#01

Brother's

Kau tahu? Aku sangat takut dengan rumah kosong yang terletak tepat di sebelah rumahku. Bagaimana tidak? Setiap kali aku terbangun dari tidur saat tengah malam karena mendengar suara burung hantu, aku selalu membuka gorden kamarku dan melihat sisi jendela yang terletak di samping kamarku. Sangat gelap. Karena rumah itu kosong. 

 

Saat siang hari juga begitu. Setiap aku berjalan melewati rumah itu sendirian, aku merasa ada seseorang yang mengikutiku. Namun saat aku menoleh, aku tidak menemukan apapun. Sedikit aneh. Tapi aku tetap bersikap normal. 

 

Di rumahku hanya ada tiga kamar. Satu kamarku, satunya kamar ayahku, dan satunya lagi kamar kakakku. 

 

Dan sialnya aku mendapat kamar di dekat rumah kosong itu. Dulu memang ada yang menempati rumah itu, tapi mereka sudah pindah ketika anaknya sudah sarjana. Itu sudah lama, sekitar sembilan tahun yang lalu. 

 

Mereka orang baik, bahkan aku sering diajak berlibur ke Dreamland secara diam-diam tanpa izin ayah. Tapi kakak sudah tahu. Mereka juga tak jarang memberiku makanan lewat jendela balkoni saat malam atau saat aku sendirian di kamar. Memang sih, mereka tidak memiliki anak seusiaku, paling muda berumur tujuh tahun di atasku. Dia yang sering mengajakku bermain dan memaksa orang tuanya untuk ikut ke Dreamland. 

 

Saat aku pulang dari makam ibu bersama ayah dan kakak, aku melihat rumah tetanggaku yang kosong. Gerbang di kunci dengan rantai. Memang tidak biasanya, namun kakak memberitahuku jika tetanggaku itu mungkin pindah. Ternyata benar.

 

Tentang keluargaku, aku tinggal dengan ayah dan satu kakak laki-laki angkatku. Ibu sudah meninggal karena kecelakaan kereta bawah tanah saat aku TK. 

 

Kurasa aku ditimpa kemalangan sewaktu aku hidup. Bahkan sampai dewasa ini kemalangan tak kunjung berhenti. Satu masalah usai, tapi tumbuh seribu masalah lain. Seakan kenyataan itu selalu memasokku tanpa ada jeda barang sedetik. 

 

Temperamen ayahku itu sangat buruk. Dia selalu bertindak kasar padaku. Selalu merampas uang penghasilan dari kerja paruh waktuku dan tak jarang memukulku jika aku membantahnya. Tapi untunglah ada seseorang yang dapat melindungiku dari serangan ayah. Dia kakakku. Kim Taehyung. 

 

Ibu yang mengadopsinya sebelum aku lahir. Karena dulu ibu dan ayah sangat kesulitan mendapatkan keturunan. Maka dari itu ibu mengusulkan untuk mengadopsi Taehyung dari panti asuhan. 

 

Hanya lelaki yang berumur lima tahun di atasku itu yang berani membantah ayahku saat ia mengancamku. Aku sangat bersyukur memiliki kakak sebaik dirinya. Dan hanya dialah satu-satunya pelindung yang aku punya di dunia ini. Tapi semuanya yang ia lakukan itu tidak gratis. Ada kalanya aku harus membayar hutangnya. 

 

Seiring ibu meninggal dan Taehyung yang ditelantarkan bersamaku, kami tumbuh dewasa tidak seperti orang normal. Ayah yang sering mabuk dimalam hari membuat Taehyung takut saat itu. Aku tidak, karena aku masih kecil. Taehyung hanya berani mengajakku bersembunyi di bawah lemari dapur jika ayah pulang kerumah saat malam. 

 

Tapi seiring ia dewasa, Taehyung berubah. Dia berubah menjadi brandalan dan ikut menjadi anggota gangster. 

 

“Hanbyul! Terimakasih sudah membantuku. Kau bekerja keras hari ini.”

 

Aku terkejut sejenak saat Kang Moyeon datang menghampiriku dengan nampan yang ia dekap di dadanya. Wanita itu tersenyum, melihatku yang terdiam karena melamun dengan tangan yang masih menggenggam serbet untuk membersihkan meja pelanggan kafe. Ha, sedikit memalukan. 

 

Dia adalah pemilik sekaligus bos di kafe manis ini. 

 

Aku langsung menyembunyikan tanganku kebelakang dan membungkukkan badan sekejap. Kemudian tersenyum kaku.

 

“Ah, tidak apa-apa. Aku sangat senang bekerja disini. Mungkin suatu hari aku akan membuka bisnis kafe atau pastri seperti ini. Hehe... ” kataku. Kali ini aku benar-benar tersenyum tulus. Merasa senang dan antusias di sekon yang sama. 

 

“Ya itu bagus. Kau pasti bisa melakukannya. Tapi kau harus menyelesaikan sekolahmu dulu. Jangan berhenti di tengah jalan sepertiku.” 

 

Aku hanya mengangguk ketika Kang Moyeon memberiku saran. 

 

“Baiklah, ini sudah malam. Cepat pulang sebelum subway terakhir berangkat.” lagi-lagi aku mengangguk dan tersenyum.

 

Lalu melepas celemek berloggo kafe dan melipatnya rapi sebelum kuserahkan kepada Kang Moyeon. Dia ternyata juga membawakan tasku dari lemari bawah konter. Jadi aku langsung memakainya. 

 

“Baiklah, aku pulang. Terimakasih untuk hari ini. Selamat malam.” 

 

Aku keluar dari kafe itu dengan perasaan senang karena Kang Moyeon itu sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. 

 

***

 

Sesampai di rumah, aku tidak menemukan siapapun. Sepertinya ayah maupun Taehyung belum pulang. Well, jujur aku tidak tahu mereka kemana atau bekerja apa. Kami seakan bukan keluarga yang dekat, melainkan sebuah individu yang memiliki keterbatasan sosial. Ya, itu cocok. Aku hanya tahu mereka pulang dan tidur di rumah. Selain itu aku tidak tahu. 

 

Namun, saat aku kembali kekamarku aku merasa ada yang aneh. Ada suasana baru saat aku menapakkan kakiku di lantai dingin kamarku. 

 

Kamarku yang gelap, kini berubah menjadi lebih terang. Dan cahaya itu bersumber dari jendela rumah kosong itu. Rumah yang selalu aku takuti. 

 

“Akhirnya ada penghuni baru—” gumamku. 

 

“Hanbyul.” aku mendengar suara ayah dari balik pintu kamarku. 

 

Aku cepat-cepat keluar sebelum ayah mendobrak pintu kayu itu. 

 

“Ada apa, Ayah?”

 

“Heh, cepat belikan aku rokok! Ayah pusing sekali. Buatkan ayah kopi dulu.” lagi. 

 

Setelah membuatkan kopi untuknya, aku kembali ke kamarku. Mencari buku yang kugunakan untuk menyimpan semua uangku. 

 

Ketemu. 

 

Tapi saat aku membukanya, di sana hanya tinggal beberapa dolar saja. Tidak cukup untuk membeli rokok favorit ayah. Sebenarnya ada uang lainnya, tapi itu khusus untuk biaya kuliahku. 

 

Dengan terpaksa aku turun ke bawah dengan membawa uang seadanya. 

 

“Ayah, uangku tidak cukup.” suaraku bergetar seiring tempo detak jantungku yang semakin cepat. 

 

Ayah bangkit. Melepas secangkir kopi yang ia genggam hingga menimbulkan suara ricuh yang memekakan pendengaran. 

 

“APA GUNANYA BEKERJA JIKA HANYA MENDAPATKAN GAJI YANG TAK LEBIH DARI HARGA ROKOK? HA? APA PEKERJAANMU? JADI JALANG SANA BIAR AKU CEPAT KAYA.” Ayah berteriak di depanku dengan suara lantangnya. Aku menangis karena takut dengan bentakan itu. Masih untung Ayah tidak memukulku kali ini. 

 

“Ayah, aku—”

 

“Kau mau Ayah jual? Pasti aku langsung kaya jika menjualmu.” 

 

Aku menggeleng cepat sembari melangkah sedikit mundur. “Tidak tidak, maafkan aku.”

 

“AYAH CUKUP!”

 

Terima kasih, pahlawanku datang. 

 

Ayah diam. Menatap Taehyung dengan tatapan sama saat menatapku. 

 

Taehyung berjalan sedikit cepat menghampiriku. Lalu menarik lengan tangan kiriku dan menyembunyikanku ke balik punggunggung lebarnya. Saat ini dia berada di depanku menghadap ayah. 

 

“Jangan pukul Hanbyul lagi.” Taehyung menjeda kalimatnya, “Apa yang ayah inginkan? Rokok? Alkohol? Sabu-sabu? Wanita? Uang?”

 

Ayah masih tetap diam dan menatap Taehyung tajam. Aku yakin di dalam hatinya dia sangat ingin memukul hidung dan rahang Taehyung sampai patah. Tapi itu tidak akan mungkin terjadi. Taehyung anggota gangster yang pandai berkelahi. Lagi pula lelaki itu bukan anak kandungnya. Jadi kemungkinan Taehyung bisa saja kehilangan rasa kasihan dan ketidak tegaan pada ayah. 

 

Taehyung mengeluarkan amplop coklat tebal dari dalam jaketnya lalu memberikannya kepada ayah dengan cara melemparkan amplop tersebut pada dada ayah. 

 

“Jauhi Hanbyul. Gunakan uang itu sesukamu.” geram Taehyung saat memberikan benda itu pada ayah. 

 

Kenyataannya ayah malah tersenyum kegirangan saat menerima uang itu dari Taehyung. 

 

“Tentu tentu, aku akan pergi. Jaga diri kalian baik-baik. Mungkin sampai lusa ayah tidak pulang.” 

 

Ayah berjalan membelakangi kami. Melangkah lebar menuju pintu utama. Dan kini tinggal aku dan Taehyung yang masih sama-sama tetap diam. Namun, aku membuka konversasi terlebih dulu. 

 

“Darimana kau dapat uang sebanyak itu?” aku melotot padanya.

 

“Kau pasti sudah tahu jawabannya.” jawabnya santai. Lalu tangannya kembali menarikku, menuntutku untuk ikut berjalan di belakangnya. Tentu salah satu dari kamar kami yang akan kami tuju. 

 

Ini yang kumaksud. Taehyung melindungiku itu tidak gratis. Dia akan minta seks jika dia ingin kapan saja padaku. 

 

“Kau membobol ATM lagi?” tapi tidak ada jawaban. 

 

Kami berjalan hingga sampai di depan pintu kamarku. Lalu Taehyung mendorongku masuk. 

 

Kenapa aku memanggilnya tanpa embel-embel 'kak' karena aku merasa lebih nyaman memanggilnya begitu. Syukurlah dia tidak peduli. 

 

“Sekarang, lakukan tugasmu.”

 

Jika sudah begini aku bisa apa? Menolak? Aku angkat tangan. Tidak bisa menolaknya. Lantas siapa yang akan melindungiku jika Taehyung pergi meninggalkanku? Hell, pasti aku sudah mati atau di jual ke distrik merah. 

 

Aku menurut dan mulai melepas bajuku saat Taehyung pergi ke kamar mandi. 

 

Ini sudah biasa dia melakukannya padaku. Sangat. Lagi pula, aku juga kadang menikmatinya. Saling memberi dan menerima. Itu motto Taehyung yang sering ia katakan padaku. 

 

Aku menyembunyikan tubuh polosku di balik selimut sembari menunggu Taehyung selesai dengan urusannya di kamar mandi. Tapi pikiranku melayang pada rumah kosong itu. Rumah itu sangat terang. 

 

“Itu tetangga baru kita.” 

 

Sahut Taehyung tiba-tiba. Untung saja, aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Jika iya mungkin aku sudah sekarat. 

 

Aku mengangguk kecil. “Cepatlah, Tae! Aku sudah ngantuk.” 

 

Kemudian Taehyung melepas jaket, baju, dan celananya bergantian dan mulai melakukan aktivitas erotisnya. 

 

***

 

Pagi yang cerah, tapi pagiku selalu di sambut dengan rasa nyeri. Burung-burung berkicauan di pagi hari memberikan semangat tersendiri untuk kembali bersiap berangkat ke kampus. Sedikit malas sebetulnya. Tapi saat teringat perkataan Bos kafe dimana aku bekerja, aku jadi berpikir dua kali untuk bolos. Lagi pula kuliah kan tidak setiap hari. 

 

Ketika berangkat ke kampus, aku menaiki bus umum seperti biasa. Lebih murah, dan sangat membantu penghematan yang sedang kulakukan. 

 

Aku duduk di jok paling belakang dekat jendela. Tapi di saat bersamaan ada laki-laki seumuranku yang kurasa dia mengikutiku sejak tadi. Aku jadi risih. Dan sekarang dia juga malah ikut duduk di sampingku. Dia itu siapa? 

 

Aku mengamatinya yang sedang sibuk memainkan ponsel lalu memakai headsetnya. 

 

Aku melihatnya dia bersenandung kecil. Ah, pasti lelaki itu tidak memiliki beban berat sama sekali. 

 

Lama-lama aku tersenyum saat mengamatinya. Aku tidak sadar jika aku terlihat bodoh seperti itu. Sungguh! Aku akui dia tampan. Sangat malah. 

 

Biar aku jelaskan, lelaki itu memakai kaos kuning polos yang ia rangkapi dengan jaket denim, blac skinny, dan tas ransel yang ia pangku. Sedang tangannya yang mmegang ponsel ia letakkan di atas tas tersebut. 

 

Astaga! Aku hampir terkena mendadak saat laki-laki itu menoleh padaku. Kemudian dia tersenyum. Mimpi apa aku semalam? 

 

“Mau dengar?” dia menawarkan satu headsetnya padaku. 

 

Aku segera menggeleng cepat dan tersenyum kaku. “Tidak tidak.”

 

Tapi tetap saja lelaki itu menyumpali lubang telinga kiriku dengan salah satu ujung headsetnya.

 

Lalu samar-samar aku mendengarnya sedang memperkenalkan diri. 

 

“Aku Jeon Jungkook, tetangga barumu. Aku juga minta maaf karena menguntitmu dan membuatmu takut.”

 

Oh, jadi begitu. 

 

“Aku Jo Hanbyul.” singkatku. 

 

Lalu kami sama-sama diam saat lagu baru terputar. Sedikit canggung karena ini lagu yang aneh, eh—maksudku seperti tentang seks. Apa Jungkook sengaja? 

 

Tidak. Mana mungkin. Tapi aku mengabaikan liriknya dan tetap menikmati musiknya bersama lelaki itu.[]

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet