Fin.

Kamuflase

Matanya tertutup seiring dengan terbenamnya mentari. Mendesah pelan, gadis itu menggigit bibir bawahnya yang sudah terluka dan memohon dalam hati agar hujan segera turun sehingga ia punya alasan valid untuk pulang lebih lama. Seraya bergumam kecil ia memijat jari-jari tangannya agar kegelisahan yang dirasakan sedikit berkurang — setidaknya ia berpikir begitu.

            Sembari membuka mata perlahan, nafasnya tercekat saat melihat sesosok lelaki berambut cokelat gelap yang tak ia sadari duduk di sebelahnya.

            “Ku kira kau tertidur.”

Sang gadis mengernyit, “Sejak kapan kau duduk di sini?”

Lelaki itu hanya mendengus, “Pulanglah. Sudah gelap, banyak penjahat yang mengincar gadis sepertimu.”

            “Kau mengusirku?”

            “Ayolah, aku sudah bosan membaca koran dengan headline tentang kasus kejahatan terhadap perempuan. Jika kau mau, aku bisa mengantarmu pulang.”

            Gadis itu melirik ke sekelilingnya dan menimbang-nimbang. Membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi sudah membuat bulu kuduknya berdiri. “Bagaimana bisa aku mempercayai orang yang baru saja kutemui?”

            Sang lelaki mengangkat kedua tangannya “Apa aku terlihat seperti penjahat?”

            “Penampilan bisa menipu.”

            “Terserah. Aku cari tempat lain sa—“

            Sang gadis menarik tangannya, “Baiklah, aku percaya padamu.”

 

Keduanya memutuskan untuk menggunakan taksi. Tak satu katapun terucap di antara mereka, hanya suara mesin kendaraan dan bunyi klakson yang mengurangi keheningan malam itu.

            “Lewat Kuningan atau Kampung Melayu?” suara sang sopir membangunkan gadis itu dari lamunannya.

            “Kuningan”

Lelaki yang menemaninya pulang sore itu mengernyit “Kau tahu kan betapa macetnya kawasan itu?”

            “Ini jam pulang kerja, lewat manapun akan tetap macet.”

            “Iya, dik?” sahut pengemudi berbaju biru itu.

            “Ah, tidak. Saya berbicara dengan orang ini.”

Pria yang duduk di sebelahnya menambahkan “Kau benar-benar tidak efisien waktu.”

Merasa terusik, gadis itu menoleh “Mengapa bukan kau saja yang mengemudi?”

Mendengus kesal lelaki itu bergumam ‘terserah kau saja’

 

Di bangku depan, pria paruh baya itu mengernyitkan dahi pada pemandangan yang terpantul dari cermin depan mobil.

 

***

 

            Layaknya rutinitas, gadis berambut shaggy itu kembali melangkahkan kakinya menuju taman yang menjadi saksi bisu atas kesedihan, kekecawaan, serta keputusasaan yang selalu menghantuinya selama sebulan terakhir. Jari-jarinya mulai memijat satu sama lain dengan tenaga yang lebih kuat dari biasanya seakan ingin melepaskan sesuatu yang akan membahayakan jika tak disingkirkan. Perlahan tapi pasti gadis itu menempati bangku hijau yang tertanam tepat dibawah pohon paling rindang di taman itu. Menarik napas panjang, setetes air mata terlihat jatuh membasahi pipi kiri gadis itu

 

            Salah satu alasan mengapa ia selalu memilih bangku yang sama ialah karena semua pemandangan di taman favoritnya dapat terlihat jelas dari sudut ini. Danau buatan kecil, rerumputan hijau, hamparan bunga war—

            “Wah, kau lagi.”

            Matanya melebar saat melihat lelaki yang ia baru dikenalnya kurang dari 24 jam lalu.

            “Sedang apa kau di sini? Bukankah sudah jelas kalau aku yang menempati bangku ini duluan?”

            “Wah, wah, begitukah caramu berterima kasih? Lagipula bangku ini sudah lebih dari cukup jika ditempati oleh dirimu seorang.”

            Gadis itu hanya terdiam, baginya kehadiran lelaki itu tak memberikan kontribusi berarti.

            “Hey, apa kau menangis?”

            Dengan sigap kedua tangan gadis itu mengusap tetesan air mata yang mulai membasahi jaket hitamnya. Dengan panik, pria yang duduk di sebelahnya seakan menggali memori untuk menemukan cara agar dapat menenangkan sang gadis. Mencoba menggambar lingkaran di atas tangan si gadis, laki-laki itu menarik napas panjang teratur dan berharap pasiennya melakukan hal yang sama.  Setelah tenang, lelaki itu memperkenalkan diri— hal yang seharusnya ia lakukan saat pertama kali bertemu.

            Chanyeol. Lelaki bertubuh jangkung dengan mata berbinar dan rambut coklat gelap itu telah berjasa menemaninya selama dua hari terakhir. Apa karena senyum manisnya ataukah suaranya yang dalam— entahlah. Tapi dalam kurun waktu kurang dari empat puluh delapan jam, lelaki itu mampu membuktikan bahwa masih ada orang yang peduli dengan dirinya.

 

***

 

            Sudah hampir dua minggu sejak pertama kali ia bertemu dengan Chanyeol. Lelaki itu dengan setia duduk di sebelahnya, menemani hingga malam tiba dan air matanya tak mampu lagi mengalir. Tak pernah sekalipun ia bertanya alasan mengapa gadis itu menangis. Sang gadis yang membutuhkan tempat untuk mencurahkan hatinya memutuskan untuk mengutarakan kegelisahan yang menghantuinya selama setengah tahun terakhir.

            Gadis itu menyodorkan lipatan kertas—yang ternyata berisi karya ciptaannya—kepada lelaki itu. “Enam bulan lalu aku diminta untuk menampilkan kebolehanku di acara terbesar sekolah. Seminggu kemudian saat sedang menulis melodi ini, tiba-tiba saja tanganku bergetar— bahkan mati rasa saat bermain piano. Carpal Tunnel Syndrome katanya. Dan karena itu pula aku kehilangan kesempatanku untuk…diakui orang banyak.”

            Chanyeol membaca barisan not balok itu dengan seksama. Sekali-kali jarinya menari layaknya sedang menekan tuts piano. Bersiul kecil, telunjuk kirinya berayun mengikuti gerakan dirigen dalam pertunjukan musik. Setelah beberapa saat, Chanyeol terdiam dan menarik tangan gadis itu. “Ikut aku.”

 

***

 

            Dengan mata terbelalak, gadis itu bertepuk tangan antusias. Chanyeol baru saja menunjukkan kemampuan bermusiknya yang tak disangka-sangka sungguh memukau— terlebih lagi, lelaki itu baru saja memainkan hasil karyanya! “Sayangnya, lagu itu belum selesai.”

            Chanyeol yang mendengarnya hanya tertawa kecil, “Aku bisa membantumu jika kau mau.”

Gadis itu mendengus dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Studio musik tempatnya berlatih ketika masih kecil itu sama sekali tidak berubah. Tak disangka Chanyeol juga mempunyai sejarah yang sama dengan tempat ini.

            “Ya, ya, ku harap kau tak menghancurkan harmoninya.”

Saling bertukar pandang, tawa keduanya menggema di ruangan musik itu. Si gadis mulai menyanyikan nada yang telah direncanakannya sebagai lanjutan dari melodi yang tak terselesaikan itu. Samar-samar memorinya masih dapat memutar kembali alunan yang seharusnya menjadi bagian akhir dari karyanya itu. Chanyeol bertugas untuk menerjemahkannya dalam alunan piano dan menuliskan not balok di atas kertas.

            Kembali ke studio itu seakan menjadi rutinitas. Tiap pulang sekolah, gadis itu akan menemui Chanyeol di bangku tempat pertama mereka bertemu dan menyusun rencana mereka pada hari tersebut, dilanjutkan dengan perjalanan lima belas menit menuju studio musik yang letaknya tak jauh dari taman itu. Ia menemukan bahwa Chanyeol juga pernah belajar untuk bermain drum waktu kecil, namun kegiatan itu terhenti karena dentuman yang terlalu berisik memancing emosi ayahnya. Beberapa minggu kemudian, kerja keras mereka membuahkan hasil. Gadis itu memutuskan untuk menyumbangkan karyanya agar dapat dipertunjukkan di acara sekolah nanti.

 

***

 

            Kondisi tangannya semakin membaik. Walaupun masih sulit untuk digerakan, tangannya tidak sekaku beberapa minggu yang lalu. Ujung bibirnya terangkat sedikit menyadari kondisinya yang sudah membaik —bahwa stres yang dirasakannya semakin berkurang. Ia pun sudah jarang mengunjungi taman itu untuk menemui Chanyeol— mungkin karena ia sudah tak punya alasan yang kuat untuk menangis.

            Dapat berpartisipasi di acara ini adalah suatu kebanggaan tersendiri baginya. Memang ia tetap tak dapat menampilkan bakatnya, tetapi untuk tahu bahwa lagu ciptaannya akan dibawakan di acara ini membuatnya merasa ingin melompat. Ingin rasanya ia berteriak pada dunia bahwa ‘Hey, mereka mempertunjukan karyaku di festival tahun ini! Bukankah kau pikir ini sesuatu yang fantastis?!’

 

            “Umm… kak.”

Gadis itu berbalik dengan senyum yang masih melekat di bibirnya. “Hai! Kau pasti Jeslyn kan? Pianis yang akan memainkan karyaku itu?”

            “Ya begitulah. Boleh aku minta lembarannya? Aku ingin mempelajari melodinya sebelum bermain.”

            “Ini. Kalau ada pertanyaan, aku ada di sini sampai pulang nanti.”

            “Baiklah. Terima kasih, kak.” jawab Jeslyn seraya tersenyum malu.

Sang gadis membalas senyuman adik kelasnya dan melambai kecil sebelum berbalik untuk melanjutkan pekerjaannya.

            “Tak ku sangka kau juga menulis lagu.”

Pekikan terdengar menggema di seluruh ruangan diikuti dengan bunyi pukulan. Lelaki di depannya mengusap lengan yang terlihat merah dengan cap telapak tangan.

            “Oh, terima kasih. Aku tidak menyangka akan mendapat pukulan sebagai hadiah penyambutanku.”

            Gadis itu mendengus. “Kau seharusnya tahu untuk tidak mengejutkanku, Kai.”

Mengangkat bahu, lelaki berkulit agak gelap itu mengeluarkan permen tangkai berwarna merah dari mulutnya. “Ku dengar tanganmu bermasalah.”

 

            Kai, rekan satu bandnya yang baru saja pulang dari Atlanta adalah alumni dari sekolah tempat ia menimba ilmu sekarang. Terpaut jarak dua tahun, Kai memang pantas disebut sebagai seorang kakak mengingat sifat protektif— terkadang malah terlihat posesif— yang dimilikinya jika sesuatu terjadi pada gadis itu. Di musim liburan seperti ini Kai memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan mendatangi alma maternya. Gadis itu menghela napas. Sungguh di saat yang tepat.

            Gadis itu mengernyit. “Darimana kau tahu?”

            “Aku punya mata dan telinga di sekolah ini.”

Seraya mengambil gitar dan mencoba memainkan beberapa kunci dasar, lelaki itu berkata lagi “Katanya kau depresi karena tak bisa tampil di festival tahunan itu.”

Jari tangan lelaki itu berhenti sejenak. “Melihat kantung matamu, ku rasa mereka benar.”

Gadis itu menggigit bawahnya dan mengambil nafas panjang. “Seperti yang kau dengar, setidaknya aku sudah lebih baik sekarang.”

Kai menaikkan alisnya, “Wow.”

Matanya menerawang wajah gadis itu, itu yang dikatakannya lebih baik? “aku benar-benar tidak ingin membayangkannya.”

Sang gadis hanya menaikkan kedua bahunya. Ia terlalu lelah untuk memusingkan hal seperti itu. Menurut standarnya, ia memang merasa jauh lebih baik dibandingkan beberapa minggu yang lalu. Mencoba mengalihkan pembicaraan, ia mulai mencari topik baru dan terhenti pada ingatannya akan Chanyeol.

            “Kau tahu, aku bertemu seseorang yang mempunyai pengalaman musik yang mirip denganku.”

            “Maksudmu?”

            “Dia bermain piano, gitar, dan pernah mencoba bermain drum saat masih kecil.”

Kai yang memutar bola matanya. “Dari tujuh juta orang di dunia, aku yakin bukan hanya anak itu yang ‘kebetulan’ punya pengalaman yang sama denganmu.”

Belum sempat gadis itu menjawab, Jeslyn kembali dengan tatapan bingung.

            “Ada apa, Jes?”

            “Kak, kenapa lagu ini belum selesai?”

Gadis itu terbelalak dan membaca kembali lembaran-lembaran itu. Ia berani bersumpah bahwa ia dan Chanyeol sudah menyelesaikannya hari itu. Membuka halaman terakhir, matanya melebar. Benar saja, lagu itu belum selesai. Apa ia membawa kertas yang salah? Tapi seingatnya, ia dan Chanyeol hanya membawa satu rangkap kertas tiap berusaha menyelesaikan lagu itu.

            “Uhh…sudah bel, aku kembali ke kelas dulu ya kak.”

Sang gadis tak menghiraukan perkataan Jeslyn. Mengernyit, gadis itu mencoba mengingat-ngingat lagi dimana ia menulis sisa not-not itu. Menyerah, ia pun mengerang pasrah dan berbalik melihat temannya yang sedang sibuk memasang kapo dan menyesuaikan tingkatan nada yang ia inginkan.
            “Kai,” panggilnya pelan

Lelaki itu mengangkat dagunya dan memasan tatapan bertanya.

            “Temani aku menemui orang itu sekarang?”

 

***

 

            “Seharusnya ia ada di sini.”

Kai mengangkat kedua bahunya, “Mungkin ia sedang ada urusan di tempat lain.”

Sang gadis mengangguk pasti, “Tidak, ia seharusnya sudah ada di sini lima belas menit yang lalu.”

            “Kenapa tidak menghubunginya?”

Gadis itu mengutuk dirinya dalam hati, bagaimana mungkin ia tak mempunyai kontak Chanyeol mengingat sebagaimana sering mereka bertemu untuk bekerja sama? Sambil menggerutu, gadis itu menghela napas pasrah. “Lupakan. Temani aku lagi besok.”

 

 

***

 

            “Kau menungguku?”

Suara berat yang sudah tak asing lagi di telinganya membuat gadis itu berbalik, lelaki bertubuh jangkung itu berdiri tegap dan memancarkan senyum cerah yang tanpa sadar telah membuat kedua ujung bibir gadis itu terangkat ke atas.

            “Aku tidak melihatmu di sini kemarin.”

Chanyeol menaikkan alis kirinya, “Oh ya?”

Si gadis mengangguk, “Aku mau minta lembaran musik yang sudah selasai.”

            “Bukannya sudah ada padamu?”

            “Versi belum jadinya. Aku butuh yang sudah komplit.”

            “Aku bersumpah tak memegangnya!”

Sedikit menggerutu, gadis itu membuka kembali mapnya dan mengeluarkan kertas musik yang dimaksud. Matanya terbelalak melihat deretan not balok yang diakhiri dengan dua garis tegas menandakan bahwa melodi itu memang sudah menemui titik akhir.

            “Mustahil.” ujarnya tak percaya

            “Kau yang mustahil.” tangannya sibuk mengukir sesuatu di tanah dengan ranting dari pohon tempat bangku mereka tersandar. Penasaran, gadis itu turut mematahkan ranting tipis di atas kepalanya dan ikut menggoreskan sesuatu di tanah. Sesuatu seperti mahkota tergambar jelas di bawah ranting lelaki itu. Dengan senyuman bangga ia menancapkan ranting tersebut diatas mahkotanya, tepat dimana berlian terbesar berada. Terkekeh, gadis itu hanya menggali tanah dengan pola tak beraturan ketika ponselnya berdering.

            “Ya, aku masih di taman.” jawabnya singkat

Tak lama, Kai pun datang menghampirinya. “Ku kira kau sudah SMA?”

Mendengus gadis itu melempar ranting yang baru ia gunakan dan membersihkan tangannya seraya berbalik dan menemukan bahwa Chanyeol sudah pergi. “Aneh.” gumamnya.

            “Apa?”

Menggeleng pelan, gadis itu menjawab “Kau lihat gambar itu? Tadinya aku mau memperkenalkanmu dengan Chanyeol. Tapi sepertinya ia punya urusan mendadak.”

Kai mengernyit, “gambar? Tapi tak ada gambar lain selain yang kau coret barusan.”

            “Perhatikan baik-baik! Di sini benar-benar ada gambar!”

Merunduk dan hanya menemukan sebuah ranting tertancap di atas tanah, Kai kembali mengernyit dan berbalik menghadap gadis itu “Apa kau sakit?”

            “Oh, demi Tuhan, Kai—“

            “Akan kuambil gambarnya dan kalau memang terbukti ada coretan, kau boleh memukulku. Tapi kalau aku yang benar, kau harus berjanji untuk menemui terapis.”

Terbelalak, gadis itu masih bersikeras akan pendapatnya dan hampir menangis karena frustasi. Kai hanya bisa menatap nanar sang gadis dan menarik tangannya.

            “Sudahlah, ayo kita pulang.”

 

***

 

            “Kak,”

            “Oh!”

Gadis itu merogoh mapnya dan menyodorkan beberapa lembar kertas. Kai yang baru datang meletakkan beberapa bungkus sandwich di atas meja sang gadis. “Makanlah”

Mengangguk, gadis itu kembali memperhatikan adik kelasnya, “Ada pertanyaan?”

            “Mmmmm……..kak, lagunya memang belum selesai ya?”

            “Bukannya kemarin sudah kau selesaikan dengan temanmu itu?” sela Kai seraya mendekati mereka dan mengambil lembaran tersebut dari tangan Jeslyn.

Mengangguk keras gadis itu ikut memperhatikan lembaran musik yang dipegang Kai dan bergidik melihat melodi yang belum terselesaikan. Badanya terhempas ke bangku yang baru saja ia duduki.

            “Hey, kau baik-baik saja? Kita bisa menghubungi temanmu soal ini”

            “Aku tak menyimpan kontaknya.”

Sambil mengelus bahu sang gadis, Kai menawarkan “Mau kuantar menemui temanmu itu?”

 

            Setibanya di taman itu, si gadis langsung menyerbu tempat dimana ia dan Chanyeol sering bertemu. Mungkin Dewi Fortuna sedang berpihak padanya, karena ia langsung menemukan Chanyeol yang sedang asyik menganggukan kepala dengan headphone biru yang menutup kedua telinganya.

            “Chanyeol!”

Lelaki itu melepaskan headphonenya dan menyeringai “Oh lihat, siapa yang merindukanku?”

Tanpa basa-basi gadis itu meletakan lembaran musiknya ke tangan Chanyeol. “Ini benar-benar belum selesai.”

Membuka halaman paling terakhir, lelaki itu menggerutu dan menunjukkan apa yang dia temukan. Sang gadis merapatkan rahangnya dan membentak “Jangan permainkan aku!”

            “Aku tidak—“

            “Kemarin kau bilang ini sudah selesai, tapi—“

            “Cukup!”

Pemilik suara itu memegang tangan sang gadis dan memutar badanya sehingga mereka bertatapan.           “Hentikan semuanya!”

Kai mengusap kedua lengan gadis itu dan mendesah. Tatapan yang biasanya kosong kini memancarkan kecemasan dan sesuatu yang hampir menyerupai rasa panik.

            “Kita harus menemui terapis.”

Tidak terima, gadis itu mencoba melepaskan genggaman Kai dari lengannya. “Kau pikir aku gila?”

            “Bagaimana tidak jika kau baru saja berbicara dengan bangku taman seakan-akan itu bisa menjawab pertanyaanmu?”

 

***

 

            Perjalanan pulang dipenuhi dengan keheningan setelah Kai mempertemukannya dengan terapis. Bukan ketenangan yang didapat, justru ia merasa terkekang akan segala pertanyaan yang dilontarkan wanita parubaya itu. Hasil tes yang baru dijalani dengan jelas menyatakan bahwa gadis itu mengalami depresi berat yang diakibatkan oleh cedera pada pergelangan tangannya sehingga ia tak bisa bermain alat musik untuk sementara waktu dan mulai berhalusinasi akan sebuah imej yang menyerupai dirinya – pandai memainkan berbagai macam instrumen dan mampu menulis lagu. Menggigit bibir, gadis itu pun mulai meningat kembali beberapa kejanggalan yang ia temukan dalam diri Chanyeol.

            Chanyeol selalu mengenakan pakaian yang sama dan selalu terlihat menggantungkan headphonenya di leher— sesuatu yang dengan jelas menyatakan bahwa ia menyukai musik. Namun ketika ia terlihat mengenakan headphone tersebut, ujung kabelnya tak pernah tercolok ke perangkat manapun— sesuatu yang menurut gadis itu berhubungan dengan kecintaannya pada keheningan; salah satu sebab mengapa ia tak tertarik untuk melanjutkan kursus drumnya ketika masih duduk di bangku SD.

            Matanya tertuju pada kedua pergelangan tangan yang tersandar di atas pangkuannya. Terbalut dengan athletic tape yang Kai berikan siang itu —karena menurutnya, itu dapat meredakan ngilu dan keram yang ia rasakan dan lelaki itu selalu memakainya saat bermain basket— sang gadis berharap agar sindrom yang dideritanya lekas hilang sehingga ia tak perlu menghawatirkan hal-hal yang tidak seharusnya dan terdiagnosa mengalami Skizofrenia seperti sekarang ini.

 

***

 

            Beberapa bulan berlalu dan hari itu adalah malam dimana festival tahunan sekolahnya diadakan. Memberikan beberapa masukan terakhir pada Jeslyn, gadis itu duduk di bangku penonton dan menyaksikan pertunjukan yang dikemas secara apik oleh anggota OSIS sekolahnya. Ia merasa puas dengan acara malam itu sekaligus bangga karena karyanya ikut mewarnai euforia malam itu. Rasa bangga pun menjalar di benaknya ketika Jeslyn berhasil membuat semua orang terkagum dengan kepiawaiannya bermain piano.

            Ia tersenyum lebar. Beberapa bulan terakhir ini diisi dengan hal-hal positif yang mengalihkan pikirannya dari depresi yang sempat ia rasakan karena kondisinya. Kai benar-benar memanfaatkan liburnya untuk membuat gadis itu kembali menjadi diri sendiri, terlepas dari tekanan dan segala macam hal yang dapat memicu depresi dan berujung pada kambuhnya Skizofrenianya. Kondisi tangannya pun sudah mulai membaik walaupun terkadang masih sedikit kaku saat digerakkan.

           

           Memutuskan untuk pulang, gadis itu melewati taman yang dulu pernah menjadi saksi bisu akan kesedihannya. Meringis kecil, si gadis menyusuri tempat itu dan duduk di bangku dimana ia selalu bertemu Chanyeol beberapa bulan lalu. Memejamkan mata, gadis itu mulai menarik napas dan kembali membuka matanya.

            “Sudah lama kau tak kesini.”

Terbelalak gadis itu berbalik dan tersenyum kecil “Ya, aku agak sibuk akhir-akhir ini.”

Seraya menggigit bibir dan memijat-mijat jarinya, gadis itu berkata “Aku tahu kau tidak nyata.”

Tersenyum miris, lelaki itu membalas “Ya, memang begitu, bukan?”

            Sang gadis memperhatikan lelaki itu sejenak dan mengambil headphone dilehernya. Tersenyum tipis, gadis itu mengenakannya dikepala Chanyeol.

            “Aku tahu kau lebih menyukai keheningan.”

Membalas senyumannya, Chanyeol melepaskan pegangan gadis itu dan bertanya, “Apa sebaiknya kita tidak bertemu lagi?”

            “Bukankah kau berpikir begitu?” jawab gadis itu seraya bibirnya bergetar menahan air mata.

Masih dengan wajah tersenyum, Chanyeol membalas “Kalau kau pernah merindukanku, lihatlah ke cermin. Karena aku adalah kau, kau adalah aku. Kalau kau pernah melihatku di suatu tempat, jangan hiraukan aku. Lanjutkan apa yang kau lakukan dan tunjukkan pada mereka kalau kau bisa”

            Dengan suara gemetar gadis itu berusaha mengeluarkan suara “Terima kasih, Chanyeol. Terima kasih.”

            Angin malam mulai berhembus menghantarkan wangi bunga yang tertanam di taman itu.

            “Selamat tinggal.”

            “Selamat tinggal, Chanyeol.”

           Bayangannya pun pergi bersama dengan angin malam yang mengembalikan senyum tenang di wajah gadis itu.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Himmature #1
miss you author-nimmmm
aulia-
#2
Chapter 1: pas liat terinspirasi dari its okay its love- langsung ngira2 perannya chanyeol bakal jadi kayak perannya d.o di dramnya lol. tapi ini bagus, sungguh, rada' kasian sama gadisnya itu tho. pengen nangis pas akhir2 c':
half-baked
#3
Chapter 1: Great story!
Zenitora
#4
Chapter 1: I love the story. Thanks for writing it. Keep writing!
purplegg #5
Chapter 1: Well, yg jls sih klo bwt org lola psti susah ngerti si chanyeol tuh 'apa'. But overall bagus, ak suka. Bkin lagi donk *puppy eyes* yg chapter tpi ak baca kok hehehe. Jiayou *ala petrus*
potatoria
#6
Chapter 1: Bagussss, popo suka ff nyaa *w*) tapi knp hrs berakhir dengan one shoot /lesu/

pas awal2 baca, aku kira itu kai-- eh taunya chanyeol. Trus ga nyata pula/? o.o cuman pas bagian2 akhir, disitu aku rada ambigu thor, jadi chanyeol itu hantu atau apa~?