Melati

Melati

Melati: Cinta yang suci.

 

Setangkai bunga melati itu masih terpajang dengan indah. Di dalam vas pink, di atas meja yang terletak diujung kamarku. Melihatnya saja memberiku semangat untuk melanjutkan hariku. Namun ketika semua memori itu kembali, apakah itu masih menyemangati?

Aku masih ingat persis apa yang terjadi siang itu. Mungkin kalau ia tidak datang ke kedai kopi milik ibuku, hidupku akan hancur. Tapi ia datang pada saat yang tepat. Menyelamatkanku dan keluargaku, dan terutama, ia  berhasil membuka hatiku lagi. Setelah terpendam dalam kesedihan selama bertahun-tahun, ia berhasil membuatku mencintai seseorang lagi.

Pelan-pelan aku mulai menyukainya. Ia selalu membantuku dalam pekerjaan sekolahku dan mengantarku ke tempat yang kuinginkan. Mungkin terlihat manja, tetapi aku sungguh menikmati kehadirannya. Kehadirannya yang dapat membuatku bahagia seketika.

Namun itu semua tidak berlangsung lama, separuh karena ayahku membencinya, separuhnya lagi, karena memang dari awal, ia tidak pernah menyukaiku. Ternyata ia hanaya melakukan itu semua untuk permainan kecilnya.

Betapa bodohnya diriku untuk mempercayai dirinya terlalu dalam. Kini aku hanya berumur enam belas tahun, dan hidupku sungguh kacau. Tanpa seorang ayah, aku harus merawat gadis kecilku ini. Melihat semua teman-temannya diantar dan dijemput oleh ayahnya menusuk hatiku lebih dalam lagi: anakku tak memliki seorang ayah.

Pada hari-hari dimana diadakan lomba yang pesertanya harus ayah dan anak, aku tak bisa berbuat apa-apa. Merilyn; anakku; dia harus berlomba sendiri tanpa ayahnya. Ketika ‘Hari Ayah Sedunia’ dirayakan dan anak-anak ditugaskan untuk membuat surat kepada ayahnya, Merilyn hanya bisa duduk diam dan memandangi kertasnya yang kosong itu.

Ini semua salahku.

Karena aku telah mempercayainya terlalu dalam.

Separuh perjalanan yang kita tempuh aku sudah tak ingat, tetapi bunga melati itu, masih kuingat persis apa yang terjadi.

Ia mengajakku ke sebuah taman penuh dengan bunga melati, memetik satu tangkai dan memberinya kepadaku. Dengan senyuman lebar, ku genggam erat-erat melati itu, karena ku ketahui, melati ini beda daripada yang lain.

Tak kusangka ia telah mengambil tubuhku.

Setelah bersetubuh, janjinya yang dulu ku percayai kini telah musnah. Ia meninggalkanku sendirian pagi itu, di kamarku. Baru beberapa bulan kemudian aku baru sadar bahwa aku hamil, dan orangtuaku sungguh kecewa denganku. Kini keluargaku hancur, dan semuanya hancur.

Kim Jongdae.

Aku menghela nafas yang panjang dan membuka pintu mobilku. Lagi dan lagi, anak-anak berlari ke pelukan ayahnya. Dari ujung mataku terlihat Merilyn duduk di taman sekolahnya, mengayunkan kakiknya sambil menangis dengan pelan. Betapa hancurnya hatiku melihat anakku menangis lagi. Rasanya seperti ribuan jarum menusuk hatiku: aku bergegas menghampirinya.

“Aku juga ingin memiliki seorang ayah. Dimana ayahku?” Merilyn berbisik kepada rangkaian bunga melati yang sedang ia pegang. Namun saat aku hendak membuka mulutku untuk berbicara, seorang lelaki menghampirinya dan berkata,

“Hai gadis kecil, aku bisa menjadi ayahmu.”

Sesaat kemudian Merilyn menghapus air matanya dan melonjak kegirangan. Siapa orang itu? Aku tak bisa berhenti menanyakan diriku sendiri pertanyaan yang sama setiap hari. Lelaki itu yang tak aku kenali sedikit pun telah berpartisipasi menjadi ayah anakku di semua acara sekolahnya dan aku telah mempercayainya.

Oops.

Percaya kepadanya?

Mungkin iya, mungkin tidak. Entahlah, wajahnya sungguh familiar bagiku.

-

“Ibu, bolehkah ayah datang ke rumah? Please, ku mohon padamu!” Merilyn menatapku dengan wajahnya yang menunjukan bahwa ia tulus memohon kepadaku. Tanpa kusadari, aku telah mengangguk dan mengizinkan lelaki itu masuk.

Lelaki yang bahkan ku tak ketahui identitasnya.

Oh tidak, bagaimana jika ia seorang pembunuh?

“Jika kau bertanya-tanya, tenang saja, aku bukan seorang pembunuh,” lelaki itu tertawa pelan dan berkata kepadaku.

Bagaimana dia bisa tahu?

Aku mengerutkan keningku sesaat dan memutuskan untuk membiarkannya berlalu. Sambil memasak makan siang untuk kita dan erm, lelaki itu, handphone-ku berbunyi keras, menandakan ada yang menelepon.

“Selamat siang. Iya ini saya sendiri, ada apa? Tidak, saya tidak tahu. Terimakasih. Akan kusampaikan pada Merilyn nanti. Ya, terimakasih. Sampai jumpa.” aku bergegas menutup telepon itu dan berlali ke dapur, menemukan masakanku yang sudah gosong. Ku dengar Merilyn dan lelaki itu bermain barbie dan boneka-boneka lain di ruang tamu yang membuatku lebih marah.

Siapa sebenarnya lelaki itu?

“Aku tak akan menyakiti anakmu, tenang saja,” ia tertawa lagi dan melanjutkan permainannya dengan anakku.

“Aku hanya penasaran dengan namamu.” aku membalasnya dengan ucapan tegas.

“Namaku?”

“Ya, namamu, apa itu kurang jelas?”

“Kau tak perlu tahu namaku. Yang penting aku mengetahui namamu, Melati.”

“Bagaimana kau bisa mengetahui namaku?!” aku tersentak kaget dan mataku terbuka lebar.

“Kau juga tak perlu mengetahui alasannya. Hai Melati, aku yakin, kau sudah tidak percaya dengan arti Melati yang sebenarnya kan?”

“...Cinta yang suci...” aku bergumam pelan, namun sepertinya lelaki itu dapat mendengarnya.

“Jongdae?!”

Aku membuka mataku lebar-lebar dan mulai mengobservasi dia. Matanya, hidungnya, telinganya-- Ya ampun, dia Jongdae! Lelaki yang telah menelantarkanku! Lelaki brengsek itu!

“Mau apa kamu?!” Nadaku yang awalnya  lembut berubah seketika menjadi kasar dan jahat. Merilyn terduduk diam, tak mengerti situasi ini. Sungguh memalukan bagiku, seorang ibu, bertingkah seperti ini di depan anak semata wayangku ini.

“Aku hanya ingin menjadi ayah yang perfect dan bertanggung jawab untuk Merilyn. Setelah bertahun-tahun ini aku mengobservasinya, terlihat bahwa ia membutuhkan seorang ayah.”

“Ada jutaan lelaki lain yang bisa menjadi ayahnya! Jadi sebaiknya kau pergi dan jangan pernah menganggu hidup kami lagi!” Aku berteriak dengan kencang sambil menunjuk pintu keluar rumahku. Saat itupun Merilyn mulai menangis dengan kencang, yang meng-alarm aku untuk memeluknya.

“Maafkan Ibu,” aku menitikkan sebuah air mata yang jatuh di kepalanya.

“Aku punya hak untuk merawatnya, karena aku ayah kandungnya!” Jongdae berteriak dan menarik Merilyn dari pelukanku.

“Kau, Melati, seharusnya memberikan cinta yang suci untuk anakmu! Sesuai namamu sendiri! Dengan itu, kau seharusnya memberinya seorang ayah!”Jongdae yang masih menggendong anakku, berteriak lagi dengan kencang dan mengecup kening Merilyn.

“Tidak. Kau tahu arti Melati? Sudah bukan cinta yang suci lagi. Melati adalah cinta yang palsu.”

Air mata tidak bisa berhenti mengalir keluar dari mataku. Mungkin ia benar, aku sungguh tak bertanggung jawab atas anakku. Seharusnya aku berusaha mencari seorang ayah untuknya. Aku seorang Ibu yang gagal, batinku.

“Kau tahu kenapa sekarang aku menyebut melati: cinta yang palsu?” Setelah menarik nafas yang dalam, aku lanjutkan perkataanku, “Karena bunga melati yang kau berikan padaku menandakan semua itu. Aku pikir kau tulus mencintaiku. Tapi ternyata tidak; semua itu palsu. PALSU! KAU TAHU?! SELAMA BERTAHUN-TAHUN AKU MENDERITA KARENAMU! AKU HARUS MERAWAT ANAKKU SENDIRIAN! BETAPA HANCURNYA HATIKU MELIHAT SEMUA ANAK MEMLIKI SEORANG AYAH, DAN MERILYN TIDAK. PADA HARI-HARI DIMANA PERLOMABAAN DIADAKAN BERSAMA AYAH, IA HARUS BERJUANG SENDIRIAN. KAU TAHU BETAPA KAMI MENDERITA TANPAMU HAH? Tapi mungkin kau benar, aku memang Ibu yang gagal. Selama tujuh tahun ini, aku gagal merawat anakku.”

"Aku masih menyimpan melati itu dengan baik; melati itu yang palsu," aku menghapus air mataku yang tidak bisa berhenti mengalir dan tertawa dengan sarkasme. 

 

 

Melati oh melati, kembalikan arti melati yang sebenarnya...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
le-vienna
#1
Chapter 1: menusuk hati author-nim~ buat lagi donggg ^^
imcllin #2
Chapter 1: Bagusssssssssssssssssssssssssss banget T^T
eothokkee~ Jinjja neomu johda~~ ^^b
Ayo buat lagiiii~ ^^
iya_007
#3
Chapter 1: WOW......Candy BAGUS ceritanya :3


*thumbs up
imcllin #4
please updateeeeeeeeeeeeee authornimmm geeezz XD