Final

Mungkin

Hari itu mungkin hanyalah sebuah hari biasa bagi orang lain. Tapi tidak bagi Chorong. 

Gadis cantik berkulit putih dengan rambut brunette panjang itu tersenyum setelah ia meletakkan piring terakhir di atas meja makan. Ia menegakkan badannya sambil menepuk-nepuk pelan kedua tangan diatas celemek yang ia gunakan—seolah ingin membersihkan sisa-sisa makanan yang mungkin ada di tangannya—sambil tersenyum lebar. Senyumnya begitu bahagia dan bersinar sehingga ia seolah bisa menyinari sekelilingnya. 

Ada setidaknya lima macam makanan di atas meja makan yang sudah ia siapkan sendiri. Chorong menghabiskan waktu hampir empat jam untuk menyelesaikan itu semua. Lima makanan Cina kesukaan Luhan untuk perayaan lima tahun hubungan mereka, belum termasuk pudding sebagai makanan penutup yang masih di dalam kulkas, menunggu untuk disajikan.

Masih dengan senyum puas menghiasi bibirnya, Chorong menoleh melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Senyumnya semakin lebar karena ia tahu Luhan akan sampai di apartemen yang mereka berdua tempati dalam waktu dekat. Mereka sudah lama sekali tidak menghabiskan waktu berdua dan Luhan sudah menjanjikan malam ini akan dia luangkan untuk mereka berdua. Untuk Chorong. 

Chorong sedikit kaget ketika ponselnya berdering dari ruang tengah namun gadis itu bergegas mengambilnya. Ia tersenyum ketika melihat caller ID di layarnya. Luhan. 

"Luhan!" Chorong menjawab telfonnya sedikit terlalu bersemangat dari yang dia rencanakan. 

"Hey baby," Luhan membalas. Ada suara gesekan kertas-kertas di belakang Luhan. 

"Sudah sampai dimana? Aku sudah menyiapkan makanan favoritmu mulai dari Mapo Tofu, Egg Rolls, bahkan aku punya Sichuan Chicken


"Baby. Chorong," Luhan memotong kalimat Chorong. "Dengar aku." 

Chorong terdiam sambil menggigit bibir bawahnya. Ada firasat tidak enak di dalam hatinya, tapi ia berusaha mengabaikannya, "Ya, Luhan?"

 

"Mendadak ada yang harus kuurus di kantor. Kau tahu, untuk proyek pameran minggu depan dan mereka sangat membutuhkanku," Luhan berkata. "Aku akan pulang, tapi mungkin akan sangat larut. Jangan tunggu aku, oke? Kamu tidur duluan aja, nanti aku pasti menyusul."

 

Chorong terdiam. Segala senyum yang ia miliki sejak sore tadi menghilang. Wajahnya tidak lagi bersinar.

 

"Sweetie?" Luhan memanggil dari seberang telepon.

 

"A-ah. Iya. Oke," jawab Chorong dengan volume suara kecil. Tapi ia memastikan Luhan masih bisa mendengarnya.

 

"Aku minta maaf, sayang. Aku sudah bilang pada Wufan dan Jieun untuk menemanimu malam ini."

 

Luhan menunggu Chorong untuk memberikan respons nya tapi tidak ada yang menyahut. Luhan menghela nafas pelan lalu memutuskan untuk melanjutkan bicara, "Aku harus pergi sekarang. I love you, Rong."

 

Chorong tidak menjawab. Ia membiarkan Luhan menutup teleponnya duluan sebelum perlahan ia menurunkan tangannya. Ia menggenggam ponselnya dengan erat diatas pangkuannya sambil menunduk dan menggigit bibirnya.

 

Ia tidak boleh menangis. Chorong tidak akan menangis. Ia sudah terbiasa dengan Luhan yang seperti ini. Luhan yang workaholic, Luhan yang mementingkan urusan kantornya dibanding dengan keluarganya, apalagi dengan Chorong.

 

Ia seharusnya sudah bisa menebak hari ini akan berakhir seperti ini. Toh Luhan hampir tidak pernah ada waktu untuknya, untuk anniversary mereka, untuk ulangtahun Chorong, bahkan untuk ulangtahun Luhan sekalipun. Jadi kenapa ia berekspektasi lebih hari ini?

 

Hari itu adalah sebuah hari biasa. Chorong memejamkan matanya yang terasa panas, mengatur nafasnya diatas sesak yang dialami di dalam dadanya untuk beberapa menit.

 

Saat Wufan dan Jieun sampai di apartemennya, paling tidak Chorong masih bisa tersenyum. Walau masih perih.

 

***

 

"Luhan benar-benar bodoh melewatkan makanan luar biasa enak seperti ini demi kerjaan di kantornya," Wufan bergumam sambil mengunyah puddingnya. Ia memandang punggung Chorong yang sedang mencuci piring bersama Jieun, kekasih Wufan, dengan pandangan penuh simpati.

 

Chorong tertawa, "Aku senang kau menikmatinya."

 

"Aku akan menyingkirkan apapun untuk bisa makan makanan selezat malam ini. Sayang sekali pacarku tidak bisa masak," lanjut Wufan.

 

"Yah!" Jieun menoleh dari kegiatannya dan membelalak kearah Wufan. Sang lelaki mengalihkan pandangannya kearah lain dengan muka tak bersalah.

 

Chorong tertawa pelan sambil menyenggol Jieun dengan siku nya, mengisyaratkan agar Jieun jangan menganggap serius omongan Wufan. Jieun kembali mencuci piring dengan wajah cemberut.

 

Jieun menjitak kepala Wufan ketika ia sudah selesai mencuci piring, dan Wufan nyengir sambil mencoba menarik Jieun untuk duduk di pangkuannya tapi Jieun menolak. Ia melirik Chorong yang sedang mengatur piring-piring kembali ke tempatnya. Wufan tersenyum, mengerti bahwa gadisnya tidak mau mengganggu perasaan Chorong dengan bermesra-mesraan di hadapannya. Jieun akhirnya duduk di sebelah Wufan.

 

"Tapi serius," Wufan bertanya, kembali memandang punggung Chorong. "Kapan terakhir kali kau berkencan dengan Luhan?"

 

"Wuyifan," Jieun menepuk lengan Wufan lebih keras dari seharusnya. Wufan meringis. "Berhenti mengurusi urusan orang."

 

"Aku tidak bisa membiarkan temanku sendiri menyakiti temanku yang lain," Wufan mengusap lengannya yang dipukul Jieun, masih meringis.

 

Luhan, Wufan, Chorong dan Jieun bertemu di SMA dan mereka berempat berteman baik sejak itu.

 

Chorong menaruh piring terakhir pada tempatnya kemudian berbalik menghadap Wufan dan Jieun sambil tersenyum, "Tidak apa-apa, Jieun. Tapi kencan terakhir..." Chorong berpikir sejenak sementara Wufan dan Jieun memandangnya.

 

"Aku tidak ingat," lanjut Chorong.

 

"Serius?" Wufan bertanya dengan tidak percaya.

 

"Hmmm," Chorong berpikir lebih keras. "Sepertinya awal-awal dia kerja. Dia mengajakku liburan sekaligus mengunjungi rumahnya di Beijing."

 

"Awal dia kerja itu," Wufan berpikir sejenak. Ia menoleh ke arah Jieun sebentar sebelum kembali memandang Chorong. "Dua tahun yang lalu?"

 

Chorong sedikit kaget, "Ah, sudah selama itu?"

 

"Kau benar-benar tidak pernah pergi dengannya selama dua tahun ini?" kali ini giliran Jieun yang akhirnya bertanya.

 

Chorong menggeleng, "Hari kerja dia selalu di kantor. Hari libur biasanya hanya ia habiskan untuk tidur. Tapi mungkin kau bisa menghitung nonton serial bersama saat akhir pekan sebagai kencan."

 

"Itu bukan kencan," gerutu Wufan. "Aku benar-benar harus bicara dengan Luhan."

 

Chorong tertawa, "Tidak perlu Wufan. Mungkin dia sedang bahagia dan menikmati pekerjaannya. Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia."

 

Paling tidak, Chorong berharap begitu.

 

***

 

Malam itu Luhan sekitar pulang pukul 1 pagi. Dia menyelinap ke dalam selimut dan perlahan meletakkan tangannya di seputar pinggang Chorong.

 

Tanpa kata, Luhan mengecup lembut belakang leher Chorong tanpa mengetahui bahwa Chorong masih terjaga dan hanya pura-pura tidur. Ia bergerak pelan memeluk Chorong lebih erat dan Chorong dapat merasakan luapan kasih sayang Luhan dalam gerak-geriknya.

 

Mungkin ini saja sudah cukup.

 

Mungkin, pikir Chorong dan ia berusaha terlelap dalam pelukan Luhan.

 

***

 

"Katakan padaku, Luhan," Wufan menggertak sahabatnya pada suatu siang di kantornya yang bergerak di bidang periklanan. Ia sengaja mendatangi kantor Luhan. "Sepenting apa Chorong bagimu?"

 

Luhan meletakkan berkas-berkas yang sedang di bacanya dan mendongak memandang Wufan, "Apa maksudmu? Tentu saja dia sangat penting untukku."

 

"Lebih penting dia atau—" Wufan memutar telunjuknya ke seluruh penjuru ruangan Luhan. "—semua ini?"

 

"Aku tidak mengerti maksudmu. Tolong bicara langsung ke intinya," balas Luhan.

 

Wufan menghela nafas, "Chorong membutuhkanmu, Luhan. Kamu dan waktumu. Kau pikir dia bahagia hidup seperti ini?"

 

Luhan mengernyit, "Hidup seperti apa maksudmu? Ya, aku memang lebih sering menghabiskan waktuku di kantor, tapi ini semua juga aku lakukan untuk dia. Aku mengumpulkan uang untuk masa depan kami agar kami punya tabungan saat berkeluarga nanti. Dia tahu itu, aku mengatakan semuanya padanya sejak awal. Dia baik-baik saja dengan ini kenapa kau yang repot?"

 

Wufan memutar bola matanya dengan tidak sabar, "Dia tidak protes bukan berarti dia suka dengan apa yang kau lakukan, Luhan."

 

Luhan bersandar pada kursi kerjanya dan melipat kedua tangan di depan dadanya dan memandang Wufan dengan curiga, "Kau berbicara seolah kau lebih tahu tentang dia."

 

Wufan membelalak dan tertawa sinis pada sahabatnya, "Dan sekarang kau mencurigai aku? Curiga aku ada apa-apanya dengan dia?"

 

"Kau muncul tiba-tiba di kantorku hanya untuk membicarakan Chorong bagaimana aku tidak—"

 

Wufan menarik sesuatu dari dalam tas nya dan melemparnya ke atas meja Luhan, "Jika kau mau tahu, aku kesini untuk mengatakan aku menikahi Jieun bulan depan."

 

Luhan memandang sesuatu yang dilempar Wufan tadi. Sebuah undangan perkawinan.

 

"Aku harap kau bisa datang ke pernikahanku dan tidak mementingkan pekerjaanmu. Aku bukan Chorong, aku tidak bisa pura-pura senang ketika kau melewatkan momen-momen penting dalam hidupku," lanjut Wufan. Ia berdiri dari bangku yang sedari tadi ia duduki berseberangan dari meja Luhan.

 

"Dan asal kau tahu," Wufan meraih tasnya dengan tangan kanannya. "Aku tidak bekerja sekeras kau, aku tidak memiliki uang sebanyak kau, tapi aku berani menikahi Jieun. Pernikahan bukan hanya soal materi, Luhan."

 

Luhan memandang lelaki jangkung di hadapannya tanpa merespon dengan kata-kata. Ia masih melipat tangan di depan dadanya.

Wufan mendengus sebelum dia pergi meninggalkan kantor Luhan, "Selamat siang."

 

***

 

Jieun akan segera menikah dan Chorong menemaninya untuk fitting baju pengantin yang akan dipakainya.

 

Jieun memiliki tubuh yang mungil dan ia akan menjadi amat amat mungil jika berdiri di samping Wufan. Itulah mengapa ia memilih gaun pengantin dengan potongan pendek yang jatuh diatas lututnya namun tetap dengan ekor yang panjang di belakangnya.

 

"Aku akan terlihat tenggelam jika memakai gaun yang panjang," kata Jieun pada diri sendiri sambil memandang dirinya di cermin. Perlahan ia berbalik menghadap Chorong yang ada di belakangnya. "Bagaimana?"

 

Chorong mengacungkan dua jempol pada Jieun sambil tersenyum lebar, "Tercantik!"

 

Jieun terkekeh sambil kembali memandangi bayangannya di cermin. Ia sendiri sangat puas dengan gaun yang dipesannya dua bulan lalu ini.

 

Chorong berjalan mendekati Jieun, senyum penuh kekaguman dan kebanggaan karena sahabatnya akan segera menikah masih menghiasi wajahnya, "Bagaimana rasanya, Jieun? Akan menikah...bagaimana rasanya?"

 

Senyum bahagia terbentuk di bibir Jieun sebelum ia menjawab, "Entahlah. Aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata."

 

Kedua gadis itu terkikik geli bersamaan.

 

"Susul aku secepatnya, Chorong," ujar Jieun. "Aku ingin cepat punya anak, dan kau juga punya anak dan kita bisa menjodohkan anak kita kelak."

 

Chorong tertawa, "Yah, kau hidup di zaman apa? Anak-anak kita pasti memberontak jika kita jodohkan."

 

Jieun cemberut sambil mendorong pelan bahu Chorong, "Yah, kau tidak seru! Paling tidak biarkan aku berkhayal!"

 

Chorong kembali tertawa, "Oke oke. Tapi lagipula aku tidak tahu kapan akan menikah."

 

Jieun menangkap nada pahit dalam kalimat Chorong. Ia menoleh pada gadis yang sedikit lebih tinggi darinya itu kemudian memegang kedua pipi Chorong dengan tangannya, "Aku pikir sudah waktunya kamu harus egois, Rong."

 

Chorong mengerjapkan matanya dan memandang Jieun dengan bingung, "Maksudmu?"

 

"Temukan kebahagiaanmu sendiri. Jika Luhan memang tidak bisa membahagiakanmu—"

 

"Tunggu," Chorong menarik kedua tangan Jieun dari wajahnya. "Kau sedang menyuruh aku untuk putus dengan Luhan?"

 

Jieun terlihat ragu dan ia melipat bibirnya ke dalam, "Aku cuma ingin kamu bahagia. Benar-benar bahagia, bukannya pura-pura bahagia. Aku tidak menyuruhmu putus dengan Luhan, tapi selama ini aku melihatmu hanya pura-pura bahagia dengannya."

 

Chorong menggeleng, "Aku bahagia."

 

Jieun balas menggeleng berkali-kali dengan mengernyitkan dahinya, "Jujur pada dirimu sendiri, Chorong."

 

Chorong terdiam.

 

Dia mencintai Luhan dengan sepenuh hatinya. Ia ikhlas mengorbankan apa saja untuk Luhan. Chorong merasa ia sudah cukup bahagia melihat Luhan. Tapi melihat kebahagiaan yang dimiliki Wufan dan Jieun, kebahagiaan yang mereka rasakan dan bagi bersama, apakah Chorong benar-benar bahagia?

 

***

 

Wufan resmi menikah dengan Jieun. Mereka terlihat begitu bersinar diantara para tamu undangan. Chorong menggamit lengan Luhan sambil berjalan mendekati kedua mempelai untuk menyalami mereka.

 

Chorong tersenyum senang melihat Wufan dan Jieun. Dan ia senang paling tidak ia bisa pergi keluar bersama dengan Luhan lagi walaupun hanya datang ke pernikahan sahabatnya.

 

Paling tidak, Chorong berpikir begitu.

 

***

 

Saat Chorong ulang tahun Luhan menghadiahinya sebuah kalung berlian.

 

Malam itu mereka habiskan bersama. Luhan mencium dan membelai kekasihnya dengan lembut. Chorong menyebut nama Luhan berkali-kali seirama dengan gerakan Luhan yang menyatu dengan tubuhnya. Luhan membawa mereka bersama ke sebuah keindahan dan kenikmatan yang tak terungkapkan.

 

Chorong berpikir dia sudah cukup bahagia walaupun ketika ia bangun pagi berikutnya, Luhan sudah tidak ada disampingnya.

 

***

 

"Luhan," Chorong bicara dengan suara merintih dari seberang telepon.

 

Luhan mengalihkan pandangannya dari layar komputer dan berusaha fokus pada ponselnya, "Chorong?"

 

"Luhan..." suara Chorong terdengar sangat lemah. "Umma..."

 

"Umma? Kenapa umma?"

 

"Luhan... Umma..."

 

Luhan menghela nafas, "Chorong, aku sedang menyiapkan materi meeting, aku mohon bicara lebih jel—"

 

Sambungan terputus. Luhan memandang ponselnya dengan bingung namun ia tidak menelepon balik. Ia memiliki meeting penting di jam berikutnya.

 

Malam itu Luhan pulang ke apartemennya dan menemukan apartemennya kosong. Ia menghubungi Jieun dan Jieun memaki-maki Luhan tanpa henti, mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi pacar Chorong, mengatakan ia adalah manusia tidak punya perasaan dan Jieun melontarkan sebuah kata-kara kotor terhadap Luhan dan pekerjaannya sebelum akhirnya dia mengatakan ibu Chorong meninggal dunia.

 

Untuk pertama kalinya, walaupun ia memiliki jabatan yang baik di kantornya, walaupun ia selama ini bisa menghidupi dirinya dan Chorong dengan berkecukupan, Luhan kali ini merasa ia benar-benar tidak berguna.

 

***

 

Luhan tahu bagaimana Chorong sangat mencintai ibunya. Luhan juga tahu bagaimana Chorong menderita saat ia harus bertengkar dengan ibunya karena Luhan.

Ibunya tidak pernah setuju dengan hubungan Chorong dan Luhan. Ibunya tidak mau anaknya menjalin hubungan dengan orang yang bukan warga negara Korea.

Tapi Chorong sangat mencintai Luhan hingga ia berani melawan kata-kata ibunya. Ibunya tidak mau berhubungan dengan Chorong selama ia berpacaran dengan Luhan. Tapi demi Luhan, Chorong bertahan.

 

Disaat Chorong kehilangan ibunya dan Luhan tidak ada di sampingnya, Luhan tidak berani berpikir bagaimana sakitnya gadis yang ia cintai itu. Chorong merelakan semuanya demi Luhan dan Luhan menyia-nyiakannya.

 

Luhan melangkah memasuki pekarangan rumah Chorong di pinggir kota Seoul. Kakak perempuan Chorong yang menerimanya dan ia mengatakan Chorong ada di kamarnya dan mempersilakan Luhan untuk langsung ke kamarnya. Luhan melangkah ke kamar Chorong setelah berkali-kali mengungkapkan rasa belasungkawanya.

Chorong duduk di pinggir tempat tidurnya sambil memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Luhan mendekati gadis yang tampak benar-benar rapuh itu dengan perlahan.

 

Chorong akhirnya menoleh ke arah Luhan saat ia melihat dari sudut matanya bahwa Luhan berdiri di sampingnya. Tapi betapa hancurnya hati Luhan ketika Chorong kembali membuang mukanya setelah melihat Luhan.

 

Rambut Chorong berantakan, matanya sembab dan bengkak. Luhan benar-benar ingin memeluknya. Akhirnya ia berlutut di samping Chorong, memberanikan diri meletakkan tangannya diatas lutut Chorong, "Rong..."

 

Jika hati Luhan sudah hancur ketika Chorong membuang mukanya tadi, ia tidak tahu apa yang terjadi pada hatinya ketika Chorong menepis tangan Luhan dari pangkuannya. Hatinya remuk, hancur menjadi debu.

 

Luhan menunduk dan menghela nafasnya. Ia tahu ia yang salah, "Chorong, maafkan aku."

 

Untuk kali ini Chorong tidak bisa memaafkan Luhan begitu saja. Ia merasa menyesali semua yang telah ia perbuat dalam hidupnya. Ia menyesal melawan kata-kata ibunya dan hidup bersama Luhan. Ia menyesal melawan ibunya hanya untuk orang yang menyia-nyiakan dia. Ya, Chorong akhirnya sadar. Ia tidak pernah bahagia bersama Luhan. Luhan hanya memberikan kebahagiaan semu di awal hubungan mereka, menjanjikan kehidupan yang indah bersamanya kelak.

 

"Kemana kamu saat aku butuh kamu?" Chorong akhirnya bicara. Suaranya serak akibat terlalu banyak menangis dan terdengar sangat lemah.

 

Luhan menatap lantai di bawahnya dengan mata nanar. Ia hanya punya satu jawaban untuk itu dan ia terlalu takut untuk mengatakannya, yakin bahwa Chorong tidak akan memaafkannya.

 

"Untuk apa kamu kesini? Ini hari kerja, kamu seharusnya di kantor," lanjut Chorong. Ia tidak terdengar marah atau apapun. Ia justru terdengar sangat datar.

 

Luhan memberanikan diri memandang Chorong, "Chorong, maafkan aku. Kau tahu aku bekerja untuk kita. Aku—"

 

Chorong mendengus pelan. Ia balik memandang Luhan. Ada senyum di wajahnya tapi senyum itu terlalu pahit, terlalu sinis dan terlalu menyakitkan saat Luhan melihatnya, "Kita?"

 

Luhan mengalihkan pandangannya. Ia tidak mampu memandang Chorong yang terlihat begitu hancur di hadapannya. Dan ia tidak mampu menahan pikiran bahwa dialah yang menyebabkan Chorong begitu.

 

Hening lama setelah itu. Chorong masih memandang Luhan untuk beberapa saat sampai akhirnya ia kembali memandang keluar jendela.

 

"Luhan,"

 

Luhan mendongak, berharap keajaiban bahwa Chorong akan memaafkannya. Tapi yang ia dapatkan justru sebuah kata-kata final dari bibir Chorong.

 

"Pergi."

 

Bibir Luhan bergetar dan kepalanya tiba-tiba terasa ringan. Segala yang telah dilakukannya selama dua tahun belakangan ini, segala yang ia lakukan tanpa Chorong, segala yang ia lakukan seolah untuk Chorong tapi ia tidak pernah benar-benar ada untuk Chorong kembali muncul di benaknya seperti sebuah kilasan film. Ia menyesali semuanya, tapi semua sudah terlambat.

 

Luhan perlahan bangkit dari samping Chorong dan berjalan keluar kamarnya.

 

Ia tidak sadar airmata sudah jatuh membasahi pipinya.

 

***

 

Dua tahun sudah lewat.

 

Luhan sudah mampu membuka usaha periklanan sendiri dan sebagai bos, ia sudah tidak perlu kerja rodi lagi.

 

"Luhan, klien kita sudah datang," Kyungsoo, sekretarisnya, memberitahunya via speaker phone yang ada di ruangan Luhan.

 

"Suruh masuk," balas Luhan.

 

Kliennya adalah seorang pria cukup tinggi dengan postur badan ideal dan kulit kecoklatan, ia tersenyum pada Luhan ketika ia memasuki ruangan Luhan. Luhan balas tersenyum.

 

Diskusi mereka berlangsung selama hampir 45 menit dan semua itu tidak terasa karena Kim Jongin, kliennya, adalah pribadi yang menyenangkan. Pembicaraan dengan mudah mengalir diantara mereka sampai akhirnya ponsel Jongin berbunyi. Ia tersenyum pada Luhan meminta waktu untuk mengangkat teleponnya. Luhan mengangguk seraya bergerak ke layar komputer untuk memberikan kliennya privasi.

 

"Chorong," Jongin menjawab teleponnya dan Luhan berusaha amat keras untuk tidak langsung menoleh saat mendengar nama yang terlalu familiar itu.

 

"Iya ini sebentar lagi selesai—Oke sayang—Kamu mau apa?" Jongin tertawa pelan. "Aku juga cuma butuh kamu—Iya—Oke, ini sebentar lagi selesai, kamu tunggu di depan ya?—I love you Chorong."

 

Jongin menutup telfonnya dan Luhan berusaha fokus pada layar komputernya, agar kliennya tidak sadar bahwa ia menguping seluruh pembicaraannya.

 

"Ah, maaf, pacarku agak—" Jongin tidak melanjutkan kata-katanya karena ia terlalu canggung dan menggaruk-garuk belakang lehernya.

 

Luhan tersenyum, "Kurasa dia pacar yang perhatian."

 

Jongin balas tersenyum dan Luhan dapat melihat percikan cinta yang terpancar dari matanya, "Kurasa juga begitu."

 

"Lagipula diskusi kita sudah selesai kan?"

 

"Ah iya," Jongin menyadari bahwa mereka sudah membahas semua yang butuh dibahas dan akhirnya pamit dari kantor Luhan.

 

Mengikuti instingnya, setelah Jongin pamit dari ruangannya Luhan bergerak mendekati jendela nya dan memandang kebawah, ke depan kantornya. Dan saat itulah ia terhenyak.

 

Gadis yang pernah mengisi hidupnya, dan sampai saat ini masih mengisi hatinya, yang memutuskan hubungan dengannya dua tahun silam, yang menyuruh Jieun memberitahunya bahwa dia tidak mau dihubungi lagi oleh Luhan, ada di depan kantornya. Dia terlihat bercahaya dengan baju terusan simpel yang dia kenakan.  Masih ada getaran di dalam dada Luhan saat melihat dia.

 

"Chorong..." gumam Luhan.

 

Chorong melambai dan tersenyum lebar pada seseorang dari arah pintu depan kantor Luhan dan Luhan bisa menebak dengan tepat siapa.

 

Jongin berjalan mendekati Chorong dan mereka tertawa kecil sebelum bergandengan tangan dan pergi menghilang dari pandangan Luhan.

 

Chorong terlihat begitu bahagia. Luhan bersyukur gadis yang dicintainya bisa kembali bahagia dan memiliki orang yang bisa membahagiakannya. Luhan berpikir dia sudah cukup bahagia melihat Chorong bahagia walaupun ia masih belum bisa menggantikan posisi Chorong dengan siapapun.

 

Paling tidak, Luhan pikir begitu.

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
yllials #1
Chapter 1: HA. DANG. RASAIN!
Tapi walau bahagia ngelihat Luhan digituin, sakitnya tuh di sini~
Chohan lagi, dong, authornim!
eh, iya, yg nongol kok jongin ya? kiraib suho. hahaha
FlamingSweetIce #2
Chapter 1: Setelah muter2 cari ff chohan akhirnya aku ketemu ff kamu juga dan ini sumpah nyesek banget. Pas bagian chorong bilang "pergi." itu gak bisa digambarkan oleh kata2 :'( /lebay/
tapi ini serius, nyesek banget. Dan meskipun aku kesel sama Luhan tapi tetep aja aku kasian sama dia yang dua tahun belum bisa move on dari chorong, ya ampyuuun bo aku juga pernah ngerasain apa yang kamu rasain little deer :D /kicked/
angelily95
#3
hello~ i am a malaysian reader :)

gonna read this story and i will comment later ^^
adellakrs
#4
Chapter 1: Aku senang! Aku senang luhannya terbully huhuhu demi appun kok aku komen aneh gini
kkeurao #5
Chapter 1: perih.jleb.:"
imdeas
#6
Chapter 1: INI PERIH. RASANYA KAYAK DITUSUK BAKUL DAN RASANYA PERSIS KAYAK UDAH BELAJAR MATI-MATIAN BUAT ULANGAN EH PAS DIBAGIIN ULANGANNYA DAPET MERAH.

PERIH. /NANGIS PILU/

Author ini ficnya rapi deh! penataan katanya rapi dan simpel, gampang dibaca dan gampang ngerasainnya.

TAPI... LUHAN ITU... MINTA DIGAPLAK PAKE BAKUL!! KEJAR CHORONG KEJAR!! LARI!! GA RE
LAAAA
demafx #7
Chapter 1: Fix bgt, big fan of your works!! :'''( biasanya awkward pake bahasa tp ini sedih serius
crepusculum
#8
Chapter 1: SAKIT. INI SAKIT BANGET. MENGIRIS HATI SEKALI.

Penataan kata yang bagus, dan rapih sekali rasanya. Mumpung lagi 'kena' feel chohan-nya, jadi seneng bgt liat ada fanfic chohan pake bahasa indonesia lain ;u;

TAPI LUHAN KENAPA. Y U NO KEJAR TUH CEWEK TENDANG AJA SI JONGIN. gemes banget HUH.
puppyyeol
#9
Chapter 1: nga sengaja buka nih ff! demi apa nih ff kern banget thornim;; luhan teganya teganya pada cewe seunyu chorongㅠㅠ nga ada sekuel nih thor?
eternalspring
#10
Chapter 1: KENAPA ENDINGNYA GINI !!! Huhuhuhu aku kira mereka bakal happy ending...
pengen jitak luhan beneran deh :(
please buat fanfics chohan lagi tapi yg happy ending...
tapi~~ aku suka sm plot ceritanya (y)