Jaga Bola Merah itu

Lelucon Untuk Si Pemikir

                Pada suatu hari, di sebuah bukit didekat Gunung Salju tinggallah seorang pemikir bernama Chan-Chan. Setiap hari ia melakukan aktifitasnya didalam gua. Makan dan minum tanpa peduli dengan suhu minus diluar yang sangat mencekik. Ia memakai mantel berbeludru dari kulit beruang yang ia kuliti sendiri. Saat mencari makan, ia menjebak seekor rusa atau hewan kecil yang menginap di sarangnya. Atau ia pergi ke danau yang membeku dan membuat lubang lalu memancing. Di desa nun jauh disana, timbul desas-desus perihal harta yang ada di gua Chan-Chan. “Aku dengar ia menyimpan emas dan berlian sebesar atap rumah.” Tutur seorang pedagang saat ia ditanya beberapa buruh toko. Banyak orang yang mencoba mendatangi gua Chan-Chan dan mencoba berteman dengannya. Karena Chan-Chan terlalu pemikir dan perhitungan, ia selalu mendepak orang-orang itu keluar guanya tanpa ampun. Meskipun tak pernah menimbulkan korban, setidaknya puluhan warga pernah mengaku kulitnya tersayat dan bajunya robek saat singgah ke gua Chan-Chan.

                Hingga seorang pemuda bernama Salabyun memberanikan diri. Setelah mendengar seorang kakek bercerita tentang Chan-Chan yang tak kunjung menua dan kaya raya, Salabyun terlena. Awalnya ia tergiur dengan harta yang diidam-idamkan kakek itu, tetapi sesuatu yang lebih berharga dari harta yang kemudian membelokkannya. Chan-Chan tak pernah menua. Itu yang Salabyun cari. Ia mengumpulkan banyak berita dan jejak dimana gua Chan-Chan berada. Setelah membuat peta buram yang ia buat selama dua minggu, ia benar-benar pergi ke gua Chan-Chan.

                Salju hampir menenggelamkannya saat ia mencoba melangkahi sebuah kubangan. Jika tidak ada pohon cemara yang ia pegang, mungkin ia sudah tenggelam dalam kubangan itu. Salabyun membenarkan letak syalnya yang meorot. Menepuk-nepuk topi tebalnya demi mengusir hawa dingin yang menusuk. Tangannya sudah membeku sejak satu jam yang lalu. Ia mengaamati dengan mendesah.

                Merasa tenaganya hampir habis. Salabyun berencana istirahat sejenak. Ia melihat sebuah lubang hitam yang dikelilingi pohon cemara. Mungkin lubang itu sangat panjang hingga warnanya segelap itu. Terpontang-panting Salabyun mencoba mendekati lubang itu. Ting. Sebuah gua yang hangat.

                Salabyun bisa merasakan tangannya yang mulai melumer. Melelehkan Kristal-kristal salju yang mencengkeramnya. Digosokkannya kedua tangan itu, menimbulkan rasa hangat yang nyaman. Salabyun mencoba berbaring sebelum suara nyaring menyadarkannya. “Kau siapa anak muda?” Salabyun terdongak. Merasa urat tengkuknya menegang karena memutar kepala tiba-tiba. “Aku Salabyun, pemuda yang tinggal di ujung desa.”

                Seseorang itu memelintir jarinya. “Apa kau mau hartaku?”. Salabyun sepenuhnya berdiri. Ia mengibaskan sisa salju yang menempel di bajunya. “Entahlah. Tapia pa gunanya harta?”. Seseorang itu menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kedua alisnya naik turun, tanda bahwa ia sedang heran dengan gelagat pemuda itu. “Tidak biasanya seperti ini.”

                “Aha! Kau pasti Chan-Chan.” Teriakan Salabyun membuat Chan-Chan, pemuda tadi terlonjak. Dua bola mata besarnya membulat dengan sempurna. “Kau tahu tentangku?” ia bertanya.

                “Tentu saja. Chan-Chan yang sangat kaya dan tak pernah tua. Siapa yang tak tahu kau. Sayangnya kau hanya terkenal sebagai tua Bangka yang kaya raya.” Mata Chan-Chan semakin membulat, seperti bulan purnama yang dilubangi tengahnya. “Kau!” geraman sedikit membuat Salabyun terkejut. Ia tak menyangka seseorang seperti Chan-Chan dapat menggeram seperti srigala. Kedua kaki Chan-Chan terlihat kejang-kejang. “Oh maaf aku menyinggungmu. Hanya saja aku penasaran, apa benar kau tak pernah tua?”

                Chan-Chan sedikit lebih tenang. Tangannya kembali terbenam di saku mantel. “Jujur saja jarang sekali yang bertanya seperti itu padaku. Bahkan belum pernah. Aku khawatir kau punya gangguan jiwa.” Chan-Chan berbalik untuk mengambil ranting yang tergeletak disamping sebongkah es yang tak pernah mencair. Ia menggoreskan ranting itu ke diding hingga memunculkan percikan api yang hangat. Kilatan api berkobar di ujung mata Salabyun. Semakin membangkitkan gairah untuk mengorek rahasia Chan-Chan. “Apa gunanya harta jika kita akan mati pada akhirnya. Akan sangat senang hidup lama untuk melindungi harta.”

                Mendengar kata-kata Salabyun yang tenang, Chan-Chan menghirup napas lega. Ia berjongkok menghadap kilatan api yang sekarang berubah menjadi api unggun kecil. “Betul juga. Memang itu tujuanku selama ini.” Salabyun semakin bersemangat. Ia berjongkok didepan Chan-Chan. Mengangkat tangannya untuk merasakan hangatnya api. “Jadi kau membuat sendiri ramuan agar awet muda?”

                Chan-Chan mengawasi pemuda itu sejenak. Setelah pandangan mereka bertemu, Chan-Chan membuang muka. “Aku punya sebuah batu untuk membuatku tak pernah tua.”

                “Batu? Ada ya benda seperti itu?” Salabyun pura-pura tidak tahu. Padahal dalam hati ia sudah menebak hingga seribu kemungkinan. Batu ajaib ada disalah satu tafsirannya. “Tentu ada. Batu itu sangat langka. Bahkan hanya ada dua di dunia. Aku mendapatkannya dari Ratu Salju ke dua. Dia langsung memberikannya padaku.”

                “Ratu Salju dua? Kurasa aku tak pernah mendengar nama itu dari silsilah Raja Piter. Siapa dia?” Salabyun mengencangkan mantelnya. Chan-Chan tertawa dengan nada mengejek. Barisan giginya terlihat rata diterangi sinar api yang memerah. “Kau belum lahir saat itu nak. Waktu itu umurku sekitar 240 tahun.” Salabyun hampir tersedak liurnya sendiri. Ia membekap mulut. “Kau setua itu?”

                Ucapan Salabyun sedikit membuat Chan-Chan kecewa. Tetapi daripada melewatkan pemuda yang cukup cerdas itu, Chan-Chan lebih memilih meladeninya. “Usiaku hampir 700 tahun sekarang.”

                “Untuk apa kau hidup selama itu?” Salabyun masih membuka mulutnya. Masih cukup tercengang dengan usia seseorang yang tampak tak lebih tua darinya. “Tentu saja untuk melindungi harta. Aku benci jika pedagang itu menjual barang antic. Aku hidup untuk menjaganya.”

                Setelah mengesampingkan pikiran mengenai usianya yang terlampau jauh disbanding Chan-Chan, Salabyun meluruskan niatnya lagi. “Kudengar ada yang tahu dimana kau menyembunyikan batumu.”

                Sesuai yang dikiranya Chan-Chan langsung berdiri. “SIapa dia? Beritahu aku.” Chan-Chan berteriak. Bayang-bayang merah dari api menyala-nyala di dalam bola matanya. Sejenak Salabyun bisa merasakan kilatan mata api Chan-Chan di ujung arinya. “Bagaimana bisa aku memastikan bahwa dia tidak berbohong. Aku tidak tahu dimana kau menyembunyikannya.” Seru Salabyun. Ia membuang muka. Menatap mulut gua yang mulai tertutup salju. “Mungkin saja dia berbohong, kan.” Tambahnya.

                Salabyun dapat melihat tangan Chan-Chan terkepal. “Kau bisa memberitahuku dimana kau simpan batumu. Dengan begitu dapat kupastikan di berbohong atau tidak. Percayalah, orang desa tidak bisa dipercaya.” Mendengar ajakan Salabyun, Chan-Chan berfikir. Ia termangu menopang dagu. Alisnya naik turun dan bibirnya mengerucut. “Aku menyimpannya di atas gua ku.”

                “Aha! Bingo! Seruan apa lagi yang bisa kugunakan. Orang itu mengatakan yang sesungguhnya. Dia bilang, batu Chan-Chan disimpan di atap rumah. Mungkin rumah yang dimaksud adalah gua. Ckk.. ternyata orang desa juga pintar.” Chan-Chan semakin geram. Kepalan tangannya semakin kuat.

                “Oh ya, bukannya kau benci sekali pada pedagang yang menjual barang antik?” Salabyun berkata lagi. Ia memainkan kerah bulunya dengan jahil. Seperti ada es yang tertanam dalam bola matanya, kilatan api itu mulai mengeruh. “Tentu saja. Aku sangat benci.”

                “Kudengar ada bola merah yang sangat besar yang tidak dijaga. Bola merah diatas emas manfaatnya. Kudengar tanpa bola itu kita tidak bisa hidup. Kuharap kau bisa menjaganya. Aku takut salah satu warga desa mencurinya. Tamatlah aku.” Seru Salabyun dibuat-buat. Ia menepuk dahinya beberapa kali. Sukses membuat Chan-Chan semakin terdesak ia tersenyum tipis.

                “Aku harus melindunginya. Lalu menghajar orang yang mengetahui letak batuku. Katakan padaku dimana bola itu dan siapa orangnya?” Chan-Chan mencengkeran kerah Salabyun erat. Membanjiri pemuda itu dengan tatapan tajam. Salabyun mencoba mengendorkan cengkraman itu. Ia menggelitik ujung jari Chan-Chan dan dia berhasil. “Dia ada di desa bawah namanya Fool, aku tidak yakin kau bisa bertemu dengannya. Untuk bola merah? Aku tidak tahu pasti, yang jelas saat kau mendongak kau pasti melihatnya.” Sejenak Chan-Chan menggerakkan bibirnya. Ia mencoba mencerna informasi. Tanpa pikir panjang ia langsung pergi dari gua. Tentunya tanpa mengatahkan sepatah kata lagi.

                “Terima kasih telah memberitahuku tentang batumu teman. Kau harus selalu menjaga matahari itu. Aku yakin kau menemukannya saat mendongak.” Seru Salabyun dengan melambaikan tangannya kearah mulut gua.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet