6: Skandal

BrightWin ― Pejantan Tangguh

...

..

.

Tanggal 11 Februari.
 

Hari Senin. Dengan doa yang lebih dari biasanya, Win memulai hari.

Sarapan roti panggang tadi –yang sialnya kehabisan selai— tetap terasa manis karena diam-diam hatinya sedang senang. Ya, senang. Senang karena hari ini dia akan bertemu dengan Bright lagi.

Win masih tak mau mengakui dengan tegas. Baginya aa bukannya menyerah pada Bright. Dia hanya merasa pria itu lama-lama menyenangkan juga. Sehari tanpanya terasa begitu hambar. Win rindu digombali dan ditempeli tanpa jeda. Pertemuan singkat kemarin terasa kurang.

Ia melirik kursi di sampingnya. Kotak makarun berwarna biru yang ia siapkan kemarin terpajang dengan manis. Hanya melihat kotak itu saja sudah membuat Bright ingin tersenyum.

Debar jantung Win makin menjadi. Seperti ada gelitik di tubuhnya yang memaksa dirinya untuk terus tersenyum. Padahal dia baru melihat gerbang kampus. Bahkan Bright belum muncul di depan matanya. Tapi, Win sudah senang.

Sedikit lain dari biasanya, sebelum membuka pintu mobil, dia mengecek tampilan diri menggunakan pantulan layar ponsel. Setelah yakin rambutnya rapi, Win tersenyum. Dia membuka pintu mobilnya lalu mengangkut kotak makarun dengan hati-hati.

Matanya mengedar ke selingkung. Tidak ada tanda-tanda mahasiswa barbar yang memaksa membantu seperti hari-hari kemarin.

Oke, mungkin ini efek doa Win tadi pagi. Win sedikit lega, walaupun ada rasa aneh di dalam dirinya. Tapi, setidaknya dia tidak diganggu pagi ini. Keadaan yang bagus untuk memulai hari.

Dengan langkah lambat ia menuju pos kesehatan. Kotak kecil berisi alat medis ia peluk di tangan kanan. Tangan kirinya menenteng kotak makarun yang nantinya akan ia berikan pada Bright.

Beberapa mahasiswa bertemu tatap dengannya. Alih-alih melempar gombalan seperti kemarin-kemarin, mereka malah dengan hormat menyapa Win dengan mengucapkan, "Pagi, Dokter", lalu tersenyum dan tertawa sendiri. Mereka seperti tengah bergosip ... tentang Win.

Dengan canggung Win membalas sapaan mereka. Ini terasa aneh. Dari kemarin, tidak ada mahasiswa olahraga yang begitu kalem. Win sampai takut kalau semua ini hanya mimpi.

Win juga mengecek ulang tampilan dirinya. Jangan-jangan kancing bajunya tidak sesuai, atau sepatunya lain sebelah. Tapi tak ada yang aneh.

Sambil terus melangkah, Win menyimpan rapat rasa herannya. Yang penting tak ada yang mengganggunya. Anggap saja ini efek doa tadi pagi.

Tepat di belokan menuju pos kesehatan, Win melihat Can dan salah satu temannya yang bernama Tin. Ketika tatapan mereka bertemu, Can dan Tin mendekat. Win mengembuskan napas lega. Setidaknya dua mahasiswa ini tak bersikap aneh.

"Apa benar?"

Alis Win langsung bertaut. Dia tak mengerti maksud pertanyaan Tin barusan. "Apanya?" Win malah balik bertanya.

Can menggelengkan kepalanya dengan tatapan miris. "Tak kusangka seleramu begitu, Phi."

Ha? Apanya?

Tin tertawa kencang. "Ya sudahlah. Biarkan saja." Dia lalu menarik Can untuk menjauh.

Tatapan Win tak lepas untuk bertemu dengan tatapan Can yang menatapnya dengan iba dan miris. Win bahkan heran kenapa mahasiswa yang selalu tampak manis itu malah menatapnya demikian. Memangnya hal menyedihkan apa yang terjadi? Win terlibat? Kenapa Win sendiri tidak tahu apa-apa?

Setelah dua mahasiswa itu tak terlihat, Win melanjutkan langkahnya untuk menuju pos kesehatan. Setelah sampai di sana, dia kembali merasa heran. Toptap memberinya tatapan sinis dengan tangan terlipat di dada.

Oh! Apa lagi ini? Bathin Win berteriak.

Biasanya Win melakukan kesalahan jika Toptap memberinya tatapan seperti itu.

Sebenarnya ada apa sih?

Win mendekati Toptap setelah meletakkan barangnya di atas meja. Benar saja, Toptap sedang menatapnya. Toptap masih memasang tatapan sinis ke arah Win dengan mulut komat-kamit, berbisik mengucap sumpah serapah. Win sampai heran. Ada apa dengan semua orang di sini?

"Pengkhianat!"

Mata Win membeliak. Kalimat barusan terdengar kasar di telinga Win. Siapa yang Win khianati? Toptap? Dikhianati bagaimana?

"Maksudmu, Phi?" Dengan jelas Win menunjukkan ketidaksukaannya.

Toptap memutar bola matanya dengan senyum mengejek. "Jangan pura-pura kau, kelinci nakal!"

Alis Win bertaut. Dia mengembuskan napas. Dia cukup tersinggung dengan deret kata yang Toptap ucapkan. "Apa sih? Aku tak tahu apa-apa, Phi. Sumpah!"

Alih-alih menjawab, Toptap malah menggelengkan kepala sambil mendecih. Jemarinya dengan lincah menari di atas ponselnya. "Ini!" ucap Toptap sambil menyodorkan ponselnya.

Mata Win membulat. Dia sampai merampas ponsel Toptap dengan kasar. Mulutnya terbuka lebar. Tubuhnya terasa dialiri air dingin. Win Kaget.

"Masih bilang tak tahu apa-apa?" sambung Toptap masih dengan nada menyindir dan mengejek.

"Phi ... aku bisa jelaskan. Itu ... aku ..."

Toptap mengangkat telapak tangannya sambil berkata, "cukup!"

Win terdiam. Dia kembali menatap layar ponsel Toptap yang menampilkan akun media sosial milik Bright. Di sana terpajang foto Bright mencium pipi Win beberapa hari lalu. Lengkap dengan tulisan, "My BOYFRIEND. Don't touch him" di bagian caption-nya.

Embusan napas Toptap terdengar. "Kupikir aku yang akan lebih dulu mendapat kekasih. Siapa sangka, pesonaku tak mudah ditangkap oleh anak ingusan di sini."

Win terkekeh melihat Toptap yang merajuk.

"Kau tak tahu kalau kau menghiasi banyak sosial media kemarin?"

Win menggeleng. Dia memang jarang mengaktifkan sosial media pribadinya. Dia lebih sering aktif di sosial media untuk klinik gigi dan kafe.

"Mahasiswa-mahasiswa itu memajang foto dan videomu ketika merawat teman mereka yang terluka kemarin. Dengan bangga juga si anak memamerkan kalau dia sudah disentuh olehmu."

Win terkekeh. Toptap menjelaskan semuanya dengan wajah merajuk.

Win sampai tak ambil pusing dengan unggahan mahasiswa yang jahil. Ia hanya fokus mengintip akun media sosial Bright yang masih terpampang di ponsel Toptap. Berbagai komentar membanjiri postingan itu. Ada yang memaki Bright, ada yang mengatakan kalau Win buta, dan ada juga yang mendoakan mereka cepat putus.

Tak ada satupun yang memberikan selamat.

Win merasa ini lucu. Diam-diam dia menghapal nama akun media sosial Bright untuk ia intip nanti.

Dia senang karena Bright dengan bangga memamerkan Win sebagai kekasihnya. Tapi Win juga tidak senang karena Bright menentukan semuanya sendiri. Entahlah, Win bingung harus senang atau tidak senang.

Yang jelas saat ini Win tak sadar kalau dirinya tengah tersenyum seperti orang gila. Toptap sampai menggelengkan kepala dengan wajah sebal.

Terlebih beberapa detik berikutnyaa Bright datang dengan sapaan riang, "Sayang!"

"Haaaha!" Toptap dengan berlebihan tertawa, yang sebenarnya mengejek.

Win mengambil kotak makarun lalu dengan cepat menarik Bright untuk keluar pos kesehatan. Beruntung dosen muda yang berbalut pakaian sepak bola itu menurut tanpa banyak tanya.

Sesampainya di lapangan, Win langsung menyerahkan kotak makarun. "Untukmu."

Tangan Win terjulur ke arah Bright. Debar jantungnya tak menentu karena menanti reaksi Bright.

"Wah! Apa ini?" Dengan wajah semringah Bright mengambil kotak yang Win sodorkan.

"Aku membuatnya sendiri." Win salah tingkah ketika menambahkan kalimat barusan.

Senyuman senang masih terpajang di wajah Bright. Ia membuka kartu ucapan yang terselip di kotak makarun.

Setelah beberapa detik Bright tanpa aba-aba memeluk Win. "Aku senang sekali," bisik Bright sambil mengencangkan pelukannya. "Aku benar-benar mencintaimu. Kalau kau percaya padaku aku juga akan berterima kasih."

Win diam. Dia membiarkan tubuhnya merasakan hangatnya tubuh Bright yang diiringi aroma kayu manis. Ia hanya tersenyum tanpa membalas pelukan Bright. Ia malu.

Soalnya banyak orang yang lalu-lalang, dengan senyuman jahil malah meledek. Beberapa di antaranya juga mengambil foto dan berteriak agar mereka berdua tidak bermesraan di muka umum.

Win masih membiarkan dirinya nyaman dalam pelukan Bright. Dia hanya mampu menundukkan kepalanya untuk tersandar di pundak Bright.

Setelah beberapa detik, Bright melongarkan pelukannya. Dia memegang kedua lengan bagian atas milik Win.

"Sudah sarapan belum?"

Entah kenapa Win merasa hangat mendengar pertanyaan Bright yang begitu sederhana barusan.

Win mengangguk lalu menggeleng. Dia memang sudah sarapan roti tadi, tapi kalau Bright mengajak makan bubur, Win tidak akan menolak.

Bright terkekeh. "Ya sudah. Kau tunggu di pos. Aku beli bubur dulu."

Sudah Win duga. Dosen muda itu pasti beli bubur.

Dan tentu saja Win tak menolak.


 

=0_0=


 

Pos kesehatan siang itu dipenuhi dengan beberapa mahasiswa yang pura-pura cidera. Memang beberapa di antaranya juga ada yang benar-benar cidera. Tapi sungguh, seharusnya mereka bisa beraktivitas sedari tadi. Mereka tak perlu menguasai pos kesehatan.

Mereka benar-benar usil. Kemarin-kemarin mereka usil untuk mendekati Win. Namun kali ini mereka usil meledeki Win dengan dosen muda mereka.

Sedari kejadian tadi pagi, Bright fokus melaksanakan tugas untuk mengelola pertandingan sepak bola. Maklum saja, dia memang menjadi dosen karena jalur prestasi sebagai atlet sepak bola. Jadi wajar saja kalau ia begitu sibuk selama gelaran pertandingan ini.

Mereka berdua berjanji untuk makan siang bersama. Namun harus batal karena dia ada rapat dadakan dengan tim dekanat.

Win memutar matanya jengah. Lama-lama ia bisa kebal juga dengan mahasiswa barbar ini. Baru saja ada yang bertanya kapan dia akan putus dengan Bright. Entah kenapa mahasiswa-mahasiswa barbar itu malah senang menggodai Win. Kenapa tak menggodai Toptap saja. Jelas-jelas Toptap sering mengobral diri.

Sahut-menyahut ledekan makin menjadi saat menjelang sore Bright datang ke klinik untuk meminta bantuan medis. Toptap dan Beam dengan jahil langsung mendorong Win ke arah Bright.

Bright tersenyum ketika Win mendekat. Ia mengambil alih tas medis yang Win bincing lalu menarik tangan itu untuk menuju lapangan bola.

Di sepanjang jalan menuju lapangan bola, Bright dengan bangga berteriak, "Minggir! Minggir! Pacarku mau lewat!"

Bahkan si mahasiswa yang terkilir ikut tertawa melihat tingkah Bright. Ketika Bright pergi untuk lanjut mengelola pertandingan, sambil diobati mahasiswa itu terus meledek Win. Menanyai apa benar Win berpacaran dengan Bright. Menanyai pula kenapa Win bisa buta dan memilih Bright.

Lagi-lagi Win hanya memutar bola matanya antara jengah dan merasa lucu. Apa mereka menilai Bright separah itu? Kenapa semuanya menanyakan hal yang sama?

Setelah mahasiswa itu selesai diobati, Win mengemas kotak medisnya. Ia berniat kembali ke pos kesehatan bersama mahasiswa itu.

Win meletakkan tangan mahasiswa itu di pundaknya. Kotak medisnya ia bincing di tangan kiri, dengan tangan kanan merangkul pinggang mahasiswa itu untuk memapahnya.

"Hei hei hei!"

Win menoleh sedikit. Itu suara Bright.

Win tak tahu seaneh apa wajahnya saat ini. Yang jelas ia begitu kaget karena Bright tengah berlari kencang ke arahnya.

Tanpa aba-aba Bright melepaskan tangan mahasiswa yang tengah bertengger di pundak Win. "Dia pacarku. Jangan macam-macam kau," ancam Bright sambil menoel kepala anak didiknya. Untungnya dia hanya tertawa ketika Bright mengomel.

Bright langsung memanggil salah satu mahasiswa yang lewat lalu menyuruh mahasiswa itu menemani si anak yang cidera menuju pos kesehatan.

"Dia tidak macam-macam. Aku yang memapahnya."

Bright hanya meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya lalu menggeleng. "Sst!" Dia menarik Win untuk duduk di salah satu bangku panjang di tepian lapangan. Ada Joss di sana.

"Kau duduk di sini saja, ya! Temani aku."

Joss bersiul panjang untuk meledek. Bright langsung memberinya tatapan tajam. "Aku akan berterima kasih kalau kau pergi."

Joss menunjukkan wajah tidak suka. "Apa! Aku duluan duduk di sini, kenapa harus aku yang pergi?"

Bright menatap temannya itu dengan kesal. "Oke, jangan salahkan aku kalau aku membalasmu ketika kau berkencan nanti."

Joss menggelengkan kepalanya. Ia berdiri lalu menendang bokong Bright dan lanjut kabur. Bright sampai tersungkur.

Win tentu saja kaget. Di kamusnya tak ada bercanda yang seperti ini. Tapi melihat Bright yang tertawa sambil beringsut duduk, Win paham. Dunia Bright dan sekelilingnya memang se-bar-bar itu.

"Kau tak apa?"

Bright mengangguk masih dengan kekehan yang sama. "Sudah biasa. Tenang saja, Sayang."

Bright menarik tangan Win. Ia menautkan jemari mereka. Win tampak ingin melawan. Tapi Bright bersikeras.

"Percaya padaku, aku hanya ingin memegang tanganmu. Tidak lebih."

Lapangan yang begitu ramai dengan sorak dari pendukung tim yang bertanding dan bunyi peluit sesekali menjadi pengisi kebisuan antara mereka berdua. Win membiarkan tangannya digenggam oleh Bright. Walaupun mata Bright tertuju pada lapangan sepak bola, Win tak merasa Bright menganggurinya.

Pasalnya dosen muda itu tengah memijat pelan jemari Win dan sesekali digosok untuk menghasilkan hangat.

Di sela pergantian pertandingan mereka bicara seadanya. Win mendapat info tambahan tentang Bright. Dosen muda itu sedang melanjutkan pendidikannya dan berniat membuka club latihan sepakbola untuk anak-anak. Dia bilang dia suka dengan anak-anak karena masih murni dan pantang menyerah.

Win tersenyum. Ternyata Bright tak seburuk pandangan awalnya.

Atau mungkin Win sudah bias dalam menilai Bright?

Entahlah. Yang jelas Win menikmati hari ini.


 

 

 

=TBC=

Gimana? Masih betahkah dengan cerita ini?

Terima kasih sudah singgah. Aku semangat baca komen-komen kalian. Terima kasih sekali lagi.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Monicasaputra
#1
Chapter 10: Masih hadir..
mungkin alurnya terlalu cepat.
Ditunggu next chapter author