Sweet Muffin

Description

Setelah lama berpisah dengan kekasihnya, ingin kembali pun rasanya tidak mungkin. Karena Jinyoung telah menemukan dambaan hatinya yang baru. Anak itu adalah anak pindahan dari negara Barat. 

Setelah bertemu lelaki itu, pagi Jinyoung jadi berubah 90 derajat melelahkan. Apakah Ia mendapatkan balasan yang diinginkannya?

Foreword

Aku bisa merasakannya, meskipun orang-orang mapun diriku tak mengetahui seperti apa rasanya. Kau manis, seperti muffin...

 

 

Drap.. Drap...

Di saat matahari belum menampakkan cahayanya, orang-orang belum semuanya keluar dari rumah mereka untuk pergi bekerja, dan jalanan pun masih belum menandakan adanya keramaian, seorang lelaki berpakaian seragam rapi tengah mengendap-ngendap ke dalam sebuah ruang kelas dan kedua matanya langsung tertuju pada sebuah loker yang terletak di sudut ruangan.

Sambil membawa sebuah kotak makanan, lelaki yang bernama Park Jinyoung, langsung menghampiri loker itu sebelum dirinya ketahuan oleh orang lain yang sudah tiba di sekolah pagi itu.

Ia terdiam sejenak menatap loker yang berada di hadapannya, yang tak lama di ikuti senyuman tersungging di wajah manisnya.

ㅡ Mark Tuanㅡ

“D-3! Semangat Mark! Hihihi…” Jinyoung tersenyum girang setelah menaruh kotak bekal yang sempat dibawanya dan menempel secarik kertas tepat diatas kotak makanan itu. Lalu Ia mengambil kotak makanan lain yang kosong dari loker Mark.

“Aku senang kau menghabiskannya lagi” ujarnya. Senyumnya semakin mengembang saat ia melihat sekilas sebuah foto yang tertempel dalam loker itu.

Tapi tak lama, senyumnya seketika memudar begitu mendengar suara bola basket yang terpantul dari luar kelas. Dan juga telinganya menangkap suara tawa lelaki yang terdengar semakin dekat.

“Mark??!!” menyadari siapa pemilik suara itu, Jinyoung terperanjat kaget. “Tumben sekali Ia datang jam segini?! Akh sial! Apa yang harus kulakukan?!” umpatnya sambil melirik jam yang terlingkar di tangannya. Wajahnya mulai terlihat panik dan dirinya mulai berjalan kesana kemari sambil menggigit jarinya.

“Ah bawah meja!” serunya dengan suara yang cukup keras, sampai tanpa sadar Ia  menutup mulutnya dengan tangan. Tanpa menunggu apa-apa lagi, Jinyoung berlari menuju meja guru dan bersembunyi di bawah sana. Karena tidak mungkin untuk keluar dari pintu guru pun, Ia akan ketahuan juga.

Kreekk..

DUG!

“Aaawhh..” bersamaan dengan pintu kelas yang dibuka, tiba-tiba kepala Jinyoung terbentur langit-langit meja saat terburu-buru untuk bersembunyi.

“Siapa itu?”

Mendengar suara Mark yang ternyata sudah memasuki kelas, Ia membulatkan matanya. Sepertinya suaranya terlalu keras tadi saat terbentur langit-langit meja.

Sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit, Jinyoung menatap keluar meja, takut-takut jika Mark menghampirinya.

Tapi tiba-tiba Ia menyadari sesuatu, seolah ada lampu yang muncul di kepalanya, lelaki itu mendapat ide untuk melakukan sesuatu agar Mark tidak mencurigai keberadaannya.

“M-miiaaawwㅡ” suaranya sesaat tertahan sampai Ia mendengar suara “Kucing?!”

Lalu tak lama, Ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Jinyoung semakin ketakutan. Sepertinya cara itu malah membuat Mark semakin penasaran.

Ia pun mendorong tubuhnya lebih masuk ke dalam meja. Jika ketahuan pun, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin sekarang adalah waktunya Ia mulai menampakkan dirinya di hadapan Mark dan mengakui apa yang telah dilakukannya di pagi buta pada lokernya.

“Bro? Ayo tunggu apa lagi? Anak lain sudah menunggu di bawah”

Jinyoung terdiam. Suara itu milik Jackson, anak kelas sebelah.

Mencoba mencari tahu ada apa di belakang sana, Jinyoung pun mulai merangkak ke luar meja dan mengeluarkan sedikit kepalanya.

“Ah iya, aku.. akan menyusul. Aku ambil ㅡ”

“Mafin “mu” dulu? Haha” terdengar Jackson tertawa garing, membuat Jinyoung tanpa disadari memanyunkan bibirnya. Dan jangan lupakan seorang lelaki yang berdiri di sebelah Jackson sambil menggelayutkan tangannya manja di lengan Jackson.

“hmm... mungkin? Kalau dia memberiku lagi hari ini” Mark terlihat mengangkat kedua bahunya dengan memiringkan kepalanya.

“Baiklah, kami tunggu di bawah Mark” Bambam yang menjadi kekasih Jackson itu menyunggingkan senyumnya.

“Okay” bersamaan dengan itu, Jackson menarik Bambam keluar kelas, meninggalkan Mark yang sudah menghampiri lokernya.

Ekor mata Jinyoung mengikuti Mark sampai Ia membuka lokernya dan melihat reaksi seperti apa saat Ia mendapat mafin miliknya.

“Mafin rasa apa lagi kali ini.. Haha. Oh? Tulisan ini... Aku seperti mengenalnya...” Mark bergumam sendiri sambil membaca secarik kertas yang tertulis ‘Semangat untuk pertandingan basketmu, Mark! Kau pasti bisa!’.

Mendengarnya, membuat Jinyoung lantas menepuk jidatnya. Dirinya tidak menyadari jika Mark akan mengenal tulisannya, karena mereka adalah teman satu kelas. Tapi Jinyoung mencoba meyakinkan, Mark tidak mungkin tahu semua tulisan teman kelasnya kan?  Oh, Ia benar-benar berharap seperti itu.

Braakk...

Terdengar suara pintu loker ditutup. Jinyoung melihat Mark berjalan keluar kelas sambil membawa kotak makanannya setelah menaruh bola basketnya di loker. Saat itu juga Jinyoung menghela napas, lega.

Ia mengira, hidupnya akan selesai sampai disini setelah tertangkap basah oleh Mark. Jinyoung pun keluar dari tempat persembunyiannya dan membetulkan sedikit kacamatanya sambil tersenyum puas.

Jinyoung menatap loker Mark yang bersebelahan dengan loker miliknya. Entah sampai kapan Ia terus-terusan memberikan mafin buatannya semenjak kepindahan Mark ke sekolah ini. Jinyoung tidak benar-benar ingin mengakui semuanya pada Mark. Ia hanya ingin semuanya selesai sampai Mark menyadari perlakuannya.

.

.

.

“A-yoo!! Akhirnya kau datang juga Mark!” seorang lelaki yang ternyata bernama Youngjae, langsung menyambut kedatangan Mark ke aula olahraga dengan menepuk sebelah tangannya. Mark membalas tepukan tangan Youngjae dan duduk di sebelah Jackson.

“Dia memberimu lagi hari ini? Ada berapa banyak? Cukup kan untuk sarapan hari ini? Haha” Jackson berkata seolah menyindir Mark yang selalu mendapat sarapan gratis setiap hari. Mark pun hanya tersenyum sekilas, “Lumayan. Dan wow malah lebih banyak dari kemarin hahaha” Ia tertawa begitu membuka kotak makanan. Mark mendapat 8 mafin bermacam rasa ukuran besar hari ini.

“Jinjja? Woah kita bisa hemat untuk makan siang hari ini!” sahut Youngjae yang langsung menyambar mafim coklat dan melahapnya.

Mark mengerinyit “NO. Aku akan membawa pulang sisanya”

“Oh ayolaaah, kau..kan.. emhh. emm.. bisa.. mendapat lebih banyak lagi besok” Youngjae merengek tidak jelas karena sambil mengunyah mafin-nya. Mark hanya diam menatap Youngjae datar.

“Tapi Mark...”

“Hmm?” Mark menoleh ke sebelah kirinya, kini menatap Jackson yang seolah sedang memikirkan entah apa itu. Tatapannya tidak bergerak dari mafin yang berada di tangannya. Kedua alisnya pun saling bertautan. Youngjae yang sejak tadi asik dengan mafin-nya, ikut menatap serius Jackson.

“Kau tidak ingin tahu siapa yang memberimu mafin selama beberapa bulan terakhir ini?”

“...” Mark terdiam. Entah kenapa, dirinya tidak pernah berpikir soal masalah itu. Memang, semenjak kepindahannya ke sekolah ini, ada begitu banyak coklat maupun permen yang memenuhi lokernya.

Dan hal itu tidak pernah dijadikan permasalahan bagi Mark, karena di sekolah sebelumnya juga ia mengalami hal yang sama. Begitu juga dengan mafin yang didapatnya setelah tepat sebulan ia bersekolah disini. Mark hanya menganggap mungkin mafin itu diberikan oleh siswi yang menjadi secret admirer-nya. Itu saja. 

“Aku rasa.. aku pernah mencoba mafin ini sebeㅡ”

“Kau memang pernah mencobanya bodoh. Kau bahkan sudah makan beberapa kali” potong Youngjae dengan lirikan sinisnya.

“Yaa Choi Youngjae! Maksudku sebelumnya! Dengarkan bicaraku dulu sampai habis baru berkomentar tsk”

“Maksudmu sebelumya pernah makan mafin ini? Dimana?” Mark tiba-tiba berkata tanpa mengindahkan perkelahian kedua temannya. Pikirannya kini terfokuskan pada pembicaraan Jackson.

“Entahlah. Ini mafin buatan café. Seingatku aku memakan mafin ini dengan kopi Americcano di sebuah café. Tapi aku lupa nama cafenya”

“Kenapa kau baru bilang sekarang huh?”

“Ya? Bukankah kau tak mau mempermasalahkan hal sepele? Seperti ini Mark? Aku tahu sekali dirimu” ujar Jackson seolah Ia adalah teman semasa kecil yang mengetahui tentang masalah kecil hingga terbesar Mark.

“Tapi kalau memang mafin ini buatan dari toko… apa tidak merepotkan? Harus berangkat pagi-pagi untuk mampir dulu ke café lalu baru berangkat ke sekolah?”

“Atau jangan-jangan Ia sudah lama membeli mafin-nya lalu di hangatkan kembali? Hahaha” Jackson asal bicara, membuat Mark langsung melotot tajam dan memukul pelan kepala Jackson dengan snapback-nya. “Yang benar saja! Masa dia se tega itu padaku”

“Lalu?”

“Tapi tadi ada kertas di atasnya, dan tulisannya.. aku seperti pernah melihatnya…” Mark terlihat ragu. Youngjae dan Jackson saling berpandangan.

“Mungkin orang itu teman sekelasmu, Mark”

“Hmm?” Mark menoleh, “But who?”  

Youngjae mengedikkan bahu, “Entahlah. Apa ada teman kelasmu yang mencurigakan? Sepertiㅡ”

“Aku tidak pernah memperhatikan itu” potong Mark cepat. Ia tidak pernah sama sekali mempermasalahkan teman-temannya yang sering mengganggunya. Terutama teman perempuannya. Entah itu sekedar berbasa-basi atau hanya karena ingin dekat dengannya saja.

“Siapapun orangnya, kau harus berterima kasih, Mark” Jackson berkata sambil memegang pundak Mark. Mark pun menatap Jackson, tengah menimbang-nimbang perkataannya. “Hhhh… Okaayy. Tapi jika aku sudah tahu siapa orangnya” Mark menghela napas panjang.

Jika mau jujur, Mark tidak ingin terlalu ambil pusing dengan mencari tahu siapa yang memberikan mafin padanya selama ini. Dirinya hanya memakannya selagi muffin itu tidak mengandung macam-macam.

“Hei ayo kembali ke kelas. Bel sudah berbunyi sedari tadi. Aku tidak ingin telat lagi” sahut Youngjae yang sudah berlari menuju pintu aula. Sambil membawa kotak makanan yang tersisa 5 mafin di dalamnya, Mark pun berjalan menyusul Youngjae.

.

.

.

Kreeekk…

Mark memasuki kelasnya dengan hati-hati. Takut jika guru sudah masuk lebih dulu darinya. Tapi nyatanya tidak. Guru belum masuk saat itu dan anak-anak pun masih bermain disana sini. Mark menghela napas, lega.

Lelaki itu lalu melangkahkan kakinya ke tengah kelas, ingin mengatakan tentang mafin-nya, tapi dirasa itu terlalu berlebihan. Mark merasa sepertinya hal kecil seperti ini tidak perlu ditanyakan pada pada teman kelasnya.

Tapi Ia ingat perkataan Jackson. Siapapapun orangnya itu, Ia harus berterima kasih. Dan .. yah, pada akhirnya Mark pun menyerah dan mulai berbicara, mencoba menarik perhatian teman-teman kelasnya.

“Guyyss…”

“…” sesaat ruang kelas itu hening begitu mendengar suara berat Mark. Seolah mereka semua terpanggil, anak-anak kelas serentak menoleh dan menatap Mark. Melihatnya, membuat Mark tersenyum puas, “Apa ada yang tahu siapa yang menaruh kotak makanan ini di lokerku?”

“Memang apa isinya? Permen? Cokelat? Atau.. surat cinta? Pffft ” seorang anak lelaki yang duduk dekat jendela itu bertanya sambil mencoba menahan tawa. Pertanyaannya seakan menyindir Mark yang menjadi bulan-bulanan di sekolah semenjak kepindahannya.

“Mafin” jawab Mark singkat. Tapi jawaban itu seolah membawa pengaruh besar bagi anak-anak kelas. Sontak mereka yang tadinya menatap Mark, kini tatapan mereka terganti pada Jinyoung yang duduk di paling depan. Tepatnya di sudut ruangan.

“Mungkin… Jinyoung tahu” sahut anak lelaki yang di jabatkan sebagai ketua kelas.

“Hm?” Jinyoung yang sedari tadi mencoba menahan detak jantungnya pun menoleh. Ia memandang sekitarnya, ragu. Lalu Jinyoung menunjuk dirinya sendiri sambil berkata “Aku?”

“Bukankah kau punya kerja sampingan sebagai pembuat mafin di sebuah café? Yaahh.. siapa tahu kauㅡ” sesaat perkataan lelaki itu tertahan begitu melihat Jinyoung tengah menatap tajam ke arahnya kini. Dalam hitungan detik lelaki itu terdiam.

“Memang kalau aku bekerja sebagai pembuat muffin, itu artinya aku yang memberikan mafin padanya huh? Kenapa pikiranmu sempit sekali” Jinyoung berkata dan menatap Mark datar.

“Bukan. Maksudkuㅡ”

“Lagi pula aku juga tidak pernah mau memberikan muffin buatanku kepada orang lain secara percuma.”

Mark tersenyum pahit “Siapapun yang memberikannya, aku hanya ingin berterima kasih” meskipun perkataannya ditunjukan untuk anak-anak kelas, tetapi tatapannya tidak lepas dari pandangan Jinyoung.

Merasa tidak nyaman, Jinyoung memutar bola matanya, malas dan langsung bangun dari duduknya. “Apa kau lihat-lihat? Kau masih belum puas dengan perkataanku? Aku. Bukan. Orang. Yang. Memberimu. Mafin. itu. Mengerti Mark Tuan??”

Mark terkejut. Bukan, bukan karena pembicaraan Jinyoung tadi, melainkan kotak makanan lain yang berada di bawah meja Jinyoung. Tanpa disengaja Ia melihat kotak makanan berwarna biru tua yang sempat berada di lokernya kemarin saat Jinyoung bangun dari duduknya.  

Mark terdiam dengan berbagai macam pikiran dan pertanyaan yang mulai bersarang di kepalanya. Ia diam-diam menatap kotak makanan itu dan Jinyoung bergantian.

Park Jinyoung..?

“Yaa Mark Tuan! Kau mendengarku tidak?!”

“Kau berisik sekali, Jinyoung! Kalau memang bukan kau yang melakukannya, ya diam saja. Tidak perlu sampai berkoar-koar seolah kau memang yang memberikannya!” celoteh anak perempuan yang asik memainkan rambutnya.

Jinyoung terdiam. Ia pun kembali duduk dengan helaan napas panjang. Sepertinya, dirinya memang sudah berlebihan. Entah karena takut merasa di curigai, Jinyoung jadi tak bisa mengendalikan dirinya.

“Kenapa kau tidak mengaku saja hm?”

“Eh?” Jinyoung membalikkan badannya begitu mendengar suara yang terdengar seperti sedang berbisik. Ia mendapati Jaebum, mantan kekasihnya itu tengah menatapnya intens seolah sedang mengintrogasinya. Jinyoung sedikit melirik Mark yang sudah duduk di tempatnya sambil terus memandangnya.

“Apa kau gila eh?!” ujar Jinyoung dengan sedikit berteriak pada Jaebum. Ia lalu kembali menghadapkan badannya ke depan, mencoba tidak menghiraukan lelaki yang duduk di belakangnya dan juga tatapan tidak berarti Mark. Terdengar desahan panjang dari mantan anak klub basket itu.

“Mau sampai kapan kau terus-terusan bangun pagi lalu pergi ke café hanya untuk membuat mafin untuk anak baru itu? Jangan merepotkan diri sendiri Jinyoung”

“Bukan urusanmu”

“Terserah. Aku yakin lama-kelamaan kebiasaanmu itu akan terbongkar juga”

Jinyoung tidak berkata apa-apa. Ia tahu, suatu saat nanti, semuanya akan terbongkar dan Jinyoung sudah siap dengan resiko yang akan di hadapinya.

.

.

.

Dalam keramaian yang memenuhi kantin di saat istirahat makan siang, Mark diam-diam memperhatikan Jinyoung yang sedang menikmati makan siangnya bersama seorang anak lelaki bertubuh lebih tinggi dari Jinyoung, dari kejauhan.

Makanan yang sudah dihidangkan sedari tadi, hanya diaduk-aduk oleh Mark. Entah kenapa setelah Ia mengetahui yang menaruh mafin di lokernya akhir-akhir ini adalah Jinyoung, Mark tidak henti-hentinya memikirkan apa sebenarnya maksud dari semua perlakuannya. Ingin bertanya pun, Mark takut jika Ia malah menyakiti perasaannya.

“Bro? Kau tidak makan?” tanya Jackson yang menyadari sikap aneh Mark. Biasanya begitu mereka tiba di kantin, Mark langsung memesan dan melahap makanannya seperti orang kelaparan.

“Huh? Oh iya.. kalian... tahu.. Park... Jinyoung?” Mark mengalihkan pandangannya ke arah Jackson dan Youngjae dan menatap keduanya antusias.

“Siapa yang tidak mengenal dia. Park Jinyoung, mantan kekasih mantan kapten klub basket yang pendiam, kutu buku, pandai, murid kesayangan Kang saemㅡ”

“tung-tunggu, mantan kekasih mantan kapten klub basket?” potong Mark. Perhatiannya langsung terfokuskan pada penjelasan Youngjae pada Jinyoung yang pertama.

“Kau tahu Im Jaebum kan? Bukankah dia sekelas denganmu? Jaebum pernah menjabat sebagai kapten klub basket dan berhenti sebulan sebelum kau pindah kesini, Mark”

“Tidak hanya berhenti sebagai kapten, dia juga berhenti dari klub basket” sahut Jackson dengan wajah seolah menyayangkan keputusan Jaebum. Mark pun hanya mengangggukan kepalanya dan berkata “Kenapa dia.. keluar?”

Terdengar helaan napas panjang dari Youngjae, “Sebenarnya itu bukan kemauan Jaebum. Setahuku, Jinyoung yang tidak suka karena Jaebum selalu menghabiskan waktunya dengan klub basket, dan tidak ada waktu untuknya”

“Dan kau tahu yang lebih menyakitkan?” ujar Jackson yang langsung mendapat tatapan dari Mark dengan tatapan ingin tahu, “Apa itu?”

“Sebelum Jaebum keluar dari klub basket, mereka berpisah dan akhirnya Jaebum memutuskan untuk keluar, yaah karena siapa tahu Ia mendapat kesempatan kedua. Tapi nyatanya tidak. Jinyoung sama sekali tidak mau menerima ajakan Jaebum. Sepertinya anak itu tidak main-main” Jackson menjelaskan sambil memegang dagunya.

“Kau sering lihat Jaebum masih terus mengikuti Jinyoung kan? Karena dia masih menyayangi mantan kekasihnya itu. Ahh, aku harap kedua anak itu kembali seperti dulu lagi. Aku kasihan dengan Jaebum, sudah berhenti jadi kapten klub basket, dia juga putus dengan Jinyoung”

“Tsk, untuk apa Jaebum kembali pada Jinyoung? Mungkin sama seperti dulu, Jinyoung masih dengan sikap egoisnya. Menyebalkan sekali. Maunya diperhatikan terus, untung Bambam-ku tidak sampai seperti itu” celoteh Jackson yang langsung disambut lirikan malas Youngjae saat Ia menyebut-nyebut kekasihnya.

Mark tidak berkata apa-apa mendengar komentar kedua temannya itu. Ia hanya menatap dengan begitu banyaknya pikiran tentang Park Jinyoung di kepalanya. Tak lama, Mark merasa kenapa Jinyoung tidak mau menerima Jaebum sebagai kekasihnya lagi karena kehadirannya di sekolah ini.

Apa mungkin karena dia sudah terlanjur jatuh hati padaku? Hahaha. Mark tertawa dalam hati. Kalau tidak, lalu untuk apa Jinyoung memberikan mafin secara diam-diam sama seperti anak perempuan lainnya yang selalu memberikan permen, coklat, ataupun surat padanya

Mark pun kembali mengalihkan pandangannya ke arah tempat Jinyoung tadi, berharap Ia belum meninggalkan kantin. Dan benar saja. Jinyoung masih disana tengah memandangnya dirinya  sambil mengulum senyum.

Menyadari tertangkap basah, Jinyoung terlihat salah tingkah dan langsung membuang muka ke arah temannya yang duduk di sebelahnya.

“Memang dimana menariknya sih seorang Park Jinyoung?” Jackson berkomentar yang tanpa disadari langsung disusul jawaban oleh Mark, “Aku rasa... dia manis juga” dengan senyum yang tanpa henti diam-diam menatap Jinyoung.

“EEHHH??!!” Youngjae dan Jackson saling bertukar pandangan dan menatap Mark tersenyum sendiri yang entah sedang melihat siapa.

.

.

.

“Ahh.. bagaimana ini…sudah pukul 10 lewat.. kira-kira pertandingannya sudah selesai belum ya?” dengan gelisah, Jinyoung mengaduk-aduk adonan untuk membuat beberapa mafin untuk para  pelanggan yang sudah memenuhi café sejak tadi pagi.

Awalnya, Jinyoung tidak pernah mendapat ship kerja di pagi hari, tetapi karena Ia harus mengganti pegawai yang sedang sakit, Jinyoung terpaksa harus sudah sibuk di dapur sejak pagi buta.

Kalau bukan karena bonus yang nilainya lumayan tinggi, Jinyoung tidak mungkin berada disini untuk bekerja.

Dan Ia juga lupa akan satu hal. Hari ini adalah pertandingan basket sekolahnya yang diwakili oleh tim basket Mark melawan sekolah lain. Seharusnya, sekarang Ia sedang duduk di kursi penonton untuk menonton Mark di pertandingan basket, bukan malah berada di dapur dalam keadaan berantakan seperti sekarang ini.

“Ahhh! Menyebalkan!” tanpa henti Jinyoung terus menggerutu. Ia benar-benar berharap masih bisa menonton pertandingan dan juga jangan lupa untuk mampir ke sekolah, seperti biasa, menaruh mafin buatannya di loker Mark. Itu pun kalau Mark menyempatkan untuk mampir ke sekolah.

“Ada masalah Jinyoung?” Tanya seorang wanita berambut pendek yang datang sambil membawa 2 cup kopi. Min. Teman Jinyoung yang juga menjadi pegawai di café itu sebagai pembuat mafin dan roti.

“Nuna…” Jinyoung menoleh lalu mengambil cup kopi yang di pegang Min. Ia memandang wanita yang berusia 2 tahun lebih tua darinya itu dengan tampang memelas.

“Ada apa huh?”

Jinyoung menegak habis kopinya dan berkata “Nuna, apa kau sedang sibuk sekarang?”

“Hm? Tidak juga, aku tinggal menunggu panggangan roti terakhir” jawab Min sambil mengarahkan dagunya ke panggangan berukuran besar, “Memang ada apa?”

“Baguslah, bisakah kau membantuku nuna? Aku harus bertemu seseorang sekarang”

“Eh?” Min menatap wajah Jinyoung dengan bingung. Baru saja Ia menyelesaikan pekerjaannya, kini Ia harus mengambil alih pekerjaan Jinyoung.

“Aku mohon nuna, aku tidak punya waktu lagi. Ya ya ya? Aku janji akan mentraktirmu makan malam ini, oke?” ujar Jinyoung yang mengambil jaketnya dari lokernya.

“Ahh.. baiklah baiklah, tapi kau kembali lagi kan?” tanya Min khawatir.

“Tenang saja, pukul 11 lewat juga aku sudah kembali. Terima kasih banyak nuna! Oh ya, kau tinggal teruskan saja, daftar menu yang dipesan ada disini, aku juga sudah membuat adonannya”

“O-oke ooke”

Jinyoung tersenyum puas, “aku percayakan padamu nuna!” sahutnya yang melesat keluar meninggalkan dapur. Dan jangan lupakan mafin yang sudah terbungkus plastik dengan pita hijau untuk diberikan pada Mark nanti.

.

.

.

Jinyoung tiba di sekolah dalam keadaan sepi. Hanya ada beberapa siswa yang ditemuinya untuk melakukan les tambahan. Ia menatap anak-anak itu dengan bergumam bingung, “Apa mereka tidak menonton pertandingan basket? Haha kalau aku jadi mereka, aku akan membolos les dan pergi melihat Mark” Jinyoung terkekeh sendiri.

Jinyoung menaiki tangga menuju lantai 2 dimana kelasnya berada. Sebelum Ia memasuki kelasnya, Jinyoung melihat kanan kirinya, takut jika ada orang lain yang berada di lantai itu. Karena kebanyakan anak-anak murid di sekolah itu pergi menonton pertandingan basket tim sekolah.

Setelah merasa cukup aman, Jinyoung pun memasuki kelasnya dan berjalan menuju loker Mark. Baru saja lelaki itu membuka loker pujaan hatinya, tiba-tiba Ia merasa ada sesuatu yang menggelinding dari arah pintu kelas.

Jinyoung melihat ke bawah dan terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya. Sebuah bola basket yang berhenti menggelinding dan memperlihatkan nama pemiliknya.

Mark Tuan.  

DEG! Seketika Jinyoung merasa badannya lemas. Tanpa sadar Ia menjatuhkan mafin yang dibawanya. Lalu terdengar suara langkah kaki yang semakin lama semakin dekat ke arahnya.

“Kenapa dijatuhkan? Ini untukku, hm?” terdengar jelas sekali suara berat Mark di telinganya. Jinyoung melihat Mark memungut dan memakan satu mafin-nya.

Masih dengan menundukan kepalanya, tidak berani menatap Mark, Jinyoung mendengar lelaki itu berkata lagi, “Enak, seperti biasa dan manis...” lalu Mark memegang dagu Jinyoung agar Jinyoung menatapnya. Mau tak mau Jinyoung pun mengangkat kepalanya dan matanya langsung menangkap kedua mata Mark yang menatapnya intens.

Mark mendekati wajah Jinyoung hingga Jinyoung menutup matanya, mengira Mark akan menciumnya. Tapi nyatanya Mark malah mendekatkan bibirnya ke telinga Jinyoung dan berbisik dengan nada yang menurut Jinyoung terdengar seduktif di telinganya.

“Manis.. sepertimu” Jinyoung membuka lebar matanya mendengar bisikan Mark. Ia lalu menatap Mark yang wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.

“Kau memberikan ramuan apa pada mafin-mu hingga aku bisa ketergantungan seperti ini, hm?” Jinyoung hampir mengedipkan matanya saat Mark berbicara. Bahkan Jinyoung dapat merasakan deru napas Mark yang menerpa wajahnya. Ia pun memundurkan sedikit langkahnya hingga tanpa disadari tubuhnya sudah terbentur tembok.

Mark mendorong tembok di sebelah kepala Jinyoung dan semakin mendekatkan wajahnya. Lalu Mark melepas kacamata yang bertengger di hidung mancung Jinyoung dan tersenyum. Tepatnya senyum itu seperti seringaian kelaparan yang melihat mangsanya.

“A-a-aku....hmmph...” belum selesai dirinya menjawab, tiba-tiba Ia merasakan Mark mulai menyesap bibir tebalnya lembut. Jinyoung tidak bisa berbuat apa-apa di saat sebagian dirinya ingin menolak ciuman Mark yang tiba-tiba itu.

Ciuman singkat. Mengingat mereka berada di sekolah, Mark melepas ciumannya begitu Jinyoung hampir ingin membalas.

Mark menatap Jinyoung yang memasang wajah seolah mengatakan “kenapa?” seperti anak anjing yang baru dikasih makan lalu diambil kembali oleh pemiliknya. Meskipun Mark bisa melihat ada sedikit keterkejutan Jinyoung saat Ia tiba-tiba menciumnya.

Lalu lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah bibir Jinyoung yang memerah karena mungkin tadi Mark terlalu kuat menyesapnya. Mark tersenyum dan mengelus pipi Jinyoung.

Kemungkinan besar akan ada ciuman kedua. Dan benar. Mark kembali meraih bibir merah Jinyoung. Kini berbeda dengan yang pertama kali. Keduanya terlihat saling membalas, menyisakan bola basket dan juga mafin yang menyaksikan kedua insan itu.

Dan juga lelaki yang entah sejak kapan Ia berdiri memandang dari jendela kelas. Raut wajahnya memperlihatkan apa yang Ia rasakan saat itu.

Jaebum yang tadinya ingin menaruh sebuah video rekaman basket Mark di loker Jinyoung, kini ditaruhnya kembali di kantung celana seragamnya.

“Mungkin memang sudah seharusnya dari dulu aku mundur...” dan Jaebum pun pergi meninggalkan kelas dengan rasa penyesalan.

 

 

 

  • END    -

Markjin first fanfic I published here! Hope you guys enjoy it! 

 

 

 

Comments

You must be logged in to comment
hwaiting93 #1
KYAAAAAAAAAAA KENAPA END ? KENAPAAAA ?
HARUS ADA LANJUTANNYAAA
LAGI SERU-SERUNYA INIIIIIIII
Kasian jaebum, kalo beneran diputusin karna sibuk basket trus kenapa jinyoung suka sama mark yg pemain basket ? Ga adil buat jaebum T_T
Tapi tapi gamau markjin pisah juga hiks
Please lah sequelllll