Chapter 1

Between Of You

Tok tok!

“Krystal, ini Minho. Buka pintunya.”

....................

Tok tok tok!

“Krystal? Apa kau mendengarku?”

........................

Ada apa dengan anak ini? Apa dia belum bangun? Apa dia lupa hari ini sekolah?

Tok tok tok tok!

“Hey krystal! Buka pintunya! Kita harus berangkat ke sekolah sekarang!”

...............................

TOK TOK!

“Yak! KRYSTAL!”

..................................

Kenapa tidak ada jawaban? Apa dia sedang diluar?

“Hey Krystal, jawablah! Apa kau mendengarku? Buka pintunya!”

.......................................

Sial! Ada apa dengannya? Apa hal itu terjadi lagi?

BRAAAK!

 

“Hey, Krystal! Disini kau rupanya. Kenapa kau tak menjawabku? Kenapa kau tak membukakan pintu untukku?”

.........................

“Yak, Krystal! Kenapa kau diam saja? Kau mendengarkan apa yang kubicarakan, bukan?”

Sudah kuduga Minho akan seperti ini..

Entah kenapa Minho menjadi seperti ini. Semenjak ku keluar dari rumah sakit kemarin, dia menjadi lebih mudah panik dan khawatir bahkan lebih protektif kepadaku dari biasanya. Ini yang membuatku selalu mengusilinya seperti ini. Dengan mengabaikan panggilan pagi yang sering kudengar itu, sukses membuatnya panik seperti ini.

“Kau berisik sekali, Minho. Apa kau tidak lihat apa yang sedang kukerjakan?”

“Hah, kau ini.. Setidaknya kau bisa menjawabku, bukan? Kenapa kau tak menjawabku? Kenapa kau malah diam membisu seperti itu?”

“Maaf, Minho. Mulutku terlalu sibuk untuk mengunyah makanan yang enak ini.”

Hah.. krystal.. kau ini benar-benar..

“Jadi kau ingin aku merusak pintu rumahmu dibandingkan menjeda makanmu sejenak untuk menjawab panggilanku?”

“Mungkin. Tapi kalau kau memang ingin mendobrak pintu rumahku sehingga membuatnya rusak, lakukan saja. Aku tidak keberatan.”

“Aigoo.. Baiklah. Kau berhasil membuatku kesal sekarang. Sudahlah, cepat selesaikan makanmu. Jangan sampai kita telat ke sekolah.”

Sudah seminggu yang lalu aku tak mendengar kata ‘sekolah’. Dirawat di rumah sakit selama seminggu itu memaksaku melewatkan Hari Penerimaan Siswa Baru Seoul Senior Highschool, sekolah baruku itu. Membuatku harus berkenalan dengan murid baru kelas 10 yang sebenarnya sudah terlambat. Mereka pasti sudah mempunyai temen dekatnya masing-masing. Sedangkan aku? Mungkin aku akan bertahan dengan sahabat kecilku ini, Minho. Ya, dia juga bersekolah di tempat yang sama. Jangan heran. Ini bukanlah hal yang pertama kali kualami. Kami memang selalu bersekolah di tempat yang sama semenjak playgroup dulu. Rumahku yang bersebelahan dengannya membuat kami bersahabat sejak kecil. Inilah yang membuat kami sangat dekat. Bahkan, banyak yang menanyakan apakah kami adalah sepasang kekasih. Ya, tentu kami akan tertawa dan pergi meninggalkan tanda tanya besar dipikiran mereka. Walaupun sebenarnya pertanyaan itu meninggalkan rona merah dipipiku.

Sudah dari SMP dulu kami merencanakan bersekolah disini. Kami selalu belajar bersama setiap pulang sekolah karena tes masuk sekolah ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ya, sekolah ini adalah sekolah terfavorit di Seoul. Fasilitas dan prestasi akademik dan non akademiknya patut diacungi 2 jempol. Inilah yang membuat kami tergiur untuk bersekolah di tempat ini. Kalau saja nama kami tak tertera di papan pengumuman siswa yang lolos tes itu, mungkin ini akan menjadi pertama kalinya kami bersekolah di tempat yang berbeda. Sungguh, tak terbayang olehku kalau kami berbeda sekolah. Mungkin aku akan kesulitan. Mungkin aku akan kesepian tanpa senyumannya itu di sekolah.

TIN TIIIN!

“Krystal, awas!”

Sebuah gerakan kilat menyambar tubuhku seketika. Ketika ku tersadar, ternyata aku sudah berada di pelukan Minho. Terdengar begitu jelas detak jantungnya yang berdenyut tak karuan.

“Hah, kau ini. Apa kau tidak lihat? Lampu penyebrangan masih merah. Kenapa kau malah terus menyebrang?”

Sontak, aku melepas pelukannya. Detak jantungku menjadi tak karuan. Setelah menenangkan tubuhku sendiri, akhirnya aku bisa berbicara dengan tenang.

“Maafkan aku, Minho. Aku... sedang melamun tadi.”

“Hah, pantas saja. Kalau kau ingin melamun, jangan di jalan, apalagi ketika sedang menyebrang seperti ini. Itu sangat berbahaya.”

“Iya, maaf. Ada banyak hal yang sedang kupikirkan tadi. Dan... terima kasih sudah menyelamatkanku. Kalau kau tak sesigap itu, mungkin aku sudah tertabrak mobil tadi.”

“Iya, sudahlah. Yang penting kau baik-baik saja. Tapi, kau jangan mengulanginya lagi.”

“Iya, aku mengerti.”

“Lagipula, tak usah kau pikirkan tentang sekolah. Kau pasti bisa menjalaninya. Aku yakin.”

Ya, inilah Minho. Dia selalu tahu apapun yang sedang kupikirkan tanpa perlu menanyakannya padaku. Seperti halnya pembaca pikiran. Tapi, aku yakin, dia bukan pembaca pikiran. Dia hanyalah seorang Choi Minho, sahabat sekaligus orang yang kucintai. Dia selalu berhasil menenangkanku. Kata-katanya yang barusan saja telah menenangkanku.

“Kemarikan tanganmu.” Ujar Minho sembari menyodorkan tangannya padaku.

“Hah? Untuk apa?” tanyaku terheran-heran. Tentu saja aku heran. Untuk apa dia meminta tanganku mendadak seperti ini?

“Sudahlah, kau tak usah banyak bicara.” Ujarnya sembari menarik tanganku dan menggemggamnya dengan erat.

Astaga, ada apa dengan Minho? Kenapa dia menggenggam tanganku seperti ini? Apa dia ingin membuat pipiku merah seperti tomat?

Lampu penyebrang jalan pun menjadi hijau. Dia pun menarik tanganku dan membawaku menyebrang bersamanya. Sedangkan aku? Hanya bisa pasrah. Bukan pasrah sebenarnya, aku hanya bingung. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus melepas tangannya atau membiarkannya terus menggemggam erat tanganku seperti ini? Lagipula, genggaman tangannya begitu nyaman buatku. Yah, walaupun itu membuat jantungku memompa darah lebih cepat dibanding biasanya.

“Hei, kenapa mukamu merah begitu? Kau sedang tak enak badan?”

“Hah? Apa? Siapa? Aku? Tidak, aku baik-baik saja.”

Sial, kenapa ucapanku jadi gelagapan begini..

“Benarkah?” ujarnya tak yakin. Tangan yang besar itu kini menyentuh dahiku. Memeriksa suhu tubuhku. Tapi, justru itu malah hanya akan membuat pipiku menjadi lebih merah.

“Yak! Sudahlah.. Aku baik-baik saja.” Ucapku geram sembari menyingkirkan tangannya dari dahiku. Bagaimana aku tidak geram? Itu benar-benar membuat jantungku terus berdetak cepat dari tadi. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika dia terus memegang dahiku seperti itu. Mungkin jantungku akan terlepas.

“Hahaha... Iya iya aku mengerti. Tapi, jangan buat mukamu merah seperti tomat itu lagi.” Ujarnya dengan tawa yang meledak.

Sial, dia malah meledekku tomat? Ini semua salahmu tahu!

“Ya, terima kasih atas pujiannya. Aku begitu terharu mendengarnya.” Ujarku sembari melipat kedua tanganku di dada dengan tatapan tajam.

“Hahaha, iya sama-sama. Aku juga begitu senang bisa memujimu seperti itu.”

Dasar Minho menyebalkan!

Kesel, aku pun pergi meninggalkannya. Satu hal yang belum ku beritahu, dia suka membullyku! Tak heran, aku selalu membalas mengusilinya seperti yang kulakukan di rumah tadi.

“Hei, tunggu.” Ujarnya kini setelah sadar aku pergi meninggalkannya.

Biar saja. Aku malas meladeninya lagi.

Terdengar sepatunya berpacu menghampiriku. Tak heran, kakinya memang lebih panjang dibandingkan aku. Baru berapa langkah saja, dia sudah berhasil berada di sampingku.

“Hei, sudahlah. Jangan pasang muka cemberut itu terus. Itu terlihat buruk.”

Buruk? Bahkan dia bilang aku buruk? Dasar menyebalkan!

“Hei, apa kau menyuekkanku sekarang? Baiklah, aku minta maaf. Aku hanya bercanda.”

Berani sekali dia bilang “aku hanya bercanda.” Justru dia yang membuat pipiku merah seperti tomat tadi.

“Tapi kau terlihat manis dengan pipi merah seperti itu.”

Sontak, aku berhenti. Kaget. Apa? Dia bilang aku apa? Manis? Telingaku tak bermasalah, kan?

“A..pa? Kau bilang... apa barusan?”

“Barusan?”

“Iya, barusan. Kau bilang aku apa?”

“Hmm.. Apa ya?”

“Yak! Seriuslah! Kau bilang aku apa barusan?”

“Hmm.. Entahlah, aku lupa.”

“Yak! Kau ini! Katakan apa yang kau bilang barusan!”

“Untuk apa? Itu sudah tertelan olehku.”

“Yak! Cepat katakan!”

Geram, aku pun memukulinya agar dia mengulangi apa yang dikatakannya tadi. Hanya untuk memastikan pendengaranku. Karena, dia tidak pernah bilang aku manis sama sekali. Apa dia benar-benar bilang aku manis?

“Hei hei, sakit! Jangan memukuliku seperti ini.”

“Kalau kau tidak mengatakannya, kau akan terus merasakan pukulanku ini.”

“Baiklah, aku akan mengatakannya.”

Akhirnya... Dia mau bilang juga...

Aku pun berhenti memukulinya. Terlihat jelas olehku tatapan serius yang ia tunjukkan.

“Tadi aku bilang, aku minta maaf.”

Hah? Apa? Dia bohong!

“Aku serius. Aku minta maaf. Jadi, jangan cemberut lagi ya?” ujarnya sembari memegang bahuku erat. Mukanya begitu dekat denganku. Sontak, jantungku berdegup kencang. Lagi.

Sial, dia mengalihkan perhatianku!

“Nah, sampai kapan kau membiarkan mukamu merah seperti tomat itu lagi?” ujarnya sembari kabur melarikan diri.

“Yak! Kau ini! Jangan kabur!”

Geram, aku pun mengejarnya dengan kepalan tangan yang siap untuk memukulnya.

Kau terlihat manis saat pipimu merah tadi, Krystal...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
amusuk
#1
Chapter 1: kyaa manisnya, jadi ini multichapter ya.
Haha, aku bingung mau komen apa, habis belum ketemu jalan ceritanya. Semoga aja ga sedih2 amat nantinya, eh ga ding, bikin aja yg tragis biar bikin nangis.
Cmungudh! *alay woy*
Ahahahah *ngga jelas*
AhnMoonHyun
#2
Chapter 1: Chapter 1 keluaarr~ Silahkan dibacaaa.. Komen-komen yaaa :D
yosalee #3
hi salam kenal,
boleh donk di lanjut FF nya..
aku juga baru disini,
kunjungi tulisan ku juga ya :)

http://www.asianfanfics.com/story/view/534821