COFFEE

VHOPE - Ficlet Series

"Selamat pagi. Selamat datang di Elder Coffee. Adakah sesuatu yang ingin kau pesan untuk memulai harimu?" Hoseok tersenyum ramah seraya mengulurkan sebuah buku menu kepada salah seorang pemuda berambut kecokelatan yang baru saja tiba beberapa menit lalu.

 

Alih-alih membalas senyuman Hoseok, ia hanya menatap datar buku menu di hadapannya dan menghela napas. "Espresso." jawabnya pelan hingga Hoseok nyaris tidak dapat mendengarnya.

 

"Maaf?" tanya Hoseok sopan seraya mendekatkan dirinya ke arah pemuda itu.

 

Berdeham pelan, pemuda itu kemudian mengulang ucapannya dengan intonasi yang lebih keras dibanding sebelumnya. "Espresso."

 

"Ah, espresso!" Hoseok menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan mencatat pesanan pemuda itu di sebuah note kecil yang terselip di antara kedua tangannya. Beberapa saat setelahnya, ia kembali memperlihatkan senyum termanisnya sebelum berkata, "Adakah hal lain yang ingin dipesan? chocolate croissant untuk teman minum kopi, mungkin?"

 

"Tidak, terima kasih." sahut pemuda itu yang lagi-lagi menggumam dengan nada pelan. Dengan gugup, ia mengulurkan buku menu yang tergeletak di atas mejanya dan tersenyum samar saat Hoseok menerimanya dengan sigap.

 

"Pesanan Anda akan segera kami antar. Terima kasih." Sekali lagi, Hoseok memberikan senyum terbaiknya dan membungkuk sopan sebelum berbalik meninggalkan meja pemuda itu. Meninggalkan seorang pemuda berambut kecokelatan yang saat ini sama sekali tak sanggup mengalihkan pandangannya dari punggung Hoseok yang bergerak menjauh.

.

.

.

.

“Secangkir espresso hangat untuk memulai pagi yang cerah.”  ujar Hoseok yang seolah tak pernah bosan untuk memamerkan senyum di wajahnya. Ia  kemudian meletakkan secangkir kopi yang dipesan oleh salah satu pelanggannya sebelum melanjutkan, “Selamat menikmati.”

 

“Terima kasih.” balas pemuda itu singkat. Besar harapannya bahwa Hoseok akan segera pergi meninggalkan mejanya, namun lelaki itu justru bergeming di tempatnya. Dengan ragu, pemuda itu kemudian memberanikan diri untuk menolehkan kepalanya ke arah Hoseok dan terkejut setengah mati saat mendapati sang pelayan kafe yang kini menatapnya dengan cukup intens. “A, ada apa?” tanyanya gugup.

 

Alih-alih membuka mulutnya dan menjawab pertanyaan pemuda itu, Hoseok hanya menggelengkan kepala seraya mengembalikan senyum di wajahnya. “Maaf, tapi apa kau yakin kau sanggup meminum kopi itu?” ujar Hoseok yang balas bertanya.

 

“Apa maksudmu?”  balas pemuda itu dengan dahinya yang berkerut bingung. “Memangnya untuk apa aku memesan kopi ini jika tidak kuminum?”

 

 “Bukan begitu. Hanya saja...” Jeda sejenak, Hoseok mengedarkan pandangannya ke sepenjuru kafe dan mendekatkan wajahnya ke arah pemuda itu sebelum berbisik, “Wajahmu terlalu manis untuk menyesap kopi sepahit itu.”

 

Semburat kemerahan mendadak menghiasi wajah pemuda itu ketika Hoseok menjauhi wajahnya dan kembali memamerkan senyum terbaiknya. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Hoseok telah lebih dulu menyela kata-katanya. “Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali.”

 

Dan benar saja, Hoseok segera berbalik meninggalkan mejanya dengan langkah terburu-buru. Ia mencoba mengikuti pergerakan Hoseok dengan pandangannya, namun pada akhirnya ia hanya mampu menghela napas panjang ketika lelaki berambut kelam itu membaur dengan sederet barista yang terlihat sibuk meracik puluhan cangkir kopi. Sembari menggigit bibir, ia kemudian mengalihkan pandangannya pada sebuah cangkir di hadapannya yang masih mengepulkan uap panas. Ia menghirup aroma kafein yang begitu pekat dari kopi itu dan kembali menghela napas panjang.

 

Hoseok benar. Dia tidak akan mungkin sanggup untuk sekedar menyentuhkan lidahnya pada cairan berwarna hitam pekat yang kini ada di hadapannya. Dia bukanlah seorang pencinta kopi yang tak pernah absen untuk mengkonsumsi minuman itu secara rutin setiap hari. Ia bahkan sama sekali tidak ingat kapan terakhir kalinya ia meminum secangkir kopi selama dua puluh tahun ia hidup di muka bumi ini. Bisa jadi, ini adalah pertama kalinya ia berkenalan dengan secangkir kopi dan pilihannya justru jatuh pada kopi dengan kadar kafein paling tinggi. Aromanya yang begitu kuat membuat pemuda itu mengerutkan hidungnya tanpa sadar. Ia kemudian mendorong cangkir minumannya menjauh dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela kafe.

 

Pikirannya mendadak berkelana ke berbagai penjuru, membuatnya lagi-lagi hanya mampu menghela napas panjang saat tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia kemudian mengeluarkan sebuah ponsel yang tersembunyi dibalik jaketnya dan terdiam memandangi sebuah foto yang terpasang sebagai wallpaper. Foto itu memperlihatkan dirinya bersama salah seorang pemuda lain yang bertubuh jauh lebih tegap darinya. Seulas senyum pahit mendadak menghiasi wajahnya ketika teringat bahwa foto itu tak lebih dari sekedar masa lalu yang kini menyayat hati dan ingatannya. Tanpa banyak penjelasan, lelaki itu memutuskan sebuah hubungan yang telah mereka jalin selama lebih dari dua tahun dan pergi begitu saja.

 

Ia bahkan sama sekali tak ingat mengapa ia bisa berakhir di dalam kafe ini dan memesan secangkir kopi pahit alih-alih meneguk sebotol minuman keras dan membebaskan pikirannya  bersama cairan alkohol yang meresap perlahan-lahan ke dalam darahnya. Satu hal yang ia tahu, sepahit apapun kopi yang kini ada di hadapannya, sangat mustahil rasanya jika minuman itu sanggup menyaingi kepahitan yang kini melingkupi hidupnya. Ia membanting ponselnya ke atas meja dan menghela napas jengah sebelum kembali dikejutkan dengan kehadiran Hoseok yang muncul secara tiba-tiba.

 

“Maaf, apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?” Hoseok tersenyum ramah dan mengambil tempat di sebuah kursi kosong yang ada di hadapan pemuda itu. Seolah tak memperdulikan tatapan penuh tanya yang kini tersirat di wajah sang pemuda berambut kecokelatan, Hoseok kemudian menarik secangkir espresso yang dipesan oleh pemuda itu dan menukarnya dengan segelas frappé. “Kurasa minuman ini lebih cocok untukmu.”

 

Tanpa banyak berkata-kata, pemuda berambut kecokelatan itu hanya menatap segelas frappé yang ada di hadapannya sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke arah Hoseok. “Kenapa?” tanyanya pelan.

 

“Karena aku sangat yakin jika minuman itu sanggup membuat suasana hatimu yang pahit menjadi manis seperti sedia kala dan mendinginkan pikiranmu yang membara.” tutur Hoseok lembut.

 

Pemuda itu melebarkan kedua matanya saat mendengar penuturan Hoseok yang sangat akurat dengan apa yang kini tengah ia rasakan. “Kau... Da, dari mana kau tahu jika aku—”

 

“Dari mana aku tahu jika kau tengah menghadapi masalah yang cukup rumit?” sahut Hoseok yang menyela ucapan pemuda itu. Ketika ia mendapatkan sebuah anggukan sebagai jawabannya, Hoseok akhirnya kembali berkata, “Entahlah. Mungkin hanya salah satu tebakan mujur.”

 

“Tebakan mujur?” sahut pemuda itu yang kembali mengulang ucapan Hoseok.

 

“Ya. Tebakan mujur.” sahut Hoseok sembari memperdengarkan tawanya. “Sedikit informasi, aku sudah cukup lama bekerja di kafe ini. Dan perlahan, aku mencoba untuk mengamati setiap pelanggan dengan kopi yang ia pesan. Rata-rata, penikmat espresso di kafe ini lebih didominasi oleh para eksekutif muda dan beberapa remaja berkarakter kuat yang memang telah sejak lama menjadi penikmat kopi ini. Tapi selebihnya, tidak ada satupun di antara mereka yang memesan kopi ini dengan wajah murung seperti dirimu.”

 

Jeda sejenak, Hoseok mengulum senyumnya saat mendapati pemuda di hadapannya terlihat salah tingkah saat tebakannya benar-benar tepat sasaran. Ia kemudian mengangkat secangkir espresso yang kini telah berganti hak menjadi miliknya, seolah mengajak pemuda itu untuk bersulang. Merasa tak ada pilihan lain, pemuda itu akhirnya menuruti kemauan Hoseok dan meraih segelas frappé di hadapannya dan menyesapnya perlahan.

 

“Bagaimana?” tanya Hoseok tanpa sekalipun menghapus senyum di wajahnya.

 

Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, pemuda itu kini membalas senyuman Hoseok sebelum kembali menyesap minumannya dengan antusias. “Manis.” gumamnya singkat.

 

“Sama seperti dirimu.” bisik Hoseok yang membuat pemuda itu nyaris tersedak. Seolah tak memperdulikan pandangan terkejut yang kini dialamatkan oleh pemuda itu untuk dirinya, Hoseok mengulurkan sebelah tangannya seraya berkata, “Namaku Hoseok. Jung Hoseok. Kau?”

 

“Kim Taehyung.” jawab pemuda itu sembari menjabat tangan Hoseok dan memperlihatkan senyum termanisnya.

 

 “Senang bisa berkenalan denganmu.” ujar Hoseok seraya membalas senyum Taehyung dan mengangguk singkat. Ia kemudian menyesap minumannya sejenak sebelum kembali berkata, “Ngomong-ngomong, apa kau sibuk hari ini?”

 

Taehyung menatap Hoseok dengan sebelah alisnya yang terangkat penuh tanya dan tersadar bahwa Hoseok telah melepas seragam kerjanya. Pria itu kini mengenakan sepotong kaus hitam polos yang dibalut dengan sebuah jaket kasual. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang pegawai kafe yang selalu tersenyum dan bersikap ramah sebagai bentuk profesionalisme, melainkan seorang pemuda berwajah rupawan yang mencoba untuk mengakrabkan dirinya dengan Taehyung.

 

Merasa tidak ada gunanya berbohong, Taehyung hanya menggelengkan kepalanya seraya berkata, “Tidak.”

 

Di luar dugaan, Hoseok tersenyum lega saat mendengar jawabannya. Kemudian rasa gugup mendadak menyerangnya, membuat Hoseok yang tak pernah kehabisan ide untuk berkata-kata menjadi salah tingkah. “Kau... Ah, maksudku... Aku telah meminta izin untuk tidak masuk kerja hari ini. Dan kurasa... Eung... Mungkin aku butuh sedikit jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran. Ja, jadi...”

 

“Jadi?” ulang Taehyung tak sabaran.

 

“Eung... Apa kau mau ikut denganku?” ujar Hoseok pada akhirnya.

 

Taehyung terdiam. Sedikit terkejut dengan tawaran Hoseok yang terdengar begitu mendadak untuknya. Ditambah lagi, mereka baru saja saling mengenal tak kurang dari satu jam terakhir. Haruskah ia menerima tawarannya?

 

Setelah sempat terdiam cukup lama, Taehyung akhirnya kembali mengalihkan pandangannya ke arah Hoseok dan menjawab tanpa keraguan, “Tentu.”

 

Mereka mungkin memang baru saja memulai sebuah lembaran baru sebagai dua orang asing yang baru saja saling mengenal satu sama lain. Tapi mungkin tidak ada salahnya jika Taehyung membagi sejengkal ruang kosong yang ada di hatinya. Ia yakin betul, Hoseok bukanlah seorang pria yang berniat jahat dengan memanfaatkan kelemahan hatinya. Lagipula, tidak ada salahnya untuk mencoba membuka hatinya dengan seseorang yang bahkan sanggup membuatnya merasa nyaman di awal perkenalan mereka.

 

Hanya Hoseok yang mampu melakukannya. Bukan yang lain.

.

.

.

.

.

191215

.

.

.

.

.

©Aul_Ondubu

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
vhope00 #1
Chapter 1: pengen teriak. tapi gabisa karna bacanya disekolah. YATUHAN VHOPE ;A;!!!