New Home

PRINCESA-[Life Reality]

Lee Sung Hee’s POV

 

 

Ini sudah hampir jam tujuh pagi, tapi langit masih terlihat gelap. Sepertinya, hujan semalam lumayan besar sehingga masih meninggalkan semburat mendung dan genangan air di depan bangunan ini.

 

Jendela yang berada di sudut ruangan sederhana ini agak kotor karena terkena cipratan lumpur semalam. Biasanya, kalau hari sedang mendung seperti ini, eomma akan pulang lebih cepat. Dia bekerja sebagai pengendara truk jarak jauh yang beroperasi di malam hari. Kadang aku mempertanyakan pilihan eomma untuk menerima pekerjaan itu, dan dia hanya mengangkat bahu. Ia bingung harus menjawab apa.

 

Lagipula, dia bukan tipe seorang ibu yang dekat dengan anaknya. Rumah ini selalu diselimuti dengan keheningan—juga kecanggungan—karena kami bahkan tidak bisa lagi mengucapkan ‘selamat pagi’ satu sama lain dengan cara yang wajar. Cara kami menghabiskan waktu pagi adalah, sarapan di ruang makan dan menikmati cuilan-cuilan kenikmatan tanpa suara. Hening. Aku tahu kalau ibu bukanlah orang yang kurang bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Ayah sudah meninggal beberapa tahun yang lalu—meskipun aku tidak ingat dengan persis tanggal kematiannya—Karena tenggelam saat memancing tuna di laut.

 

“Aku pulang.”

 

Ibu melempar topinya ke atas sofa dan melempar tubuhnya beberapa saat kemudian. “Kau sudah makan?”

 

Aku mengangguk. Sementara itu, ibu mulai mengeluh dengan bagian dadanya yang mulai sakit-sakitan akhir-akhir ini.

 

“Mungkin ibu sebaiknya pergi ke dokter.” Ujarku saat lagi-lagi ia menekan dada kirinya. “Sebelah kiri itu jantung, bu. Aku takut jantung ibu mengalami masalah atau apa.”

 

“Jangan khawatir padaku. Ini sudah biasa terjadi. mungkin gara-gara aku yang kurang istirahat,”

 

Percakapan kami menggantung begitu saja. Aku mengambil beberapa langkah lebih dekat untuk melihat keadaannya. Tidak bisa dibilang baik, namun juga tidak begitu buruk. Ibu sedang berkeringat hebat sekarang.

 

“Bisa ambilkan aku a—”

 

Ibu memegangi dadanya dan jatuh tersungkur. Aku yakin, dia baru saja ingin bangkit ke kamar dan menyuruhku mengambil air. Ibu biasa melakukannya. Tapi bukan itu yang ada di pikiranku sekarang.

 

Keringatnya semakin deras, Ekspresi wajahnya mengerut akibat merasakan sakit di dadanya. Sementara itu, aku masih berdiri di depannya dengan bingung—karena tidak tahu apa yang harus kulakukan. Ide pertama yang muncul di benakku adalah, membantunya duduk di sofa dan setelah aku melakukannya, telepon adalah hal kedua yang kuraih untuk kugunakan.

 

“Tolong!” Aku berteriak setelah wanita dengan nada suara ramah itu menyambutku di seberang telepon. “Tolong ibuku!”

 

 

Keningku menempel sepenuhnya pada pintu unit gawat darurat.

 

Aku segera melepaskannya ketika dokter keluar dari ruangan dengan wajah sendu. Seperti ada awan hitam yang mengeluarkan petir di atas kepalanya. dan itu sudah menjadi cukup pertanda bagiku, pasti ada yang tidak beres dengan semua ini. Kuharap itu tidak sepenuhnya benar.

 

Lalu, kata pertama yang ia ucapkan adalah maaf.

 

Dan dia sempat menepuk punggungku dan berlalu dari depan pintu ruangan, disusul oleh para perawat lain yang juga melemparkan tatapan kasihan sekaligus senyuman pahit. Mereka berkata kalau aku harus sabar. AKU HARUS SABAR.

 

Tubuh ibu telah terbalut selimut disana, dan saudara-saudaraku sudah datang beberapa menit lalu. Mereka menangis dengan hening disebelah ranjang empuk rumah sakit, sementara aku ingin menampar diri sendiri dan bertanya; Benarkah ibu meninggal? Tuhan tidak sebegitu kejamnya padaku, iya ‘kan?

 

Tanpa perlu dibantu, aku menyadari kenyataan bahwa ibu memang sudah tidak bernapas. Ini adalah hal kedua yang paling aku takuti dalam hidupku—yang pertama aku takut kucing, dan yang kedua aku takut ditinggalkan oleh orang-orang yang kusayangi. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, siapa yang akan bertanggung jawab atas hidupku sekarang? aku tidak memiliki siapa-siapa dan aku miskin. Dalam hitungan minggu aku pasti sudah menjadi tengkorak berjalan yang duduk di seberang rumah. Sekolahku juga termasuk hitungan. Sekolah mana sih yang tidak memungut biaya? Kalaupun aku mau pindah sekolah ke tempat yang lebih murah, mengurus berkas-berkas juga memerlukan biaya. Seragam baru. Buku baru.

 

“Yang sabar, ya.” Bibi memelukku dengan erat. Airmatanya menetes diatas bahuku. “Kita hadapi semua ini sama-sama.”

 

Yeah, sama-sama. Seolah-olah ibu akan ada di depan meja makan esok pagi, berkata ‘hai!’ dan merangkulku dengan akrab. Lalu memakan masakan buatannya pada malam hari. Dan besoknya, aku akan menemukan diriku terkena gangguan psikologis gara-gara menjalani hidup delusional.

 

 

Lima jam kemudian, pemakaman ibu telah selesai sempurna. Aku berjalan bak mayat hidup dan Bibi menyadarinya. Mungkin aku belum menjadi mayat hidup sekarang, tapi dalam waktu dekat aku pasti akan jadi salah satu dari mereka. “Sung Hee, kau pulang ke rumah bibi saja, ya? Kau terlihat berantakan. Aku juga akan sangat senang kalau kau menemani bibi,”

 

“Tidak, terimakasih.” Aku menolak halus. Itu memang ide yang bagus, tapi sayangnya kehancuran hidupku baru dimulai dan aku ingin sendiri. Aku memang dekat dengan bibi dan aku tidak keberatan kalau harus mampir ke rumahnya, tapi ia punya seorang anak laki-laki. bukan anak kandungnya—meskipun aku tidak keberatan menganggap orang itu sebagai anak kandung bibiku—tapi itu lumayan membuatku pusing tanpa harus berpikir dua kali.

 

“Rumahmu akan disita, Sung Hee.” Ia mengerutkan dahi, sama seperti yang kulakukan sekarang. “Ibumu meminjam uang di bank dengan jaminan rumah kalian. Dan sekarang ia sudah tidak ada. Tidak ada yang bisa membayar hutang-hutangnya, jadi malam ini rumahmu akan disegel secara paksa.”

 

“Bisakah bibi membantuku? Aku akan menggantikan uangnya nanti.” Aku mencoba mencari solusi, tapi sayangnya bibi menggeleng, “Aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya. Hutang ibumu berjuta-juta won lebih banyak dari gajiku perbulan. Tinggallah bersama bibi, karena kau tidak mungkin mengurus dirimu sendiri diluar sana.”

 

Aku terdiam. Ini adalah kesempatan yang tidak bisa kutolak, karena demi apapun, tinggal serumah dengan bibi dan anaknya terlihat jauh lebih baik ketimbang berseliweran di pinggir jalan sebagai pengemis atau tengkorak hidup. “Aku ikut bibi.”

 

Ia terlihat bahagia ketika aku memilih keputusan itu. Sesegera mungkin, kami mengepak barang-barang dan pergi ke rumahnya. Aku menatap takjub rumah sederhana didepanku. Mengesampingkan bentuknya yang terlihat minimalis, rumah ini terlihat nyaman dan lingkungannya sejuk. Berbeda jauh dengan rumah besarku di tengah kota yang terasa panas dan pengap. Bahkan, kurasa langit diatas rumah lamaku hampir selalu ditutupi polusi dan awan mendung.

 

Bibi membunyikan bel beberapa kali. Aku ingin tahu kenapa dia harus membunyikan bel di rumahnya sendiri.

 

“Ah!” Ia memeluk sosok tinggi yang membukakan pintu. Sosok itu juga memeluk balik bibiku. “Eomma? Kenapa baru pulang sekarang?”

 

Itu suara laki-laki. yah, saat ini aku tidak ingin mempermasalahkan hal itu—tentu saja anak itu ada disini. ini rumahnya.

 

“Sayang, mulai sekarang Sung Hee akan tinggal bersama kita.” Aku bisa melihat rahang laki-laki tertarik gravitasi hingga hampir jatuh ke tanah. Tidak ada alasan untuk kaget seperti itu, kurasa. Aku MANUSIA dan sudah kupastikan aku tidak menggigit atau menularkan rabies pada siapapun.

 

“T-Tidak salah? Tapi tidak ada kamar kosong—”

 

“Gudang masih bisa kita rubah menjadi kamarnya.”

 

“Huh?”

 

Mereka akan membuatku tidur di gudang. Permulaan yang bagus. Besok-besok, mungkin aku akan ditempatkan di bak kamar mandi atau kloset sekalian. “Kalau memang tidak ada, aku bisa pergi mencari tempat lain—”

 

“Tidak, Sung Hee. Ini sudah hampir malam. Ayo masuk dan kita pikirkan kamar itu nanti.”

 

Dengan begitu, aku resmi memasuki rumah mereka. Aku memicingkan mata, berusaha untuk beradaptasi dengan rumah yang penuh dengan hiasan kayu dan sudah kuduga, ‘minimalis’. Ruangan disini ditata lumayan rapi walaupun entah kenapa, ada sebuah kaus kaki diatas sofa ruang tamu.

 

“Aigoo!! Ambil itu, Baekkie! Ambil itu!” Bibi menunjuk-nunjuk kaus kaki usang itu dengan jijik. Laki-laki itu segera mengambil kaus kakinya kembali dan melemparnya ke keranjang sampah, dan sikapnya tadi lumayan menjengkelkan. Maksudku, setidaknya cuci saja dulu kalau masih bisa dipakai, bukannya dibuang ke tempat sampah. Memperbanyak limbah.

 

“Oh ya, Sung Hee, kau belum kenal dengan anakku? Kalian bisa berkenalan sekarang. aku akan menyiapkan makan malam.”

 

Setelah bibi pergi, keadaan malah semakin kacau. Di tengah acara berdukaku yang belum selesai, ada sesuatu yang memisahkan jarak kami berdua, kecanggungan. Aku benci dengan segala tentang canggung—dan hei, bibirnya masih tertutup rapat saat ini. aku juga tidak berniat untuk mengajaknya kenalan karena ini bukan saat yang tepat untuk mengalahkan rasa canggung dan berjabat tangan dengan wajah sumringah. Aku masih berduka atas kematian ibu dan malas melakukan apapun.

 

“Namaku Baekhyun. Kau?”

 

Wow, aku tidak menyangka dia akan menyapaku terlebih dahulu. Sampai lima menit yang lalu, aku masih yakin kalau kami hanya akan terdiam seperti anak ayam tolol yang mencari induk semangnya. “Sung Hee. Lee Sung Hee.”

 

“Kenapa kau pindah kemari?”

 

Aku terdiam sebentar sebelum menjawab. “Ibuku meninggal dan aku tidak punya tempat tinggal lagi. bibi mengajakku tinggal disini dan aku menerimanya.”

 

“Hmm,” Sahutnya singkat. Aku berharap agar waktu memasak bibi bisa sedikit dipercepat karena aku benci berada dalam situasi seperti ini. “Sudah mendapat gambaran kau akan tidur dimana malam ini?”

 

Aku menggeleng. “Karena aku tidak mungkin tidur di kamar mandi, aku akan tidur di sofa saja.” Dia tertawa kecil saat aku menyebut ‘kamar mandi’ dan aku sadar, caraku mengucapkan ‘kamar mandi’ memang lebih lucu daripada biasanya. “Oke,oke. Sudah cukup basa-basinya. Aku hanya ingin tahu, kenapa dari sepersekian saudaramu yang lain, kau malah memilih untuk tinggal disini. bersama ibuku.”

 

Aku bisa mendeteksi perubahan suaranya yang mendadak jengkel. “Ada masalah? Dia orang pertama yang menawariku tinggal disini. Dan aku menerimanya. Aku tidak mau disangka orang gila karena duduk semalaman didepan rumahku yang disita.”

 

“Itu lebih baik daripada kamu harus kesini,” Omelnya. “Kau menghancurkan ruang privasiku.”

 

“Menghancurkan ruang privasimu? Kau masih punya kamar. Aku baru menginjakkan kaki disini dan kau bilang aku menghancurkan privasimu. Jadi bagian mana dari ‘menghancurkan privasi’ yang sudah aku lakukan?”

 

“Segalanya. Mulai hari ini kau akan berkeliaran seperti zombie di rumah ini dan, kau tahu, wajahmu itu menjengkelkan. Benar-benar mengganggu.”

 

Aku merasa agak tersinggung dengan sindirannya. “Wajahku menjengkelkan? Oh, mungkin. tapi kelakuanmu itu jauh lebih menjengkelkan, Baekhyun.”

 

Dia terlihat kesal sehingga lebih memilih untuk berdiri dan berpaling dari ruang tengah. “Jangan coba-coba mencampuri hidupku. Kuperingatkan kau.” Ia lalu berjalan menuju kamar dan membanting pintu.

 

“Tanpa kau suruh pun aku akan melakukannya,” Desisku kesal. Aku bersumpah akan memenggal kepalanya suatu saat nanti, kalau aku punya kesempatan.

 

Beberapa saat kemudian, bibi memanggil kami ke meja makan. Dia terlihat bahagia karena anggota makan malamnya bertambah satu. Sementara Baekhyun hanya mendengus dengan nada mengejek dan menyendoki makanannya satu persatu. Bibi tampaknya bingung dengan keadaan ini, namun ia juga tidak bertanya. Aku bersyukur karena dia tahu saat yang tepat untuk menutup mulut dan makan dengan benar. “Aku selesai.”

 

Baekhyun cepat-cepat beranjak diikuti dengan tatapan heran bibi. “Kenapa dia?”

 

Aku menggeleng. Bibi tidak mengambil pusing dan ikut menyudahi makannya. Aku juga sudah membuat piringku sendiri bersih mengkilap sejak tadi.

 

“Kau harus tidur dimana?” Bibi kebingungan di ruang tengah. Aku hanya berdiri diam didepannya. Aku juga tidak punya alternatif lain selain tidur di bathtub kamar mandi. Aku tidak keberatan sih tidur disana, tapi bathtub itu basah dan aku tidak mungkin tidur disana sementara—mungkin saja akan ada orang yang mau memakainya selagi aku tidur. “Baiklah. Kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di sofa.”

 

“Jangan!” Aku mencegahnya. Jelas kucegah, tidak mungkin aku enak-enak tidur di kamarnya sementara ia sendiri tidur di sofa. “Biar aku tidur di sofa.”

 

“Aigoo, tidak mungkin. kau akan kedinginan disana.” Tepat saat bibi menyelesaikan kalimatnya, Baekhyun keluar dari kamar untuk menyikat gigi. Dia sedang menuju kamar mandi dengan malas-malasan saat bibi memanggil, “Baekhyun!”

 

Baekhyun memberinya tatapan mengantuk. “Ya?”

 

“Aku tahu! Sung Hee, karena tempat tidurku sempit, aku tidak bisa berbagi kamar denganmu. tapi kau bisa berbagi kamar dengan Baekhyun karena tempat tidurnya lumayan luas.”

 

Aku hampir menjatuhkan barang-barangku sementara Baekhyun—lagi-lagi—hampir menjatuhkan rahangnya. “Tapi—”

 

“Aku tidak menerima penolakan, Baekhyun. Kau juga, Sung Hee. Tidurlah disana. Kamar Baekhyun hangat dan nyaman. Dia juga rapi.”

 

“Tapi dia itu perempuan!” Sahut Baekhyun tidak terima. “Dan aku tidak bisa berbagi kamar dengan siapapun—”

 

“Turuti saja kata-kataku! Kau dengar apa yang kubilang tadi? AKU TIDAK TERIMA PENOLAKAN.”

 

Baekhyun mengacak rambutnya dengan kesal, sementara aku bingung harus memberikan respon seperti apa. Selama kurang lebih sepuluh detik dalam keheningan, akhirnya ia menyuruhku masuk kamar karena ini sudah terlalu larut.

 

Aku menarik koperku dengan susah payah ke kamarnya. Dia memberiku tatapan mematikan, tapi sayangnya aku tidak terpengaruh dengan itu. “Lihat, hari pertamamu ada disini saja sudah menghancurkan ruang privasiku.”

 

“Bukan salahku ‘kan?!” Aku capek beradu argumen dengannya. Aku lelah setelah menangis seharian. Aku butuh istirahat.

 

“Terserah. Aku mau tidur. Aku tidur di kasur, kau tidur di lantai.”

 

Aku ternganga. “Lalu buat apa aku disini?!”

 

Dia hanya mengangkat bahu dan segera menyelimuti dirinya sendiri. Aku mengerang putus asa dan segera menyesali keputusanku untuk tinggal disini.

 

Lihat saja kau, Baekhyun. Aku membawa boneka pandaku ke ruang tengah dan tidur di sofa. Suatu saat aku akan menggantungmu di tiang kota!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
xonice #1
Chapter 1: cerita nya menarik
Namayou
#2
Kayaknya bakalan menarik :)