The Second Memories

First Love Memories

First Love Memories

Cha Hakyeon (GS) & Jung Taekwoon

.

.

.

The Second Memories

.

.

.

Line!

Line!

Line!

“Yeon, handphonemu berisik.” Jaehwan dengan malas melirik handphone ku yang kuletakkan sembarangan di lantai kamar kosnya.

“Biar saja, paling chat grup.” Sahutku dari dalam kamar mandi, numpang pipis.

Jaehwan merasa tertarik mendengar kebisingan handphone ku dikarenakan chat grup. “Memang grup apa?”

“Mungkin grup SD. Dari semalam mereka ribut, mungkin karena grupnya baru dibuat, entah apa yang dibicarakan.”

“Boleh aku lihat?”

“Silahkan. Asal jangan kau hack.” Teriakku lagi masih dari dalam kamar mandi.

“Iya, dasar bawel. Hehehe.” Dengan cengengesan dibukanya aplikasi Line di handphone ku, dan mata Jaehwan langsung kaget melihat seberapa banyak notif yang ada, sampai-sampai ia bangun dari posisi nyamannya (tidur-tiduran di lantai sambil kaki dibuka lebar, cewek macam apa coba anak satu ini).

“Gila, apa mereka tidak ada kerjaan? Notifnya sudah 800 lebih, Yeon!”

“Mana aku tahu,” jawabku cuek sambil keluar kamar mandi dan ikutan duduk di lantai, disebelah Jaehwan, “Aku nyalakan tv ya.”

“Hm..” hanya itu jawaban yang kudapat, karena anak itu sudah asyik membaca isi chat grup teman-teman seangkatanku waktu SD.

Sore ini aku sedang main ke kos Jaehwan. Dia sudah jadi sahabatku sejak kuliah semester 3. Sebenarnya selain dengan Jaehwan, aku punya geng rumpi yang lain, Jaehwan pun juga punya teman gengnya sendiri, tapi entah kenapa aku paling cocok dengan Jaehwan.

Biasanya jika dua orang bersahabat, mereka pasti terlihat kemana-mana berdua. Kalau yang satu jalan dengan yang lain, satu yang ditinggal itu pasti cemburu. Tapi hal seperti itu tidak ada dalam kamus persahabatanku dan Jaehwan. Kami sama-sama mengerti perasaan masing-masing tanpa perlu mengucapkannya. Kami belajar untuk jujur satu sama lain, bahkan dari isi chat pun aku bisa tahu jika Jaehwan sedang badmood, maka aku akan mendiamkannya sampai dia yang mau cerita sendiri, begitupula sebaliknya.

Kedekatan kami itu sudah seperti sepasang kekasih, tak heran seluruh keluargaku dan keluarganya melabeli kami dengan sebutan “kembar” bahkan Inguk oppa mengataiku lesbi karena aku lebih sering bersama Jaehwan. Dasar kakak kurang ajar, seenaknya saja mengatai adiknya belok, mentang-mentang aku masih (dan sudah lama) jomblo. Huh.

“Eh Yeon, sepertinya kau digosipin nih.” Jaehwan mencolek lenganku agak heboh.

“Huh?” Karena penasaran aku bergeser sedikit supaya bisa melihat isi chat yang dibilang Jaehwan. Dan benar saja, namaku disebut-sebut disana.

.

jessica.syj : Eh, Hakyeon mana? Dari semalam kalian berisik di grup, dia malah tidak pernah kelihatan.

sh_9531 : Iyanih, Hakyeon mana ya?

sh_9531 : Hakyeon~

sh_9531 : Hakyeon~

sh_9531 : Cha Hakyeon~~

jessica.syj : Seolhyun, kau berisik.

jessica.syj : Nana, Bora, kalian tahu dimana Hakyeon? Kalian kan satu kampus dengannya.

sh_9531 : Ish, Sica kau jahat :(

borabora_sugar : Semalam dia bilang hari ini mau pergi keluar.

jessica.syj : Kemana?

jin_a_nana : Seolhyun, jangan lebay. Dia ketempatnya Jaehwan.

jessica.syj : Jaehwan? Siapa?

jin_a_nana : Teman sekampus, dia sahabatnya Hakyeon.

borabora_sugar : Sahabatnya Hakyeon.

sh_9531 : Hakyeon sombong, mentang-mentang punya sahabat baru, kita dilupakan.

jessica.syj : Kau juga punya sahabat lain diluar kan? Jadi kenapa Hakyeon tidak boleh punya sahabat lain juga? Mungkin dia tidak melihat semua isi chat grup ini karena anak laki-laki terlalu berisik semalam. Berpikir dulu sebelum bicara, Kim Seolhyun.

jin_a_nana : Lagipula Seolhyun, memang kau masih sahabatnya? Seingatku bahkan menghubunginya saja kau tidak pernah.

borabora_sugar : Iya, bukankah kau selalu menganggapnya rival?

sh_9531 : Kalian ini kenapa sih? Aku kan cuma bilang apa yang aku rasakan.

jessica.syj : Makanya kubilang pikir dulu sebelum bicara.

jessica.syj : Ngomong-ngomong yang dikatakan Nana dan Bora ada benarnya. Kau tidak pernah menghubunginya sejak kalian lulus SMP. Dan kau juga selalu menganggapnya rival sejak SD kan. Rival berkedok sahabat lebih tepatnya. Kau selalu iri padanya. Apalagi kalau menyangkut kedekatan Hakyeon dan adikku.

borabora_sugar : Taekwoon maksudnya?

jin_a_nana : Iya, Seolhyun kan selalu iri setiap Taekwoon dekat-dekat dengan Hakeyeon. Cemburu tuh, Taekwoon tidak mau dekat-dekat dengannya.

sh_9531 : Enak saja! Taekwoon yang selalu mendekatiku. Dia selalu menjahiliku. Dan aku tidak pernah iri pada Hakyeon.

jin_a_nana : Yakin Taekwoon yang mendekatimu? Bukan kau yang suka curi-curi kesempatan?

borabora_sugar : Cieee yang cemburu~

borabora_sugar : Eh, Taekwoon tidak masuk grup?

jessica.syj : Dia tidak pakai Line. Malas katanya. Dia hanya pakai WhatsApp.

sh_9531 : Benarkah? Berapa nomornya?

jin_a_nana : Seolhyun, berhenti menjadi cewek penggoda.

sh_9531 : Siapa yang kau sebut cewek penggoda, hah?!

jin_a_nana : Aku hanya bercanda, kau sensi sekali sih.

jin_a_nana : Lagipula Taekwoon sudah punya pacar, jangan mengganggunya dengan tingkah sok imut mu itu.

borabora_sugar : Hoo, yang ada di Instagramnya itu ya?

sh_9531 : Namanya Sohyun kan? Aku sudah lihat wajahnya. Apaan, aku masih lebih cantik. Taekwoon pasti memacarinya karena namanya mirip dengan namaku. Dia masih tidak bisa melupakan perasaannya padaku.

jessica.syj : Kau semakin menyebalkan. Dan siapa yang kau bilang punya perasaan padamu? Bukan kau yang disukai adikku, asal kau tahu.

borabora_sugar : Skakmat! Bahkan Sica sendiri yang bilang bukan Seolhyun yang disukai Taekwoon, hahaha.

jin_a_nana : Hahaha, kasihan Seolhyun.

sh_9531 : KALIAN!!!

.

“Wow, ternyata kau bisa juga digosipin. Dan siapa itu Taekwoon?”

“Memangnya aku belum pernah cerita?”

Jaehwan memutar matanya malas. “Kalau kau sudah pernah cerita, aku tidak akan bertanya, Cha Hakyeon.”

“Aku sedang malas cerita, Lee Jaehwan.” Aku mengubah posisiku yang awalnya duduk disebelah Jaehwan jadi tidur-tiduran.

“Ayolah cerita. Kau sudah tahu semuanya tentangku. Tapi setiap kau yang cerita selalu setengah-setengah. Alasanmu selalu malas lah, nanti saja lah. Apa kau benar-benar menganggapku sahabat?” Jaehwan mulai cemberut.

Kalau sudah begini aku malas berdebat dengannya. Bukan karena dia imut atau apa saat marah-marah, tapi aku tak tahan karena Jaehwan akan jadi semakin bawel jika dia sedang sewot dan marah.

“Taekwoon itu teman masa kecilku—”

“Kalau itu aku tahu—”

“Jangan banyak bicara dan dengarkan, atau aku tidak jadi cerita.”

Jaehwan kemudian diam dan melakukan gestur seolah-olah mengunci bibirnya, seperti mengunci pintu.

“Taekwoon itu teman masa kecilku. Dia termasuk yang paling dekat denganku saat masih SD, begitu juga dengan Nana, Bora, Jessica dan Seolhyun. Aku tentu tak perlu cerita soal Nana dan Bora karena kau juga berteman dengan mereka. Berbeda dengan mereka berempat yang sempat satu sekolah bahkan satu kampus denganku setelah lulus SD (satu SMP dengan Nana-Seolhyun, satu SMA dengan Jessica, dan satu kampus dengan Bora-Nana), aku jarang bahkan hampir tidak pernah bertemu dengan Taekwoon lagi setelah lulus SD. Hanya sekali, itupun saat kita semester 3. Waktu itu aku melayat kerumahnya saat Appa nya meninggal dunia.”

 Jeda. Aku mengingat-ingat saat terakhir bertemu dengannya.

“Jadi, Mr. Jung meninggal tak lama setelah Eomma mu meninggal?” Jaehwan bertanya hati-hati. Mengingat topik tentang Ibuku adalah topik yang sangat sensitif bahkan bisa dibilang berbahaya. Karena salah sedikit dalam bertanya atau berbicara, siap-siap aku tidak akan berbicara dengan orang itu selama yang aku inginkan.

“Ya… di bulan dan tahun yang sama. Maret 2013…”

.

.

Flashback.

“Yeon, nanti sore sibuk?”

Siang itu aku sedang di kantin kampus bersama Nana dan Bora. Nongkrong sebelum pulang kerumah.

“Sepertinya tidak, kenapa?” jawabku sambil ngunyah kripik kentang.

Nana dan Bora saling pandang sebentar sebelum akhirnya Bora menjawab, “Kerumahnya Jessica yuk.”

“Tumben, sudah lama tidak pernah kesana. Memangnya ada apa?”

Mereka berdua saling pandang lagi.

“Apa sih, kalian dari tadi nanya trus pandang-pandangan mulu. Memang pada mau ngapain kerumahnya Sica?”

“Melayat…” Bora tampak ragu mau melanjutkan kata-katanya.

“Ohok!” cepat-cepat aku minum es teh yang ada di depanku, sialan, keselek kan jadinya. “Siapa yang meninggal?!”

“Appanya Sica dan Taekwoon…” Akhirnya Nana yang melanjutkan.

Hening… sampai mbak-mbak kantin membawa makanan pesanan kami.

“Yeon… gapapa?” Bora kelihatan cemas melihatku hanya diam.

“Makan dulu Yeon, nanti maag mu kambuh.” Nana sepertinya ikutan cemas.

“Nanti sore… jam berapa?” aku masih tidak berkutik, menatap kosong ke arah nasi goreng yang ada di hadapanku.

“Jam 5. Bisa?”

Aku hanya mengangguk, mengeluarkan uang 20 ribuan, kemudian bangun dan beranjak ke parkiran.

“Eh, Yeon, mau kemana? Makan dulu heh! Nanti kambuh itu maga nya!” Nana udah heboh sendiri melihat aku pergi gitu aja. Sampe satu kantin ikut ngeliatin ke arah kami gara-gara Nana teriak-teriak macem ahjumma yang lagi jualan di pasar.

“Udah biarin aja. Tau sendiri kan, Hakyeon masih trauma gara-gara Eomma nya meninggal, belum ada sebulan, ini saja dia baru mulai bisa senyum lagi. Ingat waktu kita jengukin Hyoyeon di RS waktu dia terkena demam berdarah? Hakyeon kan sampai keluar keringat dingin, bahkan mual-mual waktu dirumah sakit. Trus sekarang mendengar kabar Mr. Jung meninggal, dia pasti shock.” Bora mencoba menenangkan Nana.

“Tapi kan bahaya dia dijalan dengan keadaan kaya gitu.”

“Udah, Hakyeon pasti selamat sampai rumah kok.”

.

“Bora, Nana, kalian berdua saja? Mana Hakyeon? Sica pernah cerita kalian satu kampus, jadi Imo pikir kalian akan datang sama-sama.” Mrs. Jung, Ibu nya Taekwoon dan Jessica menyambut mereka dengan hangat, meskipun raut kesedihan terpancar jelas di mata dan wajahnya yang sudah tidak muda lagi.

“Itu… Saya sudah telpon Hakyeon, katanya sedang diperjalanan.”

“Oh begitu… Baiklah, Imo kesana sebentar menyapa kerabat yang lain, kalian duduk saja disini ya.”

Nana kemudian memandang Bora curiga. Ini anak pasti bohong. Handphone nya Hakyeon jelas-jelas tidak aktif setelah dia ngeloyor pulang gitu aja siang tadi. Trus gimana dia bisa ngomong sama Hakyeon coba?

Merasa Nana memelototinya, Bora pun menoleh, “Apa?”

“Kau bohong kan.” Nana masih memelototinya.

“Trus aku harus gimana? Apa aku harus bilang, ‘Imo, Hakyeon pergi begitu saja setelah kami mengatakan Samchon meninggal, kemudian handphone nya tidak aktif, telpon rumahnya pun tidak diangkat, dia sama sekali tidak bisa dihubungi’, begitu?”

“Terserah kau saja.” Nana tidak mau mendebat Bora, karena apa yang dikatakannya ada benarnya juga.

30 menit mereka disana, Hakyeon belum juga menunjukkan batang hidungnya.

“Serius deh, kemana sih anak itu? Bikin khawatir saja.” Nana mulai misah-misuh sendiri. Jessica, Bora dan Taekwoon yang melihatnya hanya diam saja, kalau mereka ikutan panik, Nana akan 3x lipat lebih panik. Tapi saat Taekwoon mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk, Hakyeon berdiri disana.

“Yeon…” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Taekwoon.

Hakyeon berjalan mendekat ke arah mereka. “Maaf, aku terlambat.”

Jessica, Bora dan Nana hanya mengangguk dan tersenyum, lega karena Hakyeon akhirnya ada di sini. Sedangkan Taekwoon diam memandangi Hakyeon.

“Hakyeon?” sebuah suara memanggilnya, itu suara Ibu Taekwoon.

Hakyeon berbalik dan mendapati Ibu Taekwoon memandangnya dengan senyuman hangat.

“Imo…” seketika itu juga Hakyeon menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Mrs. Jung. “Maaf terlambat, saya turut berduka cita atas meninggalnya Samchon… saya…” Hakyeon tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi, dia menangis.

“Tidak apa-apa. Imo mengerti, Eomma mu juga baru meninggal beberapa minggu yang lalu kan? Maaf Imo sekeluarga tidak sempat melayat, karena saat itu kondisi Samchon juga sedang kritis.”

Hakyeon menarik dirinya dari dekapan Mrs. Jung, “Tidak apa, Imo tidak perlu minta maaf.” Hakyeon menggelengkan kepalanya pelan, masih terisak.

“Kalau begitu, kau jangan menangis, kan Samchon juga tidak marah kalau kau hanya terlambat sebentar.” Mrs. Jung menghapus air mata yang mengalir di pipi Hakyeon. “Sudah… sana sapa Samchon dulu.” Mrs. Jung mengalihkan pandangannya ke arah peti yang ada di dalam ruangan, tempat Mr. Jung tidur.

“Ayo sama-sama, kami juga belum memberikan salam kepada Samchon.” Bora bangun dari duduknya.

“Kenapa?” Hakyeon memandang teman-temannya, meminta jawaban.

“Tentu saja menunggumu, bodoh.” Nana sepertinya masih sebal karena Hakyeon datang terlambat dan tanpa kabar.

Setelah memberi penghormatan terakhir pada Mr. Jung, Jessica mengajak mereka ke tempat mereka duduk-duduk tadi, tapi Hakyeon tidak melihat Taekwoon disana.

Jessica yang menyadari Hakyeon sedang mencari sesuatu, lebih tepatnya seseorang, menepuk bahu Hakyeon. “Kau mencari Taekwoon?”

Hakyeon hanya mengangguk sebagai jawabannya.

“Tadi aku lihat sepertinya dia masuk ke kamarnya, sebaiknya kau temani dia, dia butuh teman bicara.”

“Baiklah.”

Hakyeon kemudian beranjak ke kamar Taekwoon. Dia hapal betul tata letak rumah ini. Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali ia kesini. Kalau tidak salah sih terakhir dia kesini saat dia SMA, waktu itu tidak sengaja mampir karena mengantarkan Jessica pulang sekolah.

Sampai di depan kamar Taekwoon, pintunya tidak tertutup rapat, ada celah sedikit yang memungkinkan Hakyeon melihat isi di dalam kamar Taekwoon. Dan dia melihat Taekwoon, sedang duduk di atas kasur, memandang keluar jendela. Ragu-ragu Hakyeon mengetuk pintu kamarnya, yang dijawab ‘masuk’ dengan sangat pelan oleh Taekwoon.

Belum sempat Hakyeon mengeluarkan suara, Taekwoon sudah berbicara duluan.

“Maafkan aku Yeon…”

Hakyeon tidak mengerti kenapa Taekwoon bisa tahu itu dirinya, dan kenapa ia harus meminta maaf padahal disini dia yang salah (karena datang terlambat).

“Maaf untuk apa?”

Taekwoon tidak langsung menjawabnya, tapi ia menoleh, memperhatikan Hakyeon. Ada yang berbeda, Hakyeon mengenakan rok hitam panjang, itu aneh, karena setaunya dari kecil Hakyeon tidak suka pakai rok. Kecuali rok sekolah karena itu keharusan. Taekwoon tersenyum  kecil mengingat itu, kemudian mengulurkan tangan kanannya.

“Kemarilah, duduk disini. Temani aku.”

Hakyeon menyambut uluran tangan Taekwoon yang menuntunnya untuk duduk disebelahnya. Hangat. Itu hal pertama yang dirasakan Hakyeon saat jemarinya menyentuh jemari Taekwoon.

“Kenapa kau minta maaf?” Hakyeon kembali bertanya saat dia sudah duduk disebelah Taekwoon.

Taekwoon kembali tersenyum mendengar pertanyaan Hakyeon, tangannya masih menggenggam tangan Hakyeon. Gadis ini masih penasaran rupanya.

“Karena aku tidak datang dan menemanimu saat pemakaman Eomma mu. Sedangkan saat ini kau ada di sini, menemaniku.”

Hakyeon mau bilang tidak apa-apa, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu, dia tidak mampu menjawab pernyataan itu, hanya mampu memandangi wajah Taekwoon yang kini pandangannya kembali menerawang ke luar jendela.

“Aku merindukannya…”

Hakyeon tahu betul siapa yang dimaksud Taekwoon, Ayahnya, dan dia lagi-lagi juga tidak bisa merespon pernyataan yang satu ini.

“Apakah kau juga merindukannya Yeon? Eomma mu…” Taekwoon mengalihkan pandangannya kepada Hakyeon, tepat di kedua iris matanya.

“Selalu…” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Hakyeon.

Taekwoon menjatuhkan kepalanya di pundak kiri Hakyeon, menangis.

Hakyeon tidak bisa berbuat banyak selain menggenggam kedua tangan Taekwoon sambil mengelus punggung tangannya.

Sekitar 10 menit Taekwoon menangis dalam diam, akhirnya Hakyeon bersuara. “Bajuku sudah basah, Woon. Apakah kau sampai ingusan juga?”

Hakyeon bisa mendengar Taekwoon tertawa kecil.

“Ah, sepertinya ada sedikit ingus yang menempel dibajumu.” Katanya sambil kembali duduk tegak. Masih ada sisa air mata di pipi kirinya.

Hakyeon mengusap air mata itu, “Berhenti menangis, kau kelihatan jelek.”

“Tapi aku tetap tampan, dan kau tetap menyukaiku.” Taekwoon tersenyum kecil saat tangan kanan Hakyeon terdiam sehabis menghapus air matanya, masih berada di pipinya. Kemudian digenggamnya lagi tangan itu.

Hening.

Muncul semburat merah dikedua pipi mereka.

“Hakyeon… aku—”

Tok! Tok!

Saat Taekwoon hendak mengucapkan sesuatu, tiba-tiba suara ketukan pintu mengejutkan mereka berdua, membuat tautan tangan mereka terlepas karena refleks. Ternyata itu Mrs. Jung.

“Kalian sedang apa? Ini sudah waktunya makan malam. Hakyeon akan makan malam di sini kan?” Mrs. Jung bertanya atau lebih tepatnya secara tidak langsung memaksa Hakyeon makan malam di sana.

Hakyeon yang salah tingkah hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.

“Kalau begitu tunggu apalagi, ayo.” Mrs. Jung mulai beranjak ke ruang makan.

Hakyeon menoleh ke arah Taekwoon yang sejak tadi hanya memandanginya.

“Kau tadi mau bilang apa?”

Taekwoon tampak berpikir sejenak, kemudian menggeleng. “Tidak apa-apa, hanya…”

“Hanya?”

Taekwoon tersenyum, “Terima kasih.”

Entah kenapa Hakyeon agak kecewa mendengarnya, memang apa yang kau harapkan, Cha Hakyeon?

“Untuk?”

“Menemaniku.”

.

.

Jaehwan senyam-senyum sendiri mendengarkan akhir cerita Hakyeon.

“Kenapa kau senyam-senyum begitu, Lee Jaehwan?”

“Karena kalian sangat manis.”

Hakyeon memutar matanya.

“Lalu setelah itu bagaimana? Apa tidak ada kelanjutan soal hubungan kalian?”

“Memangnya ada yang perlu dilanjutkan? Hubungan kami kan hanya sebatas teman masa kecil.”

“Oh ayolah Cha Hakyeon. Bahkan Halmeoni ku di surga pun tahu kalian saling menyukai satu sama lain.”

“Shut up, Jaehwan.”

“Aku tau kau masih menyukainya sampai sekarang kan? Yakan? Yakan?”

“Tutup mulutmu.”

“Ish, dasar tidak seru.” Jaehwan melancarkan jurus ‘ngambek sok imut’nya lagi.

Hakyeon sudah tidak mempan dengan jurus itu kemudian beranjak bangun dari duduknya.

“Mau kemana?”

“Cari makan, laper.” Hakyeon mengemasi barang-barangnya.

“Eh, eh, ikuuuuttt!” Jaehwan kalang kabut saat melihat Hakyeon sudah akan keluar dari kamar kos nya.

“Kau yang traktir karena sudah membuatku menunggu.”

“Eeehhh???”

.

.

.

Maaf jika ada typo bertebaran. :)

Terimakasih sudah menyempatkan baca ff ini.

Arigatou gozaimasu~ Thank you very Gamsa~ :*

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet