prolog: aster
Anterograde Tomorrow [Indonesian]prolog: aster; word count: 652
Sinar mentari menyusup ke dalam mimpi Kyungsoo, membias pada sesuatu yang dingin dan asin, mungkin juga meliputi sepasang kaki yang berjalan di pertemuan antara laut dan pantai. Dia berbalik, dan pasir yang basah pun bertransformasi menjadi seprei yang dingin.
Saat Kyungsoo membuka mata, barisan sayap-sayap camar dan rona biru digantikan oleh langit-langit ruangan yang terlalu rendah, jendela mungil di ujung kamar yang sempit, dan lantai kayu yang mulai mengelupas di balik karpet yang telah usang. Itu kamarnya, walau tidak sama persis dengan kemarin karena ada banyak catatan hijau yang seingatnya tak pernah ia tempel di dinding. Warna berikutnya terdiri dari tulisan dan diagram berwarna, berikut angka-angka dan tanggal. Angin berembus menyingkap tirai dan membuat catatan-catatan itu berkibar, menciptakan melodi kertas-kertas yang memberi aplaus.
Pemandangan itu asing, namun tidak aneh, seolah pasti pernah terjadi sekali sebelumnya, hanya saja luput dari ingatannya. Mungkin pernah ada hari antara hari ini dan kemarin. Mungkin lebih dari sehari. Entah bagaimana, ia tidak perlu membaca catatan itu untuk mengetahui berapa jumlah hari yang telah terlewat, dan apa yang harus ia kerjakan hari ini.
Namun warna-warna kuning di tengah hijau—beberapa bahkan ada di lantai dan tembok, satu di bantal di sebelahnya—adalah yang paling mengejutkannya. Tulisan tangan di situ berbeda. Tidak ada tanggal. Hanya kalimat.
Kyungsoo menopang diri untuk bangun perlahan-lahan, lalu meraba meja di samping ranjang—kebiasaannya saat bangun tidur. Karpet terasa lembut di bawah telapak kakinya, aroma kopi yang diseduh tiap jam enam di kafe lantai bawah terasa lembut di langit-langit mulut. Ia memungut catatan kuning di bantalnya dan membacanya. "Namamu Do Kyungsoo. Kau punya amnesia jangka pendek, amnesia ante-apa lah, jadi kau tidak akan ingat apa yang terjadi semalam. Tapi biarkan aku membantumu."
Dan di bantal sebelahnya, "Semalam kuletakkan kepalaku di bantal ini dan kulingkarkan lenganku di lekuk pinggangmu. Namaku Kim Jongin. Aku memanggilmu hyung. Kemarin kau mencintaiku. Hari ini kau akan mencintaiku lagi."
Dia melangkah mundur dengan mata melebar dan mulut menganga. Kakinya menginjak catatan lain. "Ini tempat kau menanggalkan bajuku."
"Ini tempat aku melepas bajumu," terpampang di dinding, tepat di atas catatan hijau berisi 'Mijin tidak menjual kue beras lagi--05/5/2008'.
Ke samping sedikit dari catatan lain tertulis, "Dan di sini aku mendorongmu ke tembok dan menciummu kasar (kurang lebih, sebab waktu itu gelap) dan kita memutuskan untuk melakukannya."
Di atas meja terpampang, "Di sini kau duduk, menjuntaikan kaki. Kutaruh tanganku di lututmu dan kau maju menciumku duluan."
Di samping kotak barang berharga di ujung tempat tidur: "Kita mengobrol tentang balet. Kau bersenandung dan aku menarikan arabresque dengan jariku (karena langit-langit kamarmu sangat rendah dan aku tidak ingin kepalaku terbentur, oke) di sini, grand jeté ke lantai, fouetté en tourant, lalu sissone di punggung tanganmu. Pas de valse menaiki lenganmu dan kau tersenyum."
Di belakang pintu kamar: "Aku bersandar di sini membaca catatan-catatan hijaumu selagi kau membereskan kekacauan yang tak kentara. Bagiku semua kehijauan ini nampak seperti rumput, dan rumput itu membosankan tanpa bunga aster. Jadi kuharap kau suka kuning?"
Dan saat ia membuka pintu, seseorang menyentil keningnya, "Dan inilah Kim Jongin. Bilang hai padaku?"
Kyungsoo mendongak, pandangannya tidak fokus menyusuri kontur wajah yang tajam, kulit yang gelap, rahang yang tegas. Semuanya satu per satu. Keinginan untuk membanting pintu dan menelepon polisi karena ada orang asing di apartemennya dan orang itu menuliskannya catatan-catatan yang—tak perlu ditanya—menakutkan seolah menamparnya di muka.
Debaran jantung dan kepeningan membuat kepalanya terasa ringan dan perutnya bergolak. Ia tidak dapat merasakan jarinya, atau lututnya dalam hal ini. Tetapi semua mereda kembali—seakan-akan memang seperti itulah harusnya—saat matanya menangkap seutas senyum bodoh dan sepasang mata yang berbinar.
"Hai, hyung," kata Jongin, sudut di bibirnya turun meski roman wajahnya tetap lembut. Suaranya terdengar baru, ia yakin, dan Kyungsoo tidak bisa mengingat kapan persisnya ia pernah mendengar suara itu sebelumnya—kalau pun pernah.
Namun demikian, rasanya terlalu wajar saat membalas senyuman Jongin dengan sebuah "hai" kecil, tapi entah bagaimana kata itu meluncur dengan sempurna dari lidahnya. Mungkin karena ia telah mengatakannya ribuan kali. Mungkin karena mereka memang semestinya begitu.
translated by extinction, beta-ed by amusuk
Comments