SATU

As You Like It
Please Subscribe to read the full chapter

BAB 1

“Jadi, nama lo Desyca?”

Buset. Desyca cuma bisa menelan ludah melihat belahan melon kembar yang terpampang jelas di kedua belah matanya. Atraktif sih atraktif, tapi ayolah, lo baru enam belas tahun! Walau lo sudah menstruasi dan sepertinya sudah pantas untuk dibuahi, kenyataannya adalah lo bahkan nggak bisa nyuci baju lo sendiri, pake sikat cuci yang suka lo temuin di museum saking primitifnya.

Desyca mungkin bisa ngomong seperti itu di dalam hati, tapi lidahnya seakan-akan terkunci saat cewek teman sekelasnya itu lagi-lagi memajukan wajahnya di depan Desyca—kentara sekali merasa tertarik.

“Iya.” Jawab Desyca padat, cepat, namun sayang tidak jelas.

“Apa?” cewek itu lagi-lagi memajukan wajahnya. Desyca tidak nyaman, tolong.

“Iya. Gue. Desyca. Desyca Taniadi. Kalo boleh angkat bicara, gue harap lo panggil gue Desyca aja.”

“Lo anak politisi mana?”

“Ha?” Desyca mengerutkan dahi sebelum akhirnya merasa itu adalah pertanyaan retoris. “Sori, tapi gue cuma mau bakwan doang. Bisa minggir nggak?” Desyca membuat gerakan yang lebih kurang ajar dengan tangannya dan jari tengahnya. Desyca sudah puas dan kenyang diberlakukan seperti ini bahkan ketika istirahat sekolah sekalipun. Dengan wajah terhina si cewek tanpa nama segera menyingkir dari pandangan Desyca. Gue yang harusnya merasa terhina, pikir Desyca dengan menderita, tanpa aba-aba menggigit bakwan saus kacangnya dengan buas.

Negara Indonesia di tahun 2046 ternyata adalah Negara yang maju dan liberal. Sudah bertahun-tahun kelompok agamis menjadi minoritas dari Negara, walau tidak menjadi kelompok tertindas. Ekstremis dan para pemberontak lebih banyak berorasi namun banyak juga yang tertangkap dalam perjalanan menuju kebebasan hakiki. Indonesia saat ini, walau liberal sekalipun, tetap punya banyak cacat—makin bebas, makin hura-hura; makin maju, makin imoral pula.

Praktek-praktek kupu-kupu malam merajalela. Tidak hanya itu, di siang bolong pun orang-orang berani berasyik-masyuk di tempat umum, tak ubahnya ayam yang suka mengeluarkan tahi seenaknya. Yang lebih disayangkan adalah maraknya praktek pergaulan bebas yang lebih parah dibandingkan pergaulan bebas setengah abad yang lalu. Yang katanya juga sudah cukup cacat bahkan dengan Negara yang berlandaskan religi. Bahkan dengan pilar yang hakiki.

Dan kalau pertanyaan ‘lo anak politisi mana’ tadi tidak melambangkan pertanyaan yang begitu materialistis, menuju borjuis, maka Desyca nggak tau harus bagaimana lagi. Desyca tidak kepingin mendekati orang seperti itu. Abinya tahu mana yang terbaik untuk Desyca.

Abi, yang memakai sorban seperti beliau memakai nyawanya sendiri. Abi, yang mengajarkan Desyca mengaji dan berdoa dengan baik. Abi, yang membuatkan Desyca bekal pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai Desyca bisa memasak sendiri…

Abi, yang selalu Desyca cintai.

Desyca melahap bakwannya hingga habis. iphone 10.5 nya yang sudah ketinggalan zaman bergetar dengan halus, meninggalkan pesan untuk Desyca. Desyca mengangkat sepotong kaca dan menekan tombol frame sebelum layar terproyeksikan di udara. Dengan santai ia menekan ikon text dan melihat bahwa sang Abi mengiriminya sms, menyuruhnya segera balik ke dorm karena ‘malam ini makan malamnya ikan kembung’.

Desyca menekan template ‘ok, abiku sayang’ dan sent.

Desyca tersenyum dan dengan cepat menaiki hoverboard miliknya yang bertenaga matahari. Desyca sangat suka hoverboard ini. Ini adalah hadiah ultah ke empat belas dari sahabat abinya, Om Alif. Om Alif tahu Desyca suka bermain skateboard, dan ngiler abis melihat hoverboard yang dijual di e-bay, dan taraa! Besoknya Desyca dapat hoverboard yang seksi abis. Abi sempat pengen memotong uang jajan Desyca untuk ganti uang Om Alif, tapi untunglah Om Alif cukup bijaksana.

“Nggak usah, uangnya simpan aja buat jajan Desyca.”

Desyca sampai di depan kamarnya sebelum dia menyentuh heat detector dan membiarkan suara robotik terdengar lembut.

“Selamat datang di kamar, Desyca Taniadi. Dimohon untuk bersiap; progres penyapuan retina dimulai.”

Sedetik kemudian green light menyapu mata kanan Desyca dan kemudian terdengar suara pintu terbuka dengan desis yang halus. Kamarnya yang masih berupa blackhole membuat Desyca sedikit kaget. “Mati lampu ya?” bisik Desyca, namun bisikannya t

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
superiorjl #1
Oooh