That Night

About Us

If I said no...

-:-:-

 

Rasanya bagai berpuluh-puluh kaktus terlempar dan mendarat diseluruh bagian tubuhmu. Rasanya bagai menyiramkan luka yang menganga lebar dengan air garam. Klasik. Tapi itu nyata. Meski hanya kiasan. Sekali lagi, itu nyata. Dan terasa disini.

 

Sesak. Oksigen seperti telah habis di bumi ini. Tersisa gas beracun yang tak ingin dihirup. Ingin selalu menutup hidung dengan berlapis-lapis kain. Terhimpit. Bagai besi ratusan ton menimpa, disini.

 

“Bagaimana? Apa kami cocok?”

 

Pertanyaannya membuyarkan imajinasiku. Hanya seulas senyum dipaksa yang bisa kuberi sebagai jawaban. Lidah seakan kelu dan tenggorokkan tercekat. Suara tak mampu keluar atau aku yang tak ingin?

 

“Kuanggap iya. Terimakasih.”

 

Tangannya menggenggam erat tanganku. Aku telah mengkhianatinya sebagai sahabat. Betapa ia sangat ceria dan bersemangat saat bercerita. Tulus mengucapkan terimakasih yang bahkan aku tak melakukan apapun. Berkata juga tidak.

 

Kami berpisah. Aku masih terduduk dibangku pinggir lapangan, sedangkan ia sudah beranjak pergi. Meski aku sangat tahu kemana tujuannya, tapi kedua kaki ini serasa terpaku dirangkaian batu balok yang melapisi tanah.

 

*

 

Bertahun-tahun aku mendengarnya, tapi baru kali ini ringtone itu terasa mengganggu. Seakan gesekan biola dari seorang amatir atau pukulan pemain drum yang frustasi.

 

Dengan ragu, tanganku menjulur ke tepi nakas. Menarik benda kotak yang masih berdering kencang. Layarnya berkedip. Sederet nama terlihat. Nama yang sangat kukenal beberapa tahun ini.

 

Sapaan pembuka terucap darinya dan aku membalas sekedarnya. Suara baritonnya mengalun cepat memprotes betapa lamanya aku menjawab panggilannya. Aku hanya bergumam sesekali dan meminta maaf sesudahnya. Lalu kami saling diam.

 

Gemerisik hujan sayup-sayup mulai terdengar. Menambah cuaca dingin malam rabu ini. Kurapatkan selimut hingga menutupi lutut yang kutekuk.

 

“Disana hujan?” tanyanya memecah kesunyian.

 

“Ditempatmu juga.” balasku yang juga mendengar guyuran hujan diseberang sana.

 

Lagi, kami terdiam. Cukup lama hingga suaranya kembali terdengar. Pernyataan yang membuat jemariku meremas kuat bantal yang kudekap.

 

“Ada yang menyatakan perasaannya padaku tadi sore.”

 

“Lalu?”

 

“Dia sahabatmu.” Aku bergeming. Sebisa mungkin untuk tetap tenang meski ada pergulatan kecil dihatiku. “Bagaimana menurutmu?” lanjutnya.

 

“Dia baik. Kurasa kalian cocok.”

 

“Begitukah? Haruskah kubalas perasaannya?”

 

Dadaku bergemuruh. Jantungku berdetak normal namun setiap detaknya mengejut. Seakan berlomba detakan mana yang akan membuat jantung ini keluar dari rongganya.

 

“Kenapa tidak?!” Suaraku tercekat. Kuharap ia tak menyadarinya. Menyadari betapa susahnya menahan hujanku.

 

“Sungguh? Kau tidak...”

 

“Sungguh.” ujarku cepat, memotong ucapannya. Tak ingin terlalu lama bicara. Takut jika nanti aku merubah keputusan yang kubuat.

 

Terdengar helaan napas darinya. Seperti melepaskan beban berat yang tengah dipikulnya.

 

“Baiklah kalau itu maumu.”

 

“Aku sedang sibuk. Maaf.”

 

Klik!

 

Kuakhiri percakapan ini tanpa persetujuannya. Mulai merebahkan tubuhku dan membalutnya dengan selimut sampai menutupi wajahku.

 

Bodoh! Terlalu pengecut untuk mengatakan 'tidak'. Dengan mudahnya kulepaskan mutiara yang kugenggam erat. Yang telah kujaga hingga kini.

 

Tapi aku teringat, ada yang berkata bahwa sahabat bagaikan berlian. Mutiara dan berlian, mana yang lebih mahal? Entahlah. Tapi satu yang pasti. Keduanya sangat berharga dan mahal.

 

Dan aku tak mungkin mengkhianati arti persahabatan. Biarlah aku mengalah kali ini. Membiarkan sahabatku bahagia bersama seseorang yang kucintai.

 

Diluar sana hujan telah mereda. Dan hujanku baru saja mengalir. Tanpa sadar bahwa pengaruh besar akan segera terjadi.

 

*

 

Malam itu adalah perbincangan kami yang terakhir. Tak ada lagi kata yang saling terucap, tegur sapa, maupun sekedar senyum darinya. Ia seakan menghilang atau lebih tepat jika dikatakan menjauh dariku.

 

Sekali lagi kumaki diriku yang teramat bodoh dalam mengambil keputusan. Penyesalan yang selalu kurasakan selama bertahun-tahun.

 

Seandainya kukatakan tidak malam itu. Seandainya keberanianku berkata jujur lebih besar dari sebuah kebohongan. Seandainya aku dapat mengulang waktu. Dan masih banyak lagi kata seandainya yang tak terucap.

 

Tak terhitung lagi berapa kata maaf yang terucap dariku untuknya. Selama enam tahun mengharap balasannya, tapi ia selalu bungkam. Membuat rasa bersalah yang bersarang semakin besar dan menumpuk. Hingga menutup pintu hatiku dan membiarkan kekosongan yang mengisinya. Berharap suatu saat ia kembali datang. Tersenyum dihadapanku dan menerima satu kata maaf dariku.

 

*

 

Kau tahu?! Dia hanya menjadikanku bahan taruhan! Dia yang kau sebut baik telah mempermalukanku. Tidak, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku hanya kecewa padamu yang telah menjerumuu pada kebohongan cinta! Kau sama saja dengannya! Terimakasih untuk semuanya!

 

End.

 


 

Here the second chapter...

Bisa disebut awal dari akhir(?) hubungan mereka.

Maaf sebelumnya, jika fanfic yang aku posting pasti aneh, bahasanya amburadul, dan super duper gaje..

Still mind to review? ^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet