Just Once

Just Once

Langit di atas sana sudah terlanjur berubah menjadi gelap ketika langkah kecil Zitao menyapu aspal berlubang menuju rumahnya. Bocah kecil itu membiarkan rambut legamnya berantakan tertubruk angin dan tertimpa salju yang berjatuhan. Sementara matanya menatap takut pada sebuah rumah sederhana di sudut jalan, takut-takut seseorang akan melahapnya hidup-hidup.

"Kau baru sampai? Lihat jam di atas sana, Zitao!"

Kakaknya -Yi Fan- memandangnya keji seraya mengambil sebuah tongkat rotan di belakang pintu. Lengan besarnya menarik tubuh ringkih Zitao dan memposisikannya tepat di hadapan. Seiring dengan manik takut bocah itu, suara hantaman rotan dengan kulit mengisi kesunyian di malam natal kali itu. "Aw,"

Zitao mengaduh sakit ketika hantaman itu terus bergulir sepanjang tiga puluh menit terakhir. Peluh dan air mata membasahi dirinya seraya sang Kakak menarik rotan di tangannya. Melihat banyak tanda kemerahan di bagian kaki Zitao dengan tatapan santai, seolah tidak ada yang harus disalahkan, pun diperbaiki karena ia memanglah tidak mengerti dan tidak mau tahu kenapa ia harus melakukan ini pada bocah kecil itu.

 

Waktu tahu-tahu saja berlalu dengan cepat seraya Zitao masih berdiri di sana, menatap bayang-bayang kakaknya yang hendak menjauh. Masuk ke dalam kamar dan menyalakan lagu keras-keras seolah tidak pernah ada orang lain di rumah itu. Setidaknya memang begitu, memang hal seperti itu yang terlintas di pikiran Yi Fan.

Zitao meringis sakit setiap kali melakukan pergerakkan, memperhatikan botol-botol arak di sudut meja dan beberapa bungkus rokok yang tergeletak di atas dipan. Memandangnya jengah sekaligus lelah. Bocah itu melepas kaos kakinya, duduk diam sembari mengobati luka di kakinya. Berharap sakitnya akan hilang seraya ia memajukan waktu sedikit lebih cepat dari biasanya.

Karena, ketika dia sadar akan apa yang ia lakukan, ia tak bisa berhenti.

Zitao enggan beralih dari waktu dan setiap putarannya.

 

 

Hari itu Zitao tidak berangkat ke sekolah, pun menemui May Leen -teman sekolahnya di taman dekat rumah mereka. Ia hanya duduk diam, sesekali membereskan detil rumah yang sedikit berantakan. Menunggu bulan keperakkan merangkak naik ke cakrawala, tiupkan angin malam ke tirai jendelanya. Setelahnya suara bedebam keras terdengar dari arah pintu. Hendaknya Zitao melihat apa yang terjadi, namun ia terlalu malas. Terlalu lelah untuk sekedar menebak bahwa itu Yi Fan, pulang membawa beberapa wanita dan berbotol minuman beralkohol -habiskan malam di kamarnya dan keesokan hari akan memukul Zitao lagi.

 

"Zitao,"

Kerongkongan Zitao tercekat sesaat setelah mendengar suara kakaknya. Pemuda kecil itu enggan mengambil derap langkah, pun pergerakan barang sedikit. "Kemari -" Yi Fan mengerang pelan. Pria itu menghembuskan napas seraya menarik tubuh kecil Zitao mendekati tubuh kotornya.

 

Zitao ketakutan.

Bocah kecil itu menunduk malu seraya Yi Fan mulai mengerahkan kekuasaannya pada dirinya.

Ini sudah biasa.

 

Ketika, orang lain menghabiskan detik-detik berharga mereka bersama keluarga, yang ia lakukan hanyalah seperti ini. Berpolah layaknya budak, tak berani menerjang sekalipun ia ingin. Zitao menghapus air matanya seraya Yi Fan menarik dagu anak itu, ingin menatapnya.

"Kukatakan padamu, bahwa hidup kita akan selalu seperti ini."

Yi Fan menarik sepuntung rokok, membakar sudutnya, menghisapnya dalam-dalam sebelum mengatakan lagi, "Karena ibu tidak akan pernah kembali ke sini. Membantumu, melindungimu seolah kau adalah benda paling rapuh layaknya pecahan kaca."

Yi Fan meludah, tertawa sinis seraya mengeluarkan percikan api dari kedua bilah tangannya. "Wanita itu telah mati, Zitao-"

" -aku yang membakarnya."

 

Zitao menangis. Pria kecil itu menjatuhkan air matanya seraya menatap Yi Fan tanpa takut. Tangannya mengepal seraya ia menahan isak yang semakin menjadi. "Kau jahat, ge. Kautega,"

Yi Fan melirik Zitao. Pria itu menampar pipi kecil adiknya sesaat setelah ikut meneteskan air mata juga. Ia memandang adiknya penuh emosi, selayaknya serigala yang tengah mencegat musuh. Ia mengguncang tubuh Zitao, "Dia yang jahat, idiot!" Yi Fan berteriak keras sekali di depan wajah Zitao, yakinkan anak itu kalau ia juga ingin berteriak lebih kencang.

Tangan Zitao meremas ujung bajunya sendiri. Bukan ini yang dia minta, bukan menghabiskan hidup seperti ini di sini. Mengisi hari dengan perilaku buruk seraya mengesampingkan kenyataan yang terus menubruk di hadapan. Berpolah layaknya tidak mau tahu. Yi Fan menghapus air matanya sendiri dengan kasar, kerongkongannya terasa kering, "Salah siapa dia membawa penyakit sialan ini padaku dan padamu?! Bukan salahku karena dia adalah wanita jalang!"

Zitao menangis sejadinya ia. Air mata menuruni lekuk pipinya sementara butiran salju tetap menuruni bumi. Menutupi beberapa bagian daerah sekitar dengan jumlahnya yang banyak dan suhunya yang rendah, tapi tak cukup dingin untuk membekukan hatinya. Tak penuh untuk hapuskan luka di sudut hatinya.

"Ibu tidak seperti itu," Zitao berkata, lirih sekali. "Ibu hanya melakukan yang terbaik untukmu dan untukku, ge."

 

Sekeras apapun Yi Fan mencoba, ia tetaplah tidak bisa mengesampingkan hal itu. Ketika ayah yang seharusnya berada di antara mereka, mengisi celah demi celah dengan kehangatan keluarga, justru tak siap dan pergi meninggalkan mereka bertiga. Lingkupi mereka dengan ketakutan akan hari esok dan sulitnya pekerjaan ditemukan mengingat strata pendidikan ibunya yang tidak tinggi.

Hanya meninggalkan kedua anaknya kekuatan aneh. Yang satu menyalakan api, sementara yang satu dapat mempermainkan waktu. Seolah detik, menit, dan jam hanyalah olokan semata.

 

Zitao menutup kelopak matanya. Bocah kecil itu mengaitkan lengannya pada lengan besar Yi Fan. Mendekatkan dirinya dan mengikutsertakan Yi Fan dalam setiap detil permainan waktunya.


"Tidakkah kau merindukan ibu?"

"Tidak,"

Yi Fan menggeleng seraya mendorong Zitao menjauh, meski Zitao jelas telah menarik erat dirinya. Sepanjang waktu berputar arah, Zitao memejamkan matanya. Menahan pilu padahal ia tak cukup bisa untuk bertindak begitu.

 

Karena, ketika dia membuka kelopak matanya, ia ingin menemukan orang yang ia tak dapat lihat lagi. Harapkan mendengarnya yang tak dapat ia dengar lagi. Suara lembut wanita yang memanggilnya dengan sebutan Zitao-ku sayang, atau sekedar pangeran-kecil-ku. 

Rasa dalam dirinya bergejolak ingin meledak sementara yang dapat ia lihat hanya bayangan wanita itu.

Itu ibunya.

Tersenyum sedih sementara Yi Fan membakar seluruh rumah. Melingkupi segala ruang dengan apinya, Zitao dapat merasakan panasnya. Betapa ganasnya si lidah merah melahap abis kayu-kayu di atap, timbulkan plafonnya jatuh dan menimpa orang di bawahnya tanpa ampun.

Zitao dapat merasakan pedihnya.

Karena, ketika mata dan telinganya tetap berfungsi yang dapat ia ingat hanya penglihatan dan pendengaran yang memilukan untuk diingat. Sekeras apapun ia ingin, yang timbul hanya bayangan ibunya.

"Zitao, kau lelah?"

 

"Zitao, ibu menyayangimu."

 

"Ibu berharap Yi Fan ibu dapat kembali seperti putra kecil ibu sedia kala. Satu yang peluk ibu kapanpun ia bersedih."

 

"Yi Fan, ibu bangga padamu."

 

Baik Zitao maupun Yi Fan saling menatap. Tak dapat pungkiri betapa kesalahan yang diperbuat, berapa yang harus dibayar untuk ini. Kedua bersaudara itu hanya menutup mata mereka, merasakan panasnya suhu sampai membakar kulit. Menahan gejolak sakit tapi mereka tahu ini tidak dapat dilewati lagi.

Baik Zitao maupun Yi Fan tak dapat mengundur ini lebih lama.

Karena, ketika mereka membuka mata kembali, yang mereka lihat hanyalah ruangan gelap, pengap, tanpa suara. Zitao menegang, pemuda itu menarik ujung kemeja Yi Fan kencang, takut jika sesuatu yang lebih buruk akan terjadi ketika tiba-tiba di sudut ruang sana terdapat sepercik cahaya.

Menyala redup meski tak lama menyambangi mereka berdua. Dan ketika mereka melihat orang di balik lilin itu, itu adalah ibunya. Satu yang tersenyum meski pahitnya hidup menyapu setiap inci kulitnya. Bersyukurnya mereka, melihat dia yang tidak dapat dilihat lagi, dan mendengar suaranya yang tak dapat di dengar lagi -di dunia.

"Yi Fan, Zitao, Ibu menyayangi kalian."

 

Karena, sekali saja ia dapat mendengarnya, sekali saja ia dapat melihatnya, ia tahu ini hidup yang ia inginkan.

 

Fin.

 

The first one which i posted here. So much hope that you'll gimme some appreciates and leave some comment. :)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
YuaRei #1
Chapter 1: Wah, cerita ini bagus, tapi tragis gitu ya akhirnya :o
Mm, saya rasa cerita ini terinspirasi dari lagu Exo - Miracle in December ya :D
He he,
amusuk
#2
Chapter 1: uaaah, ini bagus banget O.O
jadi, yifan membakar seluruh rumah pada akhirnya, dan mereka pun menyusul ke tempat ibunya.
daripada plot yang gimana-gimana, ini lebih ke pendalaman makna ya, keren. sedikit banyak mirip karya sastra :)
guylian #3
Chapter 1: Kok sedih ;;;;;;;; tapi agak bingung sama maksud ceritanya /gubrak