapi, cat dinding sewarna pelangi, seperti istana di negri dongeng. Namun tempat ini lebih seperti rumah sakit, atau aku harus menyebutnya bekas rumah sakit.

 

Tuan Lee berbicara dengan dua orang lelaki yang telah menunggu kami di depan pintu, salah satunya memakai kaca mata. Sepertinya hanya sekedar basa-basi. Sampai Tuan Lee tersenyum lurus kemudian menepuk punggungku pelan, sambil berkata,

 

“Aku harap semuanya lancar, jadilah anak baik.” Kemudian membungkuk pada dua orang tadi dan bergegas pergi.

 

“Aku Tuan Park, kamu bisa memanggilku ‘Ayah’ jika berkenan.” Ia tersenyum membuat kumis tipis miliknya terlihat jelas. Aku hanya mengangguk seperti sebelum-sebelumnya, orang yang berkaca mata tadi membuka pintu kemudian mempersilahkan Ayah masuk. Dia menggandeng tanganku dan bau obat segera menusuk indra penciumanku, tempat ini benar-benar seperti rumah sakit.

 

Aku tidak ingat sudah melewati berapa banyak pintu, namun kami akhirnya berhenti pada sebuah pintu  yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari kebanyakan pintu yang kami lewati. Sebelum ia membuka pintu itu, sang lelaki berkaca mata itu menatap wajahku seolah tengah memindai dengan seksama .

 

“Anakku, karna saudaramu ada banyak nantinya mereka tidak akan memanggil namamu secara langsung.” Aku menoleh saat Ayah berkata dengan tiba-tiba, dahiku mengernyitkan tanda protes. Memangnya kenapa? Berapa banyak saudara yang aku miliki nantinya?. Ia tentu tak memahami apa yang menjadi pertanyaanku, karna aku tak terbiasa bertanya secara langsung, melainkan hanya sekedar menyimpannya sendiri. Namun agaknya Ayah menangkap arti dari ekspresiku.

 

“Kamu akan dipanggil dengan ‘si nomer Sembilan’.” Lelaki dihadapan kami berdeham kemudian membuka pintu. Itu adalah ruang makan, anak lelaki seumuranku berjajar di meja panjang dengan beberapa makanan dihadapan masing-masing. Mereka semua menatapku serentak, namun tak ada suara apapun. Hening, hening yang menegangkan. Mata mereka menyiratkan suatu yang gelap, semuanya.  Ayah berbisik menyuruhku masuk, dan aku baru menyadari bahwa di ruangan itu juga ada empat orang dewasa dengan pakaian serba hitam sambil menenteng senjata api menghuni empat sudut ruangan. Aku berbalik berharap bahwa si lelaki berkacamata tadi berkata bahwa kami salah ruangan, namun yang aku dapati adalah lelaki itu menutup pintu dengan segera dengan meninggalkan bayangan wajahnya yang menyeringai ganjil.

 

Lelaki di ujung kanan dekat pintu menatapku lama kemudian memberikan isyarat agar mengambil tempat duduk segera. Ada sembilan orang anak termasuk aku di dalam ruangan itu, namun semuanya begitu tenang. Tidak, ini terlalu tenang. Aku merasa aneh, tak ada satupun dari mereka yang menyendok bubur di hadapannya pun meneguk air didalam gelas itu. Satu-satunya suara yang hidup di ruangan itu adalah bunyi tik-tok dari jam diatas pintu.

 

Aku mendapatkan makananku lima menit kemudian, menu yang sama dengan milik mereka. Salah seorang penjaga—aku menyebutkanya begitu karna mereka terlihat seperti polisi dan sejenisnya—berkata dengan lantang,

 

“Kalian boleh makan jika jarum panjang tepat di angka dua belas, dan kalian hanya punya waktu lima menit untuk makan. Semuanya harus habis.” Telingaku pekak karna ia tengah berdiri tepat di sampingku. Tak ada satupun yang menjawab. Namun saat jarum jam panjang benar-benar di angka dua belas, seperti ada sebuah peluit yang ditiup semuanya mulai menyendok bubur dengan gesit. Menelan suap demi suap bubur hambar itu dengan rakus, aku pun melakukan hal yang sama. Lima menit berlalu dan piring-piring yang semula terisi bubur itu kini kosong, air didalam gelas itu pun telah tandas.

 

“Nomor satu.” Salah satu penjaga menghampiri anak diujung meja kemudian menariknya keluar dari ruangan. Lagi-lagi tak ada yang bersuara, mata mereka menjadi saksi namun mulutnya terkunci. Jujur saja ini membuatku bingung. Tiga penjaga sisanya kemudian memberikan perintah untuk meninggalkan ruang makan dan menggiring kami menuju ruangan lain.

 

Aku bahkan belum tahu wajah dan nama asli dari saudaraku berjuluk nomer satu, namun kami tidak pernah bertemu lagi. Aku menempati ranjang paling ujung dekat pintu, di ranjang kami di beri nomer masing-masing. Ranjang nomer satu selalu tak pernah ada yang menempati. Ruangan itu begitu sesak dengan sembilan ranjang yang berjajar rapat, hanya ada sisa ruang untuk duduk lima sampai enam orang. Dindingnya berwarna putih, neon sepuluh watt tak begitu kuat untuk menerangi ruangan pengap itu. Lantainya bukan porselen ataupun marmer, melainkan hanya ubin berwarna hitam yang usang.

Aku sungguh ingin berbicara dengan mereka, kami adalah saudara bukan?. Namun nampaknya mereka tak suka bicara. Aku menutupi wajahku dengan bantal sampai dua orang diantara mereka menghampiri ranjangku dan menepuk kakiku menyuruh bangun. Aku hendak bertanya namun salah satunya memberikan tanda agar tetap diam, jadi aku menutup mulut urung berkata-kata. Ia kemudian meludah di hadapanku, menorehkan tangannya disana layaknya kuas dan air liurnya sebagai pengganti tinta.

 

‘Jangan bicara, para penjaga suka menguping.’ Tulisnya. Ia meludah lagi. ‘Aku Taeil, nomer delapan. Aku yang tertua disini.’ Giginya putih dan rapi, senyumnya terlihat tulus. Aku turun dari ranjang dan berjongkok di hadapannya, meludah dan mulai mengobrol dengan mereka.

 

‘Senang bertemu kalian, apa ini sejenis penyambutan?.’ Taeil hyung yang masih tersenyum itu mengangguk. Pemuda yang tadi menepuk kakiku kini turut berjongkok, bergabung dengan obrolan penuh saliva. Ia meludah beberapa kali.

 

‘Aku Johnny, si nomer dua. Seneng ketemu lo.’ Aku menahan tawa saat ia menulis bahasa khas anak muda, Taeil hyung sepertinya tengah melakukan hal yang sama namun sepertinya ia maklum. “Nama lo?”

 

Aku tak menulis apapun, hanya menunduk memandangi garis-garis tulisan yang kini mulai memudar karna liur kami menguap. Sampai Taeil hyung kembali meludah dan menuliskan,

 

‘Aa, mungkin dia seperti si nomer satu.’ Si jankung Johnny mengangguk menanggapi.

 

‘Apa yang terjadi dengan si nomer satu?’ Aku mencoba memancing karna obrolan kami kebetulan bermuara pada hal itu. Pertanyaanku bermakna majemuk sebenarnya, tentang apa yang terjadi dengan si nomor satu hari ini dan sebelum-sebelumnya. Raut wajah keduanya yang semula tenang-tenang saja kini nampak tak biasa, antara gelisah dan takut. Johnny hyung meludah.

 

‘Tidak tahu.’

 

Aku menatap wajah mereka yang nampak putus asa, sungguh apa yang salah? aku ingin bertanya lebih lanjut namun agaknya Taeil hyung lebih dulu mendahuluiku.

 

‘Selain memanggilmu nomer sembilan, bolehkah kami memanggilmu Mong saja?’ Johnny memukul tangan kiri Taeil dan si empunya tangan hanya menyengir.

 

‘Lumayan. Aku tidak keberatan.’

 

Kemudian obrolan kami berlanjut lebih jauh, Taeil dan Johnny bergantian menjelaskan tentang lima orang lain yang juga menghuni tempat itu dan berstatus saudara denganku, tanpa menyebutkan si nomer satu tentunya. Sesekali Johnny hyung menyela dengan memberi komentar dengan bahasa yang nyeleneh, aku tertawa tanpa suara. Johnny hyung adalah makhluk impor dari USA, dan dia entah kenapa suka sekali menggunakan bahasa slang. Baginya mungkin itu keren. Puas saling melontarkan ludah, akhirnya kami menuju ranjang masing-masing sejam kemudian. Awal yang tidak buruk.

 

 

—To Be Continued.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
vega08 #1
Chapter 1: Bagus ceritanya?! Lanjutin dong?! Suka yang generenya cem gini hahaha