Perkenalan

Unborn Legacy

Sudah hampir sebulan sejak pertama kalinya Minseok bertemu dengan paman Lee dan menyadari kalau dia hilang ingatan. Ia tidak tahu dari mana asalnya atau siapa dirinya kecuali namanya sendiri, Kim Minseok . 

Awalnya Minseok frustasi berat dan terus menanyai paman Lee atau kalau tidak Baekhyun, lelaki yang berumur dua puluh tahun yang bekerja untuk paman Lee dan juga tinggal di rumah paman Lee. Paman Lee dan Baekhyun awalnya masih bisa mengerti dengan Minseok, tetapi lama-lama mereka juga jadi frustasi karena tidak bisa memberikan jawaban apa-apa kepada Minseok. Kenyataannya memang itu baru pertama kalinya mereka bertemu dengan Minseok dan mereka sendiri juga tidak pernah lihat Minseok tinggal di desa itu.

Unhwa-ri adalah desa kecil yang terletak di daerah Busan, sehingga setiap warga bisa saling kenal. Dalam seminggu semua orang sudah tahu dengan Minseok, begitu juga dengan Minseok yang sudah mulai hafal dengan wajah orang-orang desa satu per satu karena selalu ikut dengan Baekhyun mengantar barang.

Toko paman Lee kecil dan sudah lama. Etalasenya hampir rusak dan paman Lee tidak pernah ingin menggantinya, kacanya sering bergerak dan waktu itu hampir jatuh. Toko mereka pun tidak punya mesin kasir, semuanya masih sangat tradisional dan mereka masih menggunakan laci kecil untuk menyimpan uang kembalian. Paman Lee sendiri sudah cukup tua, umurnya hampir enam puluh, tetapi ia tidak pernah ingin dipanggil kakek. Para warga pun kerap memanggilnya paman Lee dan paman Lee lebih senang demikian.

Setiap minggu pun ia tidak pernah lupa untuk menyuruh Baekhyun mengecat rambutnya menjadi hitam. Tidak heran, Minseok sangat terkejut ketika mengetahui umur paman Lee.

“Park minta dua sak beras.” teriak Baekhyun yang dengan malas duduk di kursi sambil melihat buku tulis. Seperti biasa, pulpen selalu diselipkan di balik telinganya, menurutnya gaya itu sangat cocok dengannya karena menggambarkan intelektual. Seperti biasa ia mengenakan kaos hitam gambar naga dan menggigit apel dengan berisik. Minseok jijik melihatnya karena ia tahu kebiasaan Baekhyun yang selalu mengupil sebangun tidur dan tidak pernah mandi.

Minseok mengangkat dua sak beras dan meletakkannya di belakang vespa. Motor itu sudah tua dan butut setiap kali ingin menstarter vespa, Minseok perlu menendang bagian belakang mesin itu untuk bisa jalan.

Tetapi kali ini vespanya masih tidak bisa nyala dan Minseok menendang lebih keras, membuat kakinya ngilu.

“Vespa sialan!” maki Minseok sambil mengurut kakinya yang sakit.

Baekhyun menghampiri Minseok dan juga mencoba untuk menstarter mesin itu, tetapi hasilnya nihil.

“Ini memang sudah harus diganti. Sudah soak dan butut begini masih saja mau dipakai.” Baekhyun mendecakkan lidah dan masuk kembali ke rumah. Toko itu kebetulan terletak di bawah rumah jadi gampang sekali untuk pergi ke rumah, beristirahat.

“Aku tahu!” terdengar suara teriakkan paman Lee berbarengan dengan Baekhyun sama-sama keluar dan menghampiri Minseok.

“Kan sudah kubilang dari kemarin. Harusnya kita beli motor baru, bukannya biarkan vespa soak ini mengantar barang.” celetuk Baekhyun.

Paman Lee memukul kepalanya dan Baekhyun mendesis.

“Kalian berdua jalan kaki antar barang.”

Baekhyun ingin mengatakan sesuatu tetapi paman Lee sudah terlanjur masuk toko.

“Lelaki itu memang tiran.” Ia pun mengangkat karung beras dari belakang vespa dan memberikannya kepada Minseok. Baekhyun sendiri juga mengangkat satu karung beras dan mereka berdua berjalan melewati jalanan menanjak.

“Pagi.” sapa gadis kecil berambut panjang dengan poni lurus. Ia memakai seragam dan ia tersenyum kepada Minseok serta Baekhyun. Baekhyun membalas sapaan gadis itu dengan ceria dan menggodanya. Minseok juga tersenyum dan buru-buru pergi.

“Aku tidak mengerti kenapa kau bisa suka sama cewe kayak dia.”

“Apa maksudmu cewek kayak dia?”

Baekhyun mengedikkan bahu. “Kau tahu,Chin-Sun yang tinggal di rumah keluarga Ga. Kupikir kau bisa suka sama dia, bukannya anak kecil macam Miyoung.”

“Mana kutahu.”

Minseok sendiri juga tidak mengerti kenapa ia bisa suka dengan gadis tadi.

Miyoung Hwang.

Anak tertua dari Hwang Ji Hyuk, satu-satunya penduduk desa yang bekerja di Busan. Ia jarang pulang dan istrinya di desa membuka restoran kecil-kecilan. Miyoung dan adiknya, Takeru ikut turun tangan membantu ibunya setiap pulang sekolah. Hwang Ji Hyuk sendiri jarang pulang, paling sekali dalam sebulan atau bisa saja tiga kali dalam lima bulan. Dengar-dengar Hwang Ji Hyuk punya simpanan di Busan, tetapi tidak ada orang yang berani mengatakannya di hadapan keluarga Hwang. Mereka hanya berani menggosip dan gosip itu juga belum tentu benar.

Minseok bertemu dengan Miyoung dua minggu setelah ia hilang ingatan dan waktu itu ia bersama dengan Baekhyun mengantar barang ke rumah Hwang. Miyoung lah yang menerima barangnya dan pada saat itu lah ia merasa jantungnya berdegup kencang.

Gadis itu memang tidak cantik dan juga tidak jelek, tetapi ada sesuatu padanya yang membuat Minseok tertarik.

Miyoung masih kelas tiga SMA dan sedikit lagi dia akan lulus dan pergi ke universitas. Minseok amat berharap dapat ikut bersamanya karena ia yakin sekali kalau Hwang Ji Hyuk pasti akan menyuruh anaknya belajar di Busan. Tetapi Minseok tidak mungkin ke universitas karena ia saja tidak tahu umurnya berapa.

“Tapi jujur saja aku agak kasihan dengan keluarga Hwang.”

“Kenapa?”

Mereka sudah hampir sampai di depan rumah Park. “Ya, kau tahu tidak kenapa Miyoung selalu pulang malam-malam?”

Minseok mengetukan dahinya. Memang benar, kalau dipikir-pikir Miyoung selalu pulang malam padahal pukul lima sore, teman-temannya yang lain sudah pulang.

“Bukannya mereka ada pelajaran tambahan?”

Baekhyun mendengus. “Kau bodoh ya. Mana ada pelajaran tambahan sendirian? Kau tahu tidak kalau dia sebenarnya bekerja part time di sekolah bersih-bersih?”

Minseok tercekat.

Mereka akhirya sampai di depan rumah keluarga Park dan ototmatis pembicaraan mereka juga terhenti.

“Oh, terima kasih.” Park Jaebom barusan keluar dari rumah. Minseok dan Baekhyun meletakkan dua karung beras itu di dalam rumah Jaebom dan Jaebom pun menyerahkan uangnya kepada Baekhyun. Baekhyun mengambil uang kembalian dari sakunya dan memberikannya kepada Jaebom. Setelah melakukan pekerjaannya, Minseok dan Baekhyun cepat-cepat keluar dari rumah itu untuk dapat kembali becerita.

“Untuk apa dia bekerja lagi? Restoran ibunya?”

“Mana kutahu. Kalau pun ayahnya pulang, Miyoung juga jarang mau ke rumahnya. Kulihat dia selalu berhenti di dekat taman dan menyendiri. Kasihan sekali kehidupan anak itu. Pasti ayahnya memang benar-benar selingkuh—“ Minseok buru-buru menutup mulut Baekhyun ketika mereka berpaspasan dengan Bang Hyun-Ae. Terkenal sebagai mulut desa itu dan semua gosip pasti berasal darinya.

“Selamat pagi Kitahara-san.” sapa Minseok ramah.

Awalnya Baekhyun tersentak dengan reaksi Minseok, tetapi setelah melihat Hyun-Ae ia langsung mengerti dan membungukuk ikut menyapanya.

“Pagi.” balasnya pendek.

Suami Bang Hyun-Ae adalah kepala desa dan ia sering memamerkan perhiasan-perhiasan atau tas-tas mahal yang barusan dibelinya di Busan. Ia juga lah satu-satunya penduduk desa yang mempunyai mobil sedan di desa. Hari ini ia mengenakan baju kemben berwarna pink cerah dan celana pendek pink muda yang membuatnya terlihat lebih gendut. Warna cerah tidak cocok dengannya, apalagi dengan dandanan yang agak menor. Tiga gelang besar berwarna emas melingkari lengannya dan kalung emas juga terlihat di lehernya.

Minseok tidak peduli dengan sapaan pendek itu, tetapi Baekhyun tidak begitu. Ia pura-pura batuk dan mengeluarkan gula-gula karet yang sudah hampir sehari menempel di giginya dan merenggangkan tangannya keluar lalu memeluk Hyun-Ae. Hyun-Ae sendiri terperanjat tetapi tidak dapat menolak pelukkan paksa Baekhyun, meskipun ia tidak sadar kalau gula-gula karet menjijikkan itu telah tertempel di rambutnya yang baru disasak.

“Semoga anda melewati hari yang menyenangkan.” ujar Baekhyun menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapih. Menganehkan sekali karena Baekhyun bukan orang yang sering menggosok gigi, tetapi giginya jarang sakit atau lobang.

Hyun-Ae memaskan senyuman terbentuk di wajahnya dan cepat-cepat meninggalkan mereka berdua.

“Kau menjijikkan.”

“Itu penghargaan yang tak ternilai untuknya, kenapa menjijikkan?”

Minseok tertawa mendengarnya dan menepuk pundak Baekhyun. “Jadi begitu kah caranya? Memberi penghargaan?”

“Setidaknya ia akan merasa lebih lengket dengan kenyataan kalau gedung tidak bisa selalu lurus. Ada saatnya gedung itu bisa miring seperti pisa atau rubuh.”

Paman Lee sedang duduk di dalam toko sambil membaca koran yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Wajahnya mulai terlihat ketika ia menurunkan korannya dan memperhatikan kedua pemuda itu telah sampai dan menyelesaikan pekerjaan mereka.

“Masih ada kiriman lagi, jangan nyegir.” katanya galak dan kembali membaca korannya.

Minseok membuka buku tulis dan melihat beberapa orang lagi yang akan dikunjunginya dan totalnya ada dua puluh.

Dua puluh antaran tanpa vespa.

*****

Ibunya sedang duduk di sofa sambil membaca beberapa lembaran kertas ketika Miyoung pulang.

“Aku pulang bu.” sapaan Miyoung segera membuat ibunya terperanjat dan buru-buru menyimpan semua kertas-kertas itu di balik bantal sofa. Mau secepat apa gerakan ibunya, Miyoung sudah terlanjur melihatnya.

“Hutang ayah bertambah lagi?” Miyoung meletakkan tasnya di atas meja dan mengambil kertas-kertas itu dari balik bantal dan membacanya satu per satu. Totalnya sudah mencapai sepuluh ribu yen.

Miyoung hanya dapat menghela nafas dan tidak dapat menahan kesalnya, membuang kertas-kertas itu di atas meja. Ibunya tidak berbicara, hanya meratapi lantai. Wajahnya terlihat letih, bawah matanya berbentuk kantong dan berwarna hitam, rambutnya sudah beruban padahal umurnya masih terpaut tiga puluhan. Kerutan pada dahi dan matanya juga sudah kelihatan.

“Aku akan menelpon ayah.”

Ibunya menarik tangan Miyoung dan menahanya. “Jangan. Jangan gampang dimainkan oleh emosi.” mata ibunya tegas yang membuat Miyoung berusaha menahan tangisnya. Dengan kasar ia menarik tangannya dari genggaman ibunya.

“Apa yang ibu harapkan dari laki-laki—“ Miyoung menahan nafasnya ketika ia hendak memaki ayahnya sendiri tetapi tahu kalau itu tidak benar dan melenyapkannya ke dalam dada. “Darinya bu? Ini hanya akan menjadi beban saja dan kita tidak akan bisa membayar sebanyak ini. Sudah, bu menurutku—“ Miyoung kembali menelan ludah, ia ingin sekali mengatakan kata itu dari dulu tetapi takut menyinggung perasaan ibunya. Tetapi ia sudah tidak tahan. Kata itu sudah ada di ujung lidahnya.

“Cerai saja.”

Ibunya bangkit dari sofa dan menampar pipi Miyoung sehingga meninggalkan bekas tangan merah. Miyoung memegangi pipinya yang perih, matanya juga mulai basah.

“Jaga mulutmu!” teriak ibunya menggelegar.

“Kenapa! Ibu menikah dengan ayah hanya membuat ibu sengsara dan hutangnya yang menggunung. Ibu pikir kita bisa melunasinya? Dari mana semua uang itu? Dari langit?! Meskipun ibu jual restoran kita pun memangnya kita bisa membayarnya?! Belum lagi uang sekolah Takeru! Takeru masih SMP dan dia tidak bisa berhenti sekolah!” nafas Miyoung tersengal-sengal. “Lagipula ayah jarang pulang dan dia sama sekali tidak bertanggung jawab—“

Tamparan kedua mendarat di pipi Miyoung. Miyoung berusaha menahan tangisan mengalir di pipinya dan menggigiti bibirnya.

Mata ibunya sendiri juga sudah memerah tetapi ibunya jauh lebih baik menahan air matanya daripada Miyoung.

“Cukup. Naik ke atas.”

Miyoung memperhatikan ibunya, bagaimana pun juga ia tidak tega dan ia tidak bermaksud mengatakannya, tetapi emosinya melupa-luap dan ia pun lupa segalanya. Ia hanya ingin menyampaikan isi hatinya dan dengan tergesa-gesa mengambil tasnya lalu naik ke atas.

Takeru baru saja hendak keluar dan berdiri seperti patung ketika melihat kakaknya menangis dan membanting pintu.

Miyoung duduk dengan punggung pada pintu. Ia membenamkan wajahnya dan tidak ingin berpikir apa-apa lagi. Kepalanya sakit karena ia menangis terlalu keras.

*****

Selama seminggu Miyoung hampir tidak berbicara dengan ibunya. Mereka hanya saling menyapa ketika Miyoung hendak pergi sekolah atau pulang sekolah atau kadang ketika memasak. Ibunya hanya memberitahu bahan-bahan apa saja yang perlu dibeli dan setelah itu mereka tidak berbicara lagi. Apalagi hari itu adalah hari Minggu sehingga restoran tidak buka dan membuat suasana semakin hening.

Pikiran Miyoung penuh dengan berbagai macam rasa bersalah dan skenario tentang kejadian tempo hari. Ia memang agak keterlaluan dan itu semua juga karena dia terbawa emosi. Memang benar ia pemarah makanya ia sering sekali bertengkar dengan teman-temannya, apalagi ketika melihat salah satu dari mereka membuli yang lain. Miyoung tidak akan tinggal diam dan marah terhadap mereka.

Ibunya selalu menegurnya akan sikapnya yang keras itu dan Miyoung berusaha untuk memperbaikinya, tetapi setiap kali ia mencoba bersabar, hatinya resah dan kepalanya sakit.

“Hei!” Minseok sedang duduk di ayunan sambil memakan es krim, hanya satu lampu yang nyala sehingga taman terlihat agak gelap dan suram.

Miyoung pun mendekati Minseok dan juga duduk di atas ayunan sambil meletakkan barang-barang belanjaannya di sebelah.

“Kenapa?”

Miyoung menoleh kepada Minseok. “Apa maksud kakak kenapa?”

Miyoung selalu memanggil Minseok kakak, meskipun ia tidak tahu umurnya berapa. Semua orang tahu kalau dia hilang ingatan dan agak tertarik dengannya. Beberapa dari mereka bergosip dan membuat skenario di kepala mereka. Ada yang bilang kalau Minseok dibuang oleh keluarganya atau ada yang bilang kalau dia hampir dibunuh atau ada juga yang bilang kalau dia mungkin saja dari keluarga anak orang kaya. Yang baru-baru ini didengar Miyoung adalah, Minseok mungkin saja artis luar negeri karena wajahnya yang memang tampan.

“Kau jalan sambil bengong. Bertengkar dengan ibumu lagi?”

Miyoung sebal dengan orang ini. Ia selalu bisa membaca pikirannya dan Miyoung tidak pernah ingin pikirannya dibaca. Ia ingin pikirannya untuk dirinya sendiri.

“Tidak.”

“Jangan berbohong, bibirmu bergetar dan kau berkedip beberapa kali dan kau juga menundukkan kepalamu.”

“Apa—“

“Yah, aku tahu. Aku mungkin seorang polisi dulu atau FBI makanya aku bisa tahu. Tapi ceritakan saja tentang masalahmu.”

Miyoung mendengus dan mulai menggerakkan kakinya untuk mengayunkan tubuhnya.

“Aku tidak tahu.”

“Tidak tahu bercerita? Semua orang begitu. Kalau disuruh bercerita mereka akan diam dan mengatakan kalau mereka tidak bisa bercerita atau mereka tidak terbuka untuk orang lain. Padahal ketika kita diam kau akan menceritakan semuanya.”

“Lalu kenapa kakak tidak diam saja biar aku bercerita?”

Minseok tertawa dan mengayunkan tubuhnya dengan kuat. “Karena aku tidak ingin kau becerita.”

Miyoung mengangkat salah satu alisnya dan mengeurtkan dahi. “Kakak ini aneh. Mau aku bercerita tetapi tidak ingin mendengarkan.” Miyoung kembali melihat ke tanah dan jujur saja ia agak sedikit kecewa meskipun kesal karena Minseok sudah mengetahui isi hatinya.

Tetapi Minseok tidak berkata apa-apa dan masih bermain dengan ayunan. Bunyi rantai yang bergerak kadang membuat Miyoung bergidik, tetapi meskipun begitu angin segar yang menerpanya membuatnya menghiraukan kemungkinan kalau ayunan lama itu bisa rubuh setiap saat dan ikut memainkannya. Apalagi dengan bobot mereka berdua.

“Kalau kau sedang ingin bercerita, cerita saja, terserah kemauanmu.” Minseok berayun semakin kencang, melainkan Miyoung masih lambat.

“Maksdunya?”

“Aku tidak perlu menarikmu untuk bercerita karena itu semua tergantung dari dirimu mau bercerita atau tidak.” Minseok melirik ke arah Miyoung dan tersenyum. “Bukan orang lain yang harus mengatur hidupmu, dirimu sendiri yang harus memutuskan untuk melakukannya atau tidak karena pada akhrinya orang itu belum tentu bisa membantu. Jujur saja aku belum tentu bisa membantumu kalau kau bercerita, karena aku tahu kalau kau butuh seseorang yang mengerti tentang dirimu dan seseorang yang bisa merespon ceritamu dengan baik. Mendengarkan memang akan meringankan beban, tetapi kau tidak bisa memperoleh solusi padahal solusi itu lah yang kau cari yang artinya beban itu akan tetap masih ada.”

Miyoung mulai melambat dan menoleh ke arah Minseok yang menambah kecepatannya lagi. Semua perkataan Minseok diam-diam diresapi oleh Miyoung dan semua kejadian tentang ayahnya tiba-tiba muncul begitu saja dibenaknya. Bagaimana dulunya ayahnya sering datang dan bermain bersama mereka dan membawa mereka jalan-jalan ke Busan. Bagaiamana ayahnya sangat menyayangi ibunya dulu. Ia terlalu takut untuk menghadapi kenyataan kalau keluarganya sudah berubah dan ia tahu bagaimana ibunya juag depresi dengan segala hutang yang masuk ke akun mereka. Tetapi apa yang bisa dilakukannya? Apakah bercerai akan menyelesaikan segalanya? Karena perceraian adalah keputusan kedua belah pihak dan Miyoung tidak boleh memaksakan kehendak ibunya karena yang berjanji di depan altar adalah ibunya bukan Miyoung. Jika memang ibunya masih ingin bersama dengan ayahnya, itu adalah hak ibunya dan Miyoung harus menerima kenyataan itu. Seperti yang Minseok katakan, tidak ada yang bisa membantunya dan semuanya tergantung dirinya dan masa depannya juga tergantung dirinya. Ia terpaksa haru bekerja lebih keras dan berusaha membantu ibunya untuk mencicil hutang-hutang itu. Itu saja yang dapat dilakukannya.

Diam-diam Miyoung menjadi semakin penasaran terhadap Minseok, lelaki itu tidak mendengarkan ceritanya, tetapi ia sepertinya tahu apa yang terjadi pada Miyoung.

“Kakak tidak ingin tahu tentang masa lalu kakak atau berusaha mengingatnya?”

“Aku sudah berusaha mengingat, tetapi kepalaku bisa sakit. Jadi kalau sudah sakit, aku akan berhenti.” Gerakan Minseok mulai melambat. “Yang kutahu aku harus melakukan tugasku dulu, masa laluku pasti lama-lama akan terkuak.”

Miyoung tersenyum sambil berkata, “Semoga berhasil, kak.”

Minseok juga balas tersenyum dan samar-samar Miyoung dapat melihat lesung pipinya. “Terim kasih. Setidaknya aku sudah mengingat sedikit.”

“Tentang apa?”

Minseok berhenti mengayun dan melipat bibirnya ke dalam. “Yah, terakhir kali aku melihat diriku tenggelam dan aku ada di ruangan, itu saja.”

“Begitu.” Miyoung tidak tahu harus berkata apa dan diam saja.

Suara Minseok lah yang memecahkan keheningan itu dan ia pun bangkit dari ayunan lalu mengangkat barang-barang belanjaan Miyoung. “Sudah malam, ibumu akan khawatir kalau anaknya lama sekali pulang dari berbelanja.”

Miyoung meraih kantong plastik itu dan membungkuk sopan sambil mengucapkan selamat tinggal kepada Minseok.

Sesampainya di rumah, ibunya masih tidak berbicara. Miyoung meletakkan barang-barang belanjaanya di atas meja sedangkan ibunya baru turun dari tangga. Ibunya mendekati Miyoung dan membantu Miyoung mengeluarkan bahan-bahan makanan sambil mencuci kentang sedangkan Miyoung memotong bawang. Sebisa mungkin Miyoung tidak ingin melakukan kontak mata dengan ibunya dan pura-pura berkosentrasi pada bawangnya. Ia belum siap untuk meminta maaf dan berusaha mengumpulkan keberaniannya, tetapi di luar dugaannya ibunya yang duluan berbicara.

“Aku sudah mengajukan surat perceraian dengan ayahmu.”

Miyoung hampir saja memotong jarinya sendiri ketika mendengarnya, untungnya hanya tergores sedikit dan ia berusaha menahan mulutnya untuk berdesis.

“Ibu, apa—“

“Aku rasa sudah waktunya. Kita tidak bisa lagi begini terus dan ayahmu juga sudah setuju.”

Miyoung segera memeluk ibunya dari belakang. Ia tahu perasaan ibunya dan bagaimana ibunya mencintai ayahnya dan membuat keputusan seperti ini memang berat.

“Maafkan aku, bu. Sungguh. Ibu tidak perlu melakukannya kalau ibu tidak mau. Aku—“ tangisan meledak dan Miyoung memeluk ibunya lebih erat lagi. Ibunya juga menangis tetapi ibunya mengelap air matanya dengan tangannya.

“Tidak, tidak apa-apa. Aku tahu ini keputusan yang tepat.” Ibunya menepuk tangan Miyoung dan memutar badannya untuk memeluk anak perempuan satu-satunya. 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
serenidad
#1
interestinggg