Reptile Digital Monster (Another Version)

Description

Tittle: Reptile Digital Monster (Adult Version)
Published: Oct 22, 2015
Genre: mature, romance,
Characters: Park Jimin, Park Mina (Aku)
Lenght: ... words
*Another version of Reptile Digital Monster (Crime Version) nominated for fanfiction competition in ARMY Surabaya 21th Jimin Birthday Party

------

Rintik hujan masih membasahi bumi. 'Buk', aku menutup pintu mobilku sambil tergopoh membuka payung merah bermotif sakura. Payung kecil itu cukup untuk menaungi tubuhku yang juga kecil, mencegah jaket bludru merahku terciprat beberapa tetes gerimis, hanya beberapa tetes. Beberapa orang masih lalu lalang di sekitarku, meskipun gerimis, namun wajah mereka ceria. Siang yang mendung, seusai festival sekolah di Distrik Haeundae, Busan, aku harus menjemput adikku pulang dari festival sekolahnya. Bukan adikku sih sebenarnya, dia anak papaku dari wanitanya yang lain. Mereka menyuruhku menjemputnya, karena, well, mereka terlalu sibuk bekerja, orang tua. Aku belum pernah sekalipun bertemu dengannya, juga melihat fotonya, atau apapun, karena aku tidak terlalu peduli dengan sisi kehidupan papaku yang lain. Dia hanya bilang kalau dia seorang pria, bernama mirip wanita, Jimin, dan dia memakai kostum Agumon di festival sekolahnya, setidaknya itu saja yang dia Kakao padaku beberapa jam yang lalu.

Jadi aku harus mulai dari mana? Oke, tentu saja tidak sulit menemukan orang berkostum Agumon kan.. Kecuali.. Ini festival sekolah, banyak orang memakai kostum, dan.. Beberapa orang, bukan, Agumon, terlihat masih berkumpul dan bergerak seolah olah mereka menari. Apa itu, Agumon yang menari? Oh please.. Apa adikku juga salah satunya? Baik, tentu saja aku harus mulai mencari dari gerombolan ini, dan aku harus berhenti menyebutnya adikku, aku memang 6 tahun lebih tua darinya, tapi dia bukan adikku.

Sekumpulan Agumon itu menutup tariannya dengan formasi, lalu berapa orang mulai berpencar membubarkan diri. Saat kulihat mereka mulai meninggalkan tempat itu, aku berteriak, "Maaf, apa dari kalian ada yang bernama Jimin?! Eung.. Park.. Park Jimin..". Tidak ada yang menggubris, mungkin mereka tidak mendengarku. Lalu seorang-bukan, seekor- Agumon tiba-tiba menoleh dan berjingkat menujuku, membiarkan kaki-kaki kuning bercakarnya basah terkena genangan air di trotoar. Aku mundur saat dia semakin dekat, tidak lucu jika aku dijatuhi Agumon di atas ubin becek bukan? Dia seperti hendak memelukku, namun dia urungkan setelah menyadari aku menambahkan jarak antar tubuh kami. Agumon itu berdiri diam, aku pun mematung. Dia pandangi tubuhku dari atas ke bawah, aku memicingkan mata, berusaha menatap manik matanya di balik helm kepala Agumonnya.

"Hai", aku menepuk moncong kuningnya setelah manik matanya di dalam sana memberi eyesmile.

"Apa kau Park Jimin? Aku Park Mina", lanjutku.

Agumon itu menutupkan kedua cakarnya ke mukanya, lalu menggoyangkan badannya ke kanan dan ke kiri. Tampak lucu, tapi aku sedang tidak ingin berlama lama di sini. Kugandeng salah satu cakar peraknya yang panjang, dan menuntunnya ke mobilku. Dia menurut. Kami pasti sedang terlihat seperti gadis berpayung merah dan Agumon sekarang.

Kami sudah sampai di dekat mobilku, aku menyuruhnya melepas kostumnya dan meletakkannya di bagasi. Agumon itu menaruh cakarnya di moncongnya lagi, lalu menarik kepalanya dari tubuhnya, hingga terlihatlah kepala manusia di dalam sana. Aku terkesiap mundur, tanpa sadar menahan nafasku beberapa hembus, dan mungkin melewatkan satu detak jantungku juga. Park Jimin, dia tampan.

"Halo", ujarnya sambil eyesmile lalu memasukkan kepala Agumonnya ke bagasi.

Aku berusaha mengedipkan kembali kelopak mataku dan balik menyapanya, namun gagal. Setelah memasukkan seluruh kostum Agumonnya yang sedikit basah ke dalam bagasiku di kembali menuju ke arahku yang masih berdiri mematung.

"Mina, itu namamu kan? Ayo, aku siap", ujarnya, lagi-lagi sambil eyesmile. Dia hanya memakai celana pendek hijau army dan kaos putih berlambang bendera Inggris. Aku segera menyudahi lamunanku dan masuk ke dalam mobilku. Dia menyusul duduk di jok depan. Kusodorkan tisu padanya untuk membersihkan kaki telanjangnya yang basah. Aku bukan orang yang gila kebersihan, jadi tidak masalah bagiku dia menjejalkan kostum Agumonnya yang belumpur dan juga kakinya yang kotor ke dalam mobilku. Aku lebih alergi pada.. orang tampan, seperti dia.

"Kau pendiam ya, seperti Ayah", ucap Jimin sambil membersihkan kakinya. Tidak, aku tidak pendiam, setidaknya tidak sependiam ini. Kenapa orang tuaku tidak pernah menceritakan kalau adik tiriku sangat tampan. Pemikiran yang membuatku senyap.

"Aku tampan kan? Kau juga cantik, kita pasti mendapatkannya dari Ayah. Hahaha", oh dia becanda, dan diakhiri tawa renyah.

Brengsek. Apa aku baru saja merasa juga menyukai tawanya?

"Jadi, kita mau ke mana?", tanyanya lagi.

"Ke apartemenku. Jimin, apa kau tidak keberatan jika malam ini kau tidur di tempatku? Papa bilang dia ingin berbicara empat mata saja dengan ibumu di rumah kalian", jawabku lalu kunyalakan mobilku dan membawa kami pergi dari sana.

"Iya", jawabnya singkat dan diakhiri hela nafas yang berat. Mungkin dia masih segan akan keputusan ayahku untuk menceraikan ibunya dan memilih untuk kembali hidup dengan mamaku.

"Apa kau punya console PS4?", dia bertanya lagi.

"Jimin, aku tidak memakai uang Papa sepertimu. Aku kerja menjadi pramusaji di sebuah kedai jus. Apartemen ku hanya satu kamar", aku menjelaskannya di awal. Berharap dia tidak rewel akan hal itu.

"Oh ya?Jadi nanti aku tidur di mana?!", tanyanya lagi dengan sedikit terkejut.

"Kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di sofa. Ayolah, jangan manja, kau sudah kelas 2 SMA..", aku menjawab kegundahannya tanpa memandangnya.

"Kita tidur di kamarmu berdua ya.. Kumohon.. Aku suka parno sama tempat baru..", dia merengek. Aku diam.

'Saas saas' mobil kami menderu melintasi genangan air, 300 meter lagi kami akan sampai di gedung apartemenku.

Jimin segera menghempaskan tubuhnya ke sofa kucelku sesaat setelah kami tiba di apartemenku. Alih alih membantuku membasuh kostum Agumonnya, dia hanya duduk di sana, sesekali menyapa ikan-ikan peliharaanku di dalam akuarium kaca kecil berbentuk bola. Kuletakkan kostum Agumonnya yang telah kubersihkan di balkon, membiarkan matahari sore yang hangat mengeringkannya perlahan. Aku tidak tau ini kebetulan atau bagaimana, tapi aku suka Agumon. Warna tubuhnya yang kuning membuatku ingat akan bunga matahari, bunga kesukaanku. Dulu saat aku masih kecil, aku sering menemani ibuku berkebun menanam bunga matahari di pekarangan belakang rumah kami, rumah ayah Jimin juga.

"Apa kau suka Agumon? Kau senyum senyum sendiri saat mengelapnya", tanya Jimin membuyarkan lamunanku.

"Eh? Ah, tidak. Aku tidak suka menonton anime", jawabku.

Jimin berdiri, mengamati dekorasi ruang tamuku yang sempit. Perhatiannya terhenti pada foto keluarga yang kupajang di buffet. Di sana ada ayahnya, ibuku, aku kecil, dan ibunya, yang sedang mengandung Jimin. Aku menghampirinya, lalu menunjuk perut ibunya, dan tersenyum padanya, "Lihat Jimin, itu kamu, di dalam sana". Jimin diam, menunduk, menatap lekat foto itu.

"Jadi kita sudah saling kenal sejak kita masih kecil..Pantas saja aku merasa kita sudah sangat dekat", ujarnya.

"21 tahun yang lalu kan.. Jimin, besok kau berulang tahun", ucapku lirih. Dia lalu bertanya, " Bagaimana kau bisa ingat?!".

"Aku tidak akan pernah lupa. Tahun di mana aku mulai kehilangan Papa. Aku terus menghitungnya. Hanya 6 tahun Papa bersamaku, lalu kalian merenggutnya dari kami", aku tidak bermaksud menyinggungnya, tapi memang itulah yang terjadi. Jimin mengembalikan foto itu ke tempat semula, lalu berjalan ke arah balkon. Sinar matahari yang jatuh ke tubuhnya membuat rambutnya tampak kemerahan. Kakinya menyisakan noda lumpur samar di ubin apartemenku.

"Menurutmu kenapa Ayah memilih kembali pada ibumu? Lagipula dia sudah tinggal di Amerika sekarang", tanyanya menatap kosong pada gedung gedung di seberang apartemenku.

Mungkin Papa sadar bahwa cinta sejatinya adalah ibuku, namun aku hanya diam, memilih untuk menyimpan dugaanku dalam benakku sendiri. Aku masuk ke dalam kamarku, menggelar matras di samping ranjangku. Aku hanya punya satu penghangat ruangan, hanya di kamar ini. Aku tidak akan membiarkan Jimin tidur di luar saat cuaca dingin seperti ini. Jimin menyusulku, tanpa basa basi dia rebahkan tubuhnya di atas matras yang baru saja kugelar.

"Huh.. Baru kali ini aku ulang tahun tanpa siapa siapa. Tahun lalu kami pergi ke Hongkong bersama sama untuk merayakannya", Jimin menceritakan kisah ulang tahun versi fuerdainya dengan sedikit merengek.

Aku diam, malas menanggapi, atau lebih tepatnya malas juga mengamati tubuh seksinya yang berguling di atas matras. Tidak banyak pria yang dekat denganku, jadi berbagi atap dengan seorang pria, rasanya sedikit kikuk. Aku berdiri hendak melangkah pergi saat tiba-tiba digenggamnya pergelangan kaki kiriku.

'Bruk! Aduh!', tanpa bisa mencegah tubuhku limbung, aku terjatuh tengkurap dengan dagu membentur lantai.

"Ah! Mina! Maaf, kukira kau tidak akan jatuh", Jimin segera menolongku yang kesakitan akan ulah jahilnya.

Aku mendorong balik tubuhnya hingga ia tersungkur ke matras, "Kau ini apa apaan sih?! Dasar anak manja! Masih untung aku mau menampungmu di sini! Menjemputmu! Mencucikan kostummu! Menemanimu saat kau ulang tahun! Kau sudah mengambil separuh hidupku! Jangankan terima kasih, manggil noona aja ngga!", aku melepaskan seluruh emosiku sebelum akhirnya kami bertatapan dalam hening. Kikuk.

"Noona..mian..", Jimin mendekat padaku, begitu dekat hingga ujung hidungnya hanya berjarak 10 milimeter dari ujung hidungku. Tapi itu tidak membuatku berhenti terdiam, jantung dalam tubuhku mengalami gangguan berdetak karena itu, kadang terlalu kencang, kadang terlewat beberapa detakan. Aku canggung dan gugup. Jimin terlihat tampan dari dekat. Fokus mata ku lalu beralih pada bibir penuh Jimin yang juga sangat dekat dari bibirku. Bibir yang nyaris sama dengan milikku. Tanpa kuduga, tanganku spontan memegang pipi Jimin, membuat iris kami bertemu pada titik yang sama. Aku terkesiap, lalu berusaha mencairkan suasana yang penuh rasa canggung itu.

"Jim.. Jimin.. Kau.. Berjerawat?", dibelai pipi Jimin yang sedang dihadiri sebuah jerawat kecil. Aku pikir itu justru membuat Jimin tampak semakin menggemaskan.

"Uh? Oh? Ini? ah iya..mungkin aku kurang bersih mencuci mukaku", Jimin mundur sembari tersipu.

"Jimin, tunggu di sini, aku punya sesuatu untukmu", Aku beranjak, lalu kembali dengan sebuah piring pipih yang di atasnya terdapat puding berbentuk kepala kucing berwarna biru.

"Tadaa.. Selamat ulang tahun Jiminie..", ucapku.

"Woa!", Jimin girang, mencomot beberapa chocochip yang ditaburi di atas lelehan fla di tepian puding itu.

"Tapi ini masih sore.. Ulang tahunku masih besok.. Lagipula.. Biru? Rasa apa ini? Mana ada kucing warna biru..?", Jimin mengeluh lucu sambil memotong motong puding itu menjadi beberapa bagian.

"Aku tidak yakin nanti malam aku akan sempat memberimu kejutan. Pudingnya rasa anggur.. Aku memberinya warna biru karena kata Papa kau suka warna biru..", Aku menjelaskan. Jimin mengecup dahiku lalu memakan puding itu bersamaku.

(Author & reader POV) Malam semakin dingin, Mina meringkuk dalam selimutnya. Setengah pikirannya sudah masuk ke alam bawar sadar, namun dia masih bisa merasakan bahwa pemanas ruangan di kamarnya tidak begitu berpengaruh pada cuaca dingin malam itu.

Tiba tiba Mina merasakan ada yang menyelinap ke dalam selimutnya. Terasa semakin hangat, membuat Mina sedikit galau dan ketakutan berpikir makhluk apakah itu. Mina lalu bangun dan berteriak keras keras. Mina singkirkan selimutnya dan tampaklah makhluk yang membuat atmosfer dalam selimut Mina semakin hangat. Park Jimin, Mina baru ingat bahwa adik tirinya itu sedang tinggal bersamanya malam ini. Jimin menggosok matanya, memandangi Mina, lalu meringkuk kembali dalam selimut Mina. Mina lalu memilih menyerah pada rasa kantuk dan menghindari perdebatan yang semakin panjang, dijejalkannya kembali tubuhnya ke dalam pelukan selimut itu. Berbagi ranjang dan selimut yang hangat dengan Jimin bukan hal yang sulit, pikir Mina, awalnya. Namun ketika terus menerus hembusan nafas Jimin berlarian di tengkuknya, pemikiran itu runtuh. Mina gelisah. Lalu berbalik, berharap dia bisa lari dari gangguan syahdu nafas itu. Namun kini justru wajahnya berhadapan dengan wajah polos Jimin saat tidur. Mina menjelajahi kontur wajah yang tidak jauh berbeda dengan miliknya itu menggunakan indra penglihatannya. Kini bisa dia rasakan nafas Jimin dan nafasnya saling beradu di antara wajah mereka.

Jimin membuka matanya, didapatinya wajah kakak tirinya tepat di depannya, "Noona..apa aku mengganggu tidurmu? Di bawah dingin sekali..".

Mina hanya diam, tidak tertarik untuk menyahut ataupun menghentikan aksi mengagumi wajah itu. Jimin bingung atas sikap diam Mina, mungkin Mina marah, jadi Jimin meringsut mundur dengan maksud hendak kembali ke peraduannya semula. Namun tangan Mina segera mencegahnya. Diremasnya kaos putih Jimin sehingga Jimin mendekat kembali ke tempatnya semula. Tanpa berkata apapun, keduanya kembali berpandangan dalam diam. Jimin mengantuk, dia ingin menyerah, berhenti bosan, tidur, atau melakukan hal lainnya.

Jimin mendekatkan wajahnya pada Mina, Mina terpejam saat Jimin menempelkan bibirnya pada bibir Mina. Tidak ada perlawanan, tapi juga tidak ada tindakan selanjutnya. Jimin hanya berhenti di sana, bibirnya, namun tidak dengan p* nya yang mulai menegang. Jimin tidak tahu ini rasa suka atau hanya nafsu. Tapi Mina kakaknya, bukan gadis jelek, juga bukan tidak y. Dari awal dia melihat Mina sebenarnya Jimin sudah merasa nyaman bersamanya.

Jimin mencoba melesakkan bibirnya lebih dalam. Tidak ada balasan, dari Mina, gadis itu tetap terpejam. Jimin lalu menyusupkan lidahnya juga. Barulah dia mendapat respon, Mina juga menyambut permainan lidahnya dalam mulut mereka yang kini sudah menyatu. Lenguhan tipis Mina di antara ciuman basah mereka membuat Jimin semakin terangsang. Ditindihnya tubuh Mina sambil terus menciumi bibirnya. Mina sepertinya sama sekali tidak masalah dengan itu.

Ciuman Jimin beralih ke luar mulut Mina. Merambat ke dagu, leher, lalu area dada di mana telah lebih dulu dibukanya piyama Mina. Jimin jadi tahu bahwa Mina tidur tanpa bra. Disambutnya puting Mina yang telah berdiri keras dan kenyal, diadunya dengan bibirnya yang juga kenyal, dan geliginya yang mampu membuat Mina mendesis kegelian.

Ciuman Jimin terus turun, ke perut Mina yang langsing tanpa lemak. Jimin jadi tau bahwa Mina memiliki piercing kucing di pusarnya. Dibasahi area perut Mina dengan salivanya sebelum lidahnya yang panjang dan tebal melanjutkan penjelajahannya atas tubuh Mina.

Mina meremas rambut Jimin saat kepala itu sudah berada di sela selangkangannya. Barulah kini mata mereka beradu. Jimin yang seolah meminta ijin sambil menggoda, sedangkan mata Mina seakan menggambarkan bahwa dia memohon Jimin untuk menghentikan permainan mereka. Tentu saja Jimin yang menang, karena memang Mina tidak memberikan perlawanan apa apa.

Mina mengerang saat Jimin melumat v* nya. Kepalanya mendongak terpejam sementara tangannya semakin erat meremas rambut Jimin. Mina bagai melayang saat dia rasakan Jimin mengemut cl*t nya. Lidah Jimin menjelajah v* nya dengan amat lihai. Membuat seluruh tubuhnya basah. Jimin menggunakan jarinya untuk membantu membuka v* yang kini ada tepat di depan mukanya itu. Disodokkan lidahnya ke dalam v* Mina keluar masuk. Mina merilis banyak erangan menikmati yang diberikan Jimin. Dia tidak peduli lagi kepala siapa yang kini ada di selangkannya itu. Dia hanya ingin Jimin didekapnya dengan v* nya yang sudah basah kuyup. Ditariknya kepala Jimin menjauh dari sana, dengan matanya yang sayu dan intonasi manja, dia merajuk "Jimin..masukkan sekarang..".

Jimin girang dalam hatinya sendiri, dia berhasil. Dilucutinya pakaiannya, lalu memasukkan p* nya ke v* seperti yang Mina minta. Tidak butuh waktu dan usaha yang banyak, karena permainan lidah Jimin sudah melakukan penetrasi yang baik pada v* Mina. V* itu melumat p* Jimin erat erat. Jimin terperangah atas sensasinya. Belum pernah dia merasakan genggaman v* di p* nya selegit yang Mina lakukan. Tidak banyak wanita yang Jimin tiduri karena Jimin bukan tipe pria yang melakukan free sx. Tapi dari sedikit v* yang pernah dia rasakan, milik Mina lah yang dirasanya paling istimewa. Hangat, menggigit, cukup lembab, tapi tetap kesat. Jimin semakin bersemangat. Adrenalinnya semakin terpicu efek atmosfer v* Mina yang seakan menghipnotis p* nya. Jimin permainkan *p nya yang besar penuh maksimal ke luar masuk, ke samping kanan dan kiri, ke atas, ke bawah, ke seluruh penjuru v* Mina. Kuku jemari Mina yang dihiasi cat bening mencakari punggung Jimin yang dipeluknya. Jimin merasa perih karena nya, namun itu justru membuatnya semakin terangsang melakukan persetubuhan yang hebat dengan Mina. Mereka tidak lagi peduli bahwa mereka berasal dari sp*rm yang sama, yang mereka ingin adalah terus menikmati gesekan antar kulit di dalam kelamin mereka hingga mencapai kenikmatan di puncaknya.

Dua puluh menit berlalu dan tak sedetikpun *p Jimin lari dari v* Mina. Benda itu seperti menemukan separuh hidupnya. Begitupula v* Mina yang terus berkedut mencengkramnya dalam dalam. Dorongan demi dorongan Jimin lakukan, tanpa melewatkan leher jenjang Mina dari lidahnya dan dada Mina yang mengeras pun diremas lembut oleh tangan tangan kekarnya. Pada menit ke 25 Mina melengkungkan tubuhnya ke atas. nya merilis cairan pertanda pencapaian persetubuhannya. Tapi belum sempat cairan itu keluar dari liangnya, cairan Jimin memblokadenya, memenuhi lorong lorongnya yang telah memanas dan saling berebut menuju sang ibu.

Jimin mendesah, dicapainya kenikmatan yang sama tidak lama setelah Mina. Tubuhnya mengejang, begitupun tubuh Mina. Mina bisa merasakan p* Jimin berkedut di dalam v* nya, dan untuk masa masa akhir yang sempurna, dia pererat pelukannya.

Tubuh Jimin jatuh di atas tubuh telanjang Mina. Nafasnya kini kembali berlarian di tengkuk Mina. Namun kali ini Mina menyukainya, tidak ada lagi gelisah karenanya. Dirabanya tengkuk hingga rambut atas Jimin. Lalu dikecupnya pipi Jimin. "Selamat ulang tahun, Jimin..", bisiknya. Jimin menoleh dan memandangnya. "Dan Jimin kecil kita nanti..", sahut Jimin dengan eyesmile yang sangat manis.

Foreword

Mina singkirkan selimutnya dan tampaklah makhluk yang membuat atmosfer dalam selimut Mina semakin hangat, Park Jimin.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet