part three: hari esok

Anterograde Tomorrow [Indonesian]

part three: hari esok; word count: 7751

 

 

 

Sinar mentari menyusup ke dalam mimpi Kyungsoo, membias pada sesuatu yang dingin dan asin, mungkin juga meliputi sepasang kaki yang berjalan di pertemuan antara laut dan pantai. Dia berbalik, dan pasir yang basah pun bertransformasi menjadi seprei yang dingin.

Saat Kyungsoo membuka mata, barisan sayap-sayap camar dan rona biru digantikan oleh langit-langit ruangan yang terlalu rendah, jendela mungil di ujung kamar yang sempit, dan lantai kayu yang mulai mengelupas di balik karpet yang telah usang. Itu kamarnya, walau tidak sama persis dengan kemarin karena ada banyak catatan hijau yang seingatnya tak pernah ia tempel di dinding. Warna berikutnya terdiri dari tulisan dan diagram berwarna, berikut angka-angka dan tanggal. Angin berembus menyingkap tirai dan membuat catatan-catatan itu berkibar, menciptakan melodi kertas-kertas yang memberi aplaus.

Walaupun Kyungsoo tidak terkejut dengan keadaan kamarnya, entah bagaimana ia terkejut dengan jumlah catatan-catatan kuning yang berlimpah. Bagaimanapun, kebingungannya musnah dengan sendirinya, menjadi sebuah senyuman saat dia beranjak ke balkon dan mendapati sesosok yang bersandar di pagar balkon yang berdempetan.

“Sudah kau baca yang warna kuning?” Orang asing itu tiba-tiba bertanya, sorot di pupil matanya berubah jahil saat mendapati tatapan datar Kyungsoo. “Kembali sana dan bacalah. Lalu buka pintumu saat kuketuk.”

Maka Kyungsoo kembali ke dalam, membaca semuanya, dan membuka pintu saat Jongin mengetuknya. Sepuuh menit kemudian mereka berada di depan bak cuci piring di dapur membuat sarapan ketika Jongin menyentuh perutnya, menghitung gundukan tulang rusuknya, menghancurkan semuanya dengan cara yang sempurna. Gelisah pun berhenti dan kemudahan berlanjut, menjalar seiring dengan lengan yang melingkari pinggang dan dagu yang membenam di bahu.

Mungkin ini dapat terulang selamanya, pikir Kyungsoo. Mungkin suatu hari ia akan membangunkan seorang pria tua dan Jongin akan tetap menyentuhnya di perut, meniupkan godaan-godaan yang tak keruan di telinganya, dan mengacaukan segalanya persis seperti hari ini.  Mereka akan makan pagi di balkon, dengan kaki-kaki yang keriput di atas sandal yang lembut seperti bulu dan rambut beruban yang terlalu tipis untuk menyembunyikan cerahnya senyuman. Ia akan menyukai itu.

--

Hubungan cinta antara Kyungsoo dan Jongin disimpulkan oleh goresan-goresan tak berbentuk di halaman-halaman dengan pinggiran-pinggiran yang sobek, tersusun dalam sebuah daftar kecil yang Jongin beri judul Hal-hal yang Membuat Do Kyungsoo Bergairah. Di tanggal-tanggal ganjil, ada yang spontan terbakar saat pena menggores; di tanggal-tanggal genap ada Jongin yang menyusuri tekstur kulit Kyungsoo yang merinding dengan tangannya.

Sebagian besar hal tersebut tercipta dari malam-malam biasa di bar, saat semua orang mengabaikan mereka pada gelas Scotch yang tak tersentuh sebagai wasit. Kyungsoo menemukan dirinya menatap dengan bodohnya pada wajah Jongin selagi dirinya bernyanyi, berpikir keras bagaimana mungkin seseorang dapat tampak begitu sempurna namun juga hancur sekaligus. Indah seperti goresan tinta, kebahagian meluber dari tepian seperti teh yang diperam, Jongin seperti sebuah artefak dari kesempurnaan yang hilang—meski bagian tentang kesempurnaan itu menusuk sang debu begitu ia mendongak, menangkap tatapan mata-besar Kyungsoo, lalu mengedipkan mata.

Ada sesuatu tentang kerdipan Jongin yang membuat Kyungsoo nyaris menjatuhkan mikrofonnya, dan pasti irama memberi tanda pada lagu. Tidak butuh waktu lama bagi Kyungsoo untuk mempermalukan diri sendiri sepenuhnya, karena di saat Jongin menghapus jarak di antara mereka, bibir yang indah meniupkan lantunan blues di atas peluh yang licin. Jantung Kyungsoo menghantam rongga dadanya di tiap sentuhan semi-sengaja pergelangan tangan dan bisikan tentang, “Kutantang kau, sungguh.”

Permainan tantangan ini berubah maut saat pintu ruangan tertutup dan meninggalkan Jongin yang  mendorong tubuh Kyungsoo ke dinding, “Katakan itu lagi? Kau menantangku?” Telapak tangan dan lutut meluncur ke paha, gumaman tak jelas memberi jeda di setiap deru dan rintihan. Urgensi menjalari segalanya sementara frustasi menuntun tangan untuk menuruni risleting. Atau mungkin bukan frustasi.

Mungkin hanya urgensi, karena mereka selalu tergesa demi butir pasir agar menghilang dari kerutan di telapak tangan mereka. Karena saat musim dingin berganti semi, hubungan mereka tidak hanya tentang dorongan yang kuat dan tatapan yang menyala-nyala, tetapi lebih pada kesunyian lembab yang terperangkap di antara seprei di apartemen Jongin. Karena saat musim semi tiba, puncak itu menghilang dan hanya meninggalkan aliran arus yang konstan.

--

Kyungsoo merentangkan tubuhnya di atas kasur Jongin, memandangi tirai yang meniupkan nyawa pada ratusan catatan kuning di tembok, sementara Jongin menemui ceruk di pangkal lehernya dengan kedua ibu jari. Sebuah bisikan dari pikiran yang kacau mematahkan ketenangan, “Maafkan aku.”

Udara bergetar bukan karena permintaan maaf kecil dari Jongin, tetapi desau tarikan napas Jongin saat memasuki paru-paru. Menelusupkan tangannya di balik kemaja kaku Jongin, Kyungsoo menghitung jumlah tulang rusuk Jongin dengan jari telunjuknya. Ia meninggalkan jejak-jejak kecil keringat yang lengket dan keluar, menggumamkan “satu, dua, tiga—”. Jongin terperanjat, kaget, sedangkan Kyungsoo mencium cepat kekagetan itu dari bibirnya, “Ssst. Jangan minta maaf.”

Butuh waktu yang sangat lama bagi Jongin sebelum ia rileks dengan usaha Kyungsoo, membiarkan pemuda satunya menekan sisi tubuhnya dengan telapak tangan dan mewarnainya dengan kehangatan dan kenyamanan, “Hanya saja aku bahkan tak mampu, untuk mencintaimu, dengan pantas.”

Kyungsoo mendengus, membenamkan jarinya dengan keras di antara tulang rusuk, dan tawa Jongin meledak, yang lalu Kyungsoo tangkap dengan handal menggunakan kedua tangan dan membalutnya dengan sebuah ciuman yang lebih penuh, lebih panjang. Ada bayang samar di bawah tubuh mereka saat Kyungsoo menarik diri, membiarkan warna helaan napasnya melayang dengan lesu. “Jongin, dengar. Aku tidak peduli dengan seks. Ini sangat lebih dari cukup, seperti ini. Kita sudah melakukannya.”

Jongin menenggelamkan wajahnya di bantal. Kyungsoo melepaskannya. Jongin memalingkan muka. Kyungsoo memaksa wajahnya kembali menghadap dirinya. Pada akhirnya Jongin pun terkekeh malu, “Kau membunuhku, hyung. Kau benar-benar membunuhku.”

“Kenapa?”

Tidak ada jawaban, jadi Kyungsoo berpikir bahwa mungkin itu hanya satu di antara banyak hal yang Jongin katakan tanpa alasan. Salah satu dari sekian banyak yang datang dan pergi. Seiring dengan langit yang semakin gelap, pertanyaan itu melebur bersama dengan cahaya, dan tidak pernah kembali.

--

“Kemanakah pikiran pergi saat ia terlupakan?”

“Aku tidak tahu. Hilang?”

“Itu tidak jelas.”

“Aku bukan penulis.”

“Jangan jadi tidak jelas.”

“Baiklah, mati. Pikiran itu mati.”

“Bagaimana jika aku tidak mau?” Jongin menjentikkan pemantiknya membuka dan menutup, melihat lidah api mengibas di sekitar tutup logamnya. “Jangan biarkan aku mati, hyung. Berjanjilah padaku kau akan mengingatku.”

“Baiklah. Aku janji. Aku akan mengingatmu.”

“Selamanya.”

“Selamanya.”

Ada masa-masa di mana kenyataan lebih menyakitkan dibanding kebohongan, dan masa-masa di mana kebohongan itu sendiri sudah cukup menyakitkan untuk merobek Kyungsoo.

“Akankah kau mencintaiku besok?”

“Tentu.”

“Janjikan padaku itu.”

“Aku akan mencintaimu besok, dan aku akan mengingat dirimu selamanya. Berikan saja pemantiknya padaku sebelum kau membakar apartemenku.”

Jongin menuliskannya sebuah catatan untuk mengingatkannya janji mereka, “Namaku Jongin. Aku penulis yang tinggal di apartemen sebelah. Sampai jumpa besok, hyung. Jangan lupa!” Kyungsoo tertawa melihat tanda serunya dan Jongin meninju lengannya, dan mereka berguling bersama, di bawah selimut, di atas lereng kecil harapan. Kyungsoo kemudian mengetahui, bahwa kebohongan juga adalah salah satu hal yang menyatukan Jongin, jadi mungkin ia bisa berbohong sedikit.

Harapan itu berakhir, pada akhirnya, dan kebohongan itu musnah. Suara Jongin terdengar kecil dan kesepian saat bergumam di rambut Kyungsoo, “Aku hanya punya dua hal di dunia ini, hyung. Hanya dirimu, dan menari. Semua itulah yang aku punya, dan sebentar lagi, mereka akan mencongkel tarian dari tulangku, dan, pada akhirnya, mereka akan mengambilmu juga....”

Kyungsoo membiarkan Jongin melingkarkan tangannya di seputar lehernya dan menariknya ke dalam pelukan. Api padam dan kegelapan pun mengisi. Di luar sana hujan. Bunyinya rintik-rintik di ambang jendela.

--

Ada waktu-waktu di saat Kyungso memandangi Jongin menari hingga ia dapat melihat gerakan telat Jongin, tidak terlalu signifikan namun cukup kentara. Rokok yang dijentik ragu, rasa takut dan hasrat dalam keraguan itu. Seolah otot-otot menahan dirinya dari suatu hal hingga tendonnya menegang, dia seolah terus-menerus mengejar nada-nada yang selalu satu ketuk lebih cepat. Mungkin Jongin sendiri sadar; kilat frustasi dan kesusahan yang melebar di matanya itu jelas sekali.

Tetapi pada akhirnya, momen-momen itu pun menghilang. Tak ada lagi marah dan duka, tidak ada gerakan, tidak ada susah-payah, tidak benar-benar ada. Hanya sesosok bayangan hitam yang duduk di pojok lain bar. Hancur perlahan-lahan menjadi serpihan debu dan cahaya.

Lalu ada saat di mana Kyungsoo bernyanyi, ia dapat melihat tangan Jongin mengepal-membuka. Bekas gigitan di bibir bawahnya, matanya yang menunduk, bahu yang lunglai. Semuanya hancur menjadi kepingan bukan dengan teriakan, namun dengan lenguh napas yang tak dapat diabaikan. Perlahan, konstan, tak terelakkan.

Dan yang paling penting, kalimat yang mendeskripsikan Jongin sebagai penari di halaman terakhir album Kyungsoo mulai terasa seperti bohong, sebab Jongin tidak lagi menari. Dia juga bukan benar-benar seorang penulis. Dia tak seperti pria di halaman itu. Dia tidak tampak seperti manusia sama sekali bahkan, mungkin hanya mayat berjalan yang di tiap penghujung jam selalu mengulang, “Hyung, apa kau ingat saat...?”

--

Kyungsoo terjebak di antara perasaan sesak dan tersiram oleh malam musim panas begitu ia melangkah ke dalam lift. Orang asing yang telah berada di dalam mengangguk singkat memberi salam. Waktu itu tanggal 12 Juli, suatu masa ketika dunia berjalan dengan nyala lampu merah yang tak menentu, lolongan orang mabuk dan sesekali gelak tawa. Hanya ada mereka berdua di jam-jam seperti ini, dan sebuah keheningan yang menjulang.

Baru saja kembali dari bar, Kyungsoo berusaha menghilangkan sisa asap metalik dan aroma kental alkohol pada rambutnya. Lengkungan saxophone masih bersarang di jarinya dan dentum cinquillo masih tertinggal di bawah kulitnya, tapi tak satu pun dari hal-hal itu yang cukup untuk mengisi jurang yang ada di antara dirinya dan si orang asing.

Orang asing itu, dengan rokok yang belum nyala di antara giginya, lebih dulu berbalik. Pencahayaan lift melingkupinya dengan warna kuning dan selubung kelesuan yang berat. Kyungsoo bertanya-tanya, dengan cinquillo berdentum-dentum dalam pembuluh darahnya, apakah kulit pria itu seplastik kelihatannya.

"Panas. Cuacanya. Panas sekali," ia berkata sembari mengulurkan tangan—yang Kyungsoo genggam dengan keraguan. Yang mengherankan, genggaman tangannya dingin. Jari-jari yang panjang, kuku-kuku yang dipotong pendek dan tajam, kulit yang kasar dan kencang membalut buku-buku jari yang kurus. Tapi lebih dari itu, dia gemetar, Kyungsoo sadar akan itu. Giginya bergemeletuk dan dia nyaris tak dapat melakukan kontak mata.

"Mm," Kyungsoo tercekat. Dia ingin bertanya apakah orang tersebut baik-baik saja, mengapa dia gemetaran begitu, namun di antara derit lantai lift dan percikan cahaya bola lampu, kata-katanya menguap, “Ya. Ya. Malam ini panas.”

Orang itu tak mengatakan apa pun. Ia malah bersandar pada dinding lift dan matanya menyusuri sosok Kyungsoo dari atas ke bawah, seolah menanti Kyungsoo untuk mengenalinya. Jenis pandangan seperti itu membuat Kyungsoo mengkeret di balik jaket, meski lapisan tipis dari wol halus itu tidak membantunya sama sekali untuk menyembunyikan dirinya. Waktu bergerak lambat hingga pintu lift terbuka ketika Kyungsoo menghembuskan napas yang tanpa sadar telah ia tahan.

Baru kemudian, setelah Kyungsoo menyusuri koridor menuju apartemennya dan memperhatikan orang asing itu mengikutinya, dia sadar bahwa ini bukan kali pertama mereka bertemu.

"Apakah aku mengenalmu kira-kira?" Ia akhirnya bertanya, suaranya menggema dengan gelisah di sepanjang lorong. Orang itu berhenti di pintu kamar sebelah, memutar-mutar gantungan kunci di jari telunjuknya. Secercah cahaya bulan masuk melalui pagar dan memantulkan sesuatu pada setelan orang itu. Kyungsoo melihat sepasang kancing manset, berkilau dan terlihat mahal, terlalu mahal untuk dimiliki oleh seseorang yang sudi tinggal di tempat semacam ini.

"Menurutmu?" Orang asing itu mengernyit, dan suaranya terdengar lebih seperti memohon daripada meminta.

Kyungsoo mengambil kain tiras yang ada dalam sakunya. Ia tidak ingat pernah melihat wajah orang asing itu saat membaca album memori maupun di catatan-catatan hijau miliknya di tembok. Tetapi mungkin ia melewatkan selembar. Itu pernah terjadi. Ia buru-buru meraih tasnya, dan terhenti oleh serentet tawa, “Jadi kau tak ingat apa pun? Sama sekali?”

“Apa? Apa yang harusnya aku ingat?”

“Tidak ada. Sungguh, tidak ada,” orang asing itu tertawa, atau mungkin terisak, saat dia bersandar di pintu apartemen sebelah dan merosot turun, turun, turun. Meski dalam gelap, kilat ketakutan yang terpancar dari lekuk senyumnya tampak jelas. Itu membuatnya tampak lebih muda dari kelihatannya, benar-benar disayangkan.

--

Semangka itu terasa seperti jendela kotor dan udara yang mengandung hal yang kasat mata, melodi mengecil membusuk dalam nadi. Kyungsoo merasa sulit untuk menelan. Semuanya tidak dapat terlihat hari ini, berdiri di ambang eksistensi.

“Jongin,” katanya sembari mengeluarkan biji-biji hitam dengan hati-hati menggunakan telunjuk, “kenapa kau sangat diam?”

“Aku selalu diam,” jawab Jongin.

Mereka duduk bersila di balkon apartemen Kyungsoo, dengan dinding yang mulai lapuk di belakang mereka dan daerah-daerah pinggiran tanpa akhir yang telah menguap. Kyungsoo merasa semua itu hanya seperti sebuah film yang terbuat dari debu dan mimpi yang hancur. Pasti ada dunia yang sesungguhnya di luar sana, tempat tawa tidak terlihat mustahil pada kegersangan wajah Jongin.

“Kau tidak seperti itu.”

“Kau tidak akan tahu. Toh, kau tak ingat.”

“Kenapa kau begitu kesal?”

“Tidak.”

“Ya.”

Jongin menggigit potongan semangka dengan gusar. Cairan buah mengalir dari ujung mulutnya dan ia mengusapnya kasar dengan punggung tangannya. Dia kesal, itu jelas sekali, Kyungsoo memutuskan, atau mungkin lebih dari kesal. Menunggu dengan sabar, Kyungsoo mendengarkan suara Jongin menggigit, mengunyah, menelan, tersedak mengambil napas. Tapi Jongin tidak menghentikan aksinya, hanya terus mengunyah lebih cepat dan lebih cepat.

“Dengar, apa aku salah bicara? Jongin, aku ingin memiliki hubungan denganmu tapi kau tidak bisa seperti ini—”

“Tidak, hyung. Aku bisa, karena kita bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa,” sembur Jongin tiba-tiba dengan dingin dan rapuh. “Dan kita tidak akan pernah memiliki hubungan. Kau mengerti itu, kan? Kau boleh terus berusaha tapi kau tidak akan pernah bisa mengingatku. Itulah yang sebenarnya terjadi.”

Kyungsoo tidak ingin menangis, tapi isakan kecil meruntuhkan topeng wajah-datar-nya dan merusak semuanya. Jongin semakin marah, “Kau bahkan tidak punya hak untuk marah. Kau terbangun tiap pagi dengan hati yang baik-baik saja seutuhnya tapi bagaimana denganku?”

“Maafkan a—”

Aku cinta padamu, sungguh, tapi aku masih harus memperkenalkan diri padamu setiap pagi dan apa kau mengerti bagaimana rasanya?—Tidak, kau tidak mengerti, karena sebenarnya kau tak mencintaiku. Tanpa semua catatan dariku, tidak ada apa-apa. Sebenarnya, sesungguhnya, tak ada apa pun. Aku benar-benar hanyalah orang asing bagimu, dan hubungan ini hanya sandiwara semata. Hanya novel. Rekayasa. Semuanya. Aku bahkan tidak hanya menulis novel, persetan, aku hidup di dalamnya.”

Usai jeda yang panjang, “Maaf,” terucap jua, dari salah satu mereka. Mungkin keduanya.

“Dua malam yang lalu, aku menerobos masuk dan merobek semua catatan-catatan tentang kita di apartemenmu, dan kemarin, aku berusaha melihat apakah kau akan mengingat malam saat kita bertemu untuk yang kedua kalinya—bahkan setitik penyadaran—tapi tentu saja....”

Jongin menautkan jemarinya di tangan Kyungsoo dan menggenggamnya, lengket cairan semangka melumuri tangan yang berkeringat. “Ini faktanya. Aku akan mati. Suatu hari kau akan lupa tentang kita. Kemudian, keesokan harinya, kau akan melupakanku. Bukan karena amnesia-mu. Tapi karena waktu. Sebab itulah yang dilakukan waktu. Dia mengambil serpihan-serpihan kecil. Mula-mula yang tak berarti, lalu dia menyusup ke yang lebih berharga.... Namun kemudian di saat kau menyadarinya, mereka telah menghilang, dan kau tak akan tahu apa yang telah hilang sampai—”

“Tidak, tidak Jongin, bukan begitu—kepalaku memang buruk, tapi hatiku,” Kyungsoo menangkupkan kedua tangan mereka di dadanya dan menarik napas dalam-dalam, seolah udara itu dapat mengisi celah di antara mereka. Hangatnya Jongin meresap melewati bajunya dan itu membuat perutnya terasa ringan, membuka kunci pada kata-kata yang tak ia tahu dari mana adanya, “Hatiku baik. Aku akan mengingatmu di situ. Aku tidak bisa mengingat apa pun tentangmu, tapi di saat kau terluka, hatiku terluka. Saat kau tertawa, hatiku pun tertawa. Aku bisa mencintaimu meski tanpa memori, jadi bertahanlah. Bertahanlah, kumohon?”

Setelah berjuang untuk beberapa lama, Jongin berhasil memaksakan sebuah senyuman di wajahnya, namun senyum itu bergetar, dan akhirnya runtuh saat ia berkata, dengan terpekur, dan brutal, “Ini bukan novel cinta hyung. Hatimu tidak bekerja seperti itu.” Ia menghirup napas, dan paku tajam terakhir pun dikeluarkan, bukan dengan suara yang keras namun bisikan penyesalan yang lembut, “Tidakkah kau melihatnya, hyung? Akhir kita sudah jelas. Semua sudah diatur sejak dulu sekali, bahkan sebelum kita bertemu.”

Meski Jongin menantikan bantahan, meski mereka berdua menantikan bantahan, Kyungsoo tidak punya apa pun untuk dikatakan. Isaknya meruntuhkan badannya dengan keras dan hebat, sampai-sampai dirinya tak mampu untuk memberi protes kecil sekalipun seraya Jongin melanjutkan, “Kau tahu—suatu hari, aku tak akan mampu menyentuh wajahmu, mengobrol denganmu. Aku hanya akan—terbaring, melihatmu menangis dengan mata terbuka lebar, tubuh kebas, dan, dan tanganku, menggenggam tanganmu... Kau akan menggenggam tanganku seperti sekarang, tapi saat itu akan terasa dingin, dan menyakitkan, lebih dibanding saat ini. Dan bila hari itu tiba, hyung, berjanjilah padaku kau akan membiarkanku pergi. Kau akan pulang, cabuti seluruh aster—”

“Tidak.”

“Karena, dengarkan, hyung. Kau tidak pantas untuk...” jakun Jongin terangkat, berhenti, dan tidak turun-turun lagi. Suaranya pecah. Mendadak Kyungsoo menyadari bahwa Jongin tengah menangis juga. Ia telah menangis selama ini, mungkin sebelum Kyungsoo terbangun, “melihat bunga aster layu....”

“Tidak,” Kyungsoo menyambar kedua tangan Jongin, mengumpulkan seluruh kepingan tulang yang hancur dan urat yang usang, dan mengucapkan permohonan sembari terisak pada buku-buku jari yang lemah itu, “tidak, tidak, tidak.”

--

Antara bulan dan detik, Kyungsoo sudah tidak mengikuti jarum jam dan lupa bagaimana cara membaca jam, berikut kalender. Terkadang ia melupakan tanggal. Di waktu lain ia menerawang ke luar jendela dan bertanya-tanya di musim apakah mereka sekarang. Albumnya tidak lagi diperbarui dan ia tidak yakin jika ia berumur dua-puluh atau dua-puluh-lima sebab dua-duanya tidak masalah. Dia akan terus terperangkap di tempat yang sama, itulah yang sebenarnya terjadi.

Namun ketika Jongin datang, semua kembali seperti semula. Kala itu bulan terakhir musim gugur tahun 2013. Sekarang dia berumur dua-lima, hampir dua-enam kurang tiga bulan, dan benar-benar jatuh cinta hingga terasa sakit. Sakit karena sekarang sudah di bulan penghujung musim gugur, karena musim panas telah berakhir dan dia bahkan tak dapat mengingatnya, karena ia tengah berada dalam cinta yang membuatnya tamak dan marah dan sedih atas segala yang tak mampu dia miliki.

Cinta yang membuatnya berpegang pada Jongin di tiap akhir malam dan mengemis padanya untuk membiarkan dirinya mengingat semua tentang hari ini, dan kemarin, dan—

“Besok,” Jongin menyela. Kyungsoo merasa dirinya mencium bau samar iodine atau antiseptik dan seprei garis-garis rumah sakit, “Kau bisa mengingat besok. Aku akan mengingat semua hari kemarin kita, dan kau bisa mengingat semua esok yang kita punya. Itu akan hebat.”

Kyungsoo menatap datar, “Itu tidak masuk akal. Bagaimana kau bisa mengingat hari esok?

“Yah,” Jongin merilekskan diri di pelukan Kyungsoo, membiarkan punggungnya mengisi lengkung di dada Kyungsoo, dan pipinya menyentuh pipi Kyungsoo, “Besok aku ingat kita akan pergi ke pantai, dan?”

“Dan apa?”

“Dan apa kau ingat apa yang akan kita lakukan?”

“Jongin, apa yang kau bicarakan. Bagaimana kau bisa mengingat sesuatu yang tak pernah terjadi—”

“Hush. Mari kita lihat. Aku ingat bahwa airnya akan diterangi cahaya. Matahari akan terbenam, warnanya ungu dan merah di balik awan. Tapi suasananya akan sunyi, kebanyakan hanya bunyi air dan angin, dan suaramu. Kau akan menyanyikan My Lady dan membenamkan kakimu di pasir sembari melihatku menendang-nendang air. Aku akan menari, kau akan menyanyi. Aku tersandung, kau akan mengangkat kakimu dari pasir dan berusaha untuk menangkapku. Melihat betapa tampannya dirimu, tiba-tiba aku ingin mengajakmu dalam posisi yang menjanjikan. Aku bercinta denganmu di situ, saat itu juga, lalu akan ada pasir di mana-mana dan kau histeris, tentunya, dan mencuci bajunya empat kali, menyikat bersih semuanya—tapi itu nanti, pastinya—mula-mula kita akan makan malam sambil duduk di kap mobil, pelan dan santai. Kita bisa makan banyak hamburger, dengan keju yang banyak...”

Kyungsoo berpikir, “Dan kita akan melihat petang. Aku terus bernyanyi dan kau mengambil tanganku, menarikku turun dari kap. Kita akan menari bersama. Tertawa. Kau akan tertawa lebih keras tapi aku lebih lama. Nyamuk di mana-mana, mungkin. Aku ingin pergi tapi kau ingin tetap di situ, karena kau memang seperti itu, dan aku menarikmu balik dan kau tidak mengindahkanku tapi pada akhirnya kau menyerah, karena aku akan memukulmu. Atau mungkin aku yang menyerah, ketika kau menggenggam tanganku dan menarikku dan menciumku dengan kasar.”

Jongin menggenggam tangannya dan menariknya sangat dekat hingga Kyungsoo dapat merasakan hembusan napasnya di lidahnya, “Seperti ini?”

“Apa yang kau pikirkan saat ini?”

“Betapa aku ingin tetap seperti ini.”

Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak Kyungsoo tanyakan pada Jongin. Dia tidak menanyakan pada Jongin apakah mereka dapat bersama selamanya, berapa hari esok yang mereka punya tepatnya, karena terkadang kebenaran itu terlalu benderang. Dia hanya dapat bergantung pada detik, tiap gerak, tiap kontak, tiap suku kata. Jongin tiba dalam detik. Semuanya tiba dalam detik.

Kalau saja detik dapat bertahan lebih lama.

--

Bagaimanapun juga, saat Kyungsoo terbangun di keesokan harinya, mereka tidak pergi ke pantai. Nyatanya, tidak ada “mereka”. Tidak ada catatan-catatan kuning di dinding kamarnya, tidak ada kalimat di halaman terakhir albumnya, tidak ada posisi menjanjikan atau hamburger di atas kap mobil. Yang ada hanya Kyungsoo bergegas menuruni tangga untuk bekerja di pabrik, makan malam di meja makan yang kosong, menunggu pukul tujuh untuk tiba dengan mata terpaku pada balkon apartemen sebelah dan suatu perasaan aneh bahwa ada sesuatu yang salah.

Ketika dia melantunkan nada di bawah lampu remang panggung, dia menatap kursi kosong di ujung bar dan merenungkan apa arti kekosongan di dadanya, mengapa setiap nada keluar dengan sumbang. Minseok berusaha mengatur volumenya untuk menutupi kesalahan Kyungsoo. Dia menyerah pada waktu mereka istirahat, “Ada apa denganmu?”

“Aku tidak tahu,” gumam Kyungsoo. Tidak ada hal di luar kebiasaan yang terjadi hari ini. Semua berjalan sesuai catatan di albumnya.

“Di mana penulis itu? Kim Jongin?”

“Penulis yang mana?” adalah hal yang ingin Kyungsoo tanyakan, namun entah bagaimana yang keluar malah desah panik yang tidak dapat dijelaskan dan rasa sakit yang nyaris terlalu kuat untuk dikenali. Dengan insting, dia meraih albumnya, membaca semua halamannya sekali lagi, dan lagi, dan lagi dengan suara yang sama, suara yang gemetar, “Aku tidak kenal penulis mana pun.”

Seikat bunga aster kering jatuh dari kover belakang. Kyungsoo pun hancur. Tidak seorang pun yang akan menangkapnya kali ini.

--

Dia terbangun di bulan Oktober pada hijau di dinding, warna rumput sintetis yang tidak pernah mati. Oktober melayukan dunia di tiap terbenamnya sang surya, hingga baunya seperti daun-daun yang terurai dan janji-janji yang terlupakan. Dengan datangnya Oktober, tiba hujan tanpa henti yang menghapus jejak-jejak kaki abadi dan membawa para pelanggan baru ke bar.

Dia terbangun di bulan November pada salju yang menumpuk tebal dan tinggi di luar jendela. Suatu desakan familiar untuk membenamkan wajahnya di bantal dan menangis seakan-akan esok tidak akan datang membekukan nyalinya. November membawa hari-hari yang lenyap di udara tipis dan malam-malam yang menjadi awal dari akhir, dan akhir sebuah awal. Di bulan November hari-hari esok berhenti datang. Di bulan November ia bertanya-tanya berapa lama ia hidup seperti ini, berapa lama lagi ia akan hidup seperti ini, berapa banyak hari esok yang tersisa sebelum waktu akan membiarkannya pergi.

Dia terbangun di bulan Desember, empat hari sebelum Natal, dengan ketukan di pintu apartemennya. Kegelapan menelan apartemennya begitu ia berjalan melintasi koridor, jarinya terentang untuk membaca di dinding seraya membuka rantai dan menariknya untuk membuka dan—

Hyung,” seorang bocah merengek di pintunya. Yang Kyungsoo tahu ialah gabungan bibir yang kelabu dan mata yang bengkak, menggigil di balik baju rumah sakit yang tipis tanpa perlindungan lain apa pun dari kepingan salju di rambutnya dan sandal plastik di kakinya. Anak itu mungkin telah berusaha untuk tersenyum, yang jejaknya tersisa dengan mengenaskan di ujung mulutnya, tetapi semua itu melebur saat ia berusaha menggerakkan rahangnya lagi, “Hyung,” dan tersedu, “hyung, hyung...”

Gelombang besar kelegaan yang hangatnya tak dapat dijelaskan mengguyur Kyungsoo, namun itu tidak cukup untuk menghentikannya dari berkata dengan parau, ragu-ragu, “Kau siapa?”

Jeda.

“Tentu, tentu saja kau tak ingat. Bodohnya aku...”

Kyungsoo melihat sesuatu menggenang di mata anak itu yang telah merah dengan rasa penasaran yang menyesakkan, atau mungkin setitik empati yang tak mampu dilukiskan. Mengerikan betapa mudahnya susunan tulang yang sempurna itu hancur dalam sebuah laju lambat. Anak itu mengalah pada gemetarnya, lipatan pakaian yang terbuka, ke dalam erupsi dari raungan tak berbunyi. Lengannya mengusap air mata dan seluruh dadanya bergetar akan duka yang tidak dapat dihibur, pada akhirnya ia menelan semuanya, dengan keras.

Ia membuat gestur kecil untuk melambai, dan itu terlihat sangat rapuh, “Maaf mengganggumu. Kupikir—kalau mungkin kau ingat—tapi, cuma, lupakan. Aku akan...”

Tidak ada apa-apa kecuali heningnya salju yang bertabrakan, pancaran bulatan-bulatan kecil cahaya, seperti kunang-kunang, saat Kyungsoo menyelimuti pergelangan tangan Jongin dengan tangannya. Dia tidak begitu memikirkan tentang kerapuhan saat menarik anak itu lebih dekat ke pintu. Pada kenyataannya, dia tak yakin apa yang dipikirkannya seraya berkata, “Di luar hujan salju. Biar aku mengambilkanmu jaket. Kau bisa masuk angin nanti.”

“Masuk angin,” anak itu membebek, dan tawanya terdengar seperti hal paling menyedihkan di dunia, “aku akan terkena masuk angin.”

--

Di perjalanan menuju ke rumah sakit, anak itu memperkenalkan dirinya sebagai Jongin. Dia memberi Kyungsoo empat fakta di jok belakang taksi. Pertama, dia penulis. Kedua, mereka pernah bertemu sebelumnya. Ketiga, dia sekarat. Keempat, dia membuang dirinya dari catatan-catatan dan album Kyungsoo karena semua kenyataan itu.

“Mereka bilang aku punya enam bulan tersisa. Mungkin setahun kalau aku menjaga kelakuanku,” kata Jongin, matanya memantulkan fajar yang menyingsing di balik jendela. “Jadi, aku ingin berlagak pahlawan. Membiarkan diriku terlupakan, untuk menyelamatkanmu dari semua hari kemarin dan meninggalkanmu dengan semua hari esok tapi... aku mendengar kemudian bahwa aku mengidap pneumonia. Bukan enam bulan. Aku punya empat minggu. Mungkin tiga. Dan aku pun remuk. Terjebak dengan semua hari kemarin sementara kau terus melanjutkan hidup tanpaku mendadak tidak terdengar menarik lagi dan—sungguh, aku minta maaf. Aku bohong. Aku bukan pahlawan. Cuma pengecut.”

Lutut mereka bersentuhan. Kyungsoo tidak menjauh, “Apa kau... menyukaiku?”

“Menyukaimu,” anak itu mengulang, lalu tertawa lagi seraya berkata, “tidak, aku cuma ingin berada di setiap hari esokmu. Aku ingin kau mengingatku.”

Kyungsoo tahu yang sebenarnya, dan dia tahu Jongin pun tahu. Harapan hanyalah harapan, dan doa hanyalah doa. Kota melintas di kaca jendela mungkin berpijar dengan Natal dan kehangatan Tahun Baru namun itu tidak mengubah kenyataan bahwa terlalu banyak adalah terlalu banyak. Beberapa hal memanglah mustahil.

“Maksudku, kau tidak harus mengingatku. Aku tidak sedang berkhayal. Sungguh kau bisa menurunkanku di rumah sakit dan... hanya... aku hanya ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya, dan kupikir aku sudah melakukannya... aku benar-benar minta maaf telah mengganggumu,” Jongin tertawa, dan di tiap kali ia tertawa Kyungsoo merasa tawanya terdengar lebih seperti tangisan. “Kau pasti menganggap bahwa aku ini gila atau sesuatu, tiba-tiba saja muncul di pintu apartemenmu seperti ini.”

“Aku tidak menganggapmu gila,” sela Kyungsoo, dan suasana yang tegang itu melumer sedikit saat ia mencoba tersenyum, “kupikir kau itu bodoh, kabur dari rumah sakit seperti ini di saat cuaca bersalju di luar.”

Mobil itu berhenti. Butuh beberapa saat sebelum keduanya menyadari bahwa mereka telah sampai di pintu masuk, dan bahwa telah tiba waktu Kyungsoo untuk pergi dan Jongin untuk tinggal. Selama detik-detik terakhir mereka, mereka hanya tersenyum sopan dan menganggukkan kepala dengan canggung, seakan-akan mereka baru pertama kali bertemu dan bahwa mata merah Jongin tak berarti apa-apa.

“Jadi,” Jongin berkata, tidak terlalu menggigil dengan jaket Kyungsoo di bahunya, tapi tetap saja masih bergemeletuk, “Aku cuma, aku punya satu permintaan?”

“Ya?”

“Maukah kau menyebut namaku? Sekali saja, untuk yang terakhir.”

Kyungsoo berdeham sebelum berusaha mengulang tiap suku kata, namun entah mengapa kata itu tersumbat di tenggorokan bahkan saat ia membuka mulutnya. Tidak ada yang keluar. Di saat dia mengangkat tangannya ke leher, baru dia sadar bahwa dirinya gemetar dan bahwa ada sesuatu yang salah dengannya. Dunia seolah runtuh padanya dalam gerak lambat dan hatinya benar-benar sakit, sangat buruk.

“Jong...” Kyungsoo menelan keraguannya dan memfokuskan diri pada tiap suku kata, “Jongin.”

“Terima kasih. Terima kasih,” ucapan terima kasih yang kedua itu diucapkan dengan lembut, seolah ditujukan pada sesuatu yang lebih berarti. Mungkin sesuatu seperti, “Terima kasih telah bertemu denganku, menemukanku, mengangkatku dari reruntuhan puing-puing yang rusak. Terima kasih telah memberiku hidup, air mata, harapan, barisan-barisan catatan kuning yang menyinari kamarku saat tapestri telah mematikan matahari. Terima kasih telah mengajarkanku betapa terangnya kunang-kunang dapat berpijar.”

Akan tetapi Kyungsoo tak mendengar satu pun dari hal itu. Yang ia dengar hanyalah Seoul di kala fajar, debus angin dan desau napas Jongin demi oksigen.

“Sama-sama,” ia membalas dengan kaku. Hari ini dingin. Jongin tidak mengigil seraya keluar dari mobil, menutup pintunya, dan menoleh ke belakang.

Menurunkan kaca mobil, Kyungsoo bertanya-tanya mengapa rasanya seluruh dunia ini runtuh. Di luar, dengan angin yang menusuk hingga ke tulang dan melaju di antara helai rambutnya, Jongin tersenyum lembut. Kyungsoo mengangguk. Beberapa butiran salju turun dari langit, dan menghilang.

“Yah.”

“Baiklah.”

Mereka telah menyerah dengan kata-kata, karena ada sebuah saling pengertian bahwa kata-kata itu janggal. Kata-kata itu seperti komet-komet kecil, melintas panjang di belakangnya ada air mata dan keraguan. Mereka tidak mampu mengucapkan kata. Tidak ada air mata maupun komet ataupun keraguan dalam pertukaran antara orang asing dan sebuah memori, hanya redupnya salju. Kyungsoo mengulurkan tangannya dengan kikuk ke luar kaca jendela. Jongin menerimanya, tertawa pada hal lucu yang tak Kyungsoo mengerti, kemudian berbalik dan melangkah. Kakinya terlalu kurus, punggungnya terlalu bungkuk, kepalanya mendongak terlalu tinggi walau jari-jarinya bergetar.

Kyungsoo berbalik ke supir dengan senyuman yang dua kali lebih cemerlang, “Tolong antar saya pulang.”

Dia berusaha menganggap semua itu wajar-wajar saja, karena memang begitulah. Toh, dia tidak kenal Jongin ini. Dia tidak mengerti apa arti esok atau kemarin dan di atas semua itu, dia sudah terlambat bekerja. Dengan satu hirupan dalam dari musim dingin yang kering, Kyungsoo memberi tahu dirinya sendiri bahwa dia tidak ingin berlari sama sekali, bahwa tidak ada air mata yang tertahan mau jatuh, tidak ada air mata yang mengaburkan pandangannya walaupun—

Mereka jatuh, bagaimanapun, satu per satu, begitu pun Jongin. Kyungsoo berteriak begitu keras hingga ia tidak mengenali suaranya sendiri.

--

Berdiri di belakang ruangan, Kyungsoo mengumpulkan sisa kata-kata dari para dokter. Sesuatu tentang perawatan oksigen tidak cukup, antibiotik tapi livernya sudah mati, merawatnya di ruang ICU namun tampaknya itu tidak akan mengubah apa pun, setidaknya turunkan demamnya dengan mandi es tapi paru-parunya tidak akan kuat. Dia tidak mengerti satu pun dari kata-kata sulit itu, beragam suku kata Symbicort atau Theophlline atau corticosteroid, tetapi ia mengerti detak jarum detik yang melaju di antara semua itu, bunyi tit dari monitor yang tiada putus-putusnya, permintaan maaf tanpa arti tentang, “tidak ada lagi yang dapat kami lakukan.”

“Aku tidak ingin mati,” kata Jongin, suaranya teredam di balik masker oksigen. Kyungsoo menempatkan diri di bangku tanpa sandaran di samping tempat tidurnya dan mempelajari selang-selang plastik yang memanjang di pergelangan kaki Jongin. Entah bagaimana dia terlihat begitu kecil, begitu penuh dengan tepian yang kurus.

“Kau tidak akan mati. Mereka bilang kau akan baik-baik saja.”

“Pembual,” Jongin tertawa, mengalihkan kepalanya, dan saat itulah Kyungsoo menyadari ia tak benar-benar tertawa. Ia menangis. "Akan segera ada orang baru di tempat tidur ini dalam 3 minggu. Empat minggu, paling lama. Aku terkena pneumonia. Selain fibrosis aku juga menderita pneumonia."

"Kau akan baik-baik saja," Kyungsoo memaksa, meski pun Jongin salah tentang 3 minggu itu, karena sebenarnya hanya 2 minggu yang tersisa. "Tak ada yang salah denganmu."

"Tidak," Jongin menutup matanya. Kyungsoo tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat selain berdiri dan menyeret jari-jarinya di dada Jongin.

Jongin menarik dirinya dengan cepat, “Sekarang apa?”

“Menulis catatan untuk Tuhan. Aku harus. Dia tak boleh mengambil paru-paru ini. Kau membutuhkannya,” Kyungsoo memutuskan sembari menarik Jongin lebih dekat dan terus menulis garis-garis kasat mata di tubuh Jongin. “Kau benar-benar membutuhkannya.”

Keheningan pun jatuh, dan setelah jatuh ia tak pernah terangkat lagi. Gumaman Jongin hanyalah hantu di balik dengung pendingin ruangan.

“Saat aku pertama mendengar bahwa aku akan mati, kupikir—akhirnya, terima kasih—tapi kini, kini aku cuma—aku cuma ingin satu menit lagi, satu milidetik lagi—aku ingin lebih banyak waktu, denganmu, hyung... aku masih belum benar-benar mencintaimu, aku belum selesai...” dan matanya pun terpejam sebelum Kyungsoo sempat menggenggam tangannya dan memberitahunya bahwa mereka punya cukup waktu. Bahwa tidak perlu tergesa-gesa, bahwa semua akan baik-baik saja, karena dia akan pulang dan menuliskan semua hal ini—Kim Jongin, sayap barat, ruang dua-dua puluh, Rumah Sakit Seoul, naik taksi ke pintu masuk belakang, kita belum selesai—supaya ia dapat kembali besok, dan hari setelahnya, dan hari setelah itu...

--

“Mm, kita bisa mencoba mentato namaku... di wajahmu,” kata Jongin seraya menghirup panjang oksigen dari corong bicaranya. Perawat telah mengizinkannya naik kursi roda baru saja, berkata bahwa dia telah bekerja jauh lebih baik dan harus keluar dari kamarnya. Coba jalan-jalan di sepanjang koridor, kata perawat itu. Dan di sinilah mereka, dua sosok kecil terbalut oleh wol dan kasmir, menyegarkan diri dengan udara yang apak di koridor tanpa ujung. Ketuk langkah tetap sepatu Kyungsoo itu menenangkan, hampir, sebuah wasiat untuk kenyataan atas eksistensi mereka: mereka masih bersama, kedua-duanya; mereka berhasil melewati satu lagi hari.

“Meski begitu aku tidak bisa melihat wajahku sendiri.”

“Yah tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan padaku. Aku akan tampak... mengerikan dengan namaku sendiri di... wajahku,” Jongin terkekeh, tergagap demi menghirup udara dan menghalau tangan khawatir Kyungsoo. “Maksudku, pers sudah mengira... aku seorang narsisis. Bayangkan saja... jika mereka menemukan tato... itu—ha.”

Mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya mengamati pasien-pasien lain melintas. Itu adalah suatu ketenangan yang mereka terima dan tidak lagi mereka takuti, kendatipun pada akhirnya Jongin memecahkannya lagi.”Apa kau akan pergi... ke bar malam ini?”

Kyungsoo angkat bahu, “Mungkin tidak malam ini.”

“Kau bilang... hal yang sama... kemarin,” Jongin tersenyum lebar, matanya nampak sedikit sendu di bawah desah dari tabung oksigen sesekali. “Besok, pergilah ke bar. Kau... harus menyanyi. Itu yang... kaulakukan. Menyanyi. Menjalani hidup.”

“Aku menjalaninya denganmu,” protes Kyungsoo, “aku bisa menyanyi saat ini juga.”

“Tidak, jangan bertindak bodoh pada—”

Akan tetapi Kyungsoo bernyanyi, melodi menghias dengan lembut dan bening walaupun atmosfirnya menyesakkan, memecahkan cemberut Jongin dengan satu ejekan. Dengan ragu, jari-jari Jongin mulai mengetuk-ngetuk di lengan kursi roda.

Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa Jongin tidak hanya mengikuti irama, bahwa jarinya tengah menarikan semacam sihir pada kedinginan. Dan saat Kyungsoo berlutut di hadapannya, mensejajarkan kepala dengan kepala dan mata ke mata, semuanya selaras dengan sempurna, ujung jari Jongin bergerak dengan cepat menaiki buku-buku jarinya. Ringan dan mudah. “Arabresque,” bisiknya, kata-katanya muncul ke permukaan dengan kabut putih di plastik. Tangannya melakukan suatu lompatan kecil. “Grand jeté,” dan satu putaran di pergelangan, kuku yang berputar di telapak tangan Kyungsoo membuat Kyungsoo tertawa, “fouetté en tourant,” ke tepian telapak tangannya dan ke balik punggung tangannya, “ini sissone, satu, dan dua, dan—,” mereka berdua terhenti bernapas sesaat, saat jari-jarinya melintasi pergelangan Kyungsoo dan naik ke siku, lengan, pundak, selangka, leher, bibir bawah, berhenti.

Mereka berbagi senyuman, di mana Kyungsoo menempelkan bibirbya ke jari Jongin, membentuk dengan mudahnya di atas jari yang dingin dan tertutuh. Rona di wajah Jongin nyaris terlalu cerah terhadap latar belakang putih dari baju rumah sakitnya. Kyungsoo mengira dia mungkin bersinar, mungkin agak seperti pembakar.

Seiring waktu lagu mereka berakhir, dan perawat memanggil Jongin kembali ke kamarnya karena udara yang tidak terfilter itu tidak baik bagi paru-parunya. Tidak ada yang baik bagi paru-parunya.

“Malam, hyung,” kata Jongin dengan lirih, selagi mereka memasangkannya pada dosis morfin hariannya. Matanya mulai terpejam, dan Kyungsoo tahu bahwa dia tengah menggenggam hitungan detik saat berkata, “aku mencintaimu.”

“Tidak, Jongin. Beri tahu aku bahwa kau akan menemuiku lagi besok.”

Hyung aku mungkin tidak akan...”

Cukup. Beri tahu. Saja. Aku. Bahwa kau,” dan suara Kyungsoo terputus tiba-tiba, kata-kata dan pemikiran runtuh sekaligus. Dia ingat bagaimana jemari Jongin menari dengan mahir di lengannya, begitu alami, seolah mereka terlahir demi satu tujuan itu, beberapa menit yang lalu, dan itu semua terasa sureal dibandingkan dengan Jongin ini yang terbaring, terbius di balik selimut cahaya yang berpendar, Jongin ini yang mungkin tidak akan menari lagi. “...besok. Besok...”

Jongin meletakkan tangannya di leher Kyungsoo, menariknya sedikit lebih dekat, menghapus air mata Kyungsoo dengan jempolnya, “Baiklah. Sampai bertemu...”

Aliran cairan yang menetes ke dalam selang plastik terlanjur membawanya pergi sebelum kata terakhir.

--

Tidak ada hari kemarin lagi, dan berturut-turut tidak ada hari sekarang pula, hanya esok. Mereka kehabisan waktu. Bayangan mulai menjadi terlalu panjang, cahaya mengerjap terlalu pelan, lagu dari monitor selalu di ambang fuga. Kekeh yang selalu pecah di balik kernyitan Jongin, membesar menjadi tawa yang serak. Terlalu keras. Terlalu terburu-buru. Dia tertawa seolah takut dirinya tak akan mendapat kesempatan untuk tertawa lagi. Seolah takut semua pencahayaan akan padam bila ia tidak menjaga tampilannya. Maka Kyungsoo melingkarkan lengannya di pinggang Jongin, saat tidak ada yang melihat, dan menempelkan dahi mereka bersama. Dia memberi tahu Jongin bahwa itu tak mengapa. Bahwa dia tidak perlu tertawa begitu keras. Bahwa dirinya mengerti, apa pun itu.

“Aku sedang dalam waktu pinjaman... Berapa banyak menurutmu bunganya?” Jongin merenungkan di suatu hari, memikirkan hal tersebut selagi perawat memasangkan sebuah selang logam yang sangat besar ke punggungnya. Dia menghirup oksigen dengan tarikan panjang dan menahannya sementara darah dan nanah mengucur ke dalam kontainer plastik.

“Aku tidak tahu,” jawab Kyungsoo dengan tenang.

“Di saat-saat terakhir kau mulai... berdoa untuk berbagai hal... akankah aku bertahan selama musim dingin... bisakah kita membuat kimchi bersama...”

“Kau ingin kimchi?”

“Kemudian kau menginginkan lebih... Akankah aku sempat... untuk menciummu di bawah pohon natal. Dan... akankah aku bertahan... sampai Tahun Baru, sebab aku ingin, aku ingin memakan... kue beras, denganmu. Akankah kau... datang untuk ulang tahun kita... Aku ingin melihat.... tahi lalat di dalam telingamu... ketika aku mencondongkan, diri, untuk... berbisik di telingamu... menunjukkan padamu... kunang... kunang yang sebenarnya...”

“Hentikan, Jongin, kau akan berhasil melakukan semuanya. Kita telah berhasil untuk bagian pohon natal, hari ini,” Kyungsoo bersikeras, menunjuk pada kotak-kotak yang terbungkus kertas berwarna cerah di ujung lain ruangan. “Kita punya Natal. Bila kita telah melewati Natal kita dapat merayakan Tahun Baru juga, dan ulang tahun kita, dan aku bisa tunjukkan padamu tahi lalat itu sekarang kalau kau—”

“Dan itu tidak akan pernah cukup, karena... semakin aku memiliki... dirimu semakin aku... menyadari bahwa aku masih kehilangan... begitu banyak dari dirimu... dari kita...”

“Kita bisa merayakannya bersama-sama,” sela Kyungsoo. “Kita akan merayakannya semuanya bersama-sama, ya? Oke? Cuma, jangan menangis, Jongin—”

“Kaulah yang... menangis, hyung.”

“Tutup mulutmu.”

“Aku masih belum mau mati, hyung,” Jongin terkekeh tanpa gembira, tetesan likuid mengalir di lipatan matanya. Kyungsoo tidak yakin apabila itu air matanya yang jatuh pada Jongin, atau air mata yang jatuh dari Jongin sendiri.

--

Dia tidak dapat berbicara lagi, kepala perawat menjelaskan sambil berbisik, seolah itu adalah rahasia yang sangat buruk, paru-parunya tidak mensuplai cukup oksigen sebagaimana mestinya dan akan sangat baik untuk tidak mengganggunya. Namun bagi Kyungsoo itu bukan masalah, karena ia tidak butuh mendengar Jongin berbicara. Dia tidak butuh untuk menyentuh Jongin, bahkan, atau untuk melihatnya. Dia hanya perlu berada di dekatnya. Untuk tahu bahwa Jongin bernapas, masih, bahwa Jongin dapat mendengarnya kala ia bernyanyi untuknya, bahwa bibirnya dapat bergerak sedikit pada setiap gurauan bodoh yang Kyungsoo lontarkan padanya.

Kyungsoo tidak begitu mengerti bagaimana ia mengenal pria ini, atau mengapa lututnya secara otomatis melawan ketika ia melihat nomor ruangan orang asing itu. Dan lagi, dia tidak mengerti banyak hal. Dan dari sekian banyak pertanyaan yang Jongin sampaikan padanya, tertoreh dengan berantakan di atas catatan-catatan kecil berwarna kuning, Jongin pun tidak.

“Suatu hari kau akan menatap balkon sebelah dan kau tidak akan melihat orang  brengsek yang menghabiskan banyak rokok. Selama hari-hari itu akankah kau sedih?”

Kyungsoo mendongak dari catatannya, mengedip-ngedipkan mata dengan malas, “Aku sudah merasa sedih. Aku rindu melihatmu di balkon itu,” dan ia tidak melewatkan raut kaget yang tampak di wajah Jongin.

“Bagaimana kau tahu itu aku?” tulis Jongin, begitu cepatnya hingga tulisan tangannya tak terbaca tetapi Kyungsoo tahu yang dia tanyakan, karena dia pun menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri.

“Cuma perasaan,” Kyungsoo tersenyum, dan dia sungguh senang karena akhirnya dia dapat menangkap sesuatu dalam memorinya. Mungkin mereka punya harapan di atas semuanya. Mungkin besok Jongin akan mendapatkan paru-parunya dan Kyungsoo memorinya, dan hari setelahnya mereka dapat berbincang tentang apa yang telah mereka lakukan besok. Tentang catatan-catatan konyol, tangan yang gemetar, mata yang berkaca-kaca.

Malam ini dia pulang dengan nama Jongin di bibirnya. Mengulang-ulangnya bagai sebuah doa, lagi dan lagi dan lagi hingga terasa alami sebagaimana bernapas, dia membawanya ke dalam mimpinya, memohon berjuta-juta kali pada Tuhan untuk setidaknya tolong biarkan dirinya mengingat nama itu. Tolong setidaknya biarkan ia memiliki Jongin, biarkan ia berjuang dalam mimpi-mimpi itu tanpa mengambil Jongin pergi. Ia tak butuh mengetahui yang lain-lain, tidak masa lalu mereka atau masa depan mereka atau kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan mereka. Semua yang dia inginkan hanyalah sebuah nama. Sepotong kecil Kim Jongin.

--

Ketika Kyungsoo terbangun, ia menemukan seluruh kumpulan catatan-catatan terlipat-lipat di dalam sakunya, berceceran dalam goresan pena dan pensil yang nyaris tak terbaca. Mereka ditulis dengan tangan yang terlatih, walau gemetar, dengan garis-garis yang memilin dan nyaris tidak tetap. Dia meluruskan catatan pertama di telapak tangannya, dengan hati-hati menekan semua kerutan-kerutannya.

“Apa menurutmu Tuhan itu ada?”

“Jika Tuhan itu ada, menurutmu apa dia mau memberiku beberapa waktu tambahan? Tak perlu banyak-banyak. Hanya satu minggu tambahan, atau mungkin hari. Apa pun. Aku tidak akan menolak sejam. Sedetik. Aku ingin waktu lebih. Aku cuma ingin waktu lebih.”

“Kau menangis.”

“Harusnya aku berhenti merokok lebih awal, eh?”

“Berhenti bersikap sok berani, hyung.”

Catatan yang terakhir berwarna hijau, dengan pinggiran yang robek-robek, ujung-ujung yang terlipat dan menguning, jelas-jelas lebih tua dibanding dua yang lain. Tulisan tangan di situ lebih tegas, ditekan dengan begitu banyak tenaga hingga kata-katanya tercetak dalam kertas. Bagaimanapun, masih cukup jelas baginya untuk membaca: “Namaku Jongin. Aku penulis yang tinggal di apartemen sebelah. Sampai jumpa besok, hyung. Jangan lupa!”

--

Terkadang ketika Kyungsoo menatap Jongin di ranjang rumah sakit, dia tak yakin jika dia sedang melihat pantulan atau orang aslinya. Nyaris seakan-akan waktu merusaknya dari luar, mengubahnya menjadi transparan, hanya menyisakan cukup dari dirinya untuk menjadi bayangan. Kyungsoo ingin berbicara padanya, tapi perawat berkata bahwa keadaan tak memungkinkan bahwa Jongin mampu melakukannya, jadi dia hanya dapat memandang ke bawah, pada “Jongin” yang tertera di balik punggung tangannya, dan mencocokkannya pada plat nama “Kim Jongin” yang tergantung di ujung tempat tidur.

Detik-detik membias pada jiwa-jiwa kaleidoskop di atas seprei, dan Kyungsoo menghitungnya satu per satu saat Jongin menyeret tubuhnya dekat-dekat. Sayup, rintihan yang seperti peluit memompa keheningan di antara mereka saat ia mengangkat satu tangannya, yang dengan segera Kyungsoo genggam dengan dua tangan.

Gumaman pertama Jongin nyaris tidak dapat dibedakan dengan semburan udara dari masker plastiknya, dan ia mengulanginya sendiri dengan kebulatan tekad yang sungguh-sungguh hingga Kyungsoo mendengar, “Akankah kau di sini besok?”

“Kenapa?”

“Datanglah kemari besok, tanggal tiga belas,” pemuda itu berkata, merundingkan demi setiap suku kata dengan tarikan panjang udara.”Ulang tahun kita... bess...ok ...rata-ratanya... dua belas... empat belas... tiga belas...”

Kyungsoo menolak keras. Jongin mengedipkan mata. Semua berakhir terlalu mudah, namun mereka menahannya bersama dengan benang tipis harapan. Kyungsoo tidak pulang malam ini. Dia memohon pada para perawat untuk membiarkan menginap dan dengan semacam keajaiban mereka mengiyakan, meski mereka memberitahunya untuk tetap tenang, sebab Jongin butuh waktu istirahatnya. Karena Jongin benar-benar menggantung nyawa tidak pada apa pun selain benang tipis harapan tersebut.

Dia berusaha untuk terjaga semalaman, untuk dapat melihat mata Jongin besok pagi dan menjadi orang pertama yang mengucapkan, “Selamat ulang tahun, untuk Kim Jongin dan Do Kyungsoo,” padanya tanpa melihat catatan apa pun. Besok dia perlu menyelamatkan Jongin. Dia harus menyelamatkannya. Mengingatnya.

--

Sinar mentari menyusup ke dalam mimpi Kyungsoo, membias pada sesuatu yang dingin dan asin, mungkin juga meliputi sepasang kaki yang berjalan di pertemuan antara laut dan pantai. Dia berbalik, dan pasir yang basah pun bertransformasi menjadi seprei yang dingin.

Saat Kyungsoo membuka mata, barisan sayap-sayap camar dan rona biru digantikan oleh garis-garis hijau lemah yang melompat-lompat di layar hitam sebuah jendela di ujung kamar sempit rumah sakit, dan ubin plastik lantai. Semuanya plastik. Itu bukan kamarnya, dan dia tidak tahu bagaimana dia bisa terbangun di sisi ranjang orang asing. Ada kalimat tertulis di punggung tangannya, sebuah kalimat yang longgar dan memudar, “ingatlah Jongin; ulang tahun kita besok (13 Januari 2014)”

Kyungsoo menopang dirinya untuk bangun, punggungnya bergemeretak dan lehernya sakit akibat  membungkuk di atas ranjang semalaman, dan saat itulah ketika ia menyadari bahwa orang asing di atas tempat tidur itu telah memandanginya, secercah senyum tertinggal di romannya yang kabur.

“Halo?” Kyungsoo berkedip-kedip. Orang asing itu tidak merespon, meski mungkin di sudut matanya tersentak. Mungkin ibu jarinya mengejang. Kyungsoo memandang plat nama di ujung tempat tidur. Kim Jongin.

Ada sebuah arus konstan yang menggoncang dari udara yang menyembur masuk dan keluar dari peralatan-peralatan logam yang aneh di sisi ranjang. Kyungsoo mengikuti jejak pandangannya pada selang plastik yang mencuat keluar dan ke dalam hidung Kim Jongin. Dia baru akan menanyakan sesuatu, mungkin tentang pesan aneh di tangannya, saat sesuatu menyerangnya dan dia pun berkata tanpa pikir panjang, “Selamat ulang tahun, untuk kita.”

Orang tak dikenal bernama Kim Jongin itu tampak menghela napas dengan keras. Tangannya mengejang dalam genggaman Kyungsoo, dan perlahan-lahan, dia pun tertidur kembali.

Kyungsoo nyaris berpikir bahwa itu wajar, bahwa orang itu mungkin hanya sedang lelah, tapi bunyi  konstan dari monitor dengan garis-garis hijau itu berhenti, dan sejenis alarm berbunyi nyaring dan bising dan sejumlah dokter dan perawat bergegas masuk dan mendorong bahunya agar keluar, terlalu jauh, saat mereka berusaha membangunkan orang itu kembali. Dan dia pun sadar bahwa ini salah. Semua ini salah. Salah.

“Kim Jongin, waktu kematian 9.27, 13 Januari, tahun 2014. Senin.” Salah.

Tidak sampai Kyungsoo berhasil keluar dari rumah sakit itu saat air mata menamparnya di muka, menghantamnya tanpa  persiapan dan menghancurkan seluruh tubuhnya menjadi ribuan kepingan yang tak dapat disatukan lagi. Dia tak mengerti mengapa dunia seolah berakhir di suatu hari yang indah di bulan Januari, atau mengapa dirinya menangis di tengah jalan seolah hari esok tak akan pernah datang. Mengapa nama di punggung tangannya terasa membakar jauh lebih keras dari semua perpisahan mana pun.

--

Hari itu Jumat pagi, minggu kedua di bulan Juli, suatu masa ketika dunia berjalan dengan nyala lampu merah yang tak menentu, lolongan orang mabuk dan sesekali gelak tawa. Hanya ada mereka berdua dalam lift di jam-jam seperti ini.

Baru saja kembali dari bar, Kyungsoo berusaha menghilangkan sisa asap metalik dan aroma kental alkohol pada rambutnya. Lengkungan saxophone masih bersarang di jarinya dan dentum cinquillo masih tertinggal di bawah kulitnya, tapi tak satu pun dari hal-hal itu yang cukup untuk mengalihkan perhatiannya. Namun hari ini ia merasa sangat kosong, seperti seseorang telah mengambil sebagian dari dirinya ketika ia tidur, mencuri sesuatu dari intinya dan menaruh sisa dirinya kembali.

Orang asing itu, dengan rokok yang belum nyala di antara giginya, lebih dulu berbalik. Pencahayaan lift yang tak menyenangkan membuatnya terlihat lelah, dan kurus, dan secara umur mengerikan. Kyungsoo bertanya-tanya, dengan cinquillo berdentum-dentum dalam pembuluh darahnya, apakah kulit pria itu seplastik kelihatannya.

“Apa kau Do Kyungsoo?” Orang asing itu bertanya, berbalik tepat waktu saat lift membuka.

“Ya,” jawab Kyungsoo, dengan ragu melangkah keluar dengan pria satunya mengikuti. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Tidak, tidak juga,” orang asing itu tersenyum, mengulurkan tangan. “Aku Oh Sehun. Aku editor Kim Jongin?”

Sesuatu dalam Kyungsoo tergerak, tapi tidak cukup. “Senang bertemu denganmu.”

“Aku cukup sibuk, jadi aku hanya akan menjelaskan ini dengan singkat,” kata Sehun seraya mengeluarkan sesuatu yang besar dari kopernya dan menyerahkannya pada Kyungsoo. Itu sebuah buku catatan. Kyungsoo menyadarinya, sebuah buku lama yang rusak dan terlipat karena dipakai, tercoreng dengan tinta yang basah dan grafit. “Ini novel terakhir Jongin. Ditulis tangan dan semuanya. Untukmu.”

Pada akhirnya Sehun menghilang di ujung koridor dan Kyungsoo menemukan dirinya duduk di balkon, dengan cahaya bulan menghias buku catatan di pangkuannya. Dia membalik hingga halaman terakhir dalam sekejap, hanya untuk mengecek apabila ceritanya berakhir sedih, sebab dia tak suka akhir yang menyedihkan.

“Namaku Jongin. Aku penulis yang tinggal di apartemen sebelah. Sampai jumpa besok, hyung. Jangan lupa!”


 

 

 


translated by amusuk; beta-read by extinction

 

Amu's note: dan selesailah terjemahan ini! Jeng jeng! Mulai dari prolog sampai part 2 dikerjakan sama extinction dan part 3-nya Amu, hihi, makanya Amu pindahkan story ke akunnya supaya fair. Karena saengi-ku tampaknya pemalu, jadi biar saya yang mewakilkan ucapkan terima kasih kami atas dukungan para pembaca yang terus menyemangati kami. Buat saya pribadi, itu membuat saya termotivasi untuk belajar lebih banyak kata baru dan lebih memahami EYD lagi, karena nggak ada dari kita yang pernah belajar tata cara penerjemahan secara formal, jadi kalau menemukan kejanggalan, typo, dsb, silakan bilang, kalau ada pertanyaan juga silakan. Saya harap kalian-kalian di depan layar monitor ini sehat terus karena cuaca sedang tidak menentu. 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
redhoeby93
#1
Chapter 4: Nangis lagi. Menangis lagi.. ;-;
redhoeby93
#2
Chapter 2: Pengen nangis rasanya pas baca huhu TT
Happyeolyoo #3
Chapter 4: NANGIS LAGIIII. ff ini bikin nangis. tiap paragrafnya punya bumbu aneh yang mengandung harum bawang bombay. yaampun, ketidak kuasaan jongin akan takdir membuat dia jadi seputus asa itu. di awal diagnosisnya, dia mati-matian untuk memperpendek hidupnya sendiri dengan merokok. tapi pada ujung hidupnya, dia ingin diberi tambahan waktu. yaampun :""( bisa dibayangin juga betapa berat beban yang ditanggung jongin; baik secara batin dan raga/? paru-paru basah itu emang bikin ngeri, tapi, nggak semematikan itu kalo authornya bisa bikin jongin punya tekad buat sembuh /lah, emangnya ini ff gue/ hiks. angst banget. waktu jongin mati, udah langsung nangis lagi deeh. air mata rasanya nggak bisa berhenti pas baca chap ini. padahal chap satu aku nggak sempet nangis, chap dua cuman dikit doang, chap tiga banjir air mata, chap empatnya malah banjir bandang :""(( authornim, good job banget bisa terjemahin ff dengan tata bahasa yang rumit dalam bahasa inggris. daaaan, kalo boleh tahu ada rekomendasi ff translated authornim yang angst juga. hiks. pengen baca ff yang sedih-sedih biar bisa menghayati hidup /slapped/
Happyeolyoo #4
Chapter 3: backsound nya crosswalk nya si jokwon. yaampun, chapter ini walau ada anuanunya tapi tetap bikin aku nyesek dan nangis. meres air mata saat tahu kalau baekhyun ternyata udah meninggal; meninggal karena kecelakaan yang merenggut kemampuan Kyungsoo untuk mengingat. dan entah kenapa, tiap kali ada nama baekhyun, pasti bawaannya langsung sedih dan nangis. ditambah lagi sama keputus asaan jongin. dan, bagian akhir-akhirnya malah bikin nangis banget. yaampun. takdir mereka benar-benar rumit.
Happyeolyoo #5
Chapter 2: nyesek, nyesek, nyesek. jongin bicara panjang lebar tentang apa yang udah dilaluinya dengan kyungsoo, tapi, keesokan harinya kyungsoo udah lupa. dan udah kebayang gimana sakitnya jongin. apalagi jongin kena nasib buruk, dan dia punya pemikiran sempit pula. tapi, buat apa hidup /coret/ kalo emang gak ada harapan. kyungsoo yang jadi harapannya pun juga nggak bisa diharapkan /asdfghjklasdfghjkl/
Happyeolyoo #6
Chapter 1: aku pernah baca ff ini di ffn kali, ya? aku inget pernah baca ini di ffn, dan baru tahu kalo ff ini udah ditranslated sama beberapa author dan dipublish di beberapa lapak. hmm, kurang tahu juga sih. baca ff ini karena pengen baca yang sedih-sedih. dan prolognya udah bikin ngenes. huft.
OXElvira #7
Thank you so much for this translate, using very good diction and very smooth phrase
Hyerra
#8
Chapter 4: Jadi aku disini lagi. Temenku selalu bilang aku gila karna aku stuck sama satu ff aja. Walaupun aku tetep baca ff lain, tetep aja aku akan terus terusan baca ff ini. Aku berenti ngitung saat aku baca ff ini ke 17 kalinya versi asli ataupun versi indo yang kamu buat. Dan ff ini ga pernah gagal bikin aku nangis. Aku cuma mau bilang, makasih buat kerja hebat kamu ini. This is my life. Uh:" )
parkhyera
#9
Chapter 4: Aku udah baca versi aslinya..
Dan aku pengen baca yg versi Indonesianya..
Good job! Bahasanya smooth..
Makasi yaa..