Rain 2

Rain At That Moment

Some of the storyline here is inspired by the story of summerchild  en titled WGM: LuNew Couple. Go read for this fanfics. It's so fluffy~~~

 


 

 

Saat itu hujan mengguyur namun tidak deras. Aku menunggu hujan denganmu di koridor sekolah.

 

“Sepertinya hujan seperti ini akan lama, Sunyoung-ah,” ujar Jinki Oppa.

 

“Kau benar, Oppa,” ujarku sambil menghembuskan napasku dengan berat.

 

“Kita tembus hujannya saja kalau begitu,” usul Jinki Oppa.

 

“Tapi aku tidak membawa payung, Oppa,” ujarku. Setelah aku berkata seperti itu, aku melihat Jinki Oppa melepaskan jaketnya dan melindungi kepalaku dan kepalanya dengan jaket itu. Aku hanya tersenyum melihatnya dan dia balas tersenyum melihatku.

 

Tanpa dikomando, aku dan Jinki Oppa menembus hujan sampai tiba di depan rumahku.

 

Aku membuka pintu rumahku namun pintu itu terkunci. Aku berbalik menemui Jinki Oppa yang sedang menunggu di teras rumahku sambil membersihkan rambutnya dari tetesan hujan.

 

“Ada apa?” tanyanya.

 

“Aku baru ingat kalau orang tua serta saudaraku sedang pergi dan baru akan datang sekitar tiga puluh menit lagi. Pintunya dikunci. Sepertinya mereka lupa meninggalkan kunci untukku,” jelasku.

 

Jinki Oppa hanya menganggukkan kepalanya. “Kau akan menunggu di sini kalau begitu?” tanyanya.

 

Aku mengangguk. “Kalau begitu tunggu sebentar,” ucapnya. Lalu ia berlari menembus hujan entah kemana.

 

Aku memeluk kedua tanganku untuk menghalau rasa dingin. Sudah sepuluh menit Oppa tidak kembali. Kemana dia kira-kira?

 

Tepat sebelum aku menjawab pertanyaanku sendiri, Jinki Oppa telah muncul di depan gerbang rumahku membawa sesuatu dalam genggamannya.

 

“Apa itu, Oppa?” tanyaku setelah ia sampai di teras rumahku.

 

Jinki Oppa tidak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu membuka lipatan benda itu yang ternyata adalah salah satu jaketnya yang kering lalu memakaikannya padaku.

 

“Oppa, kau tadi pulang ke rumah untuk mengambil jaket?”

 

“Memangnya kenapa? Rumahku hanya tiga blok dari sini.”

 

“Tapi jarak satu blok saja itu sudah jauh. Lagipula saat ini hu-,”

 

“Ssst...,” Jinki Oppa menempelkan telunjuknya pada bibirku, menyuruhku untuk diam. “Tidak apa-apa. Aku senang melakukannya untukmu. Kau pasti kedinginan kan?”

 

Aku hanya tersenyum memandangnya. Jaket yang diberikan Jinki Oppa padaku membuat tubuhku hangat. Lalu aku memandang Jinki Oppa. Ia masih memakai jaket yang tadi ia gunakan untuk memayungiku sampai ke rumah. Dan aku juga tahu kalau seragamnya basah. Tangannya terlihat menggigil.

 

Aku mengambil tangannya dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya yang kupakai.

 

“Oppa, tanganmu sangat dingin. Kenapa kau tidak mengambil jaket untukmu juga?” tanyaku.

 

“Aku takut kau akan menunggu terlalu lama.”

 

Perasaan hangat menyelimuti hatiku terutama wajahku.

 

“Tapi tanganmu dingin sekali, Oppa.”

 

“Kau tahu, seseorang pernah berkata padaku bahwa seseorang yang tangannya dingin memiliki hati yang hangat.”

 

Aku menatapnya tanpa berkedip.

 

“Itu terjadi padaku. Saat aku berada di dekat orang yang aku sukai, hatiku terasa hangat dan terasa seperti sedang terbakar karena gugup. Namun, tanganku terasa sangat dingin.”

 

“Benarkah itu, Oppa,”

 

“Tentu saja. Karena saat ini aku sedang merasakannya.”

 

Aku mengingat setiap kata darimu saat itu hingga kini. Entah mengapa kata-katamu terukir kuat di tiap sudut hatiku.

 

Dan terakhir kali aku menggenggam tanganmu, tanganmu memang dingin, sangat dingin. Namun yang pasti kutahu, hatimu tidak akan menghangat waktu itu, karena hatimu tidak bekerja saat itu.

 

Lalu aku termenung lagi.

 


 

 

Saat itu hujan mengguyur namun tidak deras. Aku sedang berteduh dengan Jinki Oppa di teras sebuah toko di pinggir jalan.

 

Bajuku dan rambutku dipenuhi oleh bulir-bulir air hujan. Aku menepuk pundakku untuk membersihkannya dari air hujan. Tanpa kusadari tangan Jinki Oppa telah menelusuri rambutku dengan sapu tangannya.

 

Aku tersenyum menatapnya. “Terimakasih, Oppa,” ujarku

 

“Kau berterimakasih seperti aku adalah orang lain saja,” ujar Jinki Oppa sambil tersenyum.

 

Aku balas tersenyum mendengarnya. “Bukan begitu, hanya saja, Oppa sangat baik padaku. Dan aku merasa, aku tidak cukup baik untuk membalas semua itu.”

 

”Kau ini bicara apa? Kau cukup membalasnya dengan selalu berada di sampingku dan tersenyum padaku. Hanya itu saja aku sudah sangat bahagia,” jawab Jinki Oppa sambil terus membersihkan rambutku dari butiran air hujan.

 

Aku tidak tahu harus bicara apa. Yang kurasakan hanyalah rasa hangat yang mulai menjalar di sekitar pipiku. Namun, dinginnya air hujan tetap sukses membuatku menggigil.

 

”Hatchi!”

 

Aku bersin, membuat Jinki Oppa tersentak kaget dan menjatuhkan sapu tangannya.

 

Jinki Oppa hanya tertawa melihatnya, lalu ia mengelus puncak kepalaku dengan lembut, membuat rona di pipiku.

 

Lalu ia menunduk untuk mengambil sapu tangan itu. Tepat saat ia hendak mengambil sapu tangan itu, angin menyapunya terbang ke tengah jalan yang sepi kendaraan karena hujan.

 

Jinki Oppa tersenyum padaku lalu berkata, ”Aku akan kembali.”

 

Lalu ia berlari menembus hujan itu.

 

Tepat pada saat Jinki Oppa sampai ke tengah jalan itu, tak disangka sebuah mobil hitam asing berbelok di tikungan dekat toko dimana aku dan Jinki Oppa berteduh. Karena jalanan yang licin karena air hujan dan kecepatan mobil yang tinggi membuat mobil itu terpeleset dan meluncur ke arah Jinki Oppa yang sedang memungut sapu tangannya.

 

Dan beberapa saat kemudian, yang kulihat hanyalah sapu tangan Jinki Oppa yang perlahan turun di depan sepatuku telah basah bukan hanya oleh air hujan, namun juga dengan darah.

 

”Aku akan kembali,” suara Jinki Oppa sambil tersenyum. Itukah yang kau sebut sebagai kembali?

 

Lalu aku termenung lagi.

 


 

 

Kini hujan masih mengguyur namun tidak deras. Dan aku masih termenung di samping jendela menatap nanar hujan itu. Coklat panas yang kuseduh beberapa waktu sebelumnya telah mendingin tanpa kusentuh sama sekali.

 

Aku menaruh gelas berisi coklat itu kembali ke meja dapur. Aku membuka pintu rumah dan memakai sepatu lalu  mulai berjalan keluar dari rumah.

 

Kakiku membawaku ke tempat itu. Tempat dimana semua kenangan bahagiaku saat hujan berganti menjadi suatu kepedihan.

 

Sapu tanganmu masih ada di sana. Dengan tangan gemetar aku mengambilnya dan membawanya ke dalam pelukanku yang paling dalam. Lututku sudah tak kuasa menahan berat badanku. Akhirnya aku jatuh terduduk di pinggir jalan itu.

 

Rintik hujan yang menetes di setiap tubuhku lebih terasa seperti jarum dibandingkan air.

 

Setelah aku dapat menahan luapan emosiku, aku berdiri dan mulai berjalan meninggalkan tempat itu.

 

Jalanan yang biasanya ramai akan kendaraan menjadi sepi karena hujan dan waktu yang hampir menuju tengah malam. Aku berjalan di tengah jalanan yang basah akan air hujan itu masih sambil menggenggam sapu tangan milikmu.

 

Ketika aku sampai di sebuah tikungan, sebuah mobil hitam muncul di hadapanku. Mobil itu tidak terasa asing bagiku. Mobil hitam itu mengingatkanku akan Jinki Oppa yang pergi dengan mengingkari janjinya. Cahaya mobil itu menyilaukan mataku, namun aku tidak berkeinginan untuk bergerak.

 

Dan beberapa saat kemudian yang kulihat hanyalah hitam

 


 

 

Sinar dari luar menyilaukan mataku, membuat aku terpaksa membuka mata. Aku berada di kamar sebuah ruangan di rumah sakit. Perlahan aku bangun dari tidurku. Anehnya, aku merasa bahwa aku sehat-sehat saja.

 

”Mengapa aku ada di rumah sakit sementara aku merasa bahwa aku baik-baik saja?” tanyaku lebih kepada diriku sendiri.

 

Perlahan aku keluar dari kasurku. Aku menghampiri Ibu, Ayah dan saudaraku yang tertidur di ujung ruangan rumah sakit tersebut. Aku mengecup kening mereka satu per satu. ”Bahkan orang tuaku dan saudaraku sampai datang ke sini.”

 

Tanpa terasa bulir-bulir hangat meluncur dari kedua pipiku. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasakan sedih yang sangat dalam.

 

Perlahan aku keluar dari gedung rumah sakit menuju taman di rumah sakit tersebut. Tapi, taman ini terasa tidak asing bagiku.

 

”Taman ini  mirip sekali dengan taman tempat biasa aku dan Jinki Oppa bertemu,” ucapku. Namun, saat aku menyebut nama ’Jinki Oppa’, aku terdiam.

 

Aku duduk di kursi taman itu lalu mulai mengelus-elus batang kayu yang terdapat pada kursi itu. ”Bahkan hangatnya pun terasa sama,” ucapku getir. Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku dan mulai menangis. Lalu tiba-tiba pundakku disentuh oleh tangan seseorang.

 

”Sunyoung-ah,” ucap orang itu. Aku menghentikan tangisku dan berdiri dari dudukku.

 

Di depanku kini telah berdiri seseorang yang sangat kukenal.

 

Seseorang yang kukenal sangat lembut padaku. Seseorang yang kukenal sangat baik padaku. Seseorang yang kukenal selalu melindungiku. Seseorang yang kukenal sebagai Jinki Oppa. Seseorang yang berkata ”Aku akan kembali” sambil tersenyum saat itu. Dan seseorang yang kupikir beberapa waktu yang lalu mengingkari janjinya ternyata telah menepati janjinya.

 

”O-Oppa?”

 

Jinki Oppa hanya tersenyum. ”Sudah kubilang, aku akan kembali, Sunyoung-ah,” ucapnya. Lalu ia menyodorkan tangannya padaku.

 

Dengan ragu aku mengangkat tanganku. Berharap saat aku menyentuhnya, Jinki Oppa tidak hanya sebuah bayangan yang tidak bisa kusentuh dan kugapai.

 

Namun apa yang kutakutkan tidak terjadi. Aku menggandeng tangan Jinki Oppa. Ia tersenyum dan mengajakku berjalan ke luar. Aku tidak tahu kemana, namun yang kutahu, asalkan aku bersamanya aku akan bahagia.

 


 

Finish~~~! I hope you understand and enjoy this story. Thanks for reading :3

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
mssLEEKIM
#1
Chapter 2: ouh,,, bad fate T_T tp ga papa deh kalo akhirnya mereka nyatu meski harus mati dulu
crystalight
#2
Chapter 2: Aaa! Akhirnya luna ketemu juga sama jinki;;
sedih ih waktu jinkinya ketabrak;;
sweetghadoosh #3
Chapter 1: Please translate it in english!!
I need it!!
TeukNa #4
well, i'm waiting for the english version then ^^ hwaiting!!