Rain 1

Rain At That Moment

 

Langit sore belum berhenti menurunkan hujannya ketika aku sampai di rumah. Aku menaruh payung hitamku dan mandi dengan air hangat sebelum akhirnya membuat coklat panas. Aku menggenggam gelas yang telah berisi coklat panas sambil berjalan menuju jendela. Dinginnya lantai keramik menusuk telapak kakiku. Namun aku sudah tidak lagi bisa merasakan itu. Bahkan panasnya gelas yang kulingkarkan di telapak tanganku tak bisa kurasakan lagi. Mungkin aku telah mati rasa.

 

Aku duduk di samping jendela memandang hujan dengan nanar. Tanganku bergerak menyentuh jendela yang ditetesi hujan itu perlahan. Jendela itu dingin. Tapi sudah kubilang bahwa aku mati rasa.

 

Aku menyentuh salah satu bulir hujan yang dibatasi oleh kaca jendela, mencoba menyerap entah kebahagiaan atau entah kesedihan di dalamnya.

 

Pikiranku melayang tak tentu arah sebelum akhirnya berhenti tepat di salah satu momen. Momen yang aku sendiri tidak tahu apakah momen itu dapat disebut kenangan yang indah atau menyedihkan.

 

Lalu aku teringat kau.

 

Seseorang yang membuat kenangan itu. Dan membuatku tersenyum saat itu dan menangis kini.

 

Lalu aku teringat hujan.

 

Sama seperti saat itu. Hujan terus mengguyur namun tidak deras. Namun hujan saat ini berbeda dengan hujan waktu itu. Kau tahu kenapa?



 

 

Saat itu hujan mengguyur namun tidak deras. Aku yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah terpaksa menepi. Bulir-bulir hujan membasahi seragam dan rambutku. Aku menepuk-nepuk lengan bajuku untuk membersihkannya.

 

“Hei.”

 

Aku menoleh ke arah sumber suara dan menemukan seorang lelaki yang mengulurkan handuk kecil yang dilipat padaku.

 

“Rambutmu basah. Kalau tidak dikeringkan kau bisa pusing,” ujar lelaki itu sambil tetap menyodorkan handuk itu.

 

“Ah, terima kasih.” Lalu aku mengambil handuk itu. Tetapi tak disangka lelaki itu malah pergi begitu saja menembus hujan setelah aku mengucapkan terima kasih. Tentu saja aku tidak mengerti maksudnya namun aku tidak mau ambil pusing.

 

Aku membuka lipatan handuk itu dan sepucuk surat yang agak basah muncul di sana. Aku membaca isi surat itu.

 

Hai. Emmm.. bagaimana aku harus memulai ya? Mungkin perkenalan terlebih dahulu. Baiklah, namaku Lee Jinki. Mungkin kau tidak terlalu memperhatikan aku yang seorang laki-laki biasa di sekolah. Namun tidak begitu denganku. Tanpa kau sadari, atau mungkin telah kau sadari, aku selalu memperhatikanmu. Aku tidak tahu kenapa, tetapi mataku tidak dapat lepas darimu meskipun otakku telah memerintahkan dengan keras untuk tidak melihatmu. Dan pelan namun pasti, aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi. Jadi mungkin kau bisa mengembalikan handuk ini besok? Oke, sampai bertemu besok. Aku menunggumu di taman sekolah.’

 

Begitulah awalnya. Awal dari semua kenangan manis dan pahit denganmu. Tapi dunia tidak mengenal awal tanpa akhir. Begitu juga dengan pertemuan dan perpisahan. Dan saat aku menyadari hal itu, aku mulai membenci dunia.

 

Lalu aku termenung lagi.



 

 

Saat itu hujan mengguyur namun tidak deras. Aku teringat akan kata-katamu saat kau mengantarku ke kelas pagi tadi.

 

“Aku akan menunggumu.”

 

“Tidak usah. Jam tambahanku mungkin agak lama. Kita batalkan saja.”

 

“Ayolah. Aku ingin pergi ke sana bersamamu, Sunyoung-ah.”

 

“Oppa, ambil hari lain saja.”

 

“Tapi kapan? Kau tahu kan kalau tiga minggu ke depan aku akan izin pergi ke luar kota. Kita tidak akan bertemu lagi selama tiga minggu ke depan dan aku ingin menghabiskan waktu denganmu sebelum berangkat,” ucap Jinki Oppa.

 

“Baiklah, tapi aku tidak janji. Kalau aku belum datang setelah tiga puluh menit Oppa menunggu, lebih baik Oppa pulang saja,” ujarku.

 

“Aku akan tetap menunggu dan tidak akan pergi kemanapun, Sunyoung-ah.”

 

“Yah, terserah Oppa saja,” ujarku akhirnya sambil tersenyum.

 

“Aku bukan seseorang yang tidak memegang kata-kataku sendiri, Sunyoung-ah.”

 

Aku hanya tersenyum lagi.

 

Tapi kini hujan belum berhenti mengguyur dan jam tambahanku belum selesai juga padahal sudah satu jam berlalu.

 

Akhirnya jam tambahanku selesai dua puluh menit setelahnya. Aku mengeluarkan payungku dan mulai berjalan keluar sekolah.

 

“Aku akan menunggumu.”

 

Suara Jinki Oppa terus terngiang dalam kepalaku. Apakah dia masih menunggu di taman tempat biasa kita bertemu?

 

Aku sengaja mengambil jalan yang melewati taman itu. Air hujan membasahi jalanan kering yang kulewati bersama Jinki Oppa. Tidak mungkin kan Jinki Oppa masih menunggu di saat hujan seperti ini. Aku mempercepat langkahku.

 

Sampailah aku pada sebuah bangku taman tempat pertemuanku dengan Jinki Oppa,

 

Bangku itu kosong.

 

Aku menghembuskan napasku yang memburu. Tentu saja dia tidak menunggu saat hujan seperti ini kan. Lagipula sudah lewat tiga puluh menit lebih dia menunggu. Dia pasti sudah pulang.

 

Aku tersenyum. Baguslah kalau Oppa sudah pulang. Dia perlu istirahat karena besok ia sudah harus berangkat keluar kota selama tiga minggu.

 

.

.

.

 

Dan itu juga berarti aku tidak akan bertemu dengannya selama tiga minggu.

 

.

.

.

 

Senyumanku berubah menjadi senyum getir.

 

Tidak apa-apa.

 

Aku berbalik bermaksud untuk kembali ke rumah. Dan tepat saat aku berbalik, seseorang sudah berdiri di hadapanku.

 

“Jinki, Oppa!” aku terkejut saat melihat laki-laki dengan rambut dan badan yang kuyup terkena air hujan. Aku membagi payungku dengannya.

 

“Maaf aku tidak menepati janjiku, Sunyoung-ah.”

 

“Janji? Janji yang mana, Oppa?”

 

“Bahwa aku tidak akan pergi kemanapun dan akan terus menunggumu di sini.”

 

“Kau terus menungguku, Oppa. Seharusnya aku yang minta maaf telah membuatmu seperti ini.”

 

“Tidak, aku sempat pergi ke ujung taman di sana untuk mengambil bunga ini karena ku kira, kau akan menyukainya. Aku tidak menepati janjiku untuk tidak akan pergi kemanapun,” jelas Jinki Oppa. Lalu ia menyodorkan satu tangkai bunga yang kelopaknya telah basah terkena air hujan. Hal itu membuatku tidak dapat mengucapkan sepatah katapun kecuali merengkuhnya, membuat payung yang ku pegang terjatuh. Lalu kau berkata lagi.

 

“Aku berjanji untuk tidak pergi kemanapun lagi, Sunyoung-ah. Dan kali ini aku tidak akan mengingkarinya.”

 

Tapi ternyata kini kau mengingkarinya. Membuatku merasa sakit ketika mendengar kata janji dan memaksaku untuk mengahpus kata itu dalam kamusku.

 

Lalu aku termenung lagi.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
mssLEEKIM
#1
Chapter 2: ouh,,, bad fate T_T tp ga papa deh kalo akhirnya mereka nyatu meski harus mati dulu
crystalight
#2
Chapter 2: Aaa! Akhirnya luna ketemu juga sama jinki;;
sedih ih waktu jinkinya ketabrak;;
sweetghadoosh #3
Chapter 1: Please translate it in english!!
I need it!!
TeukNa #4
well, i'm waiting for the english version then ^^ hwaiting!!