Final

Nutellove

Aku terbangun saat sinar tipis matahari bahkan belum bisa menembus sela-sela benang tirai jendelaku. Aku melirik malas jam digital yang terletak di meja kecil samping ranjangku.

 

04:57 | FRI JUN 19

 

Aku bangun 4 jam lebih awal Jum’at ini, shift kerjaku dimulai pukul 11 siang nanti. Dengan mata yang masih tak sepenuhnya sudi terbuka, aku menyingkirkan selimut yang menindih tubuhku semalaman dan bergerak menuju dapur. Dalam hidupku, sudah menjadi peraturan tak tertulis bahwa dapur harus menjadi tempat pertama untuk memulai hari.

 

Aku bukan tipe orang yang bersahabat dengan bangun pagi, namun aku juga bukan orang yang bisa kembali menjatuhkan bokongku ke tempat tidur hanya karena bangun terlalu awal. Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?

 

Sarapan tentu saja. Waktu paling indah dalam 24 jam yang Tuhan berikan untukku.

 

Aku mengambil dua lembar roti dan memasukkannya ke pemanggang. Sembari menunggu aku meraih sebuah cangkir dan menuangkan beberapa sendok bubuk susu coklat. Tertawalah, tapi aku memang lebih menyukai susu coklat dari pada kopi untuk pagiku. Lagipula kelihatannya lebih sehat.

 

Roti sudah siap, aku mengambilnya dari pemanggang dengan tangan telanjang, meletakkannya di piring kemudian meletakkan piring itu di atas meja di  samping susu coklat yang kubuat.

 

Aku berjalan ke arah lemari pendingin. Membukanya dan mencari botol berisi benda paling ajaib di dunia.

 

Nutella.

 

Aku menari kecil mengikuti lagu yang kunyanyikan di dalam pikiranku saat kembali ke meja makan bersama dengan botol Nutella di tanganku.

 

Tanganku berputar melonggarkan tutup Nutella dari botolnya, kumasukkan pisau roti ke dalam botolnya dan siap mengoleskan isinya ke roti panggangku. Namun saat aku mengangkat kembali pisau rotiku, tak ada apapun yang menempel disana. Kemana perginya selai ajaibku?! Aku melongokkan kepalaku ke dalam botol. Habis! Nutellaku habis!

 

Tidak! Ini lebih buruk daripada mendapatkan berita pemberitahuan bahwa gajiku akan terlambat masuk rekeningku. Sungguh! Dalam kamus hidupku, matahari tidak akan terbit sebelum aku menikmati roti oles Nutellaku.

 

Fakta menyebalkan, tapi aku harus mendapatkan Nutellaku. Baiklah, sepertinya aku harus keluar mencari minimarket 24 jam di sekitar sini. Masih dengan piyama yang aku pakai, aku meraih kunci mobilku dan bergegas keluar apartemen.

 

Gila! Siapa lagi orang waras yang keluar pada pukul 5 pagi di musim gugur selain seorang gadis yang terobsesi dengan Nutella?!

 

Jalanku menuju tempat parkir tak begitu mulus. Angin musim gugur Korea---pada pukul 5 pagi---menggodaku untuk segera kembali membenamkan diri di bawah selimut hangatku. Matahari yang belum terbit semakin menjadi rintangan menuju Nutellaku.

 

Aku masuk ke dalam mobilku, menyalakan mesinnya kemudian menggerakkannya keluar area apartemen. Jalanan masih sepi, hanya terlihat beberapa orang yang dengan tidak beruntungnya harus memulai pekerjaan mereka pada pagi buta seperti ini.

 

***

 

Aku memarkirkan mobilku di salah satu minimarket 24 jam yang kutahu jaraknya paling dekat dengan apartemenku. Selain mobilku, disana hanya ada sebuah sepeda motor terparkir, mungkin milik salah satu pekerjanya.

 

Kakiku melangkah masuk dan secara otomatis berbelok menuju rak-rak selai. Dan akhirnya, itu dia sumber kebahagiaanku. Kepalaku penuh dengan botol Nutella di hadapanku sehingga aku tak menyadari sekelilingku.

 

Tanganku meraih tubuh botol itu, sebelum sempat mengangkatnya sebuah tangan lain terlihat menindih tutup botolnya. Reflek kepalaku berputar ke arah pemilik tangan itu, melemparkan tatapan tajamku ke matanya. Seorang lelaki.

 

“Aku melihatnya duluan,” kataku dengan wajah serius, dan ya, aku memang serius.

 

“Sepertinya ini botol terakhir,” timpanya.

 

“Bisa kulihat itu.”

 

“Aku ambil ini,” katanya dengan wajah datar.

 

Aku memperhatikannya dengan mata memicing. Sepertinya ia juga baru bangun tidur, rambut pirangnya, uh tidak, itu pink, atau ungu, ah bukan tapi cyan---uhh mungkin aku masih separuh sadar sehingga tak dapat memutuskan warna rambutnya. Baiklah, kembali lagi, rambutnya masih berantakan, ujungnya menjulur ke seluruh arah. Oh ya, aku tidak bisa menghindari fakta bahwa anak ini tampan. Namun jangan berpikir ketampanan itu bisa membuatku melepaskan Nutellaku.

 

“Oh ayolah, aku tidak berkendara sejauh 2 blok hanya untuk berbaik hati menyerahkan sebotol Nutella terakhir untuk orang asing,” aku memutar mata malas.

 

“Oh benarkah?” sahutnya, “tapi aku pun benar-benar yakin tidak berjalan sejauh 2 blok hanya untuk melihat Nutellaku menghilang bersama orang lain.”

 

“Tuan. Nutella ini. Milikku,” tegasku penuh penekanan.

 

“Kau bilang kau berkendara, kan? Kenapa tidak mencari minimarket lain?” tukasnya enteng, “aku berjalan kaki kesini, setidaknya kau harus lebih pengertian.”

 

“Maaf, tapi aku bukan Bunda Teresa,” balasku dingin. Apa katanya? Mencari minimarket lain? Huh, ia sinting jika berpikir aku akan mengabulkan permohonannya.

 

“Oh ayolah, kumohon.” Wajah yang awalnya terkesan kaku dan tanpa ekspresi itu berubah 180 derajat. Bibirnya mengerucut dan matanya memelas memohon padaku. Aku menatapnya bingung. Bagaimana bisa orang ini berekspresi seperti itu terhadap orang asing?

 

“Tidak,” singkatku sebelum mengayunkan kakiku ke arah kasir.

 

“Tunggu,” suaranya kembali terdengar, aku menghentikan langkahku dan memutar kepalaku, mencoba melihatnya dari balik bahuku. “Bagaimana jika kita membaginya?”

 

Aku menatap sosoknya yang tengah menggeliat kecil menunggu responku dengan tatapan bingung. Rasanya ingin aku menarik pernyataanku soal betapa tampannya anak ini, maksudku, kini dia terlihat begitu manis, aku bahkan mengasumsikan tinggi badannya yang sungguh menjulang itu tak menggambarkan usianya. Dia terlihat sangat manis.

 

Poin plus lainnya adalah, ia juga penggila Nutella.

 

“Baiklah, bocah. Siapa namamu?” aku melihat matanya melebar saat mendengar pertanyaanku.

 

“Bocah? Uhh... aku meyakini asumsi bahwa kau lebih muda dariku,” ia terkikik, aku mengangkat sebelah alisku ke arahnya, tanda meragukan ucapannya.

 

“Kau belum menjawab pertanyaanku. Jawablah, kau mau Nutella ini atau tidak?” aku mengangkat botol Nutella di tanganku dan menggoncangkannya perlahan tepat di hadapan wajah orang itu.

 

“Oh Sehun,” jawabnya sambil mengangguk cepat.

 

“Okay, Sehun... tapi kau juga harus membayar separuhnya,” aku tersenyum ke arahnya.

 

“Okay deal.”

 

Aku terkekeh kecil melihat ekspresi dan tingkahnya. Sungguh, aku semakin meragukan jika Oh Sehun ini lebih tua dariku.

 

“Jadi, siapa namamu?” Sehun balik bertanya.

 

“Hyejin. Kim Hyejin.”

 

***

 

“Bagaimana cara kita membaginya?” tanyaku setelah kami selesai membayar sebotol Nutella.

 

“Aku tahu,” ia kembali tersenyum padaku.

 

Tiba-tiba ia menarik tanganku, memaksaku melangkah mengikuti arah tujuannya. Dalam beberapa langkah aku akhirnya dapat menyesuaikan langkahku. Kami jalan berdampingan, dengan tangan saling bertautan.

 

Sehun memperlambat langkahnya dan mengubah sedikit arah ke salah satu pintu kafe yang hanya dibatasi oleh jarak 6 bangunan dari minimarket tadi. Ia mengambil posisi meja di samping jendela yang juga disediakan di luar kafe. Seorang pelayan mendekati kami.

 

“Tolong dua kopi dan dua porsi roti panggang polos,” ucapnya kepada pelayan tadi. Pelayan tadi mengangguk singkat ke arah Sehun dan tersenyum lebar ke arahku, membuat Sehun mendengus pelan.

 

“Kau bahkan tidak menayakan apa yang ingin kupesan,” protesku setelah pelayan berlalu.

 

“Ayolah, kita butuh teman untuk Nutella kita dan roti panggang pastinya menjadi pilihan yang sempurna. Dan siapa yang tidak menikmati kopi di pagi hari?” jelas Sehun percaya diri dengan teorinya.

 

“Well, aku lebih menikmati coklat panas.”

 

“Uh, benarkah?” air muka Sehun menampakkan sedikit rasa bersalah. “Jadi aku salah pesan? Kau mau coklat panas? Akan kupesankan lagi,” kata-katanya keluar dengan cepat.

 

Aku terkekeh melihatnya begitu overacting, “tidak perlu, secangkir kopi juga tak akan membunuhku.”

 

Kami membicarakan banyak hal mendasar bagi dua orang yang baru bertemu selagi menanti pesanan kami datang.

 

“Jadi, Sehun?”

 

“Huh?” responya singkat.

 

“Bagaimana bisa kau berakhir di minimarket pukul 5 pagi?”

 

“Bagaimana dengamu?” ia melempar balik pertanyaanku sambil menjilat kecil bibir bawahnya.

 

“Aku bertanya duluan.”

 

Sehun mendesah pelan sambil merubuhkan punggungnya ke badan kursi, “Baiklah, aku terbangun dan menyadari aku kehabisan Nutellaku. Jadi kuputuskan untuk keluar membelinya.” Ia melemparkan senyum lebar.

 

“Ohh, cerita kita sama kalau begitu,” timpalku di sela-sela tawa menyadari keadaan kami yang memiliki kesamaan nasib pagi ini.

 

Pelayan yang sama kembali dengan nampan berisi pesanan Sehun. Ia mengirimkan kedipan mata kanannya saat menurunkan cangkir kopi di hadapanku setelah menurunkan milik Sehun tanpa memberinya senyuman sedikitpun.

 

“Permisi,” suara Sehun membuat palayan itu berbalik ke arahnya, “aku akan sangat berterima kasih jika kau berhenti menggoda pacarku.”

Pelayan tadi hanya memberi wajah datar atas pernyataan semena-mena Sehun. Ia dengan cepat kembali ke dalam kafe.

 

“Aku bukan pacarmu, Oh Sehun,” kataku.

 

“Mungkin saja suatu hari nanti kau akan menjadi pacarku,” godanya dengan senyum lebar.

 

Demi Tuhan. Aku tahu bocah ini hanya menggodaku, tapi kenapa rasanya wajahku panas seperti ini?! Aku bersyukur ia sedikit menghiraukanku saat berusaha membuka botol baru Nutella yang tadi kami beli. Aku bisa tenggelam dalam rasa malu jika terlihat semerah ini di hadapannya.

 

Setelah berhasil membuka tutupnya, ia mulai mengoleskan Nutella itu di rotiku sebelum beralih ke rotinya sendiri. Aku terpesona dengan sikapnya yang mendahulukan wanita seperti ini.

 

“Selamat sarapan,” ucapnya saat mengangkat roti berlumur Nutellanya sendiri.

 

Aku hanya menelitinya beberapa detik sebelum akhirnya mengikuti gerakannya menggigit roti Nutella kami.

 

“Harusnya aku mengambil tempat di dalam kafe,” katanya tiba-tiba ditengah kunyahan kami.

 

“Apa?”

 

“Kau hanya memakai piyama, angin musim gugur ini pasti mengganggumu, di dalam pasti lebih hangat,” jelasnya.

 

Kuakui dia memang benar, aku agak kedinginan disini, dengan piyama tipisku. Tapi entahlah, aku juga tak terlalu mempedulikannya. “Tidak apa-apa,” sahutku singkat.

 

“Maaf aku tidak bisa memberikan hoodie-ku, karena aku sendiri tidak memakai apapun di balik ini,” senyumnya kecil saat menunjukkan jaket yang ia kenakan.

 

“Aku bilang tidak apa-apa, hari ini tidak begitu dingin juga.” Aku berbohong, hari ini dingin, tapi itu memang bukan salahnya.

 

Sehun mengangguk kecil dan kembali menggigit rotinya. Lagi-lagi lidahnya menjulur pendek untuk menjilat bibir bawahnya. Aku baru menyadari bahwa hal itu merupakan kebiasaannya.

 

***

 

Kami berbincang, tertawa, kembali berbincang, tertawa lagi dan berbincang lagi. Bertemu dengan Oh Sehun seperti bertemu dengan teman lama. Kami tak pernah kehabisan bahan obrolan, meskipun obrolan yang kami angkat bukanlah obrolan penting. Orang-orang berlalu lalang di jalanan depan kafe. Cukup lama kami disana, kami bahkan memesan menu tambahan.

 

Aku melirik layar ponselku dan baru menyadari matahari yang semula belum terbit kini sudah dalam perjalanannya menuju waktu yang kita sebut siang. Hampir 4 jam kami bercakap-cakap di sini.

 

“Uhh, Sehun... aku harus bekerja pukul 11 nanti,” ucapku pelan. Sungguh, berat rasanya mengatakan hal tadi. Aku benar-benar menyukai bocah Oh Sehun ini, ia benar-benar tahu caranya membunuh kata ‘kesepian’.

 

“Benarkah? Sepertinya kita memang harus pulang sekarang,” jawabnya.

 

Kami kembali ke area minimarket dimana mobilku terparkir.

 

“Jadi, kau tinggal dimana?” tanyaku saat kami berdiri tepat di samping mobilku.

 

“Apartemen Haegi.”

 

“Benarkah? Kau tidak bercanda, kan? Aku tinggal di apartemen Uljiro,” seruku dengan mata melebar.

 

“Maksudmu apartemen di seberang jalan itu?” matanya juga melebar saat aku mengagguk menyiyakan. “Owah, kebetulan yang mengerikan.”

 

“Kalau begitu, masuklah ke mobil. Aku antar kau,” aku membuka pintu kemudi dan Sehun memutar ke pintu penumpang.

 

***

 

“Terima kasih,” ucap Sehun setelah mobil berhenti di area parkir apartemenku, “yah, meskipun aku masih harus menyebrang,” godanya.

 

“Oh ayolah, setidaknya kau tidak perlu berjalan sejauh 2 blok lagi.”

 

Sehun hanya mengangguk kemudian mulai melepas sabuk yang mengikat tubuhnya. Selesai urusannya dengan sabuk pengaman, ia maraih pintu untuk membukanya, namun sebelum menar-menar membukanya, Sehun berbalik ke arahku.

 

“Apa malam ini kau bebas? Uhh, maksudku... kau mau keluar?” tanyanya ragu.

 

“Ya, tentu saja, pekerjaanku selesai pukul 5 sore,” jawabku dengan ekspresi datar.

 

“Ah baguslah. Uh, aku akan menjemputmu pukul 7, oke?”

 

Aku hanya mengangguk dan sehun segera keluar dari mobilku. Sebelum aku sempat melepas sabuk pengaman yang aku kenakan, pintu penumpang kembali terbuka, Sehun membungkukkan badannya sehingga dapat melihatku.

 

“Nomor apartemenmu?” tanyanya.

 

“Ohh...” aku tertawa kecil, tentu saja, bagaimana bisa ia menjemputku jika ia bahkan tak tahu di pintu mana aku berada. “17H,” jawabku.

 

“Oke, sampai jumpa pukul 7,” Sehun benar-benar menghilang kini.

 

***

 

“Sehun, berhenti menggangguku!” aku mulai memprotes kebiasaan Sehun memelukku dari belakang saat aku memasak.

 

Well, hampir 4 bulan setelah pertemuan pertama kami di minimarket itu. Dan disinilah aku sekarang, di dapur apartemen milik Sehun. Bocah itu sering menghubungiku untuk mengunjunginya dengan alasan makan bersama, mengatakan ia akan memasakkan sesuatu untukku. Tapi pada akhirnya itu hanyalah alibi. Akulah yang akhirnya memasak makanan yang akan kami makan.

 

Tapi mungkin ide untukku memasak memang pilihan terbaik. Oh Sehun benar-benar bukan pria yang bisa bersahabat dengan dapur. Terakhir kali ku melihatnya memasak sesuatu, dia membakar apron yang ia kenakan. Hal terbaik yang dapat ia sajikan di dapur hanyalah secangkir kopi dan tentu saja, roti panggang oles Nutella.

 

Ngomong-ngomong soal panggilan ‘Bocah’, tenyata akulah yang benar. Sehun memang lebih muda dariku, meskipun begitu ia seringkali menyanggahnya dengan alasan ‘kau-hanya-beberapa-bulan-lebih-tua’ dan tetap berbicara informal denganku. Well, aku juga tidak mempermasalahkannya.

 

“Aku tidak mengganggumu,” bisiknya membela diri.

 

“Jika kau mengunci tubuhku seperti ini, makanannya tidak akan pernah siap, Sehun,” omelku. “Kau bilang kau lapar!”

 

“Laparku hilang saat melihatmu,” Sehun melepaskan pelukannya dan memutar tubuhku hingga tepat menghadapnya.

 

“Kau perlu mengurangi dosis Nutellamu, kata-katamu itu jadi terlalu manis untuk kudengarkan,” godaku.

 

Sehun tertawa kecil, “kau tahu sendiri Nutella adalah hidupku, setelah kau tentu saja.”

 

“Berhentilah mengeluarkan kata-kata seperti itu,” aku menampar pelan lengannya, “kau membuatku ingin menciummu.”

 

“Well, kau sudah mendapatkan izin kalau begitu,” Sehun mengerucutkan bibirnya.

 

Aku mencubit bibir manis itu sebagai responnya, Sehun terlonjak kaget menatapku. Namun sebelum Sehun sempat melemparkan protes terhadapku, dengan cepat aku mendaratkan bibirku tepat di bibirnya untuk kecupan ringan dan singkat.

 

“I love you,” bisikku setelah melepaskan kecupan kecil itu. Kedua telapak tanganku kuletakkan di kedua pipinya, mataku menatap matanya yang juga tenggelam di dalam mataku.

 

“I love you more, baby. And you know that,” balasnya dengan seringaian manis menghiasi bibirnya.

 

Dan semakin jauh aku memikirkan hubungan kami, semakin aku ingin menertawakannya. Ya, aku hanya ingin menertawakan fakta bahwa kami yang sekarang nyatanya bermula dari sebuah botol Nutella.

 

-END-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet