Father

Father

Definisi kebahagiaan bagi Hakyeon sangat sederhana. Ia tidak butuh uang banyak, rumah yang mewah, ataupun kendaraan yang mahal. Baginya, kebahagiaan itu adalah ketika ia melihat putri kecilnya bahagia.

Tidak terhitung berapa kali ia mengucap syukur ketika ia mendengar tangis pertama dari gadis kecilnya yang baru lahir. Kakinya lemas dan tangannya gemetar. Ia begitu senang, sampai-sampai ia menangis. Dadanya terasa hangat ketika ia berkata di dalam hatinya “Aku sekarang adalah seorang ayah”.

Ia memberi nama putri kecilnya Cha Ahreum  dengan harapan putri kecilnya dapat menjadi wanita yang cantik. Hakyeon sudah menyiapkan nama itu sejak lama.

Keluarga Hakyeon memang bukan dari kalangan atas. Ia hanya memiliki rumah sederhana dengan teras rumah yang kecil. Ia tidak memiliki kendaraan yang mewah, melainkan hanya satu sepeda motor yang ia beli menggunakan tabungannya sejak kuliah. Hakyeon hanya pekerja kantor biasa,yang setiap harinya berangkat ketika matahari terbit dan pulang ketika langit sudah gelap. Gajinya tidak seberapa, namun cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya. Istrinya hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan. Walaupun penuh dengan kesederhanaan, rumah keluarga kecilnya selalu nampak bahagia.

Ketika Ahreum berumur enam tahun, ia mulai masuk sekolah. Ahreum merupakan anak yang supel sehingga ia mudah berteman dengan siapa saja. Ia selalu bercerita semua kejadian yang dialaminya di sekolah ke Hakyeon, seperti ia mendapat nilai tertinggi atau ia yang dapat menjawah pertanyaan guru. Itu membuat Hakyeon sangat senang. Ia sesekali mengusap kepala Ahreum dan kemudian menciumnya gemas.

“Anak ayah memang pintar. Ayah jadi bangga.” ucap Hakyeon dengan senyum khasnya. “Tentu saja. Ibu selalu mengajariku setiap malam.” jawab Ahreum yang membuat Hakyeon menunjukkan wajah cemburunya. “Oh jadi ibu saja? Ayah tidak?” Ahreum menggelengkan kepala sambil menahan tawanya. Ia kemudian melingkarkan tangannya di leher Hakyeon lalu mencium pipi sang ayah. “Ayah memang tidak pernah mengajariku pelajaran di sekolah karena sibuk. Tapi ayah selalu mendukungku untuk jadi yang terbaik. Iya kan? Ayah tidak boleh marah.” Perkataan Ahreum barusan membuat Hakyeon tersentuh. Mulai saat itu ia berjanji untuk tidak pernah memarahi putri kecilnya.

 

***

 

Waktu berlalu sangat cepat, sekarang Ahreum sudah menginjak usia tiga belas tahun. Ia tumbuh menjadi gadis yang cerdas. Peringkat pertama selalu diraihnya. Hakyeon sangat senang. Ia merasa berhasil menjadi seorang ayah. Namun, ketika Ahreum memasuki tahun keduanya di sekolah menengah pertama, ia menjadi sering marah. Ahreum selalu meminta barang-barang mahal yang sedang menjadi tren di sekolahnya. Itu membuat Hakyeon sedih.

Suatu hari Ahreum meminta sebuah jam tangan yang sedang tren di kalangan anak seusianya. Namun, Hakyeon tidak dapat membelikan jam tangan tersebut untuknya. Sebenarnya Hakyeon mampun untuk membelinya, hanya saja ia tidak ingin Ahreum menjadi anak yang manja. Ia ingin putri kecilnya dapat bersikap dewasa.

“Ayah mereka semua memakainya. Hanya aku yang tidak yang punya!” Ahreum teriak di depan wajah Hakyeon dan istrinya. Istrinya kemudian berkata, “Jam tangan itu tidak terlalu penting untuk sekolahmu. Apalagi harganya lumayan mahal. Lebih baik kau membeli barang yang memang dibutuhkan.”

Wajah Ahreum mengeras ketika mendengarnya. Matanya terasa perih dan tidak lama air mata keluar membasahi kedua pipinya. “Kalian memang jahat! Ayah dan Ibu tidak pernah merasakan seperti yang aku rasakan. Aku benci kalian! Aku menyesal lahir di keluarga ini,” ucap Ahreum sambil berlari ke kamarnya.

Hakyeon tersentak mendengar perkataan Ahreum. Dadanya sesak, seperti tidak ada udara yang masuk. Rahangnya mengeras menahan emosi. Dan matanya memerah karena menahan air mata yang siap tumpah. Hatinya begitu sakit ketika mendengar putri yang sangat ia sayangi berkata demikian.  Ia ingin marah pada putri kecilnya, tapi ia ingat akan janjinya. Ia tidak akan pernah marah pada Ahreum.

Besoknya, Hakyeon pulang dengan tubuh menggigil. Wajahnya pucat dan bibirnya berwarna kebiruan karena kedinginan. Di luar hujan deras dan angin kencang yang terus bertiup membuat Hakyeon menggigil. Ketika sampai di rumah, ia disambut dengan wajah khawatir istrinya. “Ya Tuhan. Mengapa memaksakan pulang? Harusnya kau menginap saja di kantor.” Hakyeon hanya tersenyum mendengarnya. Semalam Hakyeon demam, dan sekarang ia pulang di tengah cuaca yang seperti itu. Istrinya sangat khawatir.

“Ahreum di mana? Aku membelikan sepatu untuknya. Ini sebagai ganti jam tangan yang ia mau. Aku lihat juga sepatunya yang lama sudah usang.” Hakyeon menunjukkan kantung plastik putih di tangannya. Istrinya tersenyum melihatnya.

Hakyeon kemudian mandi dan berganti pakaian. Setelahnya, ia menghampiri Ahreum di kamarnya. Kamar Ahreum tidak terkunci karena Hakyeon melarangnya untuk mengunci kamar. Ia tidak ingin ada sesuatu yang disembunyikan dalam rumah ini.

“Ayah membelikan sepatu untukmu sebagai gantinya. Jangan marah lagi ya.” Hakyeon kemudian menaruh kotak sepatu itu di atas meja sebelah kasur. Ahreum masih tidak mau melihatnya. Anak perempuan itu masih menyibukkan diri dengan buku yang ia baca di meja belajar.

“Ahreum lihat ayah! Ayah tidak suka kamu marah seperti itu,” kata Hakyeon tegas. Perkataan itu membuat Ahreum langsung melihat Hakyeon dengan malas. “Yasudah. Taruh saja di situ,” balas Ahreum. Hakyeon kesal sekaligus melihat Ahreum yang seperti itu. Ia pun segera keluar dari kamar Ahreum.

Jam di meja belajarnya sudah menunjukkan pukul setengah satu malam, tetapi Ahreum tidak bisa tidur. Ia lalu bangkit dari kasurnya dan mengambil kotak sepatu di atas meja sebelah kasur. Ia membuka kotak tersebut dan segera melihat isinya. Matanya terbuka lebar ketika ia melihat sepatu yang diberi ayahnya. Itu adalah sepatu yang ia suka ketika dirinya lewat di depan toko sepatu. Harganya sangat mahal, lebih mahal daripada jam tangan yang diinginkannya. Ia tidak menyangka ayahnya akan memberikan sepatu ini untuknya. Padahal Ahreum tidak pernah memintanya.

Ia keluar kamar untuk mengambil minum. Tanpa sengaja matanya menangkap pintu kamar orang tuanya yang terbuka sedikit. Ia pun akhirnya mencoba mengintip dari sela-sela pintu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Hakyeon menggigil dengan wajah pucat dan bibir birunya. Ia ingin menangis melihatnya. Rasa sesal memenuhi rongga dadanya. Ayahnya sakit.

“Besok tidak usah bekerja, kita ke dokter ya.” Ahreum mendengarnya ibunya berkata demikian sambil memeluk tubuh ayahnya. Tetapi ayahnya tidak menjawah apapun. Ia menjadi sangat sedih dan khawatir.

Mulai detik itu Ahreum berjanji tidak akan membuat ayahnya marah lagi.

 

***

 

Ahreum tumbuh menjadi gadis yang cantik. Di usianya ke tujuh belas tahun, ia banyak menerima ajakan kencan dari teman laki-lakinya. Ahreum mulai sering pulang larut malam jika di hari libur. Itu membuat Hakyeon marah, ia tidak ingin putri kecilnya salah dalam pergaulan.

Hakyeon selalu menelepon Ahreum bila gadis itu belum pulang ke rumah. Ahreum tahu jika ayahnya menghubunginya, hanya saja ia pura-pura tidak tahu. Itu karena Ahreum tahu semalam apapun ia pulang ke rumah, ayahnya pasti akan menunggunya.

Pulang larut malam di hari libur mulai menjadi kebiasaan bagi Ahreum. Gadis itu kini lebih banyak berada di luar dibanding di rumah padahal Hakyeon ingin menghabiskan waktunya bersama putri kecilnya ketika ia libur kerja.

“Jangan pulang terlalu malam,” ucap Hakyeon ketika Ahreum ingin pamit.

“Siap, bos. Akan diusahakan,” balas Ahreum sambil membentuk sikap hormat dengan cengiran khasnya.

Hakyeon tahu Ahreum tidak benar-benar akan mengusahakannya. Ia yakin kalau Ahreum pasti akan pulang larut malam lagi. Tetapi, Hakyeon tidak bisa melarangnya keluar. Ahreum terlihat senang bersama teman-temannya.

Hakyeon selalu melarang Ahreum pulang larut malam, tetapi ia tidak pernah melarang Ahreum keluar rumah walaupun ia tahu kalau Ahreum akan pulang larut malam. Sebenarnya, ada rasa sedih di hati Hakyeon ketika melihat putri kecilnya kini lebih senang bersama teman-temannya dibanding dengan bersamanya. Tetapi Hakyeon tidak bisa menunjukkan rasa sedihnya itu sehingga Ahreum tidak pernah bisa mengerti.

 

***

 

Usia Hakyeon kini telah menginjak lima puluh tahun. Rambutnya mulai memutih dan tubuhnya mulai rentan terhadap penyakit, namun ia masih tetap bekerja. Sekarang, istrinya juga sudah bekerja di sebuah toko. Istrinya menyuruh Hakyeon berhenti bekerja karena tubuhnya yang mudah sakit. Namun, Hakyeon menolak.

Kini ia mudah lelah, sering mual, dan jika dilihat seksama, matanya nampak kekuningan. Itu membuat istrinya khawatir. Istrinya menyuruhnya untuk periksa kesehatan ke rumah sakit. Dan hasilnya adalah ia menderita kanker hati. Kanker hati merupakan penyakit serius. Istrinya sangat sedih ketika mendengarnya, ia tidak menyangka suami yang amat ia cintai harus menderita penyakit serius. Namun Hakyeon menenangkannya dengan berkata “Bukankah hal itu wajar? Namanya juga penyakit. Manusia manapun bisa terkena penyakit. Daripada terus meratapi, lebih baik kita berusaha dan berdoa agar Tuhan memberikan kesembuhan.”

Malamnya, Hakyeon dan istrinya memberi tahu Ahreum tentang penyakitnya. Gadis berusia 18 tahun itu hanya terdiam ketika mendengar ucapan ayahnya.

 “Ahreum, tadi ayah periksa ke dokter. Kata dokter ayah sakit kanker hati stadium tiga,” kata Hakyeon sambil melahap makanannya. Mereka sedang makan malam bersama di rumah.

“Ayah serius?” tanya Ahreum. Bola matanya menatap milik Hakyeon, seakan mencari kebenaran dari pancaran mata Hakyeon.

“Serius. Lalu kata dokter, ayah harus transplatasi hati kalau mau sembuh. Tapi biayanya mahal sekali, daripada buat operasi itu lebih baik uangnya ditabung untuk masa depan kamu. Benar kan?” Hati Ahreum sakit ketika mendengarnya. Namun ia tidak bisa menunjukan kesedihannya karena sejak masuk sekolah menengah atas Ahreum terkenal sebagai anak yang kuat dan dewasa.

“Tapi ayah akan tetap menjalani pengobatan biasa. Siapa tahu walaupun tidak operasi, tapi rutin minum obat sambil berdoa bisa sembuh. Kan tetap usaha. Usaha sambil berdoa.” Hakyeon tersenyum lebar ketika mengatakannya. Ia berharap Ahreum memiliki pikiran yang sama dengannya.

“Tentu saja. Ayah harus tetap berusaha. Di sini aku dan ibu akan mendoakan ayah. Tuhan pasti mendengarnya.” Ahreum tidak berani melihat Hakyeon. Ia hanya menunduk melihat makanannya. Kalau ia menatap Hakyeon, ia takut menangis.

“Doakan ayah ya.” Hakyeon tersenyum hingga memperlihatkan kerutan disudut kedua matanya. Ahreum hanya mengangguk sebagai jawabannya.

 

***

 

Keadaan Hakyeon memburuk padahal ia selalu mengikuti saran dokter. Istrinya menangis ketika mendengar kalau kanker Hakyeon sudah mencapai stadium akhir. Hakyeon selalu kontrol ke rumah sakit bersama istrinya dan inilah yang Hakyeon benci. Ia benci melihat orang-orang yang disayanginya sedih karena dirinya.

Sekarang Hakyeon hanya menghabiskan waktunya di dalam rumah. Bekerja sedikit saja akan membuatnya lelah bukan main. Istrinya harus pergi bekerja dan terpaksa meninggalkan Hakyeon sendirian di rumah sampai Ahreum pulang.

Ahreum kini sudah duduk di bangku universitas. Sehabis kuliah, ia akan langsung pulang untuk menemani Hakyeon du rumah. Rasanya ia tidak ingin jauh lama-lama dari sang ayah.

“Ayah mau es krim tidak?” Ahreum bertanya ketika ia baru saja tiba di rumah. Hakyeon yang sedang menonton televisi di ruang tengah langsung menoleh ke arah Ahreum.

“Memang ada? Mana es krimnya?” Hakyeon bertanya pada Ahreum karena ia tidak melihat gadis itu membawa apa-apa.

“Tentu saja ada. Aku ambil dulu.” Ahreum segera berlari kecil menuju lemari es di dapur. Tidak lama kemudian ia kembali dengan dua buah es krim di tangannya.

“Tadaaa. Ini untuk ayah. Panas-panas seperti ini enaknya makan es krim buah,” kata Ahreum sambil menyerahkan salah satu es krim di tangannya pada Hakyeon.

“Wah, enak nih. Tumben kamu perhatian sama ayah.” Hakyeon meledek Ahreum yang kemudian dibalas dengan wajah cemberut  Ahreum.

“Aku memang perhatian sama ayah kok!”

“Hahaha iya iya.”

Dada Ahreum terasa hangat saat itu juga. Ayahnya senang hanya karena es krim pemberiannya. Rasanya sudah lama ia tidak membuat ayahnya senang seperti itu. Ada rasa kepuasan yang sangat besar dalam dirinya. Ia sangat senang.

 

***

 

Sebanyak dua minggu sekali Hakyeon kontrol ke rumah sakit. Dan istrinya akan pulang dengan wajah sendu sehabis kontrol. Bukannya membaik, kondisi Hakyeon terus menurun. Ginjalnya kini mengalami kerusakan akibat banyak jenis obat yang dikonsumsinya. Hakyeon tidak menunjukkan kesedihannya sedikit pun. Ia hanya mengangguk dan menggenggam tanga istrinya lembut, mencoba meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

“Ya tuhan, kau selalu mengikuti saran dokter. Tapi mengapa semakin parah. Ya Tuhan.” Istrinya menangis diperjalanan pulang sementara Hakyeon hanya tersenyum lembut. “Ini ujian untuk kita. Tuhan sedang menguji kita. Kita tidak boleh menyerah. Dan kau harus tahu, keputusan Tuhan adalah yang terbaik,” ucapnya sambil menautkan tangannya dengan milik istrinya.

Sehari setelah ia kontrol, Hakyeon menceritakan semuanya pada Ahreum. Hari itu hari libur, Hakyeon sedang berbaring di kamarnya dengan Ahreum disebelahnya. Gadis itu sedang menggaruki telapak tangan Hakyeon yang gatal. Seluruh tubuh Hakyeon sekarang gatal-gatal akibat penyakitnya.

 “Ahreum, masa ayah bertanya pada dokter berapa lama umur ayah.” Ahreum menatap wajah Ayahnya yang tidak terlihat karena lampu kamar yang tidak dinyalakan dan tirai jendela yang hanya terbuka sedikit.

“Lalu apa kata dokter?”

“Masa kata dokter umur ayah tinggal tiga bulan lagi. Seram ya?” Hakyeon menoleh ke arah Ahreum sambil memasang mimik ketakutan.

Ahreum ikut memasang mimik ketakutan. “Ih seram juga ya, yah. Tapi itu kan kata dokter. Siapa yang tahu umur seseorang, kan hanya Tuhan yang tahu.” Ahreum mencoba terlihat tegar di depan ayahnya karena ayahnya tidak menunjukkan kesedihannya.

“Tentu saja. Ayah hanya ingin tahu saja menurut dokter berapa lama kira-kira hahaha.” Di saat seperti ini pun Hakyeon masih bisa tertawa.

Hakyeon tidak pernah menunjukkan rasa sakitnya sama sekali sampai Ahreum bertanya pada Hakyeon apa yang sakit. Ahreum sangat bangga dengan ayahnya. Ayahnya sangat kuat dan bahkan masih bisa bercanda sampai saat ini.

 

***

 

Suatu hari, Hakyeon merasa dadanya sesak dan sakit. Ia sampai tidak bisa menyembunyikannya. Istrinya sangat khawatir terlebih lagi mata Hakyeon yang terlihat sangat kuning. Ia segera membawa Hakyeon ke rumah sakit dengan bantuan tetangganya. Dan Mulai hari itu, Hakyeon dirawat di rumah sakit.

Setiap sehabis kuliah, Ahreum akan datang ke rumah sakit. Selelah apapun ia, gadis itu pasti menyempatkan dirinya untuk menemui ayahnya. Karena yang boleh menginap di rumah sakit hanya satu orang, jadi hanya ibunya saja yang menginap. Ahreum hanya akan ke rumah sakit sehabis pulang kuliah.

Pada suatu saat, Ahreum bercerita tentang kuliahnya yang terasa cepat. Ia bercerita dengan wajah sumringah. “Tidak terasa sedikit lagi aku lulus ya yah, satu tahun bukan ternyata bukan waktu yang lama.” Hakyeon mengangguk mendengarnya, kemudian ia menambahkan, “Iya, dan nanti ketika kamu wisuda, ayah dan ibu datang ke acara wisuda kamu. Itu akan jadi kebanggaan tersendiri untuk ayah.”

Ahreum menangguk mendengar perkataan ayahnya. Ia berdoa dalam hati semoga keinginan ayahnya bisa terwujud.

“Sebelum melihat kamu menikah, ayah ingin melihat kamu wisuda terlebih dahulu. Nanti setelah kamu wisuda lalu tidak lama menikah, wah lengkap sudah tugas ayah. Ayah ingin jadi wali kamu dipernikahanmu nanti. Doakan ayah ya, semoga ayah punya waktu lebih.”

“Tentu saja. Ayah harus datang di acara wisudaku dan ayah juga yang harus menjadi waliku saat aku menikah nanti.”

Beruntung Ahreum sedang memegang sebuah buku ditangannya. Ia bisa langsung menyibukkan diri dengan membaca buku tersebut. Ia bisa menyembunyikan wajahnya dari Hakyeon.

“Tapi, Ahreum. Kalau ayah meninggal nanti, jangan diiringi dengan tangisan ya, iringinya dengan doa agar ayah bisa tenang.”

Ahreum ingin menjawabnya, tetapi tenggorokannya sangat sakit. Sakit sekali sampai ia tidak bisa mengucapkan apapun. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di sana dan tidak bisa keluar.

Akhirnya beberapa detik kemudian, ia berhasil mengatakan sesuatu. Dengan sekuat tenaga ia menahan air matanya dan juga suaranya agar tidak goyang. “ Ya, tentu saja, yah. Pasti aku iringi dengan doa.” Gadis itu mencoba terlihat kuat.

Hakyeon tertawa kecil melihatnya. “Anak gadisku sudah dewasa,” ucap Hakyeon.

Ahreum tertawa sebentar lalu ke luar ruangan. Air matanya akhirnya tumpah bersamaan dengan tangannya yang menutup pintu. Ia menangis.

Dan tanpa Ahreum tahu, Hakyeon juga sedang menangis di dalam.

 

***

 

Beberapa hari setelah kejadian itu, kondisi Hakyeon turun drastis. Malam harinya, dadanya terasa sesak dan membuatnya tidak tidur sepanjang malam. Paginya, istrinya segera menghubungi Ahreum untuk cepat pulang setelah kuliah selesai dan mengatakan kalau Hakyeon mencarinya daritadi.

Ahreum pun segera pulang setelah kuliah selesai sesuai dengan permintaan ibunya. Ia khawatir dengan ayahnya. Apakah ayahnya baik-baik saja.

Sesampainya Ahreum di sana, ia dikejutkan dengan pemandangan di depannya. Hakyeon sedang menatap ke atas dengan tatapan kosong dan ibunya terlihat sedang membisikkan sesuatu di telinga ayahnya.

“Ayah kenapa, bu?” tanya Ahreum langsung pada intinya. “Ibu juga tidak tahu padahal tadi pagi ia masih mencari kamu. Sekarang ia seperti tidak sadar.” Mata ibunya merah dan bengkak, Ahreum tahu pasti ibunya habis menangis.

“Ayah, ini Ahreum. Katanya ayah mencari Ahreum ya, ini Ahreum sudah datang.” Ahreum mencoba menggenggam tangan Hakyeon yang tidak terpasang infus, tapi Hakyeon malah menepisnya. Ia tidak mau tangannya digenggam.

Ahreum mencoba menggenggamnya lagi, tapi Hakyeon berulang kali menepis tangannya. Bahkan Hakyeon sama sekali tidak menatapnya.

Sungguh, Ahreum ingin menangis rasanya. Hatinya sakit, ayahnya menolaknya. Ayahnya menolak tangannya digenggam oleh Ahreum. Sekarang Ahreum mengerti apa yang ayahnya rasakan dulu ketika Ahreum marah dan membentak Hakyeon di depan wajahnya. Ahreum menyesal. Perasaan bersalah bersarang di dadanya.

Ayahnya tidak pernah  membentaknya. Tidak pernah memarahinya. Dan selalu memperlakukan Ahreum seperti putri kecilnya walaupun Ahreum sudah berkepala dua.

Tiba-tiba mata Hakyeon menutup perlahan dan napasnya mulai melemah.  Ahreum tidak bodoh untuk menyadari kalau Hakyeon tidak akan bertahan lagi. Ia segera membungkuk di depan telinga Hakyeon dan membisikkan semua yang belum sempat ia sampaikan.

“Ayah kalau ayah ingin pergi, tidak apa-apa. Aku rela. Tidak apa-apa jika ayah tidak bisa datang ke acara wisudaku atau pernikahanku. Ayah bisa lihat dari sana nanti. Aku janji akan selalu membuat ayah bangga. Aku minta maaf ya, yah atas perbuatanku selama ini. Ayah jangan khawatir, aku juga sudah memaafkan segala kesalahan ayah. Dan jangan khawatir tentang ibu. Aku janji akan menjaganya dengan baik. Aku sayang padamu, yah. Sangat menyayangimu. Maaf karena aku tidak bisa berjanji untuk tidak menangis”  

Ibunya menangis melihatnya. Ia tidak bisa mengatakan apapun. Ia hanya terus menggenggam tangan Hakyeon yang semakin terasa dingin. Air matanya terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.

 

 

Akhirnya Hakyeon pergi dengan damai.

 

***

 

Pemakaman Hakyeon berlangsung dengan tenang. Keluarganya semua berdatangan. Tidak ada yang menangis terisak di sana, namun hanya meneteskan air mata sesuai dengan permintaan Hakyeon.

Setelah selesai, semua orang berpamitan untuk pulang. Hanya menyisakan Ahreum dan ibunya. “Ayah itu laki-laki yang kuat ya” Ahreum mengangguk menyetujui. “Ayah laki-laki yang hebat.” sambungnya.

“Iya. Aku sangat bangga padanya, bu.” Ahreum menatap foto ayahnya yang terpajang dengan air mata menggenang. Ia mencoba menahannya karena ia berjanji tidak menangis di hari pemakaman ayahnya.

Setelah beberapa saat terdiam memandang foto Hakyeon. Ahreum dan ibunya memutuskan untuk pulang. Mereka berdoa sesaat sebelum akhirnya berjalan meninggalkan tempat pemakaman.

 

 

Sambil memandang langit, Ahreum berkata dalam hati

“Selamat jalan, Ayah. Sampai jumpa di sana. Aku menyayangimu.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Tikakyu #1
Chapter 1: Hakyeon jadi ayah??
Woah ingin liat hakyeon umur 50 tahun...
P_frog10 #2
Chapter 1: yaaaaa cha hakyeonnnnnnn T^T
oohaninchan #3
Chapter 1: Ini sih aku banget :'(