4: Silau

BrightWin ― Pejantan Tangguh

 

Silau        

***

**

*

Tanggal 9 Februari

Win berangkat ke kampus lebih awal dari biasanya. Toptap bilang karena ada Beam, mereka perlu datang lebih awal untuk briefing pembagian tugas dan koordinasi.

Belum lagi karena ini akhir pekan, akan banyak kunjungan dan kemungkinan mereka untuk siap siaga lebih tinggi.

Sesampainya di parkiran kampus, Win memakai kacamata hitamnya. Ia mengintip dulu. Berharap tidak ada gerombolan mahasiswa barbar.

Setelah yakin kondisi aman, dia memeluk kotak medis cadangan miliknya. Tas punggungnya pun ia kencangkan untuk menempel sempurna di tubuhnya. Pelan-pelan ia membuka pintu mobil lalu sekali lagi menoleh ke kanan dan ke kiri.

Aman!

Ibarat atlet lari cepat, Win mengambil langkah seribu. Ia tak menghiraukan penampakan dirinya sendiri yang tampak seperti maling dikejar bapak-bapak ronda. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana cara untuk cepat sampai di pos kesehatan.

"Sayang!!"

Celaka!

Di ujung lapangan yang berseberangan dengan pos kesehatan ada Bright, lengkap dengan baju seragam sepak bola dan senyuman mesum. Win lanjut berlari sambil berusaha menutup wajahnya dengan kotak medis yang dari tadi ia peluk.

"Sayang!"

Win makin berlari cepat. Ia tak mau pagi harinya dibuat pusing dengan anak kurang ajar itu.

Namun sepertinya langkah besar Win masih kurang mumpuni jika dibandingkan dengan atlet sepak bola itu. Dengan mudah Bright mengejar Win. Dia bahkan kini sudah memegang pergelangan tangan Win.

"LEPAS!"

Tanpa sadar suara Win meninggi dari yang seharusnya. Bright sampai kaget. Tangannya masih menggenggam pergelangan Win dengan erat tanpa menyiksa.

"Kau kenapa? Tak dengar aku memanggil?"

Win menarik tangannya yang masih digenggam Bright. Dia mengerang ingin lepas. Namun Bright masih betah. Anak nakal itu malah mengambil kotak medis untuk dia pegang dan dengan enteng dia menarik Win. Separuh menyeret bahkan. Soalnya Win sudah merundukkan tubuh tak mau ditarik Bright.

"Hei, sudah. Jangan melawan! Aku mau mengantarmu ke pos kesehatan, kok. Bukan ke mana-mana. Tenang, Sayang!"

Win memukuli tangan Bright yang menggenggam tangannya. Karena tak juga dilepas, Win melakukan hal gila. Ia berdiri tegap lalu mengigit lengan tangan Bright. Dengan keras bahkan.

Bright menjerit kesakitan. Beberapa orang sampai menoleh karena jeritannya itu. Genggaman tangannya di pergelangan tangan Win pun terlepas.

Win mendongakkan wajah dengan angkuh. Dadanya membusung untuk menantang Bright. "Apa?! Kau pikir aku tak bisa melawan, hah!" Kedua tangannya berkacak di pinggang.

Bright menatap tangannya sebentar, lalu balik menatap Win. Dia terkekeh. "Wah, tak kukira kau suka gigit-gigitan!"

Wajah angkuh Win berubah heran. Terlebih sekarang tatapan mata Bright malah tertuju pada bagian dada Win. Otomatis tangannya menyilang di dada. "Jangan macam-macam!"

Bright menjulurkan tangan yang tadi Win gigit. Dengan berani tangan itu mendekat ke dada Win.

"AAAA!!" Win menjerit lalu merebut balik kotak medis yang tadi Bright rebut. Dia kembali berlari meninggalkan Bright yang tiba-tiba mematung.

Tatapan mata heran tertuju pada Bright yang melepas kepergian Win.

Bright hanya tersenyum canggung. "Sumpah, aku tak melakukan apa-apa!" Kepalanya menggeleng dan tangannya membuat gerakan menyangkal pada siapa pun yang menatapnya aneh. "Aku benar-benar tak melakukan apa pun. Sungguh!"

Sampai orang-orang berlalu, Bright masih mematung dan sibuk merapal kata-kata itu.

Dia seperti orang gila sekarang.

 

 

=0_0=

 

 

Hari Sabtu. Hari yang Win bayangkan menjadi hari paling tenang. Tak dinyana, justru banyak mahasiswa yang hadir. Dari fakultas lain bahkan. Terutama Fakultas Teknik. Niat awal mendukung fakultasnya yang bertanding melawan Fakultas Olahraga, namun ketika tahu ada Dokter Beam mereka malah ikut mendonor.

Win terus mengatur napas. Ia seperti ingin menangis karena melihat begitu banyak manusia tadi.

Beam yang datang membantu malah menghadirkan keramaian baru. Rupanya dia memang dokter poliklinik yang memiliki banyak penggemar. Terlebih pacarnya yang kebetulan dosen muda di Fakultas Teknik turut mengundang keramaian lainnya.

Jika tahu begitu, Win lebih memilih mengajak asisten kliniknya saja. Entah itu Boun atau Prem. Dua manusia itu pasti tak akan menghadirkan keramaian seperti tadi.

Win duduk lemas di lapangan depan pos kesehatan. Ia mengembuskan napas kasar. Berulang kali ia mengatur napas untuk mengurangi gemetar tubuhnya. Dia sudah berjanji untuk melepaskan diri dari obat penenang.

Beruntung ada Toptap yang dengan persis mengetahui kondisinya. Secara berkala Toptap memastikan kalau Win tak menyentuh obat-obatan lagi. Terlebih tanpa pengawasan dokter. Toptap akan selalu hadir untuknya ketika ia butuh teman bicara dan ketenangan.

Win bisa merasakan suhu tubuhnya tak lagi sedingin tadi. Lagi dan lagi ia mengatur napas. Rasa mual yang ia rasakan sedikit membaik. Detak jantungnya juga sudah lebih normal.

Tawa Toptap dan Beam yang sedang bercanda dengan tim palang merah terdengar. Win menoleh. Entah kenapa dia tak ingin terlibat dalam pembicaraan seru itu.

Dia berterima kasih karena Toptap meminta izin pada tim agar Win bisa istirahat sebentar. Yang dia butuhkan memang istirahat agar tenang. Dia benar-benar merasa cemas dan tertekan dengan keramaian pos kesehatan tadi. Dia sempat tak bisa bernapas dan mual. Matanya sampai berkunang-kunang dengan kepala terasa pening.

Win hampir menjerit. Sensasi dingin di pipi mengagetkan Win. Ia menoleh. Satu kaleng minuman isotonik tengah tertempel di pipinya. Bright yang lengkap dengan cengiran di wajah adalah pelaku penempelan itu.

Win kembali mengembuskan napas. Dia mengambil minuman kaleng yang Bright tempelkan di pipinya.

Setidaknya Bright juga membantu tadi. Dia dengan perhatian duduk di samping Win dan terus mananyakan apakah Win baik-baik saja. Tak ada Bright yang jahil. Yang ada hanya Bright yang dengan tulus memperhatikannya dan memastikan kalau dia baik-baik saja.

Ketika Forth (pacar Beam) muncul, Win mendapat fakta yang mengagetkan. Dia baru tahu kalau Bright adalah dosen muda, sama seperti Forth. Ternyata dia bukan mahasiswa. Pantas saja banyak mahasiswa barbar yang jinak olehnya. Bright hanya terkekeh ketika Win berulang kali bertanya Forth serius atau hanya bercanda.

Saat ini Bright duduk di samping Win. Sedikit kelewat rapat sampai Win bisa mendengar napas sengal dosen muda itu.

Win bergeser sedikit menjauh. Sambil menyedot minuman yang tadi disodorkan, Win mengintip Bright yang duduk di sisi kanannya. Pria itu masih terbalut pakaian sepak bola yang lepek karena keringat. Dia memang bertugas menjadi salah satu tim wasit tadi. Ketika hendak meninggalkan Win, dia berulang kali memastikan kalau Win akan baik-baik saja kalau ia tinggal. Dia juga menawarkan untuk terus di samping Win dan bertukar jadwal dengan tim wasit lainnya.

Jujurnya Win tersentuh.

Sekali lagi Win memperhatikan dosen muda itu. Bright tampak tengah serius mengatur napas. Tetes peluh mengalir di pelipisnya. Matanya terus menatap arah lapangan sepak bola yang tengah menyajikan pertandingan sengit. Anak didiknya tengah berlaga.

Dengan lekat Win perhatikan wajah Bright. Walaupun sebagian besar tertutup helai rambut, jika diperhatikan betul-betul, ada bekas luka di pelipis dan bibirnya. Berdasarkan pengalaman medis, Win bisa tahu kalau itu adalah bekas luka  terjatuh dan cukup dalam.

Mungkin cidera karena olahraga. Tampaknya si Bright ini sedikit teledor. Win yakin itu. Bukan hanya karena luka di pelipisnya, tapi juga kejadian-kejadian beberapa hari bersamanya.

Win terkesiap. Ia meneguk kasar minumannya. Hampir saja ia tersedak. Penyebabnya adalah Bright yang tiba-tiba menoleh ke arahnya. Refleks Win meletakkan minuman kaleng miliknya di antara dirinya dan Bright. Sebagai pembatas agar Bright tak mendekat. Bright sampai terkekeh karena itu.

"Kau suka?"

Pertanyaan Bright membuat Win akhirnya tersedak. Ia terbatuk.

Bukannya menolong, Bright malah tertawa kencang. "Minumannya, kok, bukan aku."

Win memberinya tatapan kesal.

Dengan santai Bright meminum minumannya. Dia masih menatap Win. Mendadak dia lupa dengan pertandingan bola yang tadi ia tonton tadi. Win yang kikuk lebih menarik dari apapun.

Sejenak, diam tercipta. Bright dan Win asik menikmati minuman masing-masing.

Sejujurnya Win tak merasa canggung. Mungkin keberadaan dosen muda beberapa hari ini berhasil menembus sedikit dinding tebal zona nyamannya. Karena tak merasa canggung, Win malas untuk buka omongan. Dia menikmati duduk diam sambil memperhatikan pertandingan sepak bola. Dia bahkan tak sadar kalau napasnya kembali teratur sejak Bright muncul.

Win memang bukan tipikal orang yang bicara duluan. Kali ini pun dia berharap Bright yang lebih dulu membuka omongan.

"Tadi malam aku menunggumu juga di kedai tomyam..."

Oke, tampaknya Win lebih memilih Bright diam.

"...sampai tokonya tutup juga," lanjut Bright sambil memainkan sedotan minumannya.

Win diam. Dia tak merasa harus menjelaskan apa-apa.

Sedetik kemudian Win terkaget, tapi tetap diam. Bright tengah nekat menyentuh dua pundak Win dan memutar tubuh atas Win untuk berhadapan dengannya. "Apa aku terlalu nekat untuk mendekatimu?" Bright menatap lurus mata Win. Dia terkekeh geli hingga ujung matanya membuat kerutan dengan deretan gigi terpampang nyata.

Win masih diam. Dia hanya mengerjapkan matanya. Heran dengan pertanyaan Bright yang menurutnya tak usah dijawab.

"Tapi, bukankah tugas seorang laki-laki jantan untuk berjuang demi orang yang dicintainya?"

Win menggeliat. Untungnya Bright paham. Dia melepaskan pundak Win lalu lanjut menyedot minumannya.

Win menatap Bright. Mencari keberadaan gurat canda di wajah tampan itu. Dengan begitu enteng Bright menyebutkan kata cinta. Dari mana cinta itu? Hubungannya dengan mantan kekasih yang dijalin bertahun-tahun saja tak begitu kuat untuk menghadirkan cinta.

Bagaimana bisa Bright begitu lugas mengatakan kalau dia mencintai Win.

Tunggu!

Apa Win saja terlalu percaya diri?

Yang Bright maksud dengan 'orang yang dicintainya' adalah Win kan?

"Kau mencintaiku?" tanya Win memastikan.

Dengan cepat Bright mengangguk. Cipratan air isotonik dari sedotan–yang ia lepas tiba-tiba— sampai mengenai wajah Win. Otomatis mata Win terpejam dengan kepala mundur sedikit.

Bagaimana bisa disebut mencintai kalau hal romantis tak tercipta? Selalu saja begini. Bright membuat Win mati kutu dengan kejadian-kejadian aneh nan konyol yang tercipta.

"Wah ... maaf maaf, Sayang." Bright menarik bajunya bagian perut untuk mengelap wajah Win.

Ampun! Baju itu bau keringat!

"Cukup cukup!" Win mendorong baju olahraga Bright yang bau keringat itu. Tangannya refleks terayun di depan hidungnya.

Mulut Bright terbuka. Ia mengendus sedikit baju olahraganya. "Wah! Bau ya!" ucapnya lalu terkekeh lebar. "Maaf, Sayang." Dia kembali terkekeh.

Win menatap Bright yang masih terkekeh. Jantungnya seakan terhenti ketika tangan Bright terulur untuk mengelap cipratan air soda di wajahnya.

Yang terjadi berikutnya kembali membuat jantung Win berdetak dengan gelitik hangat di perutnya. Ribuan kali lebih dahsyat dari yang seharusnya karena Bright baru saja menjilat jarinya yang baru saja menyentuh Win. "Manis sekali."

Senyuman di bibir Bright terkembang. Satu kedipan mata ia arahkan untuk Win. "Aku mencintaimu, Sayang."

Hangat. Win merasa hangat. Senyuman Bright tak memudar dan membuat Win merasa silau. Bright seperti tengah mengarahkan lampu mercusuar ke arahnya.

Tepat membuat Win merasa silau juga hangat.

Win pun mulai yakin. Sepertinya pria di hadapannya itu memang benar tertarik padanya. Win tersenyum tipis. Dengan impulsif dia berkata, "Valentin nanti, mau makan malam di rumahku?"

Dengan bias jingga yang tampak tepat di belakang tubuhnya, senyuman Bright kala itu lebih bersinar dari lampu mercusuar. Dengan semangat dia merengkuh Win dalam pelukannya.

Beberapa penelitian medis menyebutkan kalau salah satu indera terpakai secara berlebihan akan membuat indera lain berkurang kinerjanya. Persis dengan yang Win alami saat ini. Dengan detak jantung yang membuat telinga begitu pengang, mendadak Win tak mencium asam keringat Bright yang tengah memeluknya.

Mungkin ... diam-diam Win sudah menerima dosen muda  itu.

 

 

=TBC=

Terima kasih sudah singgah. Semoga betah :)

Akan ada give away buat tiga orang di akhir cerita untuk yang rajin singgah dan komen di Wattpad. Jadi jangan ragu untuk komen ya. Makin banyak komen, makin banyak kesempatan kamu buat diundi. 

68747470733a2f2f73332e616d617a6f6e6177732e636f6d2f776174747061642d6d656469612d736572766963652f53746f7279496d6167652f6b484531362d546562706b3355773d3d2d3931313733373430322e313632323834346535656666396334393131373833353832393137332e706e67        

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Monicasaputra
#1
Chapter 10: Masih hadir..
mungkin alurnya terlalu cepat.
Ditunggu next chapter author