#02-End

Brother's

Semenjak bertemu di bus, Jungkook selalu mengikutiku kemana-mana. Itu membuatku risih karena harus mendapatkan tatapan aneh dari gadis-gadis pemuja Jungkook. Hell, padahal lelaki itu baru saja pindah ke kampus ini tadi pagi. 

 

Aku mendengar bisikan samar dari segerombol gadis yang sedang berdiri tak jauh dari drink case. “Lihatlah gadis itu, apa dia tak malu? Harusnya Jungkook itu bergabung dengan rombongan Jimin.”

 

is crazy, right? 

 

Karena itu, saat kami sampai di depan kelas seni yang kebetulan sedang sepi, aku menghentikan langkah Jungkook yang tampak baik-baik saja mengekoriku. 

 

“Jung, Hentikan! Jangan mengikutiku terus! Apa kau tidak dengar celoteh gadis-gadis itu?” intonasiku sedikit naik, tapi respon Jungkook malah biasa-biasa saja. 

 

“Well, aku mendengarnya. Memang kenapa?”

 

Entah kenapa aku mendadak merasa benci dengan Jungkook. Karena aku merasa direndahkan di depan Jungkook saat mereka membualku. Dan aku sangat malu. Senang karena dekat dengan Jungkook secara alami sekaligus benci karena sikon yang sangat tidak mendukung. 

 

I'am good on, that .

 

Meskipun tidak sedikit yang membenci bahkan membualku, aku sama sekali tidak pernah menggubrisnya. Karena mereka akan semakin memanjatku jika aku melakukannya. Dan mungkin mereka malah akan senang. Jadi, buat apa aku membalas mereka bahkan teman saja aku tidak punya. 

 

Jujur, aku itu introvert. Ya, itu karena faktor lingkungan yang tak layak disebarluaskan. 

 

“Aku itu buruk, lebih baik cari teman lain.” kataku padanya. 

 

Sedang Jungkook hanya menatapku datar. Hm, aku sedikit kesal mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan. Aku ingin Jungkook menjadi pacarku, melindungiku, dan menghiburku. Serakah? Jika boleh aku akan benar-benar melakukannya. 

 

Jika saja aku hidup normal. Pasti tidak akan terjadi seperti ini. 

 

“Aku tidak mau. Lagipula, yang menemukanku itu kau. Bukan mereka. Dan sebaliknya, aku yang menemukanmu dari sekian juta manusia.” tutur Jungkook. 

 

“Aku tidak mau.”

 

“Kenapa? Apa hanya karena mereka membualmu?”

 

Aku hanya diam. 

 

“Aku selalu dibuat penasaran olehmu. Byul, aku ingin tahu tentangmu, tapi kenapa kau selalu menyembunyikannya dariku?”

 

Semakin hari, Jungkook itu semakin menyebalkan, sampai-sampai aku tak sengaja jatuh cinta padanya. Kadang aku merasa senang dengan perasaan ini, tapi jika kupikir ulang aku salah. Bisa-bisa ini akan menjadi malapetaka jika dia tahu tentangku. 

 

Padahal kamar Jungkook itu bukan di dekat balkon kamarku. Tapi entah sejak kapan dia pindah ke kamar yang berseberangan dengan kamarku. Nyatanya dia baru saja membuka tirainya dan menampakkan dirinya yang sudah bersiap tidur dengan boneka kelinci besar yang ia peluk. 

 

Aku mendekati jendela, membukanya, lalu keluar dari kamar menuju balkon lewat jendela tersebut. Itu kulakukan karena Jungkook mengisyaratkan aku untuk keluar. 

 

Lelaki itu juga tampak ingin keluar menuju balkon. 

 

Aku mendengarnya memanggil namaku beberapa kali. “Jo! Hanbyul!”

 

“Ada apa?”

 

“Besok berangkat ke kampus bersamaku.”

 

Dan aku hanya mendengus setelah itu. 

 

“Siapa?” aku menoleh ketika Taehyung dengan lancang masuk kamarku. Ia mendekatiku ke balkon lalu ikut memandang jendela itu. 

 

Sedang aku hanya diam dan menyembunyikan senyumkum. Tapi Taehyung memaksa tubuhku untuk sepenuhnya menghadap mukanya. Tangannya bergerak cepat saat memutar pundakku. 

 

“Kau suka dengan lelaki itu?”

 

Aku memberanikan diri menatap mata Taehyung. Gelap. Namun berapi. Itu tandanya dia tidak suka, dia kesal, atau bisa jadi marah. Sekali melihatnya marah itu lebih dari cukup menakutkan dibandingkan dengan seekor macan. Satu.., dua..., tiga..., iris matanya semakin tajam, ...empat..., ....lima. Entah sudah berapa detik lelaki itu menatapku seperti itu. Sedikit membuatku merinding. 

 

“Memangnya kenapa? Apa urusanmu?” kataku sinis. Katahuilah, aku mengumpulkan keberanianku sekuat tenaga saat mengatakannya. 

 

Taehyung tertawa. Tapi tertawa bukan karena bahagia ataupun lucu. Tidak ada yang lucu sama sekali saat ini. Taehyung itu menakutkan mengingat dirinya adalah anggota ganster. 

 

“Kenapa mudah sekali kau jatuh cinta dengan lelaki itu?”

 

“Dia lelaki yang baik, jelas, dan tampan.”

 

“Oh, jadi kau menganggapku tidak jelas? Begitu?”

 

Bang! Perkataanku menjadi boomerang dan mengenai diriku sendiri. Sial. Aku salah bicara. Aku bingung dengan apa yang harus aku katakan padanya sebagai alasan yang masuk akal. 

 

Aku melihat Taehyung yang berapi-api saat menatapku. Aku tahu sekali. Dia marah. 

 

“Tidak. Maksudku bukan begitu—”

 

“Lalu apa jika bukan seperti itu? Jangan jadi wanita murahan. Apa kau dibayar mahal olehnya?”

 

Aku hanya diam dan merasakan tusukan yang teramat dalam dari mulut itu. Aku sekuat tenaga menahan tangisku darinya. Aku tidak ingin terlihat lemah dan semakin buruk. Dengan keadaanku seperti ini saja aku sudah hampir menyerah. 

 

Lalu aku mulai bicara saat sesuatu yang dingin menerpa kulitku. Malam semakin larut dan udara semakin terasa membeku. 

 

“Apa maumu datang ke kamarku? Aku lelah, aku ingin segera tidur.”

 

Aku melepas cengkraman Taehyung yang mengendur di kedua bahuku, lalu berjalan masuk ke dalam kamarku yang temaram. 

 

Taehyung masih stagnan di luar kamarku. 

 

Aku naik ke atas ranjangku. Meringkuk sembari memeluk guling di balik selimutku. Aku melampiaskan kekesalankuku pada gulingku. Menangis dan menumpahkan segalanya. 

 

Aku bukan jalang. Tapi dia yang membuatku seperti jalang. Namun hanya itu jalan satu-satunya untukku supaya tidak tertelantarkan dan semakin rumit. 

 

Lelaki itu sudah melindungiku semenjak aku kecil sampai dewasa ini. Dulu sampai sekarang hanya dia yang menerima pukulan, tamparan, dan tendangan dari ayah. Dia melindungiku layaknya seorang kakak. Tapi dia juga mempermainkanku seperti boneka. 

 

Jujur, dulu—dulu sekali, aku pernah menyukainya. Itu dulu. Sekarang tidak. Ingat itu. 

 

Saat aku masih kelas 1 SMA aku mulai menyukainya bukan sebagai kakak. Tapi sebagai laki-laki pada umumnya. Alasannya karena saat itu Taehyung pernah mengajakku datang ke pesta kembang api dan memberiku bando tanduk rudolf saat malam Natal. Saat itu dia menceritakan semuanya padaku. Dia jujur padaku. Padahal saat itu dia sedang tidak mabuk, tapi tetap saja membuatku ragu dengan apa yang telah ia katakan. 

 

Aku mendapatkan ciuman pertamaku dari Taehyung. Tepatnya saat aku duduk di bangku kelas 1 SMP. Namun rasanya, aku dan Taehyung baru saja melakukan ciuman pertama di bawah ledakan kembang api itu. Benar-benar mengejutkan dan menyenangkan dalam waktu yang sama. 

 

Saat itu Taehyung menciumku dengan tulus, lembut, dan tidak menuntut sama sekali. Aku sangat menikmatinya. Dalam pertengahan ciuman itu, Taehyung menggumam, “Aku menyayangimu, adikku.”

 

Rasanya seperti disambar petir berkali-kali. 

 

Aku berusaha menghilangkan rasa sukaku padanya sejak dari malam itu sampai benar-benar menghilang tanpa bekas. 

 

Kukira dia juga menyukaiku sebagai wanita, tapi nyatanya tidak. Dia menyukaiku sebagai adiknya. Hanya sebatas itu. 

 

“Kau menangis?”

 

Aku melebarkan mataku saat merasakan sesuatu yang berat menimpa tubuhku. Itu ulah Taehyung rupanya. 

 

“Tidak, Tae. Aku tidur, tapi kau malah menggangguku. Kau itu berat.” balasku yang masih menutupi sekujur tubuhku dengan selimut. 

 

“Kau bohong.” lalu aku merasa tubuhku kembali meringan. Dia tidur di belakangku. “Aku akan menemanimu tidur sampai pagi. Aku tidak ingin ayah mengganggumu lagi.”

 

***

 

Di kelas aku sama sekali tidak mendengar apa yang orang itu katakan. Berdiri di depan kelas sembari marah-marah tak jelas. Tentu itu dosenku. Aku heran, sudah tua begitu masih saja kuat marah-marah. Aku lelah mendengarnya berceloteh. Sepertinya teman sekelasku juga sama bosannya. Lebih baik minum es di siang terik seperti ini dari pada harus mendengar kicauan kakek tua itu. 

 

Aku pendiam, lugu, tapi menyebalkan. Well, serius. Kalian akan merasakannya jika sudah lama mengenalku. Karena itu aku tidak memiliki teman sama sekali. Tapi aku cukup encer dalam pelajaran. Tidak bodoh, tapi juga tidak terlalu pandai. Hanya saja aku mudah memahami sesuatu. Sayangnya aku pelupa. 

 

Tok tok tok tok. Ahhh, jam sialan. Apa jam itu mati? Kalau tidak kenapa jarum panjangnya tidak pindah sama sekali? Apa sesulit itu membiarkan menit cepat berlalu? Mungkin aku sudah gila sekarang. Bisa-bisa aku mati konyol di kelas hanya karena mendengar ledakan dosen itu. Padahal aku juga tidak tahu apa alasannya seperti itu. 

 

Ini lebih menyebalkan dibandingkan menunggu pelangi datang saat hujan. Sangat. Bahkan kantuk mulai menyelimutiku sekarang. Apa boleh buat? Tidur saja. 

 

“Aww” 

 

 

Apa dia tidak punya sopan santun? Mencubit lenganku sampai memerah. Hell. Jeon freaking Jungkook! Bagaimana bisa laki-laki itu datang membawa kerusuhan? 

 

Aku melihatnya tersenyum lebar duduk di bangku depanku. Terpaksa aku mengangkat kepalaku yang sedikit berat. Sudah sepi rupanya. 

 

“Apa kau datang ke sekolah untuk tidur?” Jungkook mengejekku. Kelihatan sekali. 

 

“Ada apa? Kelasmu selesai?” aku merapikan bukuku, lalu memasukkannya ke dalam tas. 

 

Jungkook hanya mengangguk, “Ayo pulang.”

 

“Pulang sana sendiri.”

 

“Gadis anti sosial sepertimu ternyata tidak mudah.” Jungkook terkekeh, aku tak tau maksudnya. Tapi aku hanya melototinya sekilas tanpa membalas perkataannya. 

 

“Aku ingin bermain ke rumah temanku.” 

 

“Lalu kenapa bilang itu padaku? Pergi saja sendiri. Kau kan punya kaki.” sinisku, lantas aku menggaet tasku dan berdiri.

 

“Eiy, temanku itu kau. Aku ingin bermain ke rumahmu.” Jungkook mencekal lenganku. 

 

Aku panik. Jangan sampai lelaki itu tau tentang keluargaku.

 

“Tidak boleh. Laki-laki tidak pantas bermain ke rumah perempuan sendirian.” aku berjalan meninggalkan Jungkook. Tapi tetap saja bocah itu bisa meraih tanganku lagi. 

 

“Apa kau akan menolak tamu? Kau tidak akan menolakku datang ke rumahmu, bukan?”

 

Entah setan mana yang membujukku. Tanpa kusadari kepalaku mengangguk begitu saja. 

 

***

 

 

Malam lekas menjelang, dan aku baru saja selesai dengan mandi air hangatku. Lantas aku mengganti bajuku dengan celana pendek dan hoodie merah jambu yang kebesaran. Rasanya, mandi dan berendam itu membuat perutku protes minta jatah. 

 

Langsung saja, aku mengambil nasi instan dari dalam lemari kulkas. Aku tahu, ramen tidak baik jika dikonsumsi secara berlebihan. Ini akibatnya tidak bisa memasak. Aku peringatkan pada kalian, belajarlah memasak. Setidaknya kau bisa membuat bubur, dan hidangan resmi saat acara. Itu sudah cukup. Jangan sepertiku yang tidak bisa apa-apa selain menggoreng telur dadar. 

 

Tiba-tiba ada yang mengetuk jendelaku saat aku baru datang masuk ke kamarku. Itu pasti Jungkook. 

 

Aku mendekat, lalu membuka kancing yang tersemat di kusen jendela. 

 

“Masuklah.”

 

Lelaki itu datang dengan pakaian biasa. Ripped jeans dan kaos merah bertuliskan “Desparado” yang dibalut kemeja flanel kotak-kotak kebesaran. 

 

“Wah, kamarmu gelap sekali. Aku curiga apa yang telah kau sembunyikan dari kegelapan ini.”

 

Memangnya apa urusannya? Gelap itu bagus. Gelap itu tandanya ia baik menutupi. Aku suka gelap. Karena gelap menutupi lukaku. Menutupi sayatan-sayatan yang terukir di batinku. 

 

Baiklah, berhubung Jungkook itu laki-laki dan aku juga tidak ingin kalian berfikir yang tidak-tidak, aku memutuskan menyalakan lampu utama yang lebih terang. 

 

“Membosankan. Apa tidak ada boneka atau pajangan selain lukisan jelek itu?” komentar Jungkook saat menemukan tatanan kamarku yang memang tidak ada apa-apa selain lemari dan rak buku serta lukisan tumpahan cat warna biru tua yang sengaja kupajang seperti itu. 

 

Entah kenapa aku masih menyimpannya. Padahal itu sudab lama sekali. 

 

“Apa kau datang untuk mengejekku?”

 

“Wow wow, jangan menyalak seperti itu. Aku takut.” kata Jungkook seraya berjalan dan duduk di ranjangku. 

 

Aku melihatnya malas dari samping jendela. 

 

“Sini, duduk sini.”

 

Jungkook menepuk-nepuk jarak kosong di sampingnya. Akupun menurut dan duduk di sampingnya. Kami diam beberapa saat. 

 

“Dimana kakakmu? Yang semalam itu kakakmu, bukan?” Oh, jadi semalam dia mendengarkan konversasi antara aku dan Taehyung. Benar-benar, aku malu sekali. 

 

“Tidak ada.”

 

“Ayah atau ibu?”

 

“Tidak ada.”

 

“Jadi sekarang kau di rumah sendirian?” aku hanya diam. Kutebak ia tahu jawabannya jika IQ yang ia miliki lebih dari 70. Bocah TK saja mungkin bisa tahu tanpa bertanya. 

 

Tapi kurasa ada sesuatu yang lain. 

 

Jungkook kelihatan aneh dengan senyum seperti itu. “Anak manis.” gumamnya. 

 

Sungguh aku tidak mengerti. Kurasa Jungkook itu lelaki sinting mulai saat ini. Lelaki itu menatapku aneh, sedangkan aku hanya menatapnya tidak mengerti. Iya iya, aku menyukai Jungkook. Aku juga tak tahu mengapa harus secepat ini. Mungkin ini bukan cinta. Ini bukan cinta seperti yang pernah orang lain katakan. Ini hanya kesimpulanku sendiri. Jadi, 70% pasti kesimpulanku salah.

 

Aku menegang saat tangannya menyentuh pahaku yang terbuka. Mengelus dan merabanya. Ini sungguh tidak sopan. 

 

“Jung!” aku memekik. Hampir saja menjerit. Jika boleh aku akan benar-benar menjerit. 

 

Tapi aku salah. Lelaki itu semakin mendekat padaku. 

 

Ahhh, pikiranku jadi kemana-mana sekarang. Aku tersihir dengan matanya yang menggoda hingga tanpa sadar dia telah menindih tubuhku. Dia di atasku seaat ini. Aku menatapnya tidak mengerti dan otakku berputar-putar memikirkan bahwa aku diperkosa saat ini. Ini konyol! Aku diperkosa dirumahku sendiri. 

 

“Jung, apa yang kau lakukan? Kau gila!” 

 

“Kenapa? Jangan tegang begitu. Aku tidak suka.” tegang bokongmu itu! 

 

Bagaimana tidak takut dengan lelaki yang tak lama dikenal melakukan seperti ini? Bahkan dia bukan siapa-siapa selain bernotebene sebagai tetangga. Garis bawahi, TETANGGA. 

 

“Ya! Menyingkir sebelum aku menendang kemaluanmu.” kataku sembari mendorong dadanya agar menjauh. 

 

Tapi sulit sekali. 

 

“Tapi aku akan membalasmu jika melakukannya, bagaimana?” Jungkook tertawa. Dasar sinting. Dia pikir apa? Lelucon? 

 

Aku memberontak hingga suara ketukan sol sepatu terdengar dari luar bilik kamarku. 

 

“Jung, pergi sana!” kataku sedikit berbisik. 

 

Jungkook itu kepala batu ternyata. 

 

“Jungkook, cepat pergi dari sini. Aku bisa mati jika ayah dan kakakku tahu!”

 

“Kenapa harus pergi? Kau bisa mengatakan jika kita sedang belajar kelompok, bukan?” 

 

“Tidak bisa, kau harus pergi. Aku serius. Kumohon, kali ini saja.”

 

Jungkook hanya menatapku serius, mencari kebenaran yang tercermin di mataku. Lalu dia menyingkir dari tubuhku dan duduk di sampingku. 

 

“Tidak. Aku tidak mau.”

 

Bocah sialan! Harus bagaimana ini? Jika itu ayah pasti ia akan menjualku saat ini juga. Dan jika itu Taehyung, aku tak yakin Jungkook akan baik-baik saja. 

 

“Hanbyul?”

 

Terlambat sudah. Jungkook akan membuatku mati sebentar lagi. Tapi dengan muka tanpa bersalahnya dia bertanya, “Siapa?”

 

“Itu ayahku, kau harus pergi, Jung. Secepatnya.”

 

“Tidak. Aku tidak mau.” astaga astaga! Apa dosa yang telah kuperbuat di masa laluku? 

“Jungkook, kumohon kali ini saja. Bersembunyilah di tempat yang aman. Di bawah kasur. Cepat sembunyi sebelum ayahku membuka pintu. Jangan berisik, atau aku akan mati.”

 

Dengan begitu, akhirnya Jungkook mendengarku. Ya, kelihatannya dia sedikit kasihan melihatku yang hampir menangis dan memohon. 

 

“Hanbyul! Apa kau membuang rokok milik ayah?” ah, alkohol itu. Baunya menyengat sekali. 

 

“A-aku tidak membuangnya.” aku gelagapan. Sial! Pasti Jungkook mendengar konversasi ini. 

 

“Lalu dimana? Ayah meletakkannya di meja dapur, pasti kau kan yang membuangnya.”

 

“Sungguh ayah. Aku tidak membuangnya! Aku tidak tahu!” 

 

“Gadis bajingan!” Ayah mulai mengangkat tangannya ke atas. Bersiap memukulku. Ya Tuhan, dimana Taehyung? Aku ingin sekarang juga memiliki kekuatan telepati supaya aku bisa mengisyaratkan Taehyung cepat datang. 

 

Plak

 

Terlambat. 

 

Bagus, bunuh saja. Pukul sampai wajahku babak belur. Ayo tambah lagi. Pukul. Ah, bukan bukan. Bunuh saja! Bunuh aku! Ambil pisau, dan tusuk jantungku! 

 

“Berani? Masih berani?” bentak ayah. 

 

Aku diam. Tidak, aku tidak menangis. Aku sudah terbiasa. Mendengarkan bentakan, merasakan tamparan, itu biasa. Tapi tidak sesering Taehyung. 

 

Wajah ayah sangat tidak bersahabat. Jika sudah marah seperti ini akan sulit ditenangkan. 

 

Aku terperanjat saat ayah mencengkeram lenganku dan menyeretku paksa. “Ayo pergi. Ayah akan menjualmu malam ini juga!”

 

Aku memberontak. Tarik ulur dengan tambang lenganku sendiri. Rasanya lenganku akan putus jika ayah menariknya lebih kuat. 

 

“Ayah, tidak. Aku tidak mau!”

 

Apa lagi yang harus kusembunyikan dari Jungkook? Dia sudah tahu semuanya. Semua rahasia yang seharusnya aku simpan rapat-rapat di dalam toples besi baja. Tapi kenyataannya, lelaki itu sedang bersembunyi di kolong ranjangku dan seratus persen telinganya tidak tuli. 

 

“AYAH! HENTIKAN!” 

 

Taehyung datang. Meskipun sudah terlambat. 

 

“Ayah sudah gila. Kau menjual anakmu sendiri? Iya?”

 

“Apa urusanmu? Bocah ingusan sepertimu tidak tahu apa-apa.”

 

“Apa kau tidak melihatnya kesakitan? Apa kau tidak mendengarnya dia tidak mau? Ayahlah yang tidak tahu apa-apa.”

 

“Lancang sekali mulutmu!” 

 

Plak

 

Tamparan itu lebih sakit dari yang sebelumnya kurasakan. Kentara sekali Taehyung menahan rasa sakit. Buktinya ada noda merah di ujung bibirnya. 

 

“Ayah tidak perlu menjualnya kepada orang lain! Aku yang akan membelinya! Puas?”

 

“Cih. Mana uangmu? 300 juta dolar! Jika kau tak sanggup membayar, pergi saja.” kebiasaan. Ayah selalu seperti itu. Uang. Uang. Uang. 

 

Taehyung menelan ludah. Darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu? 

 

“Oke, aku setuju. Beri aku waktu untuk membayarnya.”

 

“Tiga hari. Jika dalam tiga hari kau tidak melunasinya, aku akan—”

 

“Tiga hari dari besok. Tapi janji, JANGAN. PERNAH. SEKALIPUN. DATANG. KE RUMAH INI. DAN. JANGAN. PERNAH. MENYENTUH. JO HANBYUL.” kata Taehyung penuh penekanan. 

 

Aku bingung. Apa maksudnya? Aku di jual ayah kandungku dan dibeli kakakku sendiri? Ini aku yang gila atau dunia yang gila? 

 

Benar-benar kiamat sudah. 

 

Ayah pergi dengan perasaan senang. Yakin sekali. 300 juta dolar itu banyak. Coba saja kalian hitung. Ah, tidak usah. Aku takut kalkulatormu akan rusak. 

 

Sekarang tinggal kami berdua, aku dan Taehyung. Ah, jangan lupakan tikus yang masih setia bersembunyi di kolong ranjangku. 

 

Aku ingin mati saja. Damai. Memikirkan kehidupanku yang rumit membuatku gila. Jungkook tau semuanya. Aku bisa apa? Aku harus bagaimana? 

 

Ketika bibir itu mulai merangsek kedepan dan memenuhi sela bibirku, kurasa aku tambah ingin segera pergi dari bumi. Taehyung sepertinya tidak peduli dengan keberadaan Jungkook yang masih berada di bawah ranjangku. Sejak awal memang begitu. Aku yakin, setelah kejadian ini Jungkook tidak akan berani dekat-dekat denganku. Ia pasti akan menatap rendah diriku dan menjauhiku. Bahkan aku bisa memastikan ia tidak akan mengenalku lagi setelah ini. 

 

Saat ini, aku tidak bisa berharap banyak pada cinta. Cinta itu omong kosong. Aku tidak bisa membuktikannya karena aku memang tuli, buta, dan bisu tentang istilah cinta. Aku tidak bisa menjamin Jungkook membalas perasaanku yang terpendam. Tidak akan pernah. 

 

Taehyung semakin bergerak liar. Ruangan ini dipenuhi dengan decapan dan desah sensual. Sepertinya aku telah mempertunjukkan hal menjijikkan ini pada Jungkook. 

 

Taehyung memperdalam ciumannya. Tangannya sudah bergerilya ke dalam bajuku. Menyentuh, mengelus, dan mencubit apapun yang membuatnya terkekeh. Tapi saat ia mulai membuka bajuku sebatas dada, aku memberanikan diri menghentikannya. Cukup ini saja Jungkook tahu. “Hentikan.”

 

“Kenapa? Kau ingin berhenti?”

 

“Di kamarmu saja. Aku baru saja mencuci spraiku.”

 

Taehyung sinting. Tapi aku yang lebih sinting.

 

Lelaki itu berdecak tidak senang, tapi ia tetap bangkit dari sana. Akupun juga segera bangkit dan mengekorinya dari belakang. Sebelum sepenuhnya keluar dari kamarku, aku mematikan lampu kamar. Lalu melirihkan intonasi suaraku, setidaknya Jungkook bisa mendengarku. 

 

“Kau sudah tahu semuanya tentangku. Setelah ini, jangan pernah lagi menemuiku. Simpan saja di otakmu baik-baik dari pada menyebarnya. Sekarang pergilah, aku tidak ingin kau semakin berpikir buruk tentangku.” []

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet