If I Extend My Hand And It Seems About To Fall

A Miracle By Our Rendezvous

300 hari, 12 jam, 1 menit, dan 19 detik

Saat semua hal berguna telah ditemukan di dunia, ilmuwan yang sudah kehabisan ide untuk merancang sesuatu untuk membantu hidup manusia ulai merancang hal lain yang sebetulnya tidak perlu ada. Jam jodoh misalnya. Apa gunanya jam jodoh untuk kehidupan manusia? Toh banyak yang bahagia walaupun menikah dengan mereka yang bukan jodohnya. Detik dan menit mereka terus berlari tapi mereka tetap tertawa. Lucunya, suatu saat hitungan mereka berhenti dan menjadi 0, tanda bahwa pada akhirnya mereka menjadi belahan jiwa masing-masing.

Hidup dijaman ini memang penuh kebodohan. Dan yang lebih bodoh dari jam jodoh itu adalah keharusan untuk kami memasangnya di setiap pergelangan kiri kami. Mungkin pemerintah sudah gila. Mungkin dunia ini dari dulu sudah gila.

Aku menyisip lagi kopi hitam yang mulai dingin, hingga sepah ampas mulai terasa. Buru-buru ku remas gelas kertas itu lalu mempercepat langkahku. Kereta paling pagi dari Incheon line menuju distrik bisnis internasional mulai terlihat melaju dari barat. Hanya ada satu dua kepala terkantuk-kantuk selain aku, berbeda dengan kereta yang kedua atau yang ketiga, stasiun subway di jam ini jauh lebih lengang, gelap, dan dingin.

Dan kepalamu akan sedikit bekerja lebih baik dalam keheningan. Dan seringkali beberapa hal yang lebih baik tidak usah dipikirkan tiba-tiba muncul menginvasi otakku. Seperti, akan baik-baik sajakah hubunganku dengan wanita ini walaupun detikku masih laju?

Pun sampai alis berkerut aku masih belum bisa meyakinkan diriku sendiri kalau aku akan baik-baik saja, sampai nanti hitunganku berubah minus dan menanti saat ia berubah sendiri menjadi nol. Debaran yang aneh selalu muncul tiba-tiba ditengah riuh lautan manusia di stasiun subway, kadang menguat kadang lantas menghilang mengikuti lari kereta.

Sehun pernah berkata, itu adalah cara dari ingatan alam bawah sadar untuk mengetahui bahwa belahan jiwaku berada di tempat yang sama denganku. Menurutnya, hal ini yang menjadi dasar bagi para ilmuwan yang menciptakan jam jodoh.

“Manusia bermain meniru Tuhan, lalu melabelinya sebagai ciptaan autentik. Apa yang baru dari kabar itu?” masih ingat ia berkomentar begitu, dan Sehun hanya tertawa.

“Mungkin hyung, mereka lelah melihat begitu banyak masa depan terbuang hanya karena orang yang mereka cintai bertemu dengan orang-orang yang salah.”

Deru kereta yang melaju memijak rel perlahan mendekat, ku lirik pergelangan tangan kiriku.

0 hari, 0 jam, 6 menit, 45 detik

Kadang aku berharap aku bisa mengingkari rasa penasaran dan harapan yang membelit ini.

 

“sayang, bisa kau tolong aku mengganti lampu kamar mandi?” kepala brunette menlongok dari pintu kamar mandi. Air menetes dari helai rambut, bau aroma mawar menguar begitu aku sudah dekat.

“setidaknya pakai handuk agar aku tidak bingung kau mau aku melakukan apa. Mengganti lampu atau membuatmu kotor lagi.”

Seungwan tertawa lalu mencubit pinggangku, handuk yang ku angsurkan lalu melilit tubuh basahnya. Kulirik pergelangan tangannya.

8 hari, 22 jam, 5 menit, 19 detik

“junmyeon oppa bilang minggu depan aku yang memegang kendali team sepenuhnya.” Aku bergumam sambil terus memutar los bohlam lampu. Dari sudut mataku dia berdiri menyandar pada lis pintu, memainkan ujung rambutnya.

“junmyeon oppa menutup jamnya dengan selotip hitam. Kau pikir hal itu akan bekerja untuk kita juga?”

Ide yang bagus sebenarnya. Tapi sungguh, lebih baik membiarkannya seperti itu apa adanya. Karena hal yang makin ingin disembunyikan kadang malah terus terbayang pada benak.

Seungwan terus memelintir rambutnya, dengan kaki tersilang rapat dan cahaya yang datang dari luar, siluetnya terlihat luar biasa. Bohlam ditanganku berkedip beberapa kali sebelum menyala terang. Aku turun dan menjinjing kursi lipat yang tadinya kupakai sebagai pijakan.

“tutuplah milikmu kalau kau ingin.” Kataku saat berjalan melewatinya, kutaruh kursi lipat dibawah counter dapur lalu menghempaskan diri di sofa lagi. Seungwan masih berdiri di tengah pintu kamar mandi, seakan belum puas dengan jawaban yang kuberikan.

“sejujurnya kau pun masih ingin menemukan belahan jiwamu, kan?”

“tentu saja.” Terdengar suara tawa Seungwan, lalu pintu yang tertutup. Dan lewat daun pintu yang menghalangi terdengar Seungwan menambahi, “Sama sepertimu, oppa.”

Tentu saja, sama sepertiku. Semua orang sebenarnya sama saja, yang membedakan hanya sejauh mana mereka mau jujur pada diri mereka sendiri.

 

200 Hari, 17 jam, 12 menit, 1 detik

Aku berlari. Obrolan dengan seungwan semalam berbuntut panjang dan berakhir dengan aku terengah-engah mengejar angin yang menghembus dari platform kereta pertama, dan kedua, serta yang ketiga. Jam digital di stasiun menunjukkan angka 9, dan jika aku masih bisa mengejar kereta yang berikutnya aku hanya terlambat 15 menit dari jam seharusnya aku ada di kantor.

Aku berlari bersama sepasang gadis SMA dan beberapa pekerja kantoran lainnya, setelah memastikan kalau kereta berikutnya akan datang 5 menit lagi baru aku berhenti dan mengatur nafas. Saat aku mengangkat tanganku untuk menghela peluh, hitunganku makin kencang bergerak, seperti didorong angin entah dari mana. Hingga saat angka di bagian detik berubah menjadi 3, 2, dan satu, gelombang manusia berlari menyerbuku.

 

93 hari, 1 jam, 12 menit, 7 detik

Apa yang terjadi saat hitungan menjadi nol dan kau bertemu dengan belahan jiwamu?

Apa turun seribu malaikat yang meniup terompet?

Atau hujan kelopak mawar putih dari surga?

Tidak ada yang terjadi. Mungkin hanya sepersekian detik angin berhenti berhembus untuk efek dramatik yang mengesankan. Tidak ada hal fantastis yang terjadi saat dua belahan jiwa bertemu. Mungkin dalam hati mereka bergelora, tapi hanya itu yang terjadi. Alam terlalu sibuk untuk memfasilitasi segala mimpi manusia.

Satu-satunya saat aku melihat langsung sebuah hitungan berubah menjadi nol sempurna adalah saat Yura, kakakku mencium pendamping pria di atas altar tahun lalu. Ya, kau tidak salah baca. Kakakku benar-benar mencium pendamping pria saat ia mengucapkan janji suci dengan tunangannya, yang sudah ia pacari sejak SMA. Hitungan Yura tidak pernah berhenti, hingga saat ia berjalan di lorong gereja dan pandangannya bertemu dengan pria itu hitungannya berhenti seketika. Dilihat dari kacamata logika dan norma masyarakat yang ada, Yura jelas-jelas sudah melanggar semua aturan yang ada. Tapi jika dilihat dari sisi lain, setidaknya masih ada harapan untuk orang-orang menemukan pasangan sejati mereka. Pernikahan itu gagal dilangsungkan memang, tapi setidaknya kakakku menemukan kebahagiaan lain yang lebih utuh.

Aku tidak berharap bisa mengulang kisah Yura yang seperti datang dari dongeng Anderson tua. Tapi disaat yang sama aku ingin bisa mencicip, setidaknya apa itu bahagia secara penuh yang sudah diraih kakaku itu.

 

Mendung tipis mulai menghalangi sinar matahari yang sedari tadi membakar punggungku, lewat rindang daun ceri yang rimbun tetes gerimis mulai turun. Lampu merah berubah menjadi hijau dan aku berlari mengejar kesempatan untuk menyebrang jalan dan mencari tempat berlindung segera dari hujan. Disaat itu aku mengangkat tas kulitku dan tanpa sengaja melihat hitunganku.

0 hari, 1 jam, 45 menit, 3 detik

Nyaris instan aku berhenti. Di tengah zebra cross, hujan yang mulai deras dan tawa anak-anak yang kesenangan. Aku juga tidak mengerti mengapa aku harus berhenti dan menunggu. Bodoh, tapi pikirku hanya inilah yang bisa kulakukan saat hitungan makin cepat berkurang dan menuju ke angka 0.

0 hari, 0 jam, 1 menit, 1 detik

Iring-iringan penyebrang jalan dari ujung lain menyerbuku, laki-laki, perempuan, semuanya menyerbuku.

0 hari, 0 jam, 0 menit, 5 detik

Dalam dramatisasi yang sering terjadi pada film, gerakan lambat selalu ada, seperti dunia ini berhenti berputar, dan dayu music romantic mengiringi. Tapi di dunia nyata yang kurasakan hanya tubuh-tubuh yang menabrakku, tetesan hujan dan bunyinya yang memasuki indraku. Tapi debaran itu nyata dan benar-benar terjadi. Rasa tidak nyaman dan adrenalinku memuncak, mendorongku untuk melawan arus dan bergerak maju. Berusaha melihat hitungan dan wajah-wajah yang melintas secara teliti secara bersamaan.

 

4.3.2.1

Deg.

 

Untuk sepersekian detik dunia menjadi hening dalam kepalaku, dan satu sentuhan coat kasar di ujung jemariku memberikan desir aneh dalam tubuhku. Aku yakin hitungannya menjadi nol sekarang, tapi sebelum aku sempat menoleh dan melihat, dia sudah pergi.

0 hari, 0 jam, 3 menit, 10 detik

Dia sudah begitu dekat. Dan aku melepasnya. Lagi.

 

“Junmyeon oppa membelikan makan siang buatku tadi.” Adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir seungwan saat dia berjalan memasuki ruang tamu apartemen kami sambal melonggarkan blusnya. Kuhentikan kesibukanku di laptop dan menariknya dalam pelukan panjang. Bau campuran wangi mawar bercampur sedikit dengan harum musk dan sinar matahari.

Bau junmyeon. Pria itu selalu setia pada parfum pilihanku sejak beberapa tahun lalu.

Senyum lebar terpajang di wajah seungwan saat pelukan kami terlepas, sebuah kecupan singkat mendarat di bibirku dan Seungwan melanjutkan langkahnya menuju dapur. Rutinitas kami kembali lagi, dan selama kami berpura-pura bahwa kami masih saling setia, kupikir aku masih bisa melakukannya seribu tahun lagi. Aku duduk siatas kursi, memperhatikan kaki kecil seungwan membawanya menari dengan panci dan spatula, menyiapkan makan malam untuk kami. Dan tawa seungwan menerbitkan senyumku, tak peduli tawa itu ditimbulkan dari cerita-cerita tentang junmyeon. Mungkin aku benar-benar mencintainya. Mungkin.

“dan saat Junmyeon oppa melempar clear file itu, kau tahu Yumi, kan? Hahaha Yumi yang lewat terkena clear file itu! Padahal junmyeon oppa menargetkan melempar Baekhyun oppa!” seungwan terus mengoceh sambil menggerak-gerakkan tangannya, mereka ulang situasi yang dia anggap lucu, dan disaat itu aku baru sadar, jam ditangan Seungwan diplaster hitam.

 

100 hari, 20 jam, 15 menit, 55 detik

Stasiun bawah tanah di pagi hari masih lengang, hening, dan gelap. Tapi diluar dugaan gerbong yang kunaiki cukup penuh. Hanya ada beberapa kursi kosong, dan itupun segera diisi oleh seorang wanita muda yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dibandingkan denganku, menggandeng seorang pemuda dengan masker dan kantung mata hitam menggantung seperti mendung.

Buru-buru ku lipat koranku dan memberikan ruangan lebih luas untuk mereka. Wanita itu tersenyum dan berterima kasih padaku, lalu menarik duduk si pemuda.

0 hari, 0 jam, 0 menit, 10 detik

Tidak mungkin. Pikirku.

Detak jantungku berpacu lebih cepat dari kereta yang kunaiki, 9 detik, dan keyakinanku sudah penuh kalau wanita muda ini yang akan jadi pemberhentianku.

Mungkin dia menyadari kalau ada sepasang mata yang sejak tadi melotot padanya, wanita muda itu mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dan berganti padaku, tersenyum. Dua buah lesung pipit manis muncul sebelum ia menunjuk koran ditanganku dan berkata.

“sudah selesai? Boleh saya pinjam?”

Hitunganku berhenti di angka satu. Dan terus begitu hingga ia lalu bertambah saat wanita dan pemuda itu turun di stasiun sebelum distrik bisnis internasional.

 

0 hari, 3 jam, 5 menit, 12 detik.

Angka yang konstan muncul saat Seungwan tertidur disampingku.

Angka yang memisahkan kamar apartemenku dan kamar Junmyeon di Apgujeong.

Pelan-pelan kututup lagi plaster hitam di pergelangan kiri seungwan. Dahinya mengeryit sedikit saat kudaratkan kecupan, dan aku bangkit menuju sofa. Selama beberapa jam aku hanya membolak-balik antar channel televisi, tanpa ada niat untuk menonton tayangannya. Pikiranku berputar-putar pada kejadian pagi tadi. Pada hitungan yang terhenti di angka satu.

Apa artinya itu semua? Apa disatu titik pada kejadian tadi pagi alam memutuskan bahwa kami tidak berjodoh dan hitunganku macet begitu saja?

Aku merasa bodoh, merasa dipermainkan, tapi oleh siapa? Apa?

Mungkin ide untuk menutup jam bodoh ini dengan plaster hitam ada baiknya juga.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jeongjeong
#1
Chapter 3: I HATE YOU
NandaLaras #2
kenapa end -__- nanggung... tapi chansoo emang udah berjodohkan ?? aaah i like this story too much...
laalitos #3
Chapter 3: wait... whatt? ini tamat? serius?
btw wen.. i feel you
NandaLaras #4
neexxxttttt....
suka sama ceritanya...
dan jarang dapat cerita keren yg bahasa di aff -_-
lelgeg
#5
Chapter 2: so.. ngerasa kesindir, untung bacanya pas ud putus,
ehm mas mas, ini kapan chanyeol mau ngelepasin jeung wewen, sakit loh rasanya ngerti dy bukan jodoh anda tp gbs dilepasin soalnya sama sama orang baik jd g ada alasan buat putus. relain wewen buat junmyeon plis.
angelchonsa
#6
Chapter 2: It's good