Next Step

Next Step

Sungmin's POV

 

Sore di penghujung musim semi. Langit oranye merayap perlahan, menghantarkan matahari bersembunyi dibalik awan yang lain. Cherry blossom mekar bersamaan, terkadang beberapa diantaranya rontok mengenai sepanjang jalan. Dia masih mengayuh pedal sepeda dengan susah payah, sedangkan aku tak henti bersenandung seraya mempererat pegangan tanganku yang melingkar diperutnya.

 

Sesekali kusandarkan kepalaku dipunggungnya. Membiaskan rasa sakit yang terus saja merayap didada. Rasa sakit.. bagai genggaman yang terus mencengkeram kuat, tak mau lepas di setiap helaan nafas. Aku tersenyum, rasanya sudah terbiasa dengan rasa sakit ini.

 

Dia adalah sahabatku.

Tapi dibalik itu semua ada perasaan khusus untuknya. Perasaan yang selama ini membuatku sesak. Bertahun-tahun kami bersahabat, dan aku masih saja takut menunjukkan perasaan yang lebih dalam –walaupun sebenarnya dia pun juga sudah tahu.

 

Dia berhenti mengayuh, lalu menyuruhku untuk turun. Selesai memparkirkan sepeda, dia membawaku menuju area rerumputan. Seluruhnya hijau, kontras dengan Cherry blossom yang rontok tak beraturan.

 

Aku dan dia berbaring terlentang, dengan satu tangannya sebagai bantalan kepalaku. Bersama menatap langit-langit yang belum sepenuhnya menggelap. Dia mulai mengajakku berbicara. Menanyakan akan kemana selanjutnya kami dari titik ini. Meskipun sama-sama ingin, namun rasanya begitu sulit untuk menapaki tahap selanjutnya.

 

“13 tahun lamanya kita bersahabat,”

Ya, aku tahu itu.

 

“Kita sudah saling mengenal. Kau tahu segalanya tentangku, dan begitu juga sebaliknya,”

Kita saling memahami.

 

“Persahabatan kita sangat berharga,”

Begitu sangat berharga.

 

“Tapi kurasa, perasaanku terhadapmu jauh lebih berharga. Aku ingin bersamamu.”

Aku pun juga demikian.

 

Aku menoleh. Seolah tidak percaya dia mengatakannya terlebih dahulu. Meskipun belum mengucap kata cinta namun dari kalimatnya tadi tersirat bahwa ada perasaan itu –perasaan yang sama dengan milikku.

 

“Aku tidak bisa mengelak lagi. Rasanya begitu menyejukkan, mengendalikan emosiku, memenuhi pikiranku, dan juga membuatku bingung. Kalau semua perasaan aneh ini rasanya seperti cinta,  berarti ini memang cinta, kan?”

 

Dia masih menatap langit. Tapi kelima jarinya menggenggam dengan lembut bahu kiriku.

 

“Aku tidak tahu harus berbuat seperti apa. Kau tahu, saat ini hati dan pikiranku saling bertentangan.”

 

Dia menoleh. Menatapku intens dengan mata onyx yang selalu mampu melumpuhkanku. Membuat persendianku lemas, dan nafasku tercekat.

 

Sebisa mungkin kutekan rasa gugup yang terus saja menggodaku. Dengan lembut aku berkata, “Berhenti mengandalkan otakmu. Jangan terus menggunakan pikiran untuk mengambil keputusan. Ada kalanya kau harus menggunakan hatimu. Karena hatimu yang lebih tahu, hatimu yang akan menunjukkan jalan itu.”

 

Kurapatkan jarak diantara kami. Dia sedikit tersentak, tapi kurasa sekaranglah saat yang tepat.

 

“Aku juga ingin bersamamu. Menjadi lebih dekat denganmu, lebih dari seorang sahabat.”

 

Aku tersenyum. Rasanya semua beban berat yang dulu menimpaku lenyap begitu saja. Sungguh, perasaan lega yang tak mampu kuutarakan secara lisan.

 

Dan setelah itu dia membawaku lebih dekat. Menarik kepalaku didadanya. Memintaku untuk mendengar irama degup jantungnya yang tak beraturan. Lalu dia mengecup puncak kepalaku. Untuk pertama kalinya, dia menciumku.

 

“Aku mencintaimu, dan sekarang aku mengambil keputusan dengan hatiku.” katanya seraya tersenyum.

 

 

Hati mempunyai mata untuk melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh otak.” –Charles Perkhurst

 

 

-FIN-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sopikyu #1
Chapter 1: Ni epep ceritanya ringan tapi ngena bgt.. . . Aku suka aku suka