5: Libur

BrightWin ― Pejantan Tangguh

 

***

**

*

 

Tanggal 10 Februari.

 

Hari Minggu yang tepat untuk beristirahat dan menjadi diri sendiri. Beruntung kerja paksa dari Toptap diliburkan karena kemarin Win sempat tampak tak baik di mata Toptap. Dia tak tahu saja kalau kemarin Win pulang ke rumah dengan hati yang ringan dan terselip kebahagiaan. Alasannya adalah Bright.

Dengan hati enteng Win bersiap. Dia memilih menikmati hari minggunya dengan pergi lari pagi di taman kota. Lagu-lagu yang Win putar membuatnya mengingat satu wajah, wajah Bright yang lengkap dengan senyuman konyol nan mesum.

Win tersenyum. Ia merasa seperti anak remaja yang jatuh cinta. Apalagi tadi malam ia sampai memimpikan Bright. Jika Bright tahu, mungkin dosen muda itu sudah melompat girang.

Seperti hari minggu lainnya pula, setelah lari pagi Win memilih sarapan di kedai-kedai tepi jalan. Sambil mencari-cari makanan yang akan ia santap, matanya menangkap satu kedai tomyam. Tanpa sadar dia tersenyum lagi.

Wajah Bright yang tadi sempat hilang karena lelah berlari kini tiba-tiba muncul lagi di memorinya. Win memesan satu porsi tomyam. Si penjual Tomyam sampai heran. Karena Win tak pernah singgah. Memang tomyam bukanlah makanan favoritnya. Walau memang bukan juga makanan yang ia benci.

Tapi hari ini dia memutuskan sarapan dengan seporsi tomyam. Dia ingin menebak-nebak hatinya sendiri. Dia ingin menikmati gelitik hangat karena mengingat wajah seseorang.

Setelah hampir tujuh tahun lalu dia memiliki kenangan pahit dengan hari valentin, valentin kali ini tampaknya sedikit berbeda. Bright adalah penyebabnya. Belum genap seminggu, tapi pria itu berhasil membuka salah satu kunci dari puluhan kunci untuk menuju hati Win.

Dengan jemari kedua tangan yang bertaut dalam genggaman erat di depan dada, Win berdoa. Win ingin membuktikan teori bahwa obat terbaik patah hati adalah jatuh hati lagi.

“Tuhan, tolong aku. Beri aku petunjuk tentang hatiku pada Bright.”

Semoga pilihannya untuk mencoba lagi –kali ini dengan Bright— bisa berbuah manis.

Sekembalinya dari aktivitas olahraga pagi, entah dapat bisikan dari mana ia menuju dapur kafe. Dengan serius ia menyiapkan beberapa makarun dari lemari penyimpanan. Pegawainya menawarkan diri untuk membantu, namun Win tolak. Dengan ramah ia menyuruh pegawainya tak ambil pusing dengan keberadaannya.

Dengan hati-hati ia hiasi beberapa makarun. Tangannya yang terbiasa bermain dengan alat perawatan gigi cukup lihai dalam menghias beberapa buah makarun itu. Setelah selesai ia mengambil kotak. Satu persatu ia pilih sampai menemukan yang paling pas. Tak lupa ia juga mengambil satu kartu ucapan dan menuliskan kalimat “Terima kasih untuk beberapa hari ini. Untuk berikutnya, aku bisa percaya padamu, kan?”.

Ditatapinya kotak makarun yang menampakkan makarun yang tersusun rapi dengan hiasan membentuk kata ‘BRIGHT’. Senyum malu-malu terpajang di wajah Win. Dia bahkan tak ambil pusing ketika pegawainya menatap dengan heran.

Anggap saja makarun itu hadiah terima kasih untuk Bright yang berhasil membuatnya perasaannya naik turun akhir-akhir ini.

 

 

=0_0=

 

 

Win memarkirkan mobilnya di kedai tomyam depan kampus. Sebenarnya tujuan awal adalah masuk ke kampus. Namun niat itu urung begitu melihat kampus yang begitu ramai, bahkan sampai ke gerbangnya.

Berulang kali ia mengatur napas. Sesekali terbatuk dan merasa mual. Untung di dekat kedai tomyam ada penjual teh hangat.

Paman penjual teh hangat menawarkan untuk duduk di kedainya. Namun lagi-lagi ia sesak napas hanya dengan melihat keramaian kedai.

Pantas saja Toptap menyuruhnya istirahat. Mungkin Toptap tahu betul kalau ia tak akan baik-baik saja kalau bertugas hari ini.

Sekali lagi Win mengatur napasnya. Pelan-pelan ia melihat kotak makarun yang ia simpan di kursi sampingnya. Melihat nama yang terpajang di sana membuatnya tersenyum.

Dia menghela napas panjang, lalu ia embuskan pelan.

Dia terus berusaha membayangkan wajah Bright yang ia harapkan tersenyum ceria ketika menerima makarun ini.

Setelah meyakinkan diri, Win mengambil kotak makarun itu. Dia sengaja memakai kacamata hitam. Ia tak mau bertemu tatap dengan banyak pasang mata.

Ia berjalan dengan tertunduk. Langkahnya sedikit cepat dan tak gentar untuk menuju pos kesehatan. Memang hanya itu tempat paling aman baginya.

Tatapan heran Toptap dan Beam menjadi pandangan pertama ketika win sampai di pos kesehatan. Ia terbatuk sebentar lalu dengan rakus menghela napas. Sepanjang perjalanan menuju klinik ia seperti tak bisa bernapas.

“Hei.” Toptap melangkah mendekatinya. Beam sampai menarik satu kursi agar Win bisa duduk.

“Kan sudah kubilang kau libur hari ini.”

Ocehan Toptap terhenti ketika melihat wajah Win yang pucat pasi. Ia langsung menggerakkan tangannya naik turun secara perlahan. Seolah memandu Win untuk mengatur napasnya. Win menurut. Ia mengatur napas sesuai dengan gerak tangan Toptap.

Beam mengambil satu map dan mengipasi Win. Tangannya juga dengan telaten menggerakkan minyak aroma terapi di depan hidung Win.

Untungnya rasa panik itu tak bertahan lama. Toptap memang tahu betul cara mengatasi Win. Setelah napasnya jauh lebih tenang, Win tersenyum. Ia berterima kasih pada Toptap dan Beam.

“Kau kenapa?” tanya Beam dengan hati-hati.

“Dia memang sering begitu kalau masuk angin,” sambar Toptap tanpa menjelaskan alasan Win yang sebenarnya. “Dia pasti telat makan lagi.” Dengan pelan Toptap mengusak kepala Win.

Win hanya tersenyum.

“Sudah lebih baik?”

Win mengangguk menjawab pertanyaan Beam. Dia menerima gelas yang Beam sodorkan lalu meminum air mineral itu untuk menenangkan diri.

“Terima kasih banyak,” ucap Win sambil tersenyum. Napasnya sudah benar-benar teratur dan rasa paniknya hilang.

Tak lama kemudian ada satu orang yang datang. Meminta bantuan medis karena ada yang cidera. Beruntung Beam dengan cepat melangkah. Ia memberi waktu untuk Win dan Toptap.

Win mengiringi langkah Beam dengan matanya. Tanpa sadar ia berdiri dan melangkah ke ambang pintu. Matanya memandang lapangan sepak bola di seberang pos kesehatan.

“Mencari dosen muda itu?”

Bagi Toptap, Win tak perlu menjawab. Semburat merah di pipinya sudah menjawab semuanya. Toptap sampai memutar matanya jengah.

“Kau membelah keramaian hanya untuknya?” tanya Toptap heran. “Cih!

Win hanya terkekeh. Ia tahu persis kalau Toptap tengah bercanda.

“Tidak, Phi. Aku kebetulan lewat dan memutuskan untuk singgah.”

Toptap mendesah kasar sambil mengangguk. “Ya ya… kebetulan lewat. Ya ya… kebetulan juga membawa itu.”

Win menoleh pada Toptap yang kini mengintip kotak makarun dengan wajah usil.

Win kehabisan kata untuk berkilah. Dia hanya terkekeh lalu mengedarkan pandangannya untuk kembali menjelajah lapangan sepak bola. Walau tak mau mengakuinya, Win memang tengah mencari Bright sekarang.

“Tadi pagi dia ke sini. Tapi kubilang kalau kau libur.”

Win menatap Toptap dengan serius.

Karena merasa ditatap, Toptap pun mengangkat alisnya. “Apa?”

“Lalu?” tanya Win masih dengan wajah serius. Ia menanti lanjutan cerita Toptap.

“Ya sudah dia pergi. Memangnya kenapa dia menunggu di sini kalau dia tau persis kau sedang libur. Apa kau pikir ia mau menggodaku?”

Win terkekeh. Kakinya melangkah sedikit lebih jauh dari ambang pintu.

Pelan-pelan ia menyusuri tepian lapangan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari sosok dosen muda yang biasa muncul tiba-tiba itu.

Jika tadi pagi dia mendatangi pos kesehatan, artinya dia ada di kampus hari ini. Dan jujur fakta itu membuat Win senang. Ia merasa kedatangannya tidak sia-sia.

Setidaknya ia tak menyesal karena sudah mengorbankan waktu istirahat di hari minggunya. Biasanya ia akan istirahat seharian penuh. Soalnya klinik gigi miliknya juga tutup di hari Minggu.

Tanpa sadar ia sudah berjalan cukup jauh dari pos kesehatan. Ia bahkan bertemu dengan Beam yang tengah mengobati pemain sepak bola yang cidera.

“Win!”

Teriakan Beam berhasil menarik perhatian Win. Ia melihat Beam tengah melambaikan tangan, meminta Win untuk mendekat.

Sesampainya di depan Beam, Win langsung berlutut. Ia langsung membantu Beam mengeluarkan kasa dari kotaknya untuk membersihkan luka bocor di kepala pemain bola.

“Aku butuh kasa dan alkohol tambahan.”

“Oke. Tunggu sebentar.” Tanpa diminta dua kali Win langsung berlari ke arah pos kesehatan.

Toptap sampai menjatuhkan ponselnya karena kaget dengan kedatangan Win yang sedikit gopoh.

Win langsung mengambil kasa dan alkohol. Tak lupa ia juga mengambil sepasang sarung tangan.

Tanpa menjelaskan apa-apa pada Toptap, ia langsung kembali berlari ke arah lapangan bola.

Dia cukup kaget ketika ada satu orang lagi yang cidera. Kali ini mulutnya yang berdarah.

Win menyerahkan alkohol dan kasa yang baru ia bawa ke pada Beam. Setelah itu dia menyerahkan sebotol air mineral pada mahasiwa yang luka di mulut. “Berkumurlah,” ucap Beam pada mahasiswa itu.

Ia bergerak untuk berlutut di samping Beam. Membantu mahasiswa yang terluka di kepala.

“Hei, Dokter.” Mahasiswa itu menyapa Win. Beam sampai terkekeh karena Win bingung. Jelas Win tak tahu siapa yang anak itu tegur.

“Dia menegurmu,” ucap Beam pada Win. “Ini anak didik Forth. Mereka tak mungkin macam-macam denganku.”

Win memajang senyum kaku. Ia tak tahu harus bereaksi apa.

Ia mengembalikan perhatian pada mahasiswa yang terluka di mulut. “Coba buka mulutmu,” pinta Win sambil menyentuh mulut mahasiswa itu. Ia memeriksa kondisi bibir dan bagian dalam pipi untuk mencari sumber pendarahan. Tak ada luka. Sepertinya benturan keras sedikit menggeser posisi gigi dan itulah yang menyebabkan pendarahan. “Apa yang kau rasakan?”

Mahasiswa itu terkekeh. “Senang.”

Win memutar bola matanya. Dari seragam yang dipakai mahasiswa itu, Win tahu kalau sosok di depannya adalah mahasiswa fakultas olah raga.

“Serius, dokter. Aku senang kau perhatian padaku.”

Win tak mengacuhkan mahasiswa itu. Dia sibuk memastikan kalau mahasiswa itu tak terluka di bagian tubuh lainnya. Win sampai merasa risih ketika mahasiswa itu terus memandanginya dengan senyum senang ala anak kecil. “Jika nanti masih berdarah, kau bisa ke pos kesehatan, ya!”

Mahasiswa itu dengan jahil malah meminta nomor ponsel Win. Katanya untuk melaporkan perkembangan luka di mulutnya.

Beruntung tak lama kemudian Joss—teman Bright sesama dosen muda—datang. Dia meyuruh mahasiswa itu untuk kembali bertanding karena tak ada luka serius.

Win melemparkan senyum pada Joss yang kini ikut berlutut di samping mahasiswa yang tengah Beam urus.

Dengan perban menempel di kepala, mahasiswa itu berterima kasih pada Beam dan juga Win. Tak lupa sebelum kembali berlari mahasiswa itu menggoda Win.

Joss dan Beam sampai tertawa.

Beam mengemas kotak medis dan berniat kembali ke pos kesehatan. “Ayo,” ajak Beam pada Win.

Win menggeleng. “Aku ingin bicara sebentar dengan Joss.”

Joss sampai menoleh dengan wajah kaget. “Aku?”

Beam mengangguk. Ia langsung menuju pos kesehatan tanpa menunggu Win.

“Ada apa, Dokter?” tanya Joss dengan heran.

Win sekali lagi mengedarkan matanya ke sekeliling lapangan. Dan benar, Bright tak ada.

“Apa B—“

“Kau mencari Bright?” potong Joss tanpa menunggu Win selesai bicara.

Win hanya diam. Ia berusaha untuk tidak tersenyum.

“Dia pergi ke toko untuk membeli jaring gawang.” Joss lalu menunjuk salah satu gawang. “Yang itu sudah ada robekan. Dan untuk pertandingan semi final besok, harus diganti.”

Win menganggukkan kepalanya. Ia tak mau mengakui kalau ada sedikit rasa kecewa yang mengalir.

“Masih lama?” tanya Win berusaha mencari info.

Joss menggidikkan bahunya. “Ada yang ingin kau sampaikan?”

Dengan cepat Win menggeleng. Tangannya pun berayun untuk berkata tidak.

 

 

=0_0=

 

 

Win melangkahkan kakinya untuk kembali ke kedai depan kampus. Sudah tiga jam ia menunggu di pos kesehatan. Namun Bright tak juga terlihat.

Dengan berat hati Win memutuskan untuk pulang. Sambil memeluk kotak makarun ia menyusuri jalan. Entah masih berharap atau hanya refleks saja, ketika sudah di depan mobilnya, dia kembali melihat ke arah gerbang kampus.

Tak ada yang berubah. Bright masih tak ada.

Ia mengembuskan napasnya dengan kasar. Setelah itu dia terkekeh. Seperti menertawai dirinya sendiri yang kurang beruntung hari ini.

Dengan malas ia membuka pintu mobilnya. Dengan sengaja ia bergerak lambat. Berharap ada keajaiban di detik terakhir.

Dan harapannya terkabul. Saat mesin mobil Win menyala, ia melihat Bright keluar dari kedai tomyam dengan satu kardus besar di tangannya.

Win bisa merasakan dirinya sendiri tersenyum senang. Matanya terasa panas. Dia seperti lega dan terharu sampai ingin menangis.

Dengan cepat ia menurunkan kaca jendela dan melongokkan kepala agar Bright melihatnya.

“Sayang!” jerit Bright dengan wajah semringah.

Tepat! Itu reaksi yang Win inginkan.

Bright meletakkan kardus yang ia bawa di kap mobil Win. “Kata temanmu yang pendek kau tak datang hari ini.” Maksud Bright adalah Toptap.

Win sedikit memundurkan kepala ketika Bright dengan seenaknya merundukkan tubuh untuk bersandar di jendela mobilnya.

Win tak langsung menjawab. Jujur ia merasa tubuhnya dingin dan telinganya pengang. “A-aku … aku kebetulan lewat.” Win berkilah dengan alasan yang sama. Ia sampai mengepal tangannya kuat-kuat agar tak tersenyum senang.

Bright mengangguk sambil terkekeh. “Sekarang mau pulang?”

Bukannya menjawab, Win malah balik bertanya. “Itu apa?” sambil menunjuk kardus yang ada di kap mobil.

“Jaring gawang.”

Setelah itu Win diam. Dia bingung dengan dirinya yang tak marah ketika mobil kesayangannya ditumpangi kardus. Mungkin karena pelakunya Bright. “Kau sibuk?”

Eum…” Bright tampak ragu lalu akhirnya mengangguk. “Kebetulan memang aku sibuk hari ini. Kenapa?”

Win tak menjawab. Ada sedikit rasa kecewa. Jujur ia berharap Bright mengajaknya makan malam atau sejenisnya. Tapi karena Bright sibuk, Win tak mau menghalangi.

“Ya sudah. Aku pulang. Urusanku sudah selesai.”

Bright mengangguk. Ia bergerak untuk mengambil kardus yang ia letakkan di kap mobil Win. Sedikit kesusahan ia memeluk kardus itu dengan satu tangan. Agar tangan satunya bisa melambai untuk melepas kepergian Win.

Win tersenyum lalu memakai kacamata hitamnya.

Kendalinya pada stir mobil terhenti ketika Bright mengetuk kaca mobilnya. Ia menurunkan kaca jendela itu lalu bertanya, “ada apa?”

Bright menjulurkan tangan untuk mengacak pelan rambut Win. “Hati-hati, ya!”

Saat itu juga Win gagal menahan senyumnya. Seluruh isi hatinya seperti ingin meledak.

Dengan cepat ia memacu mobilnya. Ia tak mau lama-lama tersenyum di depan Bright.

Ia bahkan tak sadar kalau ia lupa memberikan kotak makarun pada Bright.

 

 

=TBC=

Terima kasih sudah singgah. Semoga betah :)

 

Ada give away buat tiga orang di akhir cerita dengan ketentuan seperti di gambar. Jadi jangan ragu untuk komen ya. Aku nggak gigit kok :)

68747470733a2f2f73332e616d617a6f6e6177732e636f6d2f776174747061642d6d656469612d736572766963652f53746f7279496d6167652f314b75466f505f61526a4d647a673d3d2d3932333038393136382e313632333235643461623066376135343836313637393335373339322e706e67        

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Monicasaputra
#1
Chapter 10: Masih hadir..
mungkin alurnya terlalu cepat.
Ditunggu next chapter author