Left

About Us

Let me be your memory...

-:-:-

 

“Apa kabar?”

 

 

Suara khas itu kembali menelusup di telingaku. Bertahun-tahun kita tidak bertemu, tapi suaramu tetap kuingat. Tidak hanya suaramu, tapi segalanya dan semua kenangan saat bersamamu masih tersimpan rapi dimemori otakku. Beberapa kali mencoba untuk menghapusnya tapi selalu gagal. Karena kenangan itu akan terlintas kembali dengan sendirinya. Seperti kau berkaitan dengan apapun yang kulakukan. Ada dirimu yang tak nyata dihadapanku.

 

 

Rasanya hangat ketika pertanyaanmu muncul. Seakan air hangat yang membasahi seluruh tubuhku. Angin dipenghujung musim gugur yang terasa dingin terhalang oleh hawa hangat darimu. Meski kau hanya terdiam disampingku setelah pertanyaan itu, tapi itu cukup bagiku. Bisa melihatmu lagi dalam jarak sedekat ini.

 

 

Aku masih memandang hamparan air yang sedikit keruh di danau taman kota. Bukannya enggan untuk menjawab pertanyaanmu. Malah rasanya ingin sekedar untuk menjawab, tapi bertanya. Tentang apapun yang terlewat selama ini. Selama komunikasiku denganmu terputus oleh suatu hal.

 

 

Berpuluh-puluh kalimat seakan berdesakkan untuk meluncur keluar dari celah bibirku yang terkatup. Hingga untuk menyeleksinya pun sulit. Karena semuanya penting. Bagiku, entah bagaimana menurutmu.

 

 

Perlahan aku menoleh. Mendapati sisi kiri wajahmu. Memperlihatkan guratan tegas yang tersirat dari sikapmu. Dan aku mulai mengingat bagaimana bibir milikmu menyunggingkan senyuman. Bagaimana kata-kata larangan terucap darimu. Bagaimana peluh itu membasahi dahi hingga pipimu, saat kau bermain olahraga kesukaanmu.

 

 

Ah, kau begitu menyilaukan. Meski warna kulitmu tak seputih salju. Tak secerah mentari kala pagi menyambut. Dan tak menawan bak pelangi selepas hujan mendera.

 

 

Kau hanya kau.

 

 

Kuhembuskan napas perlahan. Mencoba sedikit melonggarkan gugup yang mengikat kerongkongan. Aku telah menemukan pertanyaan apa yang akan kuajukan. Hanya sebuah kata, singkat, namun bermakna.

 

 

“Kenapa?”

 

 

Akhirnya...

 

 

Dan kau menoleh. Menampilkan kerutan di dahi. Aku tahu kau bingung atau sedang mencerna apa maksud pertanyaanku. Namun jika itu ‘kamu’, kuyakin kau akan mengerti. Karena masalah ini hanya ada antara aku dan kau.

 

 

Aku percaya kau masih mengingatnya. Aku percaya kenangan itu masih membekas diingatan dan -mungkin- hatimu. Aku percaya bukan hanya aku yang terus merasakan gundah. Aku percaya-

 

 

“Kenapa?”

 

 

Kau kembali meluruskan pandangan, bukan lagi menatapku. Kuperhatikan kau dengan lekat. Dan waktu seakan terhenti saat kembali kulihat senyum mengembang diwajahmu. Bukan senyum terpaksa. Bukan juga senyum iba. Aku tahu, karena dulu kau sering menunjukkan senyum itu saat kau bahagia.

 

 

Penasaran, kuikuti arah pandangmu. Tak ada yang istimewa. Hanya danau yang permukaannya bergelombang tertiup angin. Beberapa daun kering turut menghiasinya, juga beberapa bungkus sampah makanan yang dibuang oleh orang tak bertanggungjawab.

 

 

“Aku ingin kau bebas.” ujarmu.

 

 

Tepat mengenai hatiku dan rasanya sedikit geli. Menelisik sistem saraf penasaranku dan mulut yang ingin melancarkan tanya. Namun aku menunggu. Pasti ada alasan dibalik pernyataanmu.

 

 

“Mungkin terdengar klasik bagimu, tapi benar, aku ingin kau bebas. Bukan berarti aku telah mengikatmu selama ini. Ah rasanya sedikit sulit untuk menjelaskan.”

 

 

Kau menggaruk tengkukmu, salah tingkah.

 

 

Jika kita sedang bercanda, aku akan menertawakan kebiasaanmu itu. Tapi aku dan kita tahu, bahwa kali ini bukan waktunya bercanda.

 

 

“Aku tidak bisa melihat masa depan. Tapi aku tahu masa lalu kita.

 

 

Kita.

 

 

“Meski bumi tidak bundar, pun ia tidak memiliki ujung maupun akhir. Meski seakan jarak pandang dapat melihat bagaimana akhir, tapi nyatanya akan ada lagi awal setelahnya..”

 

 

Aku lebih memposisikan mata sepertimu. Melihat lurus tanpa ujung. Sedikit menyipit kala mentari menyembul dari balik awan dipuncak menara.

 

 

“Begitu juga aku,” lanjutmu. “Bukan berarti aku dapat memastikan bahwa pilihanku adalah dermaga akhirku, namun aku tetap mempercayainya. Aku juga ingin kau begitu. Jangan lagi jadikan aku akhirmu. Kau bisa memulainya lagi. Mencoba mengarungi samudera dengan kapal dan nahkoda ‘baru’ menuju dermagamu dengannya. Meski akan ada ombak mendera menghalangi perjalananmu hingga kau terjatuh, sakit, dan menangis. Percayalah bahwa akan ada bahagia dan dia yang membantumu bangkit.”

 

 

Itu adalah ucapan terpanjangmu selama aku mengenal sosokmu. Kata-kata itu meluncur bebas tanpa hambatan. Seakan kau telah menghapalnya dan mengucapkannya berulang kali.

 

 

Kuresapi dan kuolah semuanya dalam kepalaku. Sampai pada akhirnya kutemukan sebuah pesan tersirat dalam pidatomu. Satu hal yang sulit dan tak ingin kulakukan. Meski telah mencoba namun gagal. Kumohon katakan bahwa hipotesaku salah. Buktikan bahwa 5% kesalahan yang sering kali diabaikan itu benar.

 

 

Tapi kenyataan berlawanan dengan dunia khayal.

 

 

Kau mengucapkannya meski tetap dalam arti kata tak sebenarnya. Bagai bilangan imajiner yang hanya disimbolkan dengan huruf ‘i’. Kau pun menggantinya dengan kata lain yang lebih bermakna.

 

 

Diiringi tenggelamnya sang surya, dengan sebuah senyum hangat dan sebatang cokelat yang kau letakkan dalam genggamanku, kau pergi melangkah menuju 'dermaga'mu.

 

 

“Jadikan aku kenanganmu.”

 

 

end.

 


 

Third chapter...

Apakah ini akhir dari 'cerita' mereka? Mungkin iya? Hahaha.. Tunggu aja ya kelanjutannya :)

Review again? ^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet