DUA

As You Like It
Please Subscribe to read the full chapter

 BAB 2

Warning : nyelekit action dan omongan tidak berkeprimanusiaan. Saya minta maaf jika ada yang merasa karakter disini sangat tidak sensitif atau membuka luka lama. Sekali lagi, saya minta maaf.

 

“Jadi lo pilih—pake rok atau nggak pake apapun sama sekali.”

Desyca memalingkan wajahnya ke bawah saat lagi-lagi sang kakak kelas melakukan atraksi yang menurut mereka lucu di depan seluruh angkatan Desyca. Hanya karena satu kesalahan kecil, seorang cowok bernama alias CUPU (ya, tulisan CUPU gede-gede di name tag dia memang ngga membantu) dipanggil di depan lapangan dan disuruh menanggalkan celananya dan pakai rok. Siang amat panas dan Desyca berharap dia tadi pakai sun screen. Mereka digiring ke lapangan SC, alias Student Center, bangunan terbengkalai yang tadinya dibangun buat perkumpulan klub-klub ekskul tapi nggak berhasil karena jauh dari gedung utama. Tidak ada orang yang lewat sini, jadi walaupun mereka menangis kejer dan berteriak minta tolong, tidak ada guru yang bakal mendengar. Dengan suhu begini dan lapangan yang tidak pakai tenda sama sekali, Bumi merasa setali tiga uang dengan bebek bakar.

“Kak…”

“Kak kak kak kak. Nggak sudi gue punya adek macem lo. Kalo gue emang punya, gue lebih baik ngebuang lo ke panti asuhan.” Si Kakak kelas Jabrik yang memang paling semangat menyalak dari tadi.

“Cok, lo telanjangin aja sekalian. Kesian rok Ulum basah tadi kena es teh dia.” Ucap teman si Jabrik dengan muka gepeng. Desyca tidak yakin si muka gepeng benaran punya pacar. Mungkin dia punya imajinasi yang tinggi.

Pemikiran negatif Desyca terpatahkan oleh kenyataan bahwa ada cewek dengan celana mini duduk di pinggir lapangan, rok basah di sampingnya, kewer-kewer terkena angin.

Kejadiannya mungkin cuma nggak sengaja. Mendengar bisik tetangga tadi, sepertinya si cupu nggak sengaja numpahin es teh ke rok si kakel cewek—tuh es bahkan bukan buat dia sendiri melainkan buat kakel lain yang nyuruh dia dengan sekenanya. Sialnya si cupu ini ternyata baru aja bikin masalah dengan cewek yang salah.

“Saya m-minta maaf kak. Saya nggak lagi-lagi.” Ucap si cupu.

“Pasal nomor 24 di Libernation High—kita cowok-cowok gentle dan nggak pernah sekalipun back down dari hukuman. Dan lo sekarang mohon-mohon ampun walau lo udah hampir membahayakan kesehatan pacar temen gue. Nggak bisa men. Lo pake rok ini, atau lo nggak usah pake celana sekalian.” Tegas si kakel jabrik.

“T-tapi kak…” cicit si cupu.

“Malah ngelunjak.  Lo buka aja sekarang, cupu!”

Dan si kakel tiba-tiba mengambil gunting dan merusak celana si adik kelas. Suasana di depan gaduh, riuh rendah, dengan tawa dan tepuk tangan sok berkuasa dari panitia OSIS yang lainnya dan kakel-kakel yang cuma numpang lewat di lokasi TKP. Si adik kelas dengan sangat menyedihkan memohon-mohon agar diselamatkan dan dimaafkan, hampir nangis juga sepertinya. Katanya, celana ini satu-satunya—maminya belum balik dari luar kota untuk membelikan celana baru yang muat untuknya. Tapi permohonan itu bahkan tidak masuk kuping kanan, apalagi keluar kuping kiri. Air susu dicampur dengan air tuba dan si cupu dipaksa minum air campuran kampret itu. Tidak ada yang benar-benar bisa membantu.

Sementara itu para penonton hening. Desyca mengeratkan tangannya. Sudah siang dan ada tontonan tidak mengenakkan. Tidak ada yang bisa Desyca lakukan selain merutuk dalam hati. Merutuk bahwa, disamping kenyataan bahwa pomade yang dipakai si kakel jabrik mungkin lebih dari se-pon, dan kenyataan bahwa rok yang di kasih ke si cupu tidak bakal muat (karena, dengan amat disayangkan, si cupu bisa dibilang punya badan sebesar dan seberat bayi ikan paus pembunuh.) kakel-kakel ini sudah menginjak cross line. Ada yang bisa dan tidak bisa untuk dilakukan. Dan ini, ini adalah hal yang tidak bisa dilakukan.

Yang lebih parah adalah ekspresi wajah orang-orang seangkatan Desyca. Kebanyakan tidak berekspresi dan bahkan ada yang sembunyi-sembunyi merekam aksi di depan dengan record-lens—recording camera berbentuk kontak lens yang dipakai di mata. Kenapa Desyca tahu mereka merekam sembunyi-sembunyi? Sedari tadi warna mata mereka kelihatan beda dan mereka bengong dengan wajah bego yang identik. 

Desyca tahu kenapa mereka begitu apatis. Kenapa mereka malah menikmati kejadian di depan. Kenapa mereka tidak melakukan apapun. Dan alasan dibalik itu semua sangatlah rendahan—karena mereka lega bukan mereka yang ada di depan. Bukan mereka yang disuruh setengah telanjang dan memakai rok sepanjang lutut. (Bahkan nggak ada cewek yang roknya sepanjang lutut lagi sekarang) Bukan mereka yang dikatai ‘cupu, cupu’. Dan bukan mereka yang terancam dijauhi seluruh angkatan dari angkatan atas sampai bawah dan dikatai ‘mesum’ karena memakai rok cewek. Mereka tidak buta, tapi mereka tidak melihat. Mereka punya tangan, tapi mereka tidak menolong.

Menjijikkan.

Tapi Desyca lebih menjijikkan. Desyca membenci dirinya sendiri karena itu.

Tahan…

Tahan, atau kamu akan bikin Abi kecewa lagi…

 “Basi bener.”

Suara itu terdengar menggaung dari lantai dua. Serempak kepala-kepala melirik ke atas dan ada seorang cewek berambut panjang meliuk tengah memandang ke bawah layaknya ratu yang sedang memandang rakyatnya. Ada seorang cowok disampingnya, asyik dengan sesuatu, tidak peduli satu angkatan menontoni aksi mereka.

“Anjir.” Bukannya marah, Si kakel jabrik tiba-tiba aja jiper abis.

“Emang gue yang salah, atau gua baru aja nyaksiin penindasan, ya?” si cewek memandang malas ke kakel Jabrik. 

“Paling nggak kontak lens lo nggak menghkianati lo, Ran.” Ucap si cowok yang satunya lagi, sibuk mainin game ternyata.

“Sori,” ucap si kakel jabrik dengan wajah yang sedikit nervous, “Hmm… si cupu satu ini… dia nggak seng-sengaja numpahin es teh ke roknya si Ulum…”

“Yang namanya Ulum! Jawab gue!” seru si cewek manis yang memandang dari atas. “Iyaaa!” kakel cewek yang pake celana dalem mini dengan rok basah di depan, Ulum, langsung menjawab pronto.

“Rok lo keluaran LV?”

“N-nggak!”

“Keluaran Miu Miu?”

“Nggak?”

“Kalo keluaran Agent Provocateur?”

“Bukan… lagian itu bukannya merk baju dalem ya?”

“Diem lo.” Ucap si cewek manis dengan dingin, merasa tidak suka dipotong konsep omongannya. Sungguh diktator sekali. “Mau gue nanya lo pake baju Ramayana kek, bukan urusan lo.” si cewek mengibas rambutnya dan Desyca mendapat kilasan seorang Ratu yang begitu berkuasa tengah mengeksekusi mati bawahannya. “Atau mungkin, lo bisa tiba-tiba jatoh meninggal karena kena es teh dingin? Jun, emang ada penyakit yang bisa bikin lo mati karena kena es teh?”

‘Jun’, cowok boncel di samping si cewek, langsung melirik dikit aja ke bawah dan berkata cepat, “Lo bisa mati kalo kena hipotermia, jari kaki lo bisa buntung kalo lo kena frostbite, bisa cedera karena suhu dingin, kena ITP, flu, dehidrasi, alergi dingin, tapi itu semua harus didukung dengan suhu ekstrem dan penyakit bawaan lahir yang, kalau nggak salah dan gua nggak pernah salah, nggak dimilikin sama Ulum Bidara.”

“I love this nerd, seriously.” Si cewek rambut beliung itu kemudian melihat ke bawah lagi. “Jadi, the final verdict is…?”

Si kakel Jabrik masih nggak kepengen kalah. “Ini tuh buat ngajarin ke mereka-mereka kalo kita bukan orang yang bisa diajak berantem, Rani!”

Si cewek tiba-tiba kelihatan murka. “Ha?” wajahnya berkeriut begitu marah, rasanya seperti melihat perubahan ekspresi sempurna veela, tokoh mitologi di buku terkenal Harry Potter, yang tadinya cantik kemayu jadi separah iblis Lucifer.  Temen si Jabrik berbisik, mampus lo. “Lo tadi manggil gue apa? Rani? Rani?”

Suasana sepertinya hening. Mungkin kalo jepitan rambut jatoh di lapangan, suara dentingannya bakal kedengaran. 

“Lo nggak pantes manggil nama gue, goblok!” bentak Rani, kelihatan jelas marah. “Lo siapa gue? Nyokap gue? Bokap? Guru? Ketos? Ngapain manggil-manggil nama gue seakan-akan kita sederajat? Lo sama gue beda kasta, tolol amat nih anak! Perlu gue ajarin lo sopan santun yang bener, hah?!” dampratnya.

Wajah si Jabrik berubah jadi merah-ungu, kendatipun dia terlihat malu, tapi dia tidak terlihat marah. Dia malah kelihatan ketakutan. Teman-teman si Jabrik, yang tadinya ambil andil menindas, mundur teratur, saling sodok-menyodok sikut dan beberapa bahkan berani kabur saat tidak ada yang melihat.  Desyca merasa kak ‘Rani’ sudah terlampau jauh dalam usahanya memperingati si Jabrik. Lah kalo nggak manggil nama, manggil apa dong? Yang Mulia Rani, gitu? Sepertinya figur Rani sangat dihormati dan disegani, karena walaupun dia teriak-teriak seperti itu, tidak ada siapapun yang keberatan.

“Lo.” Rani menunjuk si Jabrik, ujung jarinya bikin si Jabrik semakin jiper—malah matanya juling karena terlalu terfokus ke ujung jari lentik itu. “Nama.”

“Na-nama gue…?”

“Iya, goblok, nama lo siapa?”

“Nama dia Waskito. Dipanggil Kocok.” Ucap ‘Jun’ dengan wajah lempeng, memberi informasi. 

“Waskito? Itu nama siswa disini atau nama tukang siomay?” kata Rani nyelekit. “Lo semua, yang ngegiring nih anak-anak baru, masuk blacklist OSIS. Ngga ada ganggu gugat. Ingetin muka mereka, Sar, gue mual disini. Bau anjing.” Rani segera mengibaskan rambutnya yang worth-thousand-dollar-baby dan menghilang dari pandangan sementara ‘Sar’ tinggal, matanya mengases TKP.

“Lo pada dengerkan? Kalian masuk blacklist OSIS. Notifikasi lebih lanjut dikasih tahu di medsos. Dan anak bocah yang pake name tag BELER, INGUS, NYIMENG, FESES KEBO, PANTAT PANCI, sama BERNARD BEAR… lepas cam-lens itu terus ancurin recordingnya atau gue ancurin tuh rekording berikut mata lo pada. Panitia, masuk ke SC. Nggak usah ikut gue sama anak-anak baru ke gedung utama.”

.

.

.

.

.

 “Elo nggak papa?”

Desyca mendekati si cupu yang dari tadi hanya menunduk, tidak dipedulikan sama sekali. Sekarang istirahat makan siang, dan hampir nggak ada yang mau duduk di samping cupu. Oke… Desyca harus berhenti manggil cowok ini cupu, tapi Desyca sama sekali nggak tahu apa yang harus dia lakuin selain… manggil cowok ini cupu. Si cupu kaget sekali ketika ada nampan makanan bergeser di sebelahnya. Rupanya dia juga tidak mengekspektasikan keberadaan orang lain di sampingnya.

“Tadi tuh keterlaluan banget.” Desyca menyeringai sedikit, awkward. “Sori gue nggak nolongin.”

“…Kamu emang tadi mau nolongin aku?”

Jleb. Omongan si cupu membuat lubang di hati Desyca yang berdarah-darah.

Melihat wajah pasi Desyca, si cowok kemudian menggeleng ragu-ragu. “Nggak apa-apa… Aku udah biasa kok dikerjain. Yang tadi mungkin emang bikin malu, tapi paling nggak aku yakin aku bisa ngelewatin tiga tahun ini tanpa perlu ribet-ribet bersosialisasi.”

Buset, nih anak bahkan ngeramalin tiga tahun kedepannya kayak gimana… Hal ini entah kenapa membuat Desyca semakin perih.

“Elo boleh kok sosialisasi sama gua. Gue… jago IPS.” Ucap Desyca, lame.

Cowok itu meneliti Desyca. “Kalau kamu ngelakuin ini karena kasihan, mendingan kamu nggak usah duduk disini. Lupain aja. Ini bisa ngerusak reputasi kamu. Lagian,” Dia kembali melahap makanannya, “Persahabatan yang didasarin sama rasa kasihan nggak bakal bisa utuh, di waktu manapun, kapanpun.”

Desyca merasa bahwa apa yang dikatakan cowok ini semuanya benar, dan itu membuat Desyca semakin frustasi. Apalagi saat Desyca bahkan tidak dapat bergerak ketika si cupu jalan menjauhi Desyca, mencari spot makan lain agar dia bisa makan dengan tenang. Sial, D

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
superiorjl #1
Oooh